Meneladani Nabi Ibrahim AS dan Keluarganya Sebagai Idola

Drs KH Syarifuddin Mahfudz MSi

Setiap kali merayakan Idul Adha, tentu kita tidak boleh melupakan sejarah Nabi Ibrahim as dan keluarganya, yang banyak diabadikan Al Qur’an. Bahkan menurut Al Qur’an Ibrahim as dan keluarganya merupakan Uswatun Hasanah (teladan yang baik) bagi kita, sebagaimana Nabi Muhammad saw.

FirmanNya dalam surat Al Mumtahanah (60):4 sbb :

قَدْ كأَنَتْ لَكُمْ اَسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِيْ اِبْراَهِيْمَ وِالَّذِيْنَ مَعَهُ

- Iklan -

“Dan sesungguhnya telah terdapat teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya “.

Paling tidak ada enam uswah hasanah yang dapat kita teladani dari Ibrahim dan keluarganya.

Khusnudh dhan atau baik sangka.

Yakni bersangka baik kepada Allah swt, baik di kala senang atau di kala susah. Perhatikan bagaimana Ibrahim diperintahkan Allah swt untuk menempatkan Siti Hajar istrinya dan Ismail anaknya yang masih bayi di lembah gurun yang gersang, tidak ada air tidak ada tumbuhan, bahkan belum ada penduduknya, di negeri asing yang jauh, yakni Bakkah . Namun baik Ibrahim maupun istrinya , menerima perintah Allah itu dengan ikhlas dan khusnudh dhan. Tidak ada rasa takut atau khawatir, tidak terbersit keinginan untuk membangkang terhadap perintahNya.

- Iklan -

Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak akan selalu mendapat nikmat yang menyenangkan, namun seringkali musibah yang menyusahkanpun datang silih berganti. Apakah berupa penyakit, kekurangan harta, kehilangan pekerjaan dll.

Hendaknya sebagai Muslim kita harus husnudzh dhan, berbaik sangka ke Hadirat Allah swt. Yakin bahwa apapun yang menimpa kita, hakekatnya adalah ujian dari Allah swt dan pasti ada hikmah bermanfaat untuk kehidupan kita selanjutnya.

Optimis.

Karena selalu berbaik sangka, maka sikapnya selalu optimis, tidak pernah putus asa. Lihatlah, walau Siti Hajar hidup terasing di tanah tandus tanpa air, beliau selalu optimis bahwa pertolongan Allah swt pasti datang. Begitu pula Ibrahim yang telah kembali ke negeri asalnya , Palestina. Beliau berdoa sebagaimana diceritakan dalam FirmanNya surat Ibrahim (14):37 sbb :

- Iklan -

رَ
بَّناَ اِنِّيْ اَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِيْ بِواَدٍ غَيْرِ ذيْ زَرْعٍ عنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّناَ لِيُقِيْمُواْ الصلاَةَ فاَجْعَلْ اَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِيْ اِلَيْهِمْ وارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَراَتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُوْن

“ Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rizkilah mereka buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur “.

Sdrku, memang optimisme merupakan salah satu karakteristik ajaran Islam. Ajaran tentang ikhlas, syukur, tawakkal, taubat dan lain-lain sarat dengan nilai-nilai optimisme tersebut. Seorang Muslim pantang punya sikap pesimis, apalagi putus asa. Putus asa adalah dosa.

Ikhtiar atau usaha.

Baik sangka dan optimisme saja tidak cukup, tetapi harus dibarengi dengan usaha yang maksimal dan sungguh-sungguh. Setelah ditinggal Ibrahim, Siti Hajar tidak hanya berpangku tangan menangisi nasib. Tetapi beliau berusaha dengan keras. Berlari-lari bolak balik dari bukit Shafa ke bukit Marwah bahkan sampai tujuh kali, dalam usahanya untuk mendapatkan air, guna memenuhi kebutuhannya dan putranya. Dan kita tahu usahanya mendapatkan hasil yang spektakuler, tidak saja bermanfaat bagi mereka berdua , tetapi juga buat orang lain, sehingga setelah itu pendudukpun berdatangan.

Baca Juga:  Puasa dan Anak

Bahkan jutaan manusia di seluruh penjuru dunia merasakan manfaatnya, dengan meminum air sumur zamzam, yang tidak pernah berhenti mengalir. Usaha beliau diabadikan dalam Sa’i yang termasuk wajib dalam ibadah haji. Sa’i sendiri secara etimologis artinya usaha. Ingat beliau lari bolak balik tujuh kali. Maknanya adalah. Usaha itu tidak cukup hanya satu,dua atau tiga kali. Tujuh kali Saudara !!

Taat dan konsekwen

Ibrahim as sepanjang hayatnya, sejak usia muda hingga manula senantiasa taat kepada Allah swt, dan selalu konsekwen memelihara idealisme yang diyakininya.

Dalam surat Al Anbiya (21):52-71 diceritakan bagaimana Ibrahim muda berdialog meyakinkan kaumnya, bahwa perbuatan mereka menyembah berhala adalah perbuatan yang bodoh. Bagaimana mungkin mereka menyembah berhala yang tidak bisa memberi manfaat atau madhorot kepada mereka sedikitpun. Bahkan bicara saja tidak bisa. Yakni ketika Ibrahim menyuruh mereka bertanya kepada berhala yang paling besar, yang tidak beliau hancurkan., siapakah yang telah menghancurkan berhala-berhala yang lain.

Idealisme dan ketaatan kepada Allah swt tsb senantiasa melekat pada diri beliau hingga usia manula, bahkan tentu saja hingga wafatnya. Kita tahu bahwa perintah mengorbankan Ismail itu ketika beliau sudah berusia lanjut, karena Ismail dan kemudian Ishak lahir pada usia beliau yang sudah lanjut.

FirmanNya dalam surat Ibrahim n(14){39 sbb :

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الّذِيْ وَهَبَ لِيْ عَلَ الْكِبَرِ اِسْماَعِيْلَ وَاِسْحَاقَ اِنّ رَبَّيْ لَسَمِيْعُ الدُّعاَعْ

“Segala puji bagi Allah yang telah menganugrahkan kepadaku di hari tuaku Ismail dan Ishak , sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Mendengar doa “.

Ketaatan kepada Allah dan konsistensi nilai-nilai idealisme inilah yang seyogyanya kita teladani ketika kita merayakan Idul Adha. Sebab tidak jarang di antara kaum Muslimin, ada orang yang menggebu-gebu idealismenya di kala muda , jadi aktifis yang idealis, lantang menentang ketidak adilan. Namun giliran mereka tampil memegang kekuasaan, ibarat mereka lupa kacang akan kulitnya. Kadang perilaku mereka lebih “angot” dari orang yang mereka kritisi sebelumnya.

Kelima : membangun suasana dialog dalam rumah tangga.
FirmanNya dalam surat Ah Shaaffat (37):102 sbb :

فَلمَّا بَلَغَ مَعَهُ اللسعْيَ قاَلَ ياَ بُنَيَّ اِنِّيْ اَرَى فيِ الْمَناَمِ اَنّييْ اَذْبَحُك فاَنْظرْ ماذاَ ترى قاَلَ يااَ ابَتِ افْعَلْ
ماَ تؤْمَرُ سَتَجِدني ان شاء الله من
الصابرين

“Maka ketika anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama Ibrahim, Ibrahim berkata :” Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka fikirkan lah apa pendapatmu ? Ia menjawab :

Baca Juga:  Puasa 6 Hari di Bulan Syawal, Sebuah Indikator

” Hai bapakku kerjakanlah apa yang telah diperintahkan kepadamu, in syaa Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar “.

Ada dua hal indah dalam ayat tersebut

  1. Kata panggilan Ibrahim kpd Ismail dg Yaa Bunayya, bukan Ya Ibni, ini istilah Arab sangat indah yg tdk ada padanannya dlm bhs Indonesia. Yah kira2 wahai anakku tersayang.
    Lalu panggilan Ismail kpd ayahnya dg Yaa abati bukan yaa abi, wahai ayahanda tersayang.
  2. Kalimat “aku melihat dlm tidurku bahwa aku menyembelihmu, bagaimana pendapatmu ? Ini dialog sangat demokratis yg tidak memaksakan kehendak walaupun terhadap anak sendiri. Lalu dijawab Ismail dg indah pula “ Ayahanda tersayang kerjakanlah apa yg diperintahkan, in syaa Allah ayahanda akan mendapatiku termasuk orang yg sabar.

Sodaraku, marilah kita berintrospeksi sudahkah suasana dialog seperti ini kita terapkan dalam rumah tangga kita ? Sebagai pemimpin rumah tangga sudahkah kita berdialog dengan istri dan anak kita ? Meminta dan menghargai pendapat mereka ? Atau hanya instruksi dan instruksi saja yang kita lakukan?

Mempunyai kepekaan hati dan ketajaman fikiran.

Dalam ayat 102 surat Ash Shafat tersebut Ibrahim tidak menyatakan secara langsung bahwa beliau akan menyembelih Ismail.

Beliau berkata “ YAA BUNAYYA INNII AROO FIL MANAAMI ANNI ADZBAHUKA, FANDHUR MAADZAA TAROO = WAHAI ANAKKU SESUNGGUHNYA AKU MELIHAT DALAM MIMPI, BAHWA AKU MENYEMBELIHMU, MAKA FIKIRKANLAH PENDAPATMU “. Ismail menjawab YAA ABATIF’AL MAA TU-MARUU, SATAJIDUNII IN SYAA ALLAHU MINASH SHAABIRIIN = WAHAI AYAHANDAKU KERJAKANLAH APA YANG DIPERINTAHKAN KEPADAMU IN SYAA ALLAH AYAH AKAN MENDAPATIKU TERMASUK ORANG-ORANG YANG SABAR “.

Saudaraku, kepekan seperti ini rasanya sudah hilang setidaknya dari sebagian kita. Banyak di antara kita tidak mampu lagi menangkap isyarat alam dan tanda2 zaman. Tidak peka terhadap penderitaan orang kecil. Banyak di antara kita tidak peka dengan nasehat, ditegur dengan keras, di demo masyarakat, bahkan divonis pengadilan masih bisa ketawa ketiwi seolah-olah tidak bersalah.

Saudaraku, judul khutbah kita adalah Meneladani Nabi Ibrahim as dan Keluarganya Sebagai Idola. Arti idola menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “ ORANG, GAMBAR, PATUNG dan SEBAGAINYA SEBAGAI PUJAAN “. Contoh seperti kalimat berikut “ Ia senang sekali penyanyi idolanya tampil dalam pertunjukan “.

Seperti kaum milenial biasanya mereka sangat memuja-muja artis idolanya. Ada Maudy Ayunda, Dian Sastro, Tasya Kamila, Isyana Saraswati, Cinta Laura, Dewi Persik, atau artis Holywood Boy Wiliam, Emma Watson, Serena Gomez dari kalangan Olah ragawati, dan lain2. Bahkan menurut hasil survey beberapa Lembaga Survey yang kredibel, sekitar 80 % milenial tanah air, mereka sangat mengidolakan Anies Baswedan serta mendukung penuh menjadi Presiden RI berikutnya, kalau saja Indonesia mau maju sejajar dengan negara-negara maju lainnya.

Wallahu ‘alam bish shawab.
Jakarta, 8 Juni 2022/9 Dzulhijjah 1443.

- Iklan -

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU