Kendala Pendidikan Dalam Menyongsong Smart Society 5.0

Penulis : Dewi Khulasoh

Di Era Society 5.0, kebutuhan dasar bukan hanya papan, pangan, sandang tapi juga pendidikan. Sebab, pendidikan juga berperan penting dalam menyongsong Smart Society 5.0. Meski begitu, pendidikan di Indonesia bisa dibilang masih memprihatinkan.

Berdasarkan data yang dipublikasi oleh World Population Review, pada tahun 2021 Indonesia menduduki peringkat ke-54 dari total 78 negara yang masuk dalam pemeringkatan tingkat pendidikan dunia. Berdasarkan survei Program for International Student Assesment (PISA) pada 2019, Indonesia menempati peringkat 62 dari 70 negara, atau merupakan 10 negara terbawah. Padahal, biaya yang digunakan untuk memajukan pendidikan di Indonesia mencapai Rp.542 Triliun atau 20% dari anggaran negara (APBN 2022).

Tapi mengapa pendidikan di Indonesia belum maju juga? Berbagai akar masalah diantaranya yaitu, sistem pendidikan massal yang membuat standar pada semua murid di waktu yang sama, mematikan nalar berpikir kritis, mengutamakan nilai, menyeragamkan kemampuan di waktu yang sama, menghilangkan jati diri dan keunikan setiap murid, standar terlalu tinggi, kualitas guru yang kurang memenuhi standar dan masih banyak lagi.

- Iklan -

Namun, saat ini akar paling utama dari beribu akar masalah pendidikan di Indonesia yaitu, kemampuan mengajar guru. Berdasarkan hasil rata-rata Uji Kompetensi Guru (UKG) tahun 2020, Mendikbud Anies Baswedan menyebutkan rata-rata nilai UKG nasional ialah 53,02, sedangkan pemerintah menargetkan rata-rata nilai di angka 55. Selain itu, rata-rata nilai profesional 54,77, sementara nilai rata-rata kompetensi pendagogik 48,94.

Guru yang memiliki kompetensi di atas rata-rata atau lulus UKG dengan nilai minimal 80 tidak lebih dari 30%. Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia 2021, Unifah Rosyidi mengungkapkan guru adalah bagian dari ekosistem pendidikan. Jadi, untuk meningkatkan kualitas pendidikan, tidak bisa hanya dibebankan pada guru saja. Sebab, sosok guru yang dibutuhkan murid sekarang adalah guru yang dapat mendorong muridnya untuk belajar mandiri.

Ketika Kepala Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memberi kabar melegakan bahwa fase akut Pandemi Covid-19 berakhir pertengahan tahun 2022 ini, bukan berarti Pandemi Covid-

- Iklan -

19 berakhir sepenuhnya. Mengingat pada akhir tahun 2019 dilakukan PPKM yang mewajibkan pembelajaran tatap muka ditunda dengan diganti melalui belajar online di rumah. Membahas mengenai pembelajaran tersebut, semakin banyak lagi kendala menuju pendidikan berkualitas. Salah satu dari berbagai kendalanya adalah arah pembelajaran yang kurang jelas. Contohnya, pada saat guru yang menggunakan aplikasi whatsapp masuk ke jam pelajarannya lalu memberikan tugas saja tanpa memberikan sedikitpun penjelasan mengenai hal yang bersangkutan.

Hal itu membuat semua muridnya kebingungan dalam memperdalam serta mempelajari materi yang didapatnya. Kemudian tiba-tiba pada tahun 2022 sekolah sudah diperbolehkan melakukan pembelajaran tatap muka. Namun banyak murid yang masih asing dengan lingkungannya, hal ini menjadikan kendala besar pembelajaran pasca-pandemi.

Dampak dari pembelajaran pasca-pandemi ini mengarah kepada keaktifan dan kepercayaan diri pelajar Indonesia yang mulai memudar. Contohnya, pada saat guru selesai menjelaskan kemudian beralih bertanya kepada para murid mengenai bagian yang kurang jelas atau tidak

- Iklan -

dapat dipahami, kelas menjadi hening, sepi, dan canggung. Hal ini juga merupakan salah satu kendala terbesar dalam usaha peningkatan kualitas pendidikan oleh pemerintah. Menurut Walsh (2011), faktor penyebab siswa tidak mau bertanya antara lain karena siswa tidak peduli dengan materi, menganggap materi tidak mutakhir, takut dianggap bodoh, guru yang tidak memberi waktu untuk bertanya, anggapan bahwa pembelajaran adalah tugas guru, sehingga murid tidak perlu susah payah menyusun pertanyaan.

Lain halnya dengan Sukasains (2011) yang mengungkapkan 6 alasan yang membuat siswa tidak berani bertanya antara lain karena takut ditertawakan teman lain dan dianggap bodoh, takut disuruh maju menyelesaikan soal yang ditanyakan ke depan kelas oleh guru, takut jika diminta menjelaskan ulang materi yang baru saja disampaikan oleh guru, takut didakwa tidak membaca materi pelajaran atau kurang memperhatikan guru saat pelajaran berlangsung sehingga sama sekali tidak paham materi, bingung cara penyampaiannya atau tidak dapat menyusun kalimat dengan baik, dan kadang ada guru yang justru malah marah ketika siswa bertanya. Dari sekian pendapat, dapat ditarik benang merah bahwa sebagian besar alasan yang timbul pada diri siswa karena adanya ketakutan mengenai banyak hal yang belum pasti akan terjadi namun sudah dijadikan mindset dalam setiap alur pembelajarannya.

Memudarnya kepercayaan diri pada siswa juga dapat disebabkan oleh sikap para guru yang memberikan rasa kurang nyaman saat pembelajaran. Banyak kasus memudarnya keberanian siswa yang diakibatkan oleh guru antara lain, guru cenderung underestimate, guru yang memukul rata kemampuan muridnya, cenderung mementingkan nilai tanpa melihat proses dalam memperoleh nilai, memarahi muridnya ketika tidak sesuai dengan perintahnya, mengabaikan kemampuan non-akademik, dan hal lain yang menjatuhkan rasa percaya diri muridnya.

Terdapat suatu ungkapan yang beredar yaitu Pelajar Asia itu lebih pasif dibandingkan pelajar barat (Heng, 2017; Chalmers & Violet, 1997). Ungkapan ini memperjelas fakta bahwa pelajar barat lebih mementingkan kemandirian dibandingkan pelajar asia yang mementingkan kehormatan terhadap lingkungan pembelajaran. Maka dari itu, supaya dapat memberikan efek lingkungan yang nyaman ketika pembelajaran guru perlu mengerahkan seluruh kreativitasnya. Menurut KBBI, arti kreatif adalah mempunyai daya cipta atau mempunyai kemampuan menciptakan.

Dalam pengertian luas, kreatif merupakan aktivitas untuk memunculkan suatu inovasi baru dalam sebuah situasi yang memberikan nuansa berbeda dari yang pernah diketahui. Pendapat ini didukung oleh Rahmawati (2012), yang menyatakan bahwa untuk mendukung kreativitas anak perlu diciptakan suasana yang menjamin terpeliharanya kebebasan psikologis, dimana untuk anak usia prasekolah akan memiliki kreativitas alamiah bila tampak dari perilaku mereka yang sering bertanya.

Namun, kendala dalam mengajukan pertanyaan juga didapat dari masalah keberanian hati para murid untuk mengangkat tangan atau kemampuan memilih kata yang tepat dan mengemasnya dalam bentuk kalimat yang akademis, atau bahkan memilih timing yang tepat. Keberanian mengangkat tangan kadang menantang adrenalin untuk berani menjadi fokus perhatian di antara siswa yang lain dan tidak takut dicemooh. Tidak semua orang yang memiliki keberanian menjadi pusat perhatian karena dibutuhkan motivasi yang tinggi dan

semangat belajar yang berkobar. Bahkan ada relevansi yang signifikan antara orang yang percaya diri dan orang yang berani bertanya. Untuk itu dalam Quantum Learning (De Porter,1999) sangat melarang guru menyalahkan atau mengejek siswa yang berani bertanya, tetapi harus tetap dihargai dan diapresiasi.

Maka dari itu, mengingat kepercayaan diri pelajar pasca-pandemi yang mulai memudar dalam pembelajaran yang sangat penting bagi pertumbuhan pendidikan berkualitas Indonesia. Akan lebih baik apabila para guru untuk menciptakan suasana pembelajaran dengan kemampuan kreativitasnya masing-masing dan menyesuaikan dengan keadaan pada setiap kelas yang berbeda.

Tentu hal ini tidak luput dari usaha para pelajar sendiri. Sesuai dengan beberapa pernyataan dari Fajar Media Pendidikan yang menyatakan bahwa generasi muda merupakan benih masa depan bangsa, yang kemudian menjadi tombak perubahan maupun kemajuan bangsa mendatang. Sebagai pelajar yang menjadi harapan bangsa dalam menyongsong Smart Society 5.0, juga harus ikut serta dalam mengurangi berbagai kendala yang dihadapi bangsa dalalm memajukan pendidikan di Indonesia.

Dengan mengumpulkan kembali semangat belajar dan berani bertanya dalam segala keadaan yang kurang dapat dipahami. Agar dapat dijadikan persiapan untuk zaman mendatang dalam menghadapi teknologi yang terus berkembang. Oleh karena itu, pendidikan harus diperjuangkan karena merupakan sebuah kunci kesuksesan. Hanya dengan kesuksesan kita dapat melakukan hal untuk bangsa dan berbakti kepada setiap pahlawan yang telah bersusah payah memerdekakan Indonesia. Untuk itu para pelajar harus mengembalikan semangat belajar yang kuat untuk dapat menyerap setiap pelajaran yang ada pada kehidupan kita juga pada saat di sekolah.

Semuanya diawali dari diri kita sendiri yang menganggap pendidikan merupakan hal yang sangat penting untuk masa depan. Kemudian melestarikan budaya membaca. Serta tidak lupa untuk menghargai proses belajar dan membuang cara curang dalam menghadapi ujian, karena pada akhirnya yang pelajar butuhkan bukan nilai tapi rasa ingin tahu dalam belajar, keberanian dalam bertanya. Memang kedengaran rumit, tapi ini adalah upaya agar anak bangsa dari sabang sampai merauke dapat berguna bagi bangsa.

Dan sisanya adalah usaha yang dibuat oleh pemerintah sendiri dalam merombak sistem pendidikan di Indonesia dengan membuat kurikulum sesuai kemampuan minat dan bakat masing-masing anak, dalam melatih kemampuan guru agar memiliki banyak kreativitas mengajar, serta memberi potensi kepada para pelajar Indonesia sendiri.

- Iklan -

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU