Dunia Kehilangan Tokoh Teknologi Kedirgantaraan

FAJARPENDIDIKAN.co.id-Presiden RI ke-3, Prof DR (HC) Ing Dr Sc Mult Baharuddin Jusuf Habibie, berpulang ke Rahmatullah, Rabu, 11 September 2019, di RSPAD Gatotsubroto, pukul 18:5 WIB. Tak hanya rakyat Indonesia yang kehilangan, dunia, khususnya kedirgantaraan, turut berkabung. Lantaran banyak karya besarnya di bidang tersebut yang mendunia. 

Sebagai penghormatan atas kepergian putera kelahiran Parepare, Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936, negara menginstruksikan pemasangan bendera Merah Putih setengah tiang selama tiga hari, sebagai tanda berkabung.

Putera dari pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie-RA Tuti Marini Puspowardoyo ini meninggalkan dua putra dari perkawinannya dengan Hasri Ainun Bestari yang dinikahi pada 12 Mei 1962: Ilham Akbar Habibie dan Thareq Kemal Habibie, serta 6 cucu. 

- Iklan -

Habibie memiliki delapan saudara kandung; Yunus Efendi Habibie, Alwi Karsum Habibie, Satoto Muhammad Duhri Habibie, Sri Sulaksimi Habibie, Sri Rahayu Fatimah Habibie, Sri Rejeki Habibie, Ali Buntarman Habibie, dan Suyatim Abdurrahman Habibie. 

Masa Kecil

Anak keempat dari delapan bersaudara ini telah menunjukkan sikap ketegasannya sejak kecil. Tak hanya itu, sifat kecerdasannya sudah terlihat sejak SD di Parepare. 

- Iklan -

Sayangnya, di usia masih kanak-kanak, Rudi, panggilan akrabnya, sudah kehilangan ayah. Sehingga ibunyalah yang berjuang menghidupinya beserta saudaranya.

Meski ekonomi keluarganya hanya ditopang oleh ibunya, tidak membuat BJ Habibie putus sekolah. Dia tetap meneruskan menuntut ilmu di Gouvernment Middlebare School (SMAK) Dago, Bandung. 

Di tingkat SMA, pria yang gemar menunggang kuda ini sudah memperlihatkan prestasinya, terutama pada pelajaran eksakta. Di pelajaran tersebut, dia menjadi siswa favorit di sekolahnya.  

- Iklan -

Setelah menamatkan tingkat SMA di Bandung, BJ Habibie Rudi melanjutkan pendidikannya ke ITB (Institut Teknologi Bandung). Namun, tidak sampai tamat, hanya satu tahun, karena dia mendapat beasiswa dari Mendikbud untuk melanjutkan kuliahnya di Jerman. 

Baca Juga:  Semboyan Ki Hajar Dewantara Buat Pendidik dan Pemimpin

Saat itu, Pemerintah Indonesia di bawah kendali Presiden Soekarno, gencar membiayai ratusan siswa cerdas untuk menimba ilmu di luar negeri. Rudi menduduki ranking urut 2 siswa tercerdas dari ratusan yang dikirim belajar ke berbagai negara.  

Pada program beasiswa ke luar negeri, Rudi memilih jurusan Teknik Penerbangan dengan spesialisasi Konstruksi Pesawat Terbang di Rhein Westfalen Aachen Technishe Hochschule (RWTH), tingkat Diploma. 

Rudi tertarik dengan ‘’how to build commecial aircraft’’, ide Soekarno yang akan dipersembahkan untuk rakyat Indonesia. Dari situlah munculnya perusahaan-perusahaan strategis, salah satunya IPTN. 

Pada perjalanannya menuju Jerman, Rudi bertekad, pendidikannya harus sukses. Di benaknya, hanya ibunya seoranglah menopang ekonomi keluarganya.

BJ Habibie bersama Hasri Ainun
BJ Habibie bersama Hasri Ainun

Setelah beberapa tahun di Jerman, 1955, mahasiswa yang belajar di sana, Aachean, 99 persen  diberikan beasiswa penuh. Hanya Rudi yang memiliki paspor hijau atau swasta. 

Meski full beasiswa, BJ Habibie banyak melalui rintangan. Namun dihadapi dengan bekerja keras. Beda dengan temannya, waktu libur diisinya dengan ujian dan mencari duit untuk membeli buku dan mencari pengalaman. Di hari kuliah, diisi dengan belajar.    

Tahun 1960, Habibie menyelesaikan kuliahnya dari Technische Hochschule, predikat cumlaude (sempurna), dengan nilai rata-rata 9,5. Dengan gelar insinyurnya, dia melamar bekerja di Firma Talbot, perusahaan industri kereta api Jerman. Posisinya salah satu yang mendesain struktur atau rangka kereta api.

Saat itu, Firma Talbot membutuhkan 1000 wagon yang bervolume besar untuk mengangkut barang-barang yang ringan tapi volumenya besar. Dari situ, BJ Habibie mencoba mengaplikasikan cara-cara konstruksi, membuat sayap pesawat terbang. Dan berhasil. 

Baca Juga:  Semboyan Ki Hajar Dewantara Buat Pendidik dan Pemimpin

Sambil bekerja, BJ Habibie melanjutkan studinya untuk gelar Doktor di Technische Hochchule Die Facultaet Fuer Maschinenwesen Aachen. Tahun 1962, dia menikahi Hasri Ainun Habibie dan memboyongnya ke Jerman. Saat itu, perjuangan hidupnya pun makin keras. Pagi-pagi sekali, dia berangkat kerja. Tempatnya jauh, namun demi menghemat biaya hidup, dia terpaksa berjalan kaki. Malamnya, setelah pulang kerja, dia kuliah. 

Tahun 1965, dia meraih gelar Dr Ingenieur di Technische Hochschule Die FacultaetnFuer Maschinenwesen Aachen, dengan nilai yang hebat dari gelar insinyurnya, summa cumlaude (sangat sempurna), rata-rata 10.  

Mr Crack

Namanya tiba-tiba terangkat dengan temuannya, rumus ‘’Faktor Habibie’’, yang bisa menghitung keretakan atau crack propagation on random sampai ke atom-atom pesawat terbang. Sehingga dia dijuluki ‘’Mr Crack”.

Hasil kecerdasannya itulah yang menghantarkannya mendapat pengakuan di lembaga-lembaga international. Diantaranya Gesselschaft Fuer Luft und Raumfahrt (lembaga penerbangan dan angkasa luar) Jerman. The Royal Aeronautical Society London (Inggris), The Royal Swedish Academy of Engineering Sciences (Swedia), The Acacademie Nationale de I’Air et de I’Escape (Prancis) dan The US Academy of Engineering (Amerika Serikat). 

Penghargaan paling bergengsi yang diraihnya, hampir setara dengan hadiah Nobel, Edward Wamer Award dan Award von Karman. Penghargaan dalam negeri, Ganesha Praja Manggala Bhakti Kencana dari ITB.   

Pada 1967, dia menjadi Professor Kehormatan, Guru Besar di ITB. Sebelum memenuhi panggilan Pak Harto untuk pulang mengabdikan ilmunya kepada bangsa, BJ Habibie bekerja di industri pesawat terbang terkemuka, GMBH Jerman. (ANA)

- Iklan -

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU