Seikat Krisan Merah di Rumah Nenek

Sejak kecil, aku sering bertanya-tanya mengapa selalu ada seikat krisan merah di rumah nenek. Bahkan saat layu, beliau tidak pernah mau menggantinya dengan jenis lain. Padahal, lili atau anggrek bisa dipertimbangkan. Mereka tidak kalah cantik dan sama-sama bisa bertahan hidup lama dalam vas.

Namun, segala sesuatu yang dijaga dan dirawat baik-baik pasti punya nilai berharga. Aku memang tidak tahu kisah apa yang bersemayam di baliknya, namun aku percaya akan hal itu.

Nama gadis nenekku Ratmi. Beliau dikenal sebagai sesepuh di lingkungan tempat tinggalnya. Usia nenek hampir seabad. Walakin, beliau masih dapat berjalan walau harus dengan bantuan tongkat.

- Iklan -

Meski hanya lulusan sekolah dasar, nenek sangat cerdas. Terbukti, di usianya yang tak lagi senja—bisa dibilang sudah malam—daya ingatnya masih kuat. Beliau masih bisa mengeja hari ini Selasa Kliwon dan besok Rabu Legi.

“Kenapa to?” tanya nenek mendapatiku termangu.

“Bunganya cantik, Nek!” pujiku dengan suara keras, sebab fungsi pendengaran nenek tidak sebaik dulu.

- Iklan -

“Ya … sudah pasti itu!” sahut nenek.

Nenek lahir tahun 1926. Jangan tanya apakah beliau mengalami zaman pendudukan Belanda atau Jepang. Sebab beliau merupakan seorang mantan veteran perang. Di lemarinya masih tersimpan rapi seragam cokelat susu dengan beberapa tempelan lencana yang dulu menjadi pakaian andalannya.

“Oh iya, Nek. Sarah rindu dibuatkan gambar oleh Nenek,” kataku, bernostalgia.

- Iklan -

Saat kecil, aku sering menginap di rumah nenek yang arsitekturnya khas zaman kolonial. Nenek tinggal di rumah berdinding putih kusam ini bersama keluarga Tante Asih, bungsu yang umurnya sudah empat puluhan. Sementara kakek sudah lama wafat karena sakit.

Dari dulu, nenek suka sekali menggambar. Beliau sangat senang jika aku meminta digambarkan. Di selembar kertas, menggunakan sebatang pulpen, beliau menggoreskan sketsa tipis-tipis. Beliau sering menghabiskan waktu berjam-jam untuk menggambar. Objek yang paling sering digambarnya adalah dokar.

Di sela-sela menggambar, beliau bercerita. Paling sering cerita perjuangan, seperti bagaimana dulu beliau bersembunyi di sungai saat ada tentara Belanda, bagaimana bengisnya tentara Jepang, bagaimana riuh kota saat Indonesia merdeka, dan sebagainya. Sisanya, cerita tentang anak-anaknya. Pernah sekali beliau menceritakan betapa bandelnya ayahku dan bagaimana perjalanan panjang ayahku sampai bisa menikahi ibu.

“Hahaha ….” Nenek tertawa, menunjukkan sederet gigi ompongnya. “Ingin gambar

apa?”

“Bunga, Nek,” jawabku.

Nenek membuka laci nakasnya, mengambil selembar kertas. Kemudian beliau

berjalan tertatih dan duduk di sampingku.

Nenek membenarkan letak kacamata bacanya. “Kembang apa?1” Aku menatap meja di seberangku. “Bunga yang ada di vas, Nek.”

Nenek mengangguk. Beliau diam sejenak sebelum mulai menggerakkan tangannya yang sudah keriput.

*

Januari, 1942

1 Bunga apa? (Jawa)
- Iklan -

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU