Pahlawan

“Aku takut anak kita mati dalam perang, Mas. Carilah nama yang lain!”

Pahlawan itu tidak disiapkan untuk perang, Dik. Pahlawan itu menjaga semesta. Agar damai jadi milik semua.”

“Begitukah?”

- Iklan -

“Percayalah, aku ayahnya.”

Maka sejak hari itu untuk pertama kalinya darahku mengalir di tubuh Pahlawan. Dia menghisap dengan kuat dan dalam. Dia kekar dan besar. Tapi wajahnya jauh dari garang. Wajahnya lembut dan tenang.

Pahlawan terus tumbuh besar. Seluruh hidup kami untuk Pahlawan. Setiap suamiku pulang dari laut, bergegas dia menemui Pahlawan. Seperti hari ini.

- Iklan -

“Assalamualakaikum Jenderal Ahmad Yani. Apa yang hendak kau laporkan sore ini?” “Siap, Presiden Sukarno. Aku tadi ditunjuk membaca puisi, menjadi imam sholat Duhur,

dan tujuh kali anak panahku tepat sasaran”

“Wow itu luar biasa. Lalu apa rencanamu sekarang, jenderal?” “Mengaji di musholla”

- Iklan -

“Laksanakan!” “Siap. Laksanakan!”

Seperti biasa, aku terkekeh mendengar obrolan ayah dan anak itu. “Sudah-sudah. Ayo sana, cepat mandi!”

“Siap, Bu” teriak Pahlawan sambil berlari ke belakang.

***

Malam itu tidak banyak bintang di langit. Tapi sempurnanya sinar rembulan membuat kami bertiga tergoda merebahkan tubuh di beranda. Sementara punggung kami menghirup dingin ubin, tiga pasang mata kami menikmati hangat bulan jingga.

“Pak?” “Ehmm”

“Apakah setiap malam, Jenderal Ahmad Yani sempat tidur malam menikmati bulan?” “Ehmm, mungkin dalam satu malam beliau pernah melakukannya. Namun bapak yakin,

seorang patriot seperti beliau pasti tidak pernah berhenti memikirkan keselamatan negerinya.”

“Meskipun malam waktunya tidur?”

“Ya, meskipun malam sebelum beliau tidur.”

Pahlawan terdiam. Aku menoleh padanya. Sempat kutangkap kilatan matanya seperti sedang mengirim pesan pada rembulan.

“Pak?” “Ehmm …”

“Aku ingin jadi jenderal. Agar bisa jadi pahlawan.”

Aku tersenyum. Suamiku tertawa kecil. Lalu digenggamnya kedua bahu putra satu- satunya itu.

 

“Nak, tidak harus jadi jenderal untuk menjadi pahlawan. Setiap kau melihat suatu keadaan yang buruk, dan kau kerahkan seluruh yang kau punya untuk menjadikannya lebih baik, …”

“Sesungguhnya kau telah menjadi pahlawan, seperti nama yang kami berikan padamu.”

Kulirik suamiku. Dia tampak puas dengan kalimatnya yang kulanjutkan. Kami bertiga melempar senyum pada rembulan.

***

 

Siang yang terik adalah anugerah bagi kami ibu-ibu kampung nelayan. Inilah saat terbaik bagi kami menjemur ikan. Tepat di bawah terik matahari yang menyengat kami membariskan ikan-ikan yang telah bersih disayat.

“Buu!”

“Eh, Pahlawan. Sudah pulang, Nak?” “Ibu disuruh bu guru ke sekolah besok.” “Iyakah?”

Pahlawan mengangguk. Hatiku DEG seketika. Mungkinkah Pahlawan berbuat salah?

Esoknya di ruang guru …

“Apakah Pahlawan berbuat salah? Apakah Pahlawan menyakiti temannya? Apakah …?” “Tidak bu, tidak.”

Seketika napasku kembali teratur mendengar jawaban bu guru. “Pahlawan anak ramah. Suka membantu tanpa diminta. Bahkan …” “Bahkan apa, Bu?”

“Bahkan tak ada yang berpikir untuk apa melakukan hal-hal yang tampak kecil seperti yang dilakukan Pahlawan. Merapikan sepatu di depan pintu perpustakaan, menurunkan bendera di tiang ketika turun hujan, mematikan kipas angin kelas ketika semua pulang,…..”

“Masya Allah … Alhamdulillah” aku tersenyum senang. Sejuk rasanya mendengar pengakuan bu guru.

“Pekan depan ada lomba panahan tingkat SD dibalai kota. Pahlawan terpilih mewakili desa. Sampaikan ke bapak untuk terus melatih ya?”

“Baik…Insya Allah, Bu”

Bergegas kupulang ke rumah. Kusampaikan semua pada sang ayah. Dua pasang mata kami berbinar cerah.

***

Pagi ini lebih hangat dari biasanya. Seolah doa kami untuk kemenangan Pahlawan disimpan rapat rembulan dan diterbitkan mentari pagi ini.

Suamiku tak melaut hari ini. Kami begitu percaya diri Pahlawan akan membawa piala dengan tawa siang nanti. Dan seperti janjinya tadi malam, suami berencana menemaniku ke pasar. Membeli jajanan kesukaan Pahlawan. Untuk merayakan kemenangannya dan delapan tahun usianya.

Baru saja suami menyalakan mesin motornya, seorang datang tergopoh-gopoh.

“Samin? Kenapa dia?” tanya suamiku heran begitu melihat penjaga kantin sekolah itu berlari mendekat.

“Pak, Bu, disuruh ke sekolah sekarang. Cepat!”

Aku dan suami berpandangan tak mengerti. Apakah Pahlawan menang? Secepat ini? Bukankah dia baru berangkat dua jam yang lalu? Mengapa Samin sampai datang berlari dengan wajah kusut berpeluh-peluh?

***

Tak biasanya, begitu ramai orang di sekolah. Anak-anak, guru, orangtua tumpah ruah. Bukankah seharusnya sekolah sepi karena semua anak pergi menonton pertandingan panahan di kota?

Seperti yang diminta Samin, kami menuju ruang guru. Semua mata menatap kami iba.

Tapi mengapa? Ada apa sebenarnya?

Di balik pintu, Bu Guru menyambut kami dengan wajah sedih. Kepalanya menunduk dalam.

“Apakah Pahlawan kalah lomba panahan?” tanya suamiku perlahan. “Buat kami, kalah menang, dia tetap Pahlawan” kataku menegaskan.

Bu Guru menggelang. Perlahan kepalanya menegak dan jelas terlihat matanya memar bengkak. Dengan patah-patah bu guru berkata …

“Tadi pagi…saat saya berangkat ke sekolah. Seorang remaja berambut kumal dan berkalung rantai besar menghadang saya di ujung jalan. Dia menarik tas dan tangan saya. Lalu….dia meninju mata saya. Seketika saya menjerit minta tolong. Saat itu….seorang anak datang. Dengan kuat dia mendorong remaja itu hingga jatuh. Dia menyuruh saya pergi menjauh.”

Aku dan suami saling menatap tak mengerti. Ibu guru berusaha berbicara sambil terisak lagi. “Ketika saya menjauh pergi, saya tidak tahu lagi apa yang terjadi. Hingga saya mendengar jeritan dan saya memutuskan kembali. Anak itu…anak itu sudah terkapar tak bergerak lagi. Sebuah belati tepat menusuk hati anak tadi.”

Tubuhku mulai bergetar. “Pahlawan? Dimana anakku pahlawan?” “Warga segera melarikannya ke rumah sakit. Tapi, terlambat …”

Bu Guru menenggelamkan wajahnya. Seakan tak mampu lagi berkata-kata.

Suami memelukku kencang. Tak satupun kata dia ucapkan. Aku hanya merasakan tubuhnya pun ikut terguncang. Dan air mata kami,…bertemu pedih.

“Bu guru? Anak itu? Pahlawan, a…anak kami?” suamiku mencoba mengatur nafasnya.

Makin kuat tanganku diremasnya.

Ibu guru mengangguk. Seketika tubuhku ambruk.

***

Dua tahun setelah Pahlawan dimakamkan, aku melahirkan. Suamiku memberi nama putra kedua kami, Pejuang.

Penulis : Musrifah

Musrifah
- Iklan -

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU