OPINI : Klaim Obat Corona & Lemahnya Kepercayaan Publik Pada Pemerintah

FAJARPENDIDIKAN.co.id – Gempar. Semenjak kemunculannya di chanel Youtube musisi Anji, nama Hadi Pranoto  kini kian menjadi buah bibir di masyarakat.

Kondisi ini tak pelak dari klaim dirinya yang mengaku telah membuat ramuan herbal yang mampu menyembuhkan pasien positif virus Corona  (Covid19) hanya dalam beberapa hari, Obat tersebut dijual bebas secara Online.

Kisruh temuan ‘obat Corona’ oleh Hadi Pranoto yang menyebut produknya itu terdaftar di BPOM dengan nama Bio Nuswa,Klaim Hadi Pranoto itu pun dibantah PT Saraka Mandiri Semesta selaku perusahaan yang mendaftarkan Bio Nuswa ke BPOM. PT Saraka Mandiri menyebut tidak pernah berdiskusi bahkan bertemu dengan Hadi Pranoto. Karena itu, Hadi Pranoto dianggap mengklaim produk itu secara pribadi.

- Iklan -

Masyarakat jangan mudah percaya klaim Obat Corona

Obat tradisional atau ramuan herbal memang sudah diakui berkhasiat meningkatkan imunitas sejak dahulu kala. Adapun penyakit infeksi seperti virus, bakteri, jamur, parasit, kita bisa pakai jamu-jamu yang meningkatkan imunitas tubuh karena bersifat imunomodulator. Imunomodulator artinya bisa memodulasi, meregulasi sistem imun kita sehingga respon imun kita bisa lebih optimal.

Ketua Perkumpulan Dokter Pengembang Obat Tradisional dan Jamu Indonesia (PDPOTJI) Inggrid Tania mengatakan hingga kini belum ada obat konvensional maupun herbal yang dianggap mampu untuk membunuh virus corona. “Covid-19 kan penyakit baru. Jadi sebenarnya bukan hanya jamu atau herbal yang dianggap belum bisa menyembuhkan, tapi obat standar atau kimia konvensional sebenarnya belum ada yang bisa menyembuhkan Covid-19 secara meyakinkan,” katanya kepada para wartawan pada 5 Agustus 2020. (Tempo.co)

- Iklan -

Hingga kini, uji klinis jamu atau herbal asli Indonesia terkait Covid-19 baru satu-satunya dilaksanakan oleh PDGOI bersama LIPI, UGM, Kalbe Farma, Litbangkes serta tim di Wisma Atlet.

Baca Juga:  Tempo vs Bahlil: PERLUKAH TEMPO MEMINTA MAAF?

Menurut ahli Biologi Molekuler, Ahmad Rusdan Utomo, PhD menyebutkan belum ada ilmuwan yang bisa meyakini obat yang tengah diuji sekarang mampu mengobati Covid-19. Itulah mengapa kita butuh uji klinis. “Uji klinis harus dirancang dengan serius. Terobosan-terobosan yang dilakukan oleh pihak non-medis harus bekerja sama dengan pihak medis,” tuturnya.

Dengan begitu, publik figur atau ilmuan yang ingin berbicara di depan publik harus dilihat latar belakang pendidikan dan penelitian serta disiplin ilmu yang dia geluti dapat dipertanggungjawabkan atau tidak.

- Iklan -

Era Matinya Kepakaran (The Death Of Expertise)

Peneliti dan publik figur harus berhati-hati dalam menyampaikan berita kepada masyarakat. Jangan sampai masyarakat yang sedang panik mencari jalan keluar sehingga memahami suatu informasi tidak secara utuh dan benar.

Meski Internet dan media sosial berhasil menjadi pintu gerbang pembuka atas akses informasi yang selama ini tertutup, disisi lain ada fenomena bias konfirmasi, bahwa kita cenderung hanya percaya pada berita yang kita sukai bukan pada fakta.

Bahkan posisi pakar yang dulu dianggap berada di puncak piramida keahlian, saat ini bisa sejajar dengan orang awam. Tom Nichols menyebutnya sebagai the death of expertise, Matinya Kepakaran.

Fakta masyarakat banyak yang mengabaikan protokol kesehatan. Penggunaan masker seolah-olah sudah tidak dipedulikan. Cuci tangan pun hanya seperlunya saja. Masyarakat sudah menganggap teman pada virus covid-19.

Di lain pihak, pemerintah tengah menyiapkan alternatif dalam menangani virus Covid-19. Yaitu dengan pengadaan vaksin virus korona. Kini hampir seluruh negara sedang menunggu vaksin tersebut dipasarkan. Maka, tak heran jika pengembangan vaksin telah menjadi perlombaan, berlarian dengan waktu.

Baca Juga:  Tempo vs Bahlil: PERLUKAH TEMPO MEMINTA MAAF?

Fenomena ini menggambarkan, pemerintah telah gagal memahamkan masyarakat tentang bahaya virus dan Penyebarannya. Tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah juga rendah, karena pemerintah tak kunjung memberikan solusi menyelesaikan masalah, disisi lain, banyak orang yang mengaku pakar membuat pengakuan tanpa dasar untuk mengelabui orang lain.

Vaksin dalam Islam

Islam memandang bahwasannya kesehatan adalah hak dasar bagi seluruh rakyatnya. Negara harus menjamin seluruh fasilitas kesehatan, obat-obatan termasuk vaksin diberikan secara murah bahkan gratis dan berkualitas. Karena negara adalah pelayan bagi rakyatnya, buka sekadar regulator apalagi pebisnis.

Nabi Muhammad ﷺ juga telah memberikan contoh praktis dalam hal menjaga kesehatan dan penyembuhan dari sakit. Artinya, perlu diusahakan dalam menjalani pengobatan. Itulah pentingnya ilmu kedokteran yang dihubungkan dengan aturan Islam.

Atas dasar itu, maka vaksinasi hukumnya mandub. Sebab vaksinasi adalah obat dan berobat adalah mandub. Adapun dalam Daulah al-Khilafah, maka akan ada vaksinasi untuk berbagai penyakit yang mengharuskan hal itu, seperti penyakit menular dan sejenisnya. Obat yang digunkan adalah yang bersih dari segala kotoran. Sementara Allah subhanahu wa ta’ala, Zat yang menyembuhkan.

“Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku.” (TQS asy-Syu’ara’ [26]: 80).

Dalam Islam, pemeliharaan kesehatan adalah bagian dari kewajiban Khalifah karena termasuk ri’ayah asy-syu’un al-ummah. sabda Rasul ﷺ:

“Imam adalah pemelihara dan dia bertanggungjawab atas pemeliharaannya” (HR al-Bukhari dari Abdullah bin Umar)

Ini adalah dalil yang bersifat umum tentang tanggung jawab negara atas kesehatan dan pengobatan, karena merupakan bagian dari pemeliharaan yang wajib bagi negara.

Wallahua’lam bish-shawwab.

Oleh : Juniwati Lafuku, S.Farm.

- Iklan -

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU