Sehari Jelang Puncak HPN di Medan Hendri Chairuddin Bangun Deklarasikan Maju Calon Ketum PWI Pusat

Ini baru kejutan dan di luar dugaan Hendri Ch Bangun yang telah malang melintang di Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pusat dan Dewan Pers mendeklerasikan diri maju sebagai Calon Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia Pusat pada Kongres PWI akhir tahun ini (2023).

Deklerasi itu diucapkan di halaman Masjid AL-MASHUN di Jl. Sisingamangaraja Medan, Rabu, 8 Februari 2023.

Mesjid Raya Al Mashun ini lebih dikenal dengan nama Mesjid Raya Medan, dibangun tahun 1906.

- Iklan -

Disinilah Hendri menyampaikan niat baik dan ikhlas lewat rekaman video yang dalam sekejap telah viral kemana-mana.

“Dari kota Medan, tempat lahir saya, serta dalam suasana Hari Pers Nasional yang meriah dan menjadi ajang silaturahmi wartawan khususnya anggota PWI dari seluruh Indonesia, saya mendeklarasikan untuk maju sebagai Ketua Umum PWI Pusat, dalam Kongres PWI yang direncanakan berlangsung tahun 2023 ini,” ucap Hendri.

Soal pengalaman tak diragukan lagi, menjadi Sekretaris Jenderal Persatuan Wartawan Indonesia Pusat selama dua periode, (tahun 2008-2013, 2013-2018), menjadi anggota Dewan Pers dua periode, (2016-2019, 2019-2022).

- Iklan -

“Tentu dengan pertolongan Allah Swt, saya merasa akan mampu menjalankan tugas,” kata Hendri yang mantan Wartawan Kompas dan berdarah seniman.

Baginya, mengabdi pada Persatuan Wartawan Indonesia adalah kebanggaan, sejak menjadi anggota pada tahun 1987 dan menjadi pengurus di Seksi Wartawan Olahraga Persatuan Wartawan Indonesia Jaya pada tahun itu juga.

Serta tidak lepas dari sejarah keterlibatan dalam dunia jurnalistik dan organisasi Persatuan Wartawan Indonesia di dalam keluarga, sebut anak Medan ini.

- Iklan -

“Di Medan ini, ayah saya almarhum Tridah Bangun, memulai kariernya sebagai wartawan Harian Waspada pada tahun 1953 (sampai 1957) dan pernah menjadi Wakil Ketua I PWI Cabang Medan pada tahun 1963-1967, dalam suasana politik yang sedang bergolak,” tuturnya.

PWI adalah organisasi wartawan tingkat nasional tertua dan terbesar hingga saat ini sejak didirikan sesepuh di Solo pada 9 Februari 1946, dan bagi Hendri, memelihara, menjaga harkat dan martabat PWI adalah harga mati meskipun banyak organisasi yang lahir belakangan.

“PWI tidak boleh direndahkan, apalagi dipermalukan oleh organisasi kemarin sore, dalam kiprahnya di pentas dan khazanah jurnalisme dan jurnalistik Tanah Air,” tegas Hendri di halaman Masjid yang menjadi saksi sejarah kebesaran Kesultanan Melayu Deli.

Tentu itu hanya dapat terjadi kalau kita semua setiap saat, setiap waktu, mengawal positioning dan branding PWI.

Kalau mereka yang dipercaya mengurus PWI terus meningkatkan kompetensi, kualitas, dan pemahaman tentang profesionalisme wartawan.

Serta memahami aspirasi masyarakat, kondisi sosial politik bangsa dan negara, tantangan dan ancaman globalisme terhadap Indonesia, agar bangsa ini tetap kuat dan berdiri kokoh.

Terus meningkatkan rasa cinta Tanah Air, kebanggaan akan bangsanya yang besar pada seluruh anggota PWI. Kuncinya, pendidikan dan pelatihan yang terencana dan kontinyu.

Ketika PWI didirikan, keputusan terpenting dari kongres adalah mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia yang terancam karena nafsu besar Belanda yang ingin menjajah kembali Tanah Air tercinta dengan membonceng Sekutu.

PWI tidak bicara soal jurnalisme saja, karena pendiri PWI adalah penulis pejuang, orang yang terjun langsung di tengah pertempuran.

Posisi itu harus selalu diingat oleh anggota PWI dalam setiap detak jantungnya, dalam setiap ketukan tangannya di keyboard laptop ataupun ponsel, desah suaranya di mikrofon, atau pun tatapannya di depan lensa kamera.

Huruf I dari kata PWI adalah Indonesia, tidak lain. Bagi PWI menjaga dan memelihara harkat dan martabat bangsa adalah nomor satu.

Apalah artinya jurnalisme kalau itu hanya memuaskan nafsu kelompok, golongan, kepentingan, yang bertentangan dengan kehidupan bangsa?

Apalah artinya kita memproduksi karya jurnalistik yang mengoyak-ngoyak, meluluh-lantakkan, mempermalukan bangsa sendiri di hadapan bangsa-bangsa lain?

Anggota PWI wajib memahami kontrol sosial, mengetahui dan melakukan kontrol atas kekuasaan yang cenderung rusak (corrupt), tetapi kita ini Indonesia dengan nilai-nilai kearifan budaya yang tinggi, kita memiliki cara yang solutif, bukan destruktif.

Di tengah gelombang tsunami informasi yang membuat banyak anggota masyarakat terombang-ambing, kehadiran karya jurnalistik wartawan yang jelas ideologi dan profesionalismenya sangatlah penting.

Di sanalah PWI harus hadir, berperan, dan ikut menentukan arah dan masa depan bangsa. Berani bersikap, berani bersuara, berani diskusi dalam mencari jalan keluar, karena untuk itulah tujuan dari berdirinya PWI 77 tahun yang lalu.

PWI adalah salah satu tonggak yang berjuang habis-habisan mempertahankan eksistensi republik ini, dan peran itu harus tetap kita jaga, sebagai penghormatan kepada para pendiri PWI.

Tantangan PWI ke depan semakin berat karena anggotanya sebagian besar adalah wartawan cetak, meskipun sebagian besar sudah bermigrasi ke media siber, atau melakukan keduanya sekaligus.

Hidup tidak lagi mudah bagi media cetak karena perubahan perilaku masyarakat dalam mencari informasi, semakin tidak ramah dengan lingkungan dan gaya hidup generasi muda, dan tidak lagi dinilai penting oleh lembaga, perusahaan, yang ingin menampilkan produk ataupun citra diri.

Adalah kewajiban Persatuan Wartawan Indonesia juga untuk terus menerus melatih dan memfasilitasi anggotanya agar dapat beradaptasi, memiliki wawasan, pengetahuan bisnis apabila mereka hendak terjun ke usaha pers.

Dilakukan secara rutin di semua provinsi, disertai bimbingan dari para ahli atau praktisi yang sudah terbukti berhasil.

Kita hidup di dunia nyata betapa sulitnya menjalankan usaha pers, tetapi tentu anggota Persatuan Wartawan Indonesia harus tetap profesional dan teguh dalam etika.

Bendera PWI harus berkibar, kiprahnya terdengar, sikap dan gagasannya disegani di pentas nasional.

Itulah target saya apabila dipercaya menjadi Ketua Umum PWI Pusat dalam Kongres PWI 2023 nanti.

Jalan satu-satunya ke arah sana adalah terus melakukan pendidikan, pendidikan, pendidikan, motto yang konsisten dijalankan Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia periode 2008-2013, 2013-2018, Margiono almarhum melalui program Sekolah Jurnalisme Indonesia (SJI), Safari Jurnalistik, Uji Kompetensi Wartawan, dan lain-lain.

Kegiatan seperti ini patut dilakukan lagi dengan modifikasi sesuai dengan kondisi dan tantangan yang baru.

Persatuan Wartawan Indonesia Provinsi menjadi faktor sukses program-program pendidikan di atas karena dilibatkan, diajak diskusi, ikut memikirkan, bahkan berbagi tanggungjawab dalam pelaksanaan SJI.

Pusat dan daerah dalam satu irama untuk kemajuan organisasi. Sementara di Persatuan Wartawan Indonesia Pusat, para senior, para pakar dan spesialis, dibantu ahli-ahli, intelektual kampus, menggodok kurikulum, sesuai visi dan misi organisasi.

“PWI bisa dan mampu karena itu sudah terbukti. Saya yakin PWI ke depan juga akan mampu apabila program pelatihan merasuk ke dalam jiwa, hati nurani, segenap pengurus PWI.

Apalagi kalau semua potensi anggota Persatuan Wartawan Indonesia yang berkiprah di media-media nasional dan daerah, diajak memberi gagasan dan sumbangsihnya pada organisasi PWI. Bersatu kita teguh. Bersama kita bisa. Marilah memajukan PWI Pusat. Jayalah PWI,” pungkasnya.(*)

- Iklan -

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU