The East, Film Langka yang Menceritakan Kekejaman Westerling Layak Kamu Tonton

De Oost (The East) adalah film fiksi Belanda pertama yang menggambarkan sosok Raymond Westerling. Film itu dipuji sebagai "simbol keberanian anak muda Belanda" yang jujur melihat sejarahnya sendiri. Di sisi lain, sejumlah pihak, termasuk putri Westerling, mengkritik film itu yang disebutnya "memutarbalikkan fakta" dan "menyebarkan kebohongan".

Westerling adalah pemimpin Depot Speciale Troepen (DST), satuan khusus militer Belanda yang terlibat aksi pembantaian di Sulawesi Selatan pada 1946 hingga 1947.

Sejumlah sejarawan Indonesia menyebut ada sekitar 40.000 korban pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan. Sementara di Belanda, jumlah korban yang dilaporkan adalah sekitar 3.000 orang.

Di Indonesia, keluarga korban Westerling berharap film ini bisa menjadi medium yang menceritakan peristiwa pembantaian masa lalu.

- Iklan -

Sinopsis Film

Reymond Pierre Pau Westerling hidup berdampingan dengan rakyat Indonesia. Westerling–-begitu ia lebih dikenal–-merupakan prajurit Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL) atau Tentara Kerajaan Belanda untuk Hindia.

Ia tampak berbeda dengan kebanyakan prajurit Belanda lain. Ia hidup layaknya seorang pribumi di sebuah rumah dengan seorang perempuan lokal. Karena kedekatan dan kebaikannya terhadap masyarakat lokal, ia pun dijuluki “Ratu Adil”.

- Iklan -

Dalam penugasannya di Indonesia, ia bertemu dengan prajurit muda, yakni Johan de Vries. Westerling menganggap Johan memiliki tujuan yang sama dengan dirinya. Bahkan, Westerling memercayainya sebagai tangan kanan karena keberanian dan kesetiaan yang ditunjukkan Johan.

Berkat tangan dingin Westerling yang pada saat itu mampu memberantas jaringan pemberontak secara gerilya, ia pun mendapat kepercayaan untuk memimpin sebuah tim khusus dengan nama Depot Speciale Troepen (DST).

- Iklan -

DST merupakan satuan khusus militer Belanda yang ditugaskan ke Sulawesi Selatan pada 1946-1947 untuk membasmi jaringan pemberontak dan teroris. Johan menjadi salah satu prajurit yang bergabung dalam unit khusus tersebut.

Awalnya, Johan yang memiliki tujuan sama dengan Westerling, bersemangat dengan unit barunya. Ia merasa bisa melindungi dan membantu masyarakat lokal dari kekejaman pemberontak.

Namun, seiring tugas yang ia jalankan di bawah komando Westerling, Johan menjadi gusar karena tindakan pemimpinnya yang secara brutal membantai pribumi.

Johan pun beradu argumen dengan Westerling. Ia tidak menyukai sikap Westerling yang mengeksekusi tawanan tanpa melakukan interogasi terlebih dahulu. Westerling yang tidak suka dibantah akhirnya menghukum Johan.

Reymond Pierre Pau Westerling menjadi tokoh yang kontroversial dalam film The East.
DOK. NEW AMSTERDAM FILM COMPANY/MILAN VAN DRIL Reymond Pierre Pau Westerling menjadi tokoh yang kontroversial dalam film The East.

Adegan sarat ketegangan tersebut hadir dalam sebuah film berjudul The East (atau De Oost dalam bahasa Belanda).

Dalam film yang tayang di Belanda pada pertengahan Mei lalu itu, penonton dapat melihat gejolak emosi Johan saat menyaksikan pembantaian oleh Westerling, yang dalam film hanya disebut sebagai Raymond atau ‘De Turk‘. Julukan itu klop dengan tempat kelahiran Westerling, yaitu Istanbul, Turki.

Tembakan demi tembakan kepada warga kampung yang dituding sebagai pemberontak meninggalkan trauma dan rasa bersalah pada Johan.

Film bergenre drama, thriller, dan perang tersebut digarap oleh sutradara asal Belanda keturunan Indonesia, Jim Taihuttu.

Meski merupakan film fiksi sejarah, penggambaran Westerling yang diperankan oleh Marwan Kenzari disebut nyata dan sesuai dengan kejadian pada kala itu.

Aksi Marwan Kenzari bermain peran juga cukup apik dengan penghayatan tokoh Westerling yang tegas, lugas, kejam, dingin, dan penuh perhitungan.

Dari sisi sinematografi, film The East lebih banyak dibungkus dengan pengambilan medium shot yang lebih menggambarkan ekspresi para prajurit dalam memaknai serta menjalankan tugasnya di Indonesia.

Pergerakan kamera yang dinamis saat prajurit Belanda bersitegang dengan penduduk lokal menjadi nilai plus film The East. Sebab, penonton seakan merasakan kejadian tersebut secara nyata.

Alur cerita maju dengan sedikit flashback juga cenderung mudah dicerna oleh penonton.
Melihat sejarah dari dua sisi

The East tidak hanya disuguhkan untuk bisa memuaskan hasrat penonton dari segi aksi dan sinematografi semata. Ada hal lain yang menjadi fokus utama film ini dibuat.

Salah satunya adalah sejarah masa pendudukan Belanda di Indonesia yang jarang dibahas di Negeri Oranye. Orang Belanda menganggap bahwa prajurit-prajurit yang dikirim ke Indonesia hanya menjalankan tugas yang berkaitan dengan politik.

Mereka kurang mengetahui atau bahkan memahami konteks sejarah yang memuat kisah kekejaman prajurit Belanda terhadap penduduk pribumi.

Sebagai contoh, pihak Belanda meyakini bahwa korban yang dibunuh oleh pasukan Westerling hanya sekitar 3.000 orang. Hal ini berbeda dengan pendapat para sejarawan Indonesia yang menyebut korban pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan (Sulsel) mencapai 40.000 jiwa.

Hal tersebut menjadi fokus sang sutradara, Jim, untuk membeberkan fakta sejarah bagi dua sisi, baik bagi warga Belanda maupun masyarakat Indonesia.

Jim Taihuttu merupakan sutradara The East yang memiliki darah Maluku dari nenek moyangnya.
DOK. NEW AMSTERDAM FILM COMPANY/MILAN VAN DRIL Jim Taihuttu merupakan sutradara The East yang memiliki darah Maluku dari nenek moyangnya.

Film Langka yang Menguak Sejarah Indonesia

Dikarenakan fakta sejarah yang belum banyak orang tahu, bisa dibilang film ini jadi begitu langka. Ya, berapa banyak film luar negeri yang bercerita tentang peperangan di Indonesia? Mungkin baru film ini yang menyajikannya secara detail dan merujuk pada sosok asli.

Di Indonesia, film-film tentang penjajahan sudah begitu banyak. Di antaranya Trilogi Merdeka, Sang Kiai (2013), atau Laskar Pemimpi (2010), semua bercerita tentang latar Indonesia dalam masa penjajahan. Sementara di luar negeri, tak banyak film yang melihat peperangan di Indonesia sebagai sebuah ide cerita yang menarik.

Selain dapat mengetahui sisi sejarah lain dari kekejaman Westerling, penonton juga bisa mengetahui kehidupan masa lalu masyarakat Indonesia pasca-proklamasi. Hal ini tentu menjadi pengalaman berharga untuk semakin meningkatkan jiwa nasionalisme di dalam diri.

Sebagai informasi, film yang mendapatkan rating 7.0 di IMDb tersebut layak untuk disaksikan sebagai cara menyambut Hari Kemerdekaan. Saat ini, film tersebut sudah bisa ditonton secara eksklusif di Mola.

- Iklan -

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU