Review! CANDYMAN : Trauma Masa Lalu, Isu Rasisme

Film Candyman mulai tayang hari ini (27/10) di jaringan bioskop di Indonesia. Meski Candyman adalah film sekuel, tapi bisa ditonton tanpa perlu menyimak film-film sebelumnya.

Sejauh ini, Candyman sudah dibuat sebanyak empat film, yaitu Candyman (1992), Candyman: Farewell to the Flesh (1995), Candyman: Day of the Dead (1999), dan Candyman yang kini tengah tayang. Film keempatnya adalah sekuel dari film pertama.

Film keempat ini termasuk yang ditunggu pencinta film karena ditulis dan diproduseri oleh Jordan Peele. Sineas yang dikenal lewat film thriller misteriGet Out dan Us ini kerap memasukkan kritik sosial terkait diskriminasi terhadap warga kulit hitam di Amerika.

- Iklan -

Isu ini pula yang kembali dimasukkan Jordan dalam Candyman, yang kini dibesut sutradara perempuan berkulit hitam, Nia DaCosta. Keduanya memilih memberi keadilan pada sosok Candyman, yang pada tiga film sebelumnya digambarkan sebagai sosok hantu haus darah dan gemar menebar teror tanpa pandang bulu, terutama pada warga Cabrini-Green.

Buat penonton yang tak tahu sejarah Candyman dan Cabrini-Green, film ini berbaik hati menjelaskannya lewat karakter Troy (Nathan Stewart-Jarrett) dan Billy Burke (Colman Domingo).

Billy dipakai untuk menjelaskan sejarah Candyman kepada tokoh utama film ini, yaitu Anthony McCoy (Yahya Abdul-Mateen II) seorang seniman lukis yang sedang mencari ide untuk lukisannya, dan akhirnya tenggelam dalam misteri sosok Candyman.

- Iklan -

Lewat mulut Billy, sejarah valid Candyman terkuak, yaitu bahwa karakter legendaris itu aslinya bernama Daniel Robitaille. Sama seperti Anthony, dia juga pandai melukis, dan mendapat uang dari melukis orang-orang kaya berkulit putih pada abad ke-19.

Suatu ketika, Daniel melukis seorang gadis kulit putih, dan mereka pun jatuh cinta. Sang gadis hamil, dan tentu saja ini aib dobel bagi keluarganya. Pertama karena ia hamil di luar nikah. Kedua karena dia berpacaran dengan pria kulit hitam.

Keluarga sang perempuan lantas menyuruh sekelompok orang untuk membunuh Daniel. Sebelum dibunuh, dia disiksa terlebih dahulu. Tangannya digergaji, lalu ditusuk dengan pengait. Tubuhnya lalu dibiarkan disengat lebah, lalu dibakar.

- Iklan -

Dalam Candyman versi terkini, ritual pemanggilan Candyman masih sama dengan tiga film sebelumnya. Yaitu sebut nama Candyman lima kali di depan cermin, maka dia akan muncul.

Bedanya, kini Candyman tak selalu membunuh orang yang memanggil namanya itu. Hantu ini sekarang bisa memilih korbannya dengan baik dan logis.

Dalam dunia buatan Jordan dan Nia DaCosta, Candyman hanya membunuh orang jahat yang menyakiti orang lain, dalam hal ini korbannya adalah mereka yang berkulit hitam.

Candyman juga bukan lagi satu orang saja, melainkan menjadi simbol bagi warga kulit hitam yang teraniaya karena diskriminasi dan kebrutalan warga kulit putih.

Candyman juga menjadi simbol harapan terakhir bagi tegaknya keadilan. Meski terdengar mengerikan karena berharap keadilan pada sosok hantu, tapi justru di sinilah letak tragisnya kehidupan yang memang jauh dari ideal.

Karena Candyman kali ini bisa berlaku logis, konsekuensinya adalah penonton tak akan terlalu sering melihat ia membunuh. Tak akan ada adegan film slasher klasik yang memperlihatkan pelaku mengejar-ngejar korban layaknya seorang psikopat. Atau korban yang menjerit histeris setelah sebelumnya melakukan hal bodoh.

Candyman kali ini bekerja sangat efektif, membunuh hanya dalam 2-3 kali sabetan hook. Meski begitu, adegan pembunuhannya dijamin tetap membuat bulu kuduk berdiri, atau minimal membuat penonton memalingkan muka sedikit saking brutalnya.

Karena tak memakai resep klasik film slasher, sangat mungkin Candyman menjadi film yang agak membosankan bagi penonton yang menginginkan adegan seru sepanjang film.

Namun bagi yang ingin pendekatan segar untuk sosok Candyman dan filmnya, Candyman versi terbaru ini bisa jadi akan sangat menarik, terutama untuk dieksplorasi pada masa mendatang.

- Iklan -

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU