opini – Belakangan ini, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mengalami tekanan yang berat dan terus menunjukkan pelemahan. Akhirnya, Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, resmi mengumumkan tarif timbal balik global dalam sebuah acara di Gedung Putih yang dikenakan kepada ratusan negara pada Rabu, 2 April 2025 waktu AS atau Kamis, 3 April 2025 pagi waktu Indonesia. Kebijakan tersebut menetapkan tarif sebesar 32 persen untuk berbagai produk dari Indonesia. Langkah ini menjadi salah satu pemicu utama melemahnya rupiah.
Kebijakan tarif timbal balik sebesar 32 persen dari Presiden Donald Trump jelas merupakan tantangan besar bagi perekonomian Indonesia. Banyak masyarakat yang tidak setuju dengan kebijakan ini, karena cenderung tidak adil dan merusak perdagangan global. Namun, Indonesia tidak boleh terpancing emosi dalam menyikapinya. Justru, kita perlu bertindak cermat melalui jalur diplomasi dan strategi ekonomi yang matang. Kita juga harus memperluas pasar ekspor, memperkuat daya saing industri dalam negeri, dan membangun ketahanan ekonomi yang lebih kokoh agar tidak mudah terdampak setiap kali negara besar membuat kebijakan sepihak. Sudah saatnya Indonesia berdiri lebih kuat dan tidak terus-menerus goyah oleh tekanan global.
Pengenaaan tarif tinggi menyebabkan produk-produk Indonesia menjadi jauh lebih mahal di pasar Amerika Serikat, sehingga permintaannya menurun tajam. Kemungkinan kenaikan harga barang akibat tekanan ini juga bisa langsung melemahkan daya beli masyarakat. Kelompok berpendapatan rendah akan menjadi yang paling terdampak karena pengeluaran kebutuhan pokok mereka meningkat. Jika tidak diimbangi dengan bantuan sosial atau subsidi yang tepat sasaran, kondisi ini bisa memperparah angka kemiskinan.
Di sisi lain, ketidakpastian ekonomi akibat kebijakan tarif ini membuat pelaku usaha enggan melakukan ekspansi dan menahan perekrutan tenaga kerja. Bahkan, banyak perusahaan terpaksa melakukan efisiensi besar-besaran, termasuk pemutusan hubungan kerja (PHK). Jika kondisi ketidakpastian ini terus berlanjut, pertumbuhan ekonomi nasional dapat terhambat dan berpotensi menciptakan perlambatan ekonomi yang signifikan.
Tekanan terhadap nilai tukar rupiah pun semakin parah, sempat menembus Rp 17.217 per dolar AS pada awal April 2025, angka yang bahkan melewati tingkat krisis moneter 1998. Walaupun kemudian nilai tukar rupiah menguat kembali ke Rp 16.799, fluktuasi ini mengindikasikan betapa rentannya kondisi keuangan Indonesia terhadap perubahan kebijakan ekonomi dari negara maju.
Dampak kebijakan proteksionisme Trump tidak hanya dirasakan pada sektor ekspor tradisional, tetapi juga sektor berbasis teknologi seperti elektronik, otomotif, dan baja. Ekonom INDEF, Eisha Maghfiruha Rachbini, menyebutkan bahwa kebijakan ini bisa memicu trade diversion, yaitu pergeseran permintaan dari produk berbiaya rendah ke produk berbiaya tinggi. Hal ini dapat memperlambat produksi dan mengancam banyak lapangan pekerjaan.
Melihat dampak tersebut, sangat jelas bahwa kebijakan tarif impor 32 persen dari AS memberikan dampak negatif yang luas bagi perekonomian Indonesia. Pelemahan rupiah yang terjadi bukan hanya soal nilai mata uang, tetapi juga mencerminkan tantangan besar dalam menjaga stabilitas ekonomi di tengah dinamika geopolitik dan ekonomi global yang semakin kompleks.
Meski begitu, bukan berarti Indonesia harus pasrah. Alih-alih melakukan pembalasan yang bisa memperburuk situasi, pemerintah Indonesia memilih jalur strategis dengan langkah diplomasi dan negosiasi untuk mencari solusi yang saling menguntungkan (win-win solution) dalam mengantisipasi penerapan fair reciprocal plan.
Langkah diplomasi dipilih karena dianggap lebih strategis dibandingkan melakukan pembalasan yang bisa memperkeruh situasi. Tujuan utamanya ialah menjaga hubungan dagang jangka panjang dan stabilitas ekonomi nasional. Indonesia perlu menegosiasikan ulang tarif tersebut atau paling tidak meminimalkan dampaknya, mengingat Amerika Serikat masih menjadi salah satu mitra dagang terbesar.
Selain diplomasi, diversifikasi pasar ekspor menjadi kunci penting. Ketergantungan yang terlalu besar pada satu pasar membuat ekonomi sangat rentan terhadap kebijakan sepihak. Oleh karena itu, Indonesia harus memperluas pasar ke negara-negara Asia, Timur Tengah, dan Afrika sebagai alternatif ekspor. Selain itu, daya saing produk dalam negeri juga harus diperkuat melalui efisiensi produksi, inovasi teknologi, dan penguatan UMKM. Pemerintah perlu menciptakan iklim investasi yang kondusif agar Indonesia tetap menarik bagi investor global meskipun ada gejolak.
Oleh karena itu, Indonesia tidak boleh tinggal diam saja. Upaya diplomasi yang sudah dilakukan pemerintah sudah sangat dihargai, namun itu saja tidak cukup. Indonesia juga harus berani memperjuangkan kepentingannya dengan meninjau ulang kerja sama dagang dengan Amerika Serikat berdasarkan prinsip keadilan yang sejati, bukan sekadar mengikuti tekanan dari satu pihak. Jika jalur diplomasi tidak memberikan hasil yang memadai, Indonesia bisa membawa persoalan ini ke forum internasional seperti WTO agar dapat memperoleh keadilan dalam perdagangan.
Dari sisi masyarakat, kesiapsiagaan menjadi sangat penting. Kemungkinan kenaikan harga barang akibat pelemahan rupiah dan kenaikan biaya produksi harus diantisipasi. Kesadaran akan kondisi ekonomi global yang dinamis penting agar masyarakat tetap tenang, tidak mudah panik, dan terus produktif. Pelaku usaha juga perlu berinovasi, memperluas pasar, dan menjaga efisiensi operasional agar dapat bertahan dan berkembang di tengah tantangan ini.
Kemungkinan kenaikan harga barang akan langsung memukul daya beli masyarakat. Masyarakat berpendapatan rendah akan paling terdampak, karena pengeluaran untuk kebutuhan pokok menjadi lebih besar. Ini juga bisa meningkatkan angka kemiskinan jika tidak diimbangi dengan bantuan sosial atau subsidi yang tepat sasaran.
Di sisi lain, kita juga harus introspeksi. Jika produk-produk mudah tergeser hanya karena kenaikan tarif, berarti daya saing kita masih lemah. Pemerintah perlu memperkuat UMKM, mempercepat transformasi digital industri, dan meningkatkan efisiensi serta kualitas produk dalam negeri agar tetap kompetitif di pasar manapun. Subsidi bagi industri yang terdampak, dukungan teknologi, dan perbaikan ekosistem logistik adalah langkah konkret yang harus segera diambil.
Kesimpulan
Kebijakan proteksionisme yang diterapkan oleh Presiden Donald Trump jelas merupakan tantangan besar bagi perekonomian Indonesia. Saya sebagai mahasiswa menolak pendekatan semacam ini karena tidak adil dan merusak tatanan perdagangan global. Meskipun demikian, Indonesia tidak boleh bersikap reaktif secara emosional, melainkan strategis secara diplomatik dan ekonomis. Diversifikasi pasar, penguatan daya saing, dan ketahanan ekonomi domestik harus segera dibangun agar kita tidak selalu “masuk angin” ketika negara besar “bersin”. Saatnya Indonesia bangkit dan berdiri lebih mandiri dalam menghadapi guncangan ekonomi global.
Penulis
Zahwah Athifah Mutiah
Mahasiswi Jurusan Ekonomi Pembangunan, Universitas Muhammadiyah Malang.