Bukan Pendosa

Ruangan dengan ukuran 11 meter dikali 12 meter persegi itu terlihat sepi. Seorang gadis yang duduk di salah satu kursi di sana menundukkan kepalanya, membuat wajahnya tenggelam dibalik lipatan lengannya. Hening, hanya ada suara desingan kipas angin yang berputar.

Suasana sunyi membuat gadis itu terbayangi oleh seluruh memori semasa 17 tahun hidupnya. Kepalanya merunduk dan semakin merunduk hingga akhirnya menyentuh meja. Perlahan, bekas-bekas air mata di baju lengan panjangnya tercipta.

Ia menangis. Lebih banyak kesalahan yang ia lakukan daripada kata maaf yang pernah ia ucapkan, bahkan terima kasih pun hampir nihil ia sematkan untuknya. Mengumpati diri sendiri, betapa besar kesalahannya, betapa bodoh dirinya, dan betapa menyedihkan ia saat ini.

- Iklan -

Malam itu, ia menjejakkan kaki ke dalam bar ternama. Membiarkan air-air memabukkan itu mengalir dalam kerongkongannya dan menjalar menguasai pikirannya, lantas menyelipkan sebatang rokok ke mulutnya. Menari di bawah gemerlap lampu dan musik yang memekakkan telinga.

Membiarkan tubuhnya menempel dengan orang asing untuk dicumbuinya. Ia benar-benar seorang pendosa. Dan sekarang, hatinya menyadari betapa menyesal dirinya. Ia telah mengecewakan seseorang yang selalu bersabar padanya, memberikan kepercayaan padanya, dan bahkan berkorban demi yang terbaik untuk dirinya.

Kesalahannya begitu besar dan sepertinya tak ada lagi asa untuk mendapatkan pengampunan. Kesabaran seseorang ada batasnya, kan?

- Iklan -

Pintu kayu yang menjadi batas antara ruangan tersebut dengan ruangan lainnya terbuka. Membiarkan sejumlah suara dari luar masuk ke dalam ruangan. Seorang wanita yang mengenakan pakaian serba hitam tertutup berdiri di ambang batas ruangan lainnya.

Matanya yang merah dan sembab sudah menunjukkan bahwa ia baru saja menangis. Perlahan, ia berusaha tegar untuk duduk di kursi seberang gadis itu. Ia melihat wajah gadis itu, wajah yang dulu pernah ia kecup, wajah yang sekarang lebih memilih untuk menyembunyikan diri darinya.

Memegang tangan putrinya, putrinya yang tengah dirundung rasa sebagai pendosa. Ia mulai memutus keheningan di antara mereka, “Kau mungkin memandang Ibu sebagai orang suci, baik, dan tak berdosa hingga sekarang.

- Iklan -

Tapi, setelah hari di mana Ibu mengizinkanmu keluar malam-malam tanpa bertanya kemana kau akan pergi−,” Ia mengambil jeda dalam kalimatnya. Lantas mengangkat wajah putrinya pelan agar netra mereka saling bertemu. Ia tersenyum dan melanjutkan kalimatnya. “−Perlu kau tahu, Nak. Ibu adalah pendosa mulai hari itu.”

Purworejo, 2021

Tentang Penulis:

Lyl Fyura.

Penulis : Dian Kalila Sumbogo

- Iklan -

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU