Cerita Indah di Sabtu Itu

Hai! Nama ku adalah Kabiyana Puspita yang akrab disapa Abi oleh Keluarga, saudara, maupun teman-teman ku. Aku, adalah seorang siswi yang kini menduduki bangku kelas 3 SMA Harapan yang letaknya di Kota Bekasi.

Ngomong-ngomong, hari ini aku sangat bahagia loh! Gimana engga!? Para Guru di sekolahku yang tiba-tiba saja mengadakan rapat dadakan, dan juga tidak adanya Guru piket yang memasuki kelas ku. Tetapi, tetap saja! Sang ketua kelasku yang bernama Jeya itu sangat rese karena mengunci pintu kelas dan menyembunyikan kunci itu, dari anak-anak kelas ku.

Sumpah! Ingin sekali rasanya aku mencaci maki nya esok hari, karena tadi aku tidak sempat bertemu dengannya, dan juga Jeya mempunyai alasan tidak menjaga kelas karena harus rapat dengan anggota OSIS lainnya di sekolah ku. Emang aku dan teman sekelas ku yang lain, adalah anak kecil yang harus dijaga?!

- Iklan -

Kini aku bersama sahabat ku yang bernama Jihan. Sedang berjalan pulang, setelah melewatkan drama pulang sekolah tadi. Jihan yang tidak ada berhenti nya mengoceh tentang drama di sekolah tadi, membuat ku semakin pusing. “Bisa diem ga si?” Tanyaku yang sudah pusing dengan omongan Jihan.

Jihan hanya terkikik dan langsung diam setelah aku menegur dan sedikit membantak nya. “Emmm, btw Bi. Besok kan sabtu ya? Nah kata Mamah gue bakal ada psikolog gratis gitu dari sekolah. Dan kata Mamah gue tadi pagi, orang tua wajib dateng tau!” Jihan sangat antusias menyampaikan hal yang dikatakan oleh Mamah nya tadi pagi.

“Ah, gue mau banget besok ajak Bunda sama Ayah kesana. Tapi, apa boleh buat? Bunda gue sibuk banget sama toko kue nya. Sedangkan Ayah gue lagi berjuang gitu buat menangin proyek yang lagi viral di kelas itu, loh!” Jihan yang mendengar kan penuturan ku, seraya menarik diriku ke dalam pelukan hangat nya. Kini Jihan menepuk pundak ku seraya berkata “Sabar ya, Abi ku sayang.” Aku sudah sangat hafal gerak-gerik tubuh Jihan, yang selalu menyemangati diriku.

- Iklan -

“Abiiii gue gatau rasanya gimana jadi lo, tapi gue tau hal itu berat banget buat lo! Apalagi lo anak satu-satunya yang ditinggal dari kecil karena kesibukan orang tua lo! Inget ya, Bi. Mamah gue itu, Mamah lo Juga. Jadi besok sabtu, Mamah gue bakalan dateng buat kita berdua!” Jihan lalu menggandeng tangan ku dan mengajak ku untuk pulang ke arah rumah nya.

  • ••

Malam harinya, ketika aku dan kedua orang tua ku yang kini sedang menikmati acara makan malam bersama, harus terpaksa berhenti karena notifikasi ponsel milik ayah ku sedari tadi berbunyi tanpa berhenti. “Bisa ga, kalo makan sama keluarga di silent dulu? Sebentar aja, Mas.” Bunda ku kini sudah jera dengan notifikasi itu. Ayah ku langsung menuruti perkataan Bunda ku.

“Abi. Cepat makannya ya, Nak. Habis ini ada beberapa hal yang harus di bicarakan.” Aku menoleh ke arah Bunda, lalu mengangguk menuruti perintah yang beliau katakan. Tak berselang lama, aku kini selesai memakan hidangan malam ini, dan beranjak ke arah ruang keluarga. Jujur saja, aku sangat deg deg an untuk mendengarkan perkataan yang akan di ucapkan oleh Bunda maupun Ayah ku nanti.

- Iklan -

“Mulai aja sekarang.” Kata Bunda ku yang berjalan beriringan bersama dengan Ayah ku. “Baiklah, here we go again.” Lontarku dalam hati. “Karena Ayah harus menangin proyek baru yang di Bandung, dan Bunda kamu yang harus mengurus cabang toko kue nya di kota yang sama seperti Ayah, maka kami berdua akan pergi sekitar seminggu. Kamu gapapa kan?” Tanya Ayah yang enggan duduk di kursi sofa bersama ku. Aku menangis dalam diam. Aku bingung harus menjawab apa.

“Ayah kamu itu nanya, Kabinaya Puspita. Bukan lagi ngedongeng.” Bunda mengeluarkan nada yang sangat jutek membuat ku diam dan tidak bisa berkutik. Aku menarik nafas dalam-dalam agar tidak menangis, tetapi tidak bisa! Air mata ku terus saja berkumpul di kantung mata ku.

“Kenapa harus nanya sama saya? Kalian setial hari juga ga pernah nanya atau ambil keputusan tanpa sepengetahuan saya, bukan?” Aku bersumpah di dalam batin ku, bahwa aku adalah anak yang sangat tidak tahu diri.

“Maksud kamu apa?” Tanya Ayah ku dengan nada tinggi. “Ayah. Besok pagi, tepat nya hari sabtu seluruh orang tua wali murid SMA HARAPAN disuruh mengikuti bimbingan psikolog. Ah tapi aku sadar diri, kalian sibuk dengan dunia kalian masing-masing, jadi silahkan saja. Aku tidak peduli. Aku ke kamar atas duluan. Maaf aku kurang ajar, tapi aku cape.

Selamat malam, semoga mimpi indah.” Aku yang tak tahan untuk menetaskan air mata sedari aku berbicara kepada kedua orang tua ku. Kini menangis sekencang-kencangnya di kamar milik ku. Tak peduli jika kedua orang tua ku mendengar suara tangisan putri nya ini atau tidak. Aku hanya butuh waktu untuk menangis. “Abi,lo udah jadi anak yang durhaka mulai detik ini.” Kini, aku kembali menangis dengan suara.

••

Pagi harinya, aku bersama Jihan bergegas untuk mengisi formulir pendaftaran yang akan mengikuti tes mental di akhir acara nanti. Untuk informasi saja, Tes mental di lakukan di ruang yang sangat tertutup karena kebijakan dari pihak sekolah yang sangat menghargai masalah pribadi para siswa dan siswi nya. Dengan senyuman yang kini aku tampilkan kepada dunia, aku menandatangani formulir itu tanpa persetujuan kedua orang tua ku.

“Yakin, gamau hubungin Ayah sama Bunda lo lagi? Kan mereka harus tau, Abi.” Aku hanya tersenyum lalu menggeleng dengan pertanyaan Jihan. Kini aku dan Jihan mengumpulkan formulir itu lalu mencari tempat duduk sembari menikmati acara ini.

“Eh! Ada neng Abi yang geulis kaya artis luaran, ini! Kumaha damang, Bi?” Aku menoleh lalu tersenyum kearah seseorang yang menyapa ku. Itu adalah Haidar. Teman seangkatan ku, yang kini telah kembali dari kota kelahirannya, yaitu Bandung. “Sehat, Dar. Kapan balik?” Tanya ku yang membuat Haidar kini duduk di sebelah ku. “Malem tadi.

Tadinya juga aing teu nyaho ada beginian tau, Bi. Cape juga perjalanan nya lama, tapi karena kata Bitzar ada Jihan yauda kesini. Eh Jihan nya Idar pinjem dulu ya, Bi. Nanti dibalikin hehehe makasih, Abi!” Kata Haidar lalu menarik Jihan yang membuat Jihan meronta-ronta ingin memaki ku karena aku menertawakan nya.

Tak berselang lama Jihan dan Haidar pergi. Kini, aku melihat Biztar yang memberikan informasi kepada Haidar tadi, tengah menghampiri ku dengan beberapa kertas formulir di kedua tangannya. “Abi. Yang ke ruang psikolog lo duluan. Soalnya paling deket sama ruangan nya, cuma lo doang.” Kata Bitzar yang membuat aku mengangguk menuruti apa katanya, dan mengikuti dirinya sedari belakang.

  • ••

Sunyi, sepi, tenang, damai, tidak banyak orang, dan juga suhu udara yang normal membuat diriku sedikit gugup untuk menceritakan apa masalah ku kepada Psikolog nanti. “Santai aja ya, Bi. Jangan dibawa tegang karena psikolog nya baik baik semua.

Gue awasin lo dari belakang ya. Semangat Abi! Jangan lupa atur pernafasan nya.” Kata-kata Bitzar barusan, membuat ku kini mengangguk semangat dan tersenyum. Kini, sudah saatnya aku masuk kedalam ruangan yang aku nantikan sedari tadi malam.

“Kabinaya Puspita ya? Langsung duduk aja ya.” Aku terdiam. Jujur saja, aku terkejut karena sang psikolog itu menebak tepat namaku. Tanpa aku sadari, dirinya terkekeh lalu menarik tangan ku untuk duduk di depan nya. “Jangan tegang.

Nama saya Hazel, kamu bisa panggil saya Ka Hazel karena umur kita ga beda jauh. Atur pernafasan kamu, lalu ceritakan ya.” Kata kak Hazel yang baru saja memperkenalkan dirinya. Aku mengangguk kembali lalu menarik nafas dan mulai menceritakan masalah ku padanya.

“Bunda dan Ayah ku itu workaholic, Ka. Aku gatau lagi harus ngomong apa sama mereka. Aku lebih baik tinggal sama nenek karena kalau begini terus, aku bisa gila ka. Aku cuma mau, seengaknya setiap hari libur mereka tuh ada di rumah.

Bunda punya banyak pegawai, dan Ayah bisa ngerjain pekerjaan nya dirumah bukan? Aku capek kak. Capek banget. Sehari libur ga bikin keluarga ku kehabisan banyak uang. Ka, apa aku harus sakit biar mereka peduli ya?” Air mata ku kini mengalir deras tanpa aba-aba dan Ka Hazel memeluk ku erat. Aku tahu, disana terdapat Bitzar yang masih diam menunggu aku keluar dari dalam ruangan dan mendengarkan keluh kesah ku.

“Hei, Jangan pernah Abi ngelakuin hal yang ngebuat Abi bakal benci diri sendiri di suatu hari nanti, ya? Abi itu adalah salah satu ciptaan Tuhan yang ngebuat Kaka bahkan orang-orang yang mengenal mu bangga, karena kamu udah mau bertahan, sampai detik ini.” Ka Hazel membuat ku terisak sekarang. Tak berselang lama ka Hazel mengatakan itu.

“Sekarang, coba Abi pikirkan apa yang akan terjadi sewaktu Abi sakit? Abi. Tuhan itu ga tidur. Tuhan itu bakal ngebantu hamba nya untuk di buka kan pintu hatinya menjadi lebih baik lagi. Orang tua Abi, begini karena mereka baru sempat mengejar cita-cita nya sekarang.” Ka Hazel kini mengusap kedua pipiku dengan lembut.

Selembut Bunda di waktu dulu, ketika aku menangis. “Orang tua Abi itu, hanya lupa dengan cara bahagia dalam kesederhanaan. Bukan lupa bagaimana mereka mengurus anaknya ini. Abi, ga semua orang tau sumber kebahagiaan mereka dari mana, bukan? Dan Orang tua Abi, di sini ga tau kalo sumber kebahagiaan Mereka itu, adalah Abi. Anak nya sendiri.” Kata Kak Hazel kembali.

Tak berselang lama pula aku terisak karena kata-kata ka Hazel yang membuat ku menjadi berantakan. Entah itu senang maupun sedih. Kedua orang yang tanpa permisi masuk ke dalam ruangan konsultasi, lalu menarik ku ke dalam dekapan nya, sekencang mungkin. “Maafin Bunda, Nak. Maafin Bunda.” Itu, ialah sosok yang melahirkan, dan merawat ku hingga detik ini.

Dan juga sosok lelaki yang membuat ku mengenal apa itu dunia, ketika pertama kali aku dilahirkan ke dunia ini. Ayah ku, dan Bunda ku kini sudah datang ke acara yang sangat aku nantikan. “Bunda dan Ayah janji. Bakalan sempatin waktu buat Abi, dan kita liburan bareng. ” Kata Ayah membuat aku melihat mata nya dan berbinar.

Terimakasih ka Hazel. Terimakasih banyak.

 

Sebuah karya cerpen berjudul ‘CERITA INDAH DI SABTU INI’ oleh Talitha Azzahra.

- Iklan -

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU