Pakar Jepang Hadiri FGD Mitigasi Bencana di Unhas, Gubernur Sulawesi Selatan Hadir

Makassar, FAJARPENDIDIKAN.co.id – Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin (Unhas) menggelar Focus Group Discussin (FGD) yang membahas tentang mitigasi bencana.

Kegiatan ini berlangsung di Ruang Rapat A, Lantai 4 Gedung Rektorat Universitas Hasanuddin, Jumat, 20 September 2019.

FGD ini menghadirkan dua nara sumber sebagai pemantik diskusi, yaitu Prof Dr Tetsuya Kubota dari Kyusu University, Jepang dan Dr Ir Syamsu Rijal, S Hut., M Si, IPU dari Unhas.

- Iklan -

FGD ini juga dihadiri oleh Gubernur Sulawesi Selatan Prof Dr Nurdin Abdullah, M Agr., Dekan Fakultas Kehutanan Unhas yang juga merupakan Ketua Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan atau TGUPP Prof Dr Yusran, S Hut., M Si., dan puluhan ahli dari berbagai institusi.

Mengawali diskusi, Gubernur Sulawesi Selatan menyampaikan apresiasinya atas pelaksanaan FGD, khususnya atas kehadiran Prof Tetsuya Kubota.

“Beliau khusus datang ke sini untuk sharing bagaimana seharusnya kita menjaga lingkungan,” kata Nurdin Abdullah.

- Iklan -

“Banyak hal yang bisa kita petik dari kehadiran beliau, dengan belajar dari apa yang terjadi di Jepang. Para ahli Jepang itu sangat detail dalam menjelaskan sesuatu, basisnya adalah data. Ini penting dalam pengelolaan lingkungan dan mengatasi bencana,” tambahnya.

Dalam pemaparannya mengawali diskusi, Prof Tetsuya Kubota menjelaskan bagaimana pengalaman Jepang dalam mengatasi bencana alam. 

Baca Juga:  UIN Alauddin Makassar Terakreditasi Unggul

“Di Jepang, bencana alam yang rutin terjadi adalah gempa bumi, badai taifun, longsor, dan banjir,” ungkap Prof Tetsuya.

- Iklan -

“Di Sulawesi Selatan nampaknya yang menjadi perhatian adalah longsor dan banjir. Dari pengalaman kami di Jepang, mitigasi bencana longsor dan banjir sangat dipengaruhi oleh pola penggunaan lahan,” jelasnya.

Longsor yang terjadi di suatu daerah, besar kemungkinan akan terjadi lagi pada masa mendatang.  Untuk itu, harus ada upaya pencegahan serius jika longsor pernah terjadi.

Di Jepang, longsor dan banjir umumnya disebabakan oleh curah hujan yang tinggi, yang merupakan kondisi alamiah.

“And even the urbanization has contribution to the cause of flood. I am not sure in Indonesia, particularly in South Sulawesi, weather this people movement also has causing factor,” jelas Prof Tetsuya Kubota.

“Dalam hal mitigasi, kita harus menggabungkan hard dan soft approach. Ada kegiatan lapangan untuk melakukan perbaikan alam, rehabilitasi, revegetasi, dan lainnya,” paparnya.

Namun, sambungnya, yang tidak kalah penting adalah soft approach, untuk mengedukasi masyarakat.

Selanjutnya, pemantik diskusi disampaikan oleh pakar dari Unhas yang merupakan Tim Kajian Banjir Sulawesi Selatan, Dr Ir Syamsu Rijal.

Baca Juga:  Buka Puasa Bersama KPI Macquarie Jadi Ruang Berjumpa Komunitas Muslim Indonesia di Sydney

Melalui presentasi berjudul “Floding Study and Watershed Rehabilitation Planning of South Sulawesi”, Syamsul Rijal menjelaskan lebih detail langkah-langkah yang bisa diambil oleh masyarakat dan pemerintah Sulawesi Selatan terkait ancaman bencana alam, khususnya banjir.

“Kami melakukan studi kebijakan, dengan fokus pada peristiwa banjir besar di Sulawesi Selatan bulan Januari 2019 lalu,” kata Syamsu Rijal.

“Dari situ, kita memperoleh banyak data tentang potensi bencana alam, khususnya banjir, terutama dalam kaitannya dengan lingkungan hidup,” tambahnya.

Kondisi eksisting lingkungan merupakan faktor paling berpengaruh terhadap peristiwa banjir.

Kondisi eksisting tersebut mencakup kondisi lingkungan, curah hujan, perubahan tutupan lahan, kondisi sungai yang mengalami pendangkalan, maupun kondisi tampungan air yang sangat terbatas.

“Di Jeneponto, banjir besar yang lalu ditambah faktor permukaan air laut yang naik.  Saat itu, tinggi banjir bahkan mencapai sampai 8 meter, karena bersamaan air laut naik. Itu seperti fenomena tsunami yang berasal dari gunung, karena besarnya curah hujan pada waktu bersamaan,” kata Syamsu Rijal.

Penanganan bencana alam, khususnya banjir di Sulawesi Selatan pada akhirnya membutuhkan partisipasi banyak pihak. Pemerintah melalui penerapan good governance, masyarakat melalui literasi dan edukasi bencana, pihak swasta melalui program corporate social responsibility, pihak industri melalui penerapan tata kelola yang berkelanjutan, dan sebagainya.

FGD ini selanjutnya mendengarkan berbagai masukan dari stakeholder yang hadir, baik dari pemerintah daerah, akademisi, dan pihak swasta. (FP/Rls)

- Iklan -

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU