Sebuah Pengakuan

“Dik, ini ada apa?” tanya Mbak Rani dengan suara panik.

Roni yang menggunakan kemeja biru lengan panjang, celana panjang hitam, dan membawa tas kerja terlihat panik memasuki rumah. Didorongnya pintu yang tidak terkunci dan berlari kecil mencari keberadaan Mbak Rani yang ternyata sedang berada di dapur.

Ketika melihat Mbak Rani, Roni langsung memeluknya sambil menangis. Mbak Rani heran dengan tingkah laku Roni. Tidak biasanya seperti ini. Apalagi sudah hampir tiga bulan mereka jarang berkabar. Roni memilih mengontrak dekat kantornya.

“Dik, ini ada apa?” tanya Mbak Rani dengan suara panik.

- Iklan -

“Maafkan, saya Mbak. Saya kena masalah di kantor,” kata Roni. Mbak Rani langsung kaget.

“Masalah apa?” tanyanya dengan suara semakin panik. “Masalah utang, Mbak,” katanya dengan menangis.

Mbak Rani mulai menenangkan Roni. Dia berusaha untuk mengendalikan kepanikannya untuk mendengarkan cerita Roni terlebih dahulu. Roni lalu menceritakan masalahnya.

- Iklan -

Ternyata Ibu Santi, bosnya Roni di perusahaan travel, sedang mengejar Roni. Rencananya sore ini mereka akan datang ke rumah untuk meminta pertanggungjawaban. Menurut pengakuan Roni, seminggu yang lalu dia kena hipnotis di halte bus Trans Jakarta sepulang kerja.

Tiba-tiba ada seorang laki-laki bersama seorang perempuan datang menepuk pundaknya dan menyapanya. Roni langsung mengobrol dengan kedua orang tersebut. Sampai akhirnya, Roni mengajak mereka ke sebuah ATM terdekat dan menarik sejumlah uang untuk mereka. Roni juga memberikan sejumlah uang yang ada di tasnya yang merupakan uang pelanggan kantor travel mereka.

Mbak Rani yang mendengar hal tersebut langsung syok. Dia tidak habis pikir penyebab Roni harus mengalami masalah nahas ini. Uang kantor sekitar 50 juta yang disebutkan Roni bukan uang yang sedikit.

- Iklan -

“Mbak, bisa bantu Roni tidak membayarnya?” tanya Roni dengan wajah memelas.
“Dik, Mbak tidak punya duit segitu. Apalagi sekarang, Ayu lagi butuh banyak duit untuk masuk kuliah. Adik tahu sendiri kalau Mas Marwan lagi tidak ada kerjaan. Pekerjaannya tidak tetap sebagai broker tanah,” jelas Mbak Rani dengan nada sedikit tinggi.

Mbak Rani terus berpikir. Mungkin Mas Marwan bisa membantu mencarikan pinjaman uang atau Mas Marwan masih punya tabungan segitu. Namun, hal itu tidak mungkin karena saat pembayaran les bahasa Inggris Ayu, Mas Marwan harus menggadaikan gelang emas milik Mbak Rani.

Mbak Rani lalu menyuruh Roni untuk tenang. Dia mengajaknya ke ruang makan untuk minum dan duduk. Sejujurnya, Mbak Rani yang paling syok akan apa yang dialami adiknya.

“Mengapa Roni bisa punya utang sebanyak itu? Apakah benar dia kena hipnotis? Lalu, mengapa dia baru mengatakan sekarang?” guman Mbak Rani di dalam hatinya.

Roni yang telah meneguk air hangat terlihat belum tenang. Mbak Rani kemudian mencoba masuk ke kamar menemui Mas Marwan. Roni berharap Mas Marwan bisa menolongnya agar terbebas dari utang kantor. Tiba-tiba ponsel Roni berbunyi.

“Halo, Dimas. Jangan telepon sekarang. Saya lagi di rumah Mbak Rani. Orang kantor akan datang ke rumah sore ini. Semoga Mas Marwan bisa menolong masalah kita,” kata Roni. Tanpa berkata panjang lebar, Roni kemudian menutup ponselnya.

Akhirnya, Mbak Rani dan Mas Marwan keluar dari kamar. Roni segera menunduk ketika Mas Marwan menatapnya tajam seolah-olah ingin menerkamnya.

“Roni, apa yang kamu lakukan di kantor? Mengapa kamu terlilit utang?” tanya Mas Marwan dengan dingin.

Mendengar pertanyaan Mas Marwan membuat jantung Roni berdegup kencang. Mbak Rani hanya bisa diam.

“Sa…ya kena hipnotis seminggu yang lalu,” jawab Roni dengan kaku.
“Hipnotis? Gila kamu! Mana ada orang dihipnotis sadar jika terhipnotis?” tanya Mas Marwan dengan nada suara meninggi.

- Iklan -

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU