Memesona

“Tehh Milaaa! Kami mau baca bukuu!”

Sedari tadi, jari-jariku mencoba menyeimbangi imaji yang memberontak ingin dituangkan dalam untaian kata. Paduan suara anak-anak itu membuatku berhenti sejenak, segera membuka gerbang rumah. Ahh, imaji liar ini bisa menunggu kapan saja. Tetapi anak- anak yang sedang bertumbuh kembang itu lebih penting.

Segera aku persilakan mereka duduk di mana saja, dalam teras rumah. Ayah membantu dengan membawakan kotak-kotak besar berisi penuh buku. Wajah anak-anak itu sumringah, tak sabar bagai hidangan enak di saji depannya.

- Iklan -

Dengan tertib mereka memilih buku. Sementara anak-anak yang hanya bisa melihat huruf-huruf tanpa tahu artinya, dengan binar polos itu menuntutku untuk melakukan seperti biasanya.

Hari ini aku sudah siapkan, sebuah cerita tentang perahu yang berbalik menjadi gunung besar dan desa yang tenggelam akibat kesombongan. Anak-anak penuh semangat itu mendengarkan dengan seksama.

Aku tersenyum lega ketika selesai bertutur dan mendapat tawa dan tepukan mereka. Tapi yang lebih ku harap, adalah mereka dapat memetik buahnya dengan baik dan melestarikan cerita Indonesia itu.

- Iklan -

Dahulu ada seorang wanita yang bukan pendongeng tapi suka bercerita di setiap malamku. Ia pernah berkata; bahwa para pendongeng adalah pecinta negeri sejati. Pedulinya membuat negeri mereka abadi. Menurutku, para pendongeng itu juga dicintai oleh negerinya.

***

“Kalau caranya seperti itu, apa bisa mereka mengerti?” tanyaku penasaran. “Tesampaikan atau tidak, teruslah dengan jalanmu. Teruntuk yang kamu tuju, jangan

- Iklan -

berharap dibalas. Tapi lakukan karena kamu tulus. Cinta itu tidak bisa diukur dengan satuan manapun. Ia hanya bisa dibagi dan dirasa. Membagikannya indah. Dirasanya bahagia,” Ia menjawab disertai senyum miliknya yang paling indah.

***

- Iklan -

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU