Seorang Nenek Harap Kapolri dan Kajati Periksa Penyidik Polda NTT Diduga Banyak Pelanggaran

Boleh jadi inilah perkara yang tercatat dalam sejarah Polri sebagai kasus pemalsuan paling lama diusut oleh penyidik Kepolisian di seantero tanah air .

NTT, FAJARPENDIDIKAN.co.id- Dan boleh jadi juga inilah satu satunya perkara yang sudah 2 kali masuk pengadilan negeri kupang dan bahkan akan menjadi tiga di sidangkankan di Pengadilan Negeri Kupang dalam perkara Praperadilan jika penyidik Polda NTT tidak mau menganulir surat penghentian penyidikan perkara ( SP3) nomor ST Tap/52 C/VIII/2021/Ditreskrimum tertanggal 31 Agustus 2021 yang ditandatangani oleh Kombes Pol Eko Widodo SIK .

Bahkan boleh jadi ,inilah satu satu nya kasus pemalsuan surat di Indonesia yang barang buktinya diperiksa dua kali oleh Pusat Laboratorium Forensik Polda Bali yang dilarang oleh Peraturan Kepala Kepolisian RI nomor 10 tahun 2009 .

Dengan demikian , kasus pemalsuan ini mengukir sejarah Polri dalam ketidak profesionalismenya bekerja sebagai aparat penegak hukum di tanah air untuk menengakkan keadilan dan kebenaran khususnya dalam bidang pemalsuan surat.

- Iklan -

Dan hal ini merupakan tantangan berat tim pembrantasan Mafia Tanah di Indonesia yang telah dibentuk oleh Kapolri atas perintah Presiden Jokowi. Disebut berat kali tim pembrantas Mafia tanah akan berhadapan dengan rekannya sesama baju coklat yang ada di Polda NTT jika kasus ini dibuka secara terang menderang .

Semua larangan dan pantangan yang tidak diperbolehkan oleh undang undang maupun Peraturan Kapolri untuk dilakukan oleh petugas penyidik Polri selama penanganan perkara pidana ini ternyata tidak dihiraukan oleh penyidik Polda NTT yang mengusutnya. Ambil contoh penyidik dilarang untuk membawa dua kali barang bukti yang sama ke Puslabfor demi pro Justitia sebagaimana tercantum dalam pasal 11 Peraturan Kapolri nomor 10 tahun 2009.

Tetapi kenyataannya penyidik Polda NTT dibawah pimpinan Kombes Pol Eko Widodo SIK, membawa dua kali barang bukti surat akte jual beli tanah yang diduga palsu untuk diperiksa secara pro Justitia sehingga akibatnya membawa hasil satu dengan lainnya saling bertentangan. Satu mengatakan hasilnya non identic dan satu lagi mengatakan identik.

- Iklan -

Dan Ketika pakar pidana Prof Dr Suhandi Cahaya SH MH, guru besar ilmu hukum pada beberapa universitas di Jakarta, memberikan kesaksian ahli yang dituangkan dalam berita acara pemeriksaan penyidik Polda NTT yang menyebutkan penyidik tidak boleh menggunakan hasil puslabfor polda Bali yang kedua karena menyalahi aturan, penyidik dibawah pimpinan Kombes Pol Eko Widodo SIK sang perwira menengah lulusan Perguruan Tinggil Ilmu Kepolisian tidak mau mengubrisnya.

Baca Juga:  Hilang Kendali, Minibus Masuk Jurang Sedalam 15 Meter

Hasil puslabfor Polda Bali yang kedua digunakan oleh penyidik untuk tidak dapat menyerat terlapor HC seorang pengusaha terkemuka di NTT sebagai pelaku pemalsuan. Sedangkan hasil puslabfor pertama menyebut telah terjadi pemalsuan surat sehingga tersangka harus dibawa ke Pengadilan untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya ,diabaikan untuk dilakukan oleh pimpinan Dirserse Polda NTT .

Dan hal yang sama juga di putuskan oleh persidangan Praperadilan Pengadilan Negeri Kupang nomor 08/Pid.pra/2019/PN kupang yang menyatakan, tersangka harus dibawa ke pengadilan untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya sebagai pemalsu surat akte jual beli.

- Iklan -

Tapi kenyataan ini juga tidak digubris oleh penyidik dibawah pimpinan Kombes Eko . Bahkan dengan pongahnya perwira menengah ini mengeluarkan surat SP3 tertanggal 31 Agustus 2021 dengan alasan bahwa berdasarkan putusan Pengadilan Praperadilan Pengadilan Kupang 23 maret 2021, tersangka harus dilepas dari status tersangka sehingga penyidikan kasus yang sudah berlangsung delapan tahun harus dihentikan .

Menurut Direktur Reserse Kriminal Umum Polda NTT Kombes Pol Eko Widodo SIK kepada keluarga nenek Siti Aisyah, perkara ini tidak dapat dilanjutkan penyelidikannya . Penghentian pengusutan perkara ini berdasarkan perintah pengadilan Negri Kupang dalam perkara permohonan praperadilan oleh HC yang terregister nomor 07/pid.pra/2021 /PN Kupang tertanggal 23 Maret 2021.

Salah satu contoh dugaan pelanggaran lainnya yang dilakukan oleh penyidik Polda NTT dibawah kepemimpinan Kombes Eko Widodo adalah memperkenankan HC membawa barang bukti surat akte jual beli tanah yang tidak bermeterai untuk diperiksa di puslabfor Bali.

Padahal dalam pasal 21 ayat 1 a Undang Undang nomor 10 tahun 2020 junto undang undang nomor 13 tahun 1985 tentang materai disebutkan ‘’larangan bagi pejabat yang berwenang dalam menjalankan tugas dan jabatannya, menerima ,mempertimbangkan atau menyimpan dokumen yang tidak bermeterai’’.

Baca Juga:  Kapolda Sulsel Pimpin Rapim Polri Tahun 2024

Pelanggaran ini dapat dikenai sangsi bagi pejabat yang melakukannya. Tapi hal ini diabadikan oleh penyidik Polda NTT, bahkan barang bukti yang tidak bermeterai ini dibawa ke Puslabfor Polda Bali untuk di periksa.

Kesalahan kesalahan yang dilakukan oleh penyidik Polda NTT membuat derita sang nenek Siti Aisyah ( 81 thn ) selaku pelapor yang sudah delapan tahun sejak 28 Nopember 2013 mengadukan nasibnya untuk memperoleh kepastian hukum atas adanya pemalsuan akte jual beli tanah miliknya di labuan bajo yang diduga dilakukan HC, menjadi bertambah Panjang.

Pada hal ia berharap sebelum dipanggil pulang ke hariban sang pencipta, ia bisa meninggalkan dunia ini dengan tenang dan dapat menyerahkan tanah miliknya kepada orang yang telah membelinya. Bukan seperti yang diperbuat oleh HC yang seolah olah menyebut dirinya sudah membeli tanah miliknya itu. ‘’ Itu semua bohong’’ katanya yakin jika kepadanya ditanyakan mengenai pernyataan HC yang menyebutkan dirinya sudah membeli tanah tersebut.

Untuk itulah ditengah deritanya, ia berharap agar pimpinan Polri Jenderal Pol Drs Listyo Sigit Prabowo mau membantunya dengan turun tangan memerintahkan tim Mafia Mabes Polri memeriksa penyidik Polda NTT yang ditenggarai telah banyak membuat kesalahan dalam mengusut laporannya.

Dan kepada pihak Kejaksaan Tinggi NTT diharapkan kepeduliannya untuk melaksanakan fungsi kontrolnya terhadap perkara ini yang sudah berlangsung delapan tahun?. Tidakkah ditengah pengusutan perkara ini dilaksanakan oleh penyidik Polri, pihak kejaksaan Tinggi telah diberitahukan proses pengusutannya.

Kenapa pihak kejaksaan Tinggi NTT membiarkan kasus ini terjadi seperti sekarang.?? Mungkinkah ini juga menjadi kelemahan Kejaksaan Tinggi NTT dalam mengawasi kinerja Polda NTT sehingga perkara yang sudah berlangsung delapan tahun bisa dihentikan begitu saja penyidikannya.

Penulis Upa Labuhari SH MH, Wartawan dan Pengacara di Jakarta

 

- Iklan -

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU