OPINI : BLT Bagi Pegawai Swasta, Sudah Tepatkah?

FAJARPENDIDIKAN.co.id – Kondisi pandemi kian hari kian mengkhawatirkan. Selain tingginya angka penularan dan kematian Covid19, kondisi perekonomian dunia diprediksi akan menuju depresi ekonomi, yaitu ancaman resesi.

Berbagai negara di dunia melakukan berbagai upaya untuk menyelamatkan perekonomian, tak ketinggalan, Indonesiapun sama. Pemerintah dalam hal ini BUMN melalui Kementrian Ketenagakerjaan melakukan terobosan baru dengan mengeluarkan kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi karyawan swasta yang bergaji dibawah Rp 5.000.000., akan mendapatkan bantuan sebesar Rp. 600.000,. Bantuan diberikan mulai September hingga Desember 2020. Dengan total dana yang dianggarkan sebesar Rp. 33,1 Triliun untuk 13,8 pekerja.

Living cost tak tercover

- Iklan -

“Pemerintah akan membayarkan dua kali karena kita ingin memastikan daya beli dan konsumsi tetap terjaga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi pada kuartal ketiga dan keempat,” ujar Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah dalam keterangan resminya, Jumat (detik.com, 7/8/2020).

Penerima subsidi gaji (bantuan Rp 600.000.,) adalah pekerja yang membayar iuran BPJS Ketenagakerjaan. Tentu hal ini harus menjadi sorotan, karena keseluruhan jumlah buruh dan pegawai swasta di Indonesia mencapai 52,2 juta orang. Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak terdaftar di Kemenaker? Seperti pedagang asongan, pedagang kaki lima hingga pedagang kuliner keliling?

Rata-rata living cost atau biaya hidup karyawan swasta yang bergaji Rp. 1,3.000.000,. Per bulan, Rp. 600.000,. Habis untuk makanan pokok, Rp. 700.000,. Untuk non pangan. Belum lagi jika biaya bantuan yang di dapatkan harus menutupi pembayaran premi BPJS Ketenagakerjaan perbulan, masyarakat seperti gali lubang tutup lubang untuk memenuhi kebutuhan. Bahkan untuk menabung sepertinya sulit. Kecuali memiliki penghasilan sampingan.

- Iklan -
Baca Juga:  Tempo vs Bahlil: PERLUKAH TEMPO MEMINTA MAAF?

Padahal jika dilihat, yang membutuhkan bantuan harusnya didahulukan para pekerja yang kena PHK dan pekerja harian. Selain itu pada pegawai pemerintah, honorer K2 yang bergaji tidak layak. Padahal ada yg sudah mengabdi selama 16 tahun. Jelas memberikan bantuan hanya bagi pekerja yang terdaftar di Kemenaker dan tercatat sebagai anggota BPJS Ketenagakerjaan adalah sebuah diskriminasi.

Kebijakan new normal tidak terlihat pengaruhnya dalam menggerakkan roda ekonomi. Daya beli tak kunjung meningkat, produksi juga tidak bisa digenjot karena ancaman wabah justru tidak bisa diprediksi akan diurai dari area mana.

Cita-cita zero hunger dalam Peradaban Kapitalisme hari ini benar-benar hanya menjadi mimpi, yang sama sekali tidak indah.

- Iklan -

Sistem ekonomi kapitalisme yang fokus terhadap angka-angka dalam mendeteksi parameter capaiannya, memang pada akhirnya akan selalu terlambat dalam mengurai masalah.

Memperhatikan kesejahteraan rakyat adalah kewajiban negara

Islam memiliki paradigma yang berbeda dengan neoliberal dalam mewujudkan pemenuhan pangan rakyat. Dalam Islam, pemenuhan hajat pangan publik dijamin sepenuhnya oleh negara yakni Khilafah. Sebab negara berfungsi sebagai raa’in (pelayan) dan junnah (pelindung). Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda “Imam (Khalifah) raa’in (pengurus hajat hidup rakyat) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya” (HR Muslim dan Ahmad).

Baca Juga:  Tempo vs Bahlil: PERLUKAH TEMPO MEMINTA MAAF?

Dan dalam hadis lainnya Rasulullah menegaskan: “Khalifah itu laksana perisai tempat orang-orang berperang dibelakangnya dan berlindung kepadanya….”(HR Muslim). Jaminan pemenuhan ini pun ditargetkan sampai individu per individu rakyat bukan bersifat komunal.

Mekanisme Islam mewujudkan jaminan pemenuhan pangan rakyat dilakukan dengan 2 cara yaitu mekanisme langsung dan tidak langsung. Bagi masyarakat yang tidak mampu bekerja dikarenakan lemah, sakit, cacat dsb maka Khilafah akan memenuhi kebutuhan pokoknya secara langsung, yaitu menyantuninya sesuai dengan kebutuhannya secara layak. Termasuk dalam kondisi lockdown ketika terjadi wabah seperti saat ini negara akan memenuhi kebutuhan seluruh rakyat yang diisolasi untuk mencegah penularan wabah.

Sementara bagi yang mampu untuk bekerja, maka Khilafah menerapkan mekanisme tidak langsung. Yaitu menciptakan lapangan kerja, membantu permodalan hingga memberikan edukasi dan skill yang dibutuhkan. Bahkan dalam skala makro, negara akan menciptakan iklim usaha yang kondusif dengan menerapkan sistem ekonomi Islam.

Wallahu a’lam

Oleh : Juniwati Lafuku, S.Farm.

- Iklan -

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU