Honorer Dihapus, Antara Kegelisahan dan Harapan Mahasiswa

Penghapusan tenaga honorer pada 2023 menjadi kekhawatiran tersendiri bagi para mahasiswa pendidikan. Kekhawatiran muncul dengan berbagai alasan yang dapat menjadikan mereka tidak tahu arah langkah setelah lulus kuliah.

Penghapusan tenaga honorer ini menjadi kekhawatiran mendalam bagi mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan, terlebih khusus mahasiswa di bidang pendidikan. Kekhawatiran mahasiswa karena meragukan masa depan mereka dengan populasi yang tidak sedikit dalam persaingan mengambil satu kursi sebagai ASN atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

Data Februari 2022, terdapat lebih dari 700 ribu guru honorer di Indonesia. Dengan jumlah yang cukup banyak, penyelamatan guru honorer dan lulusan pendidikan akan sangat kecil apabila hanya mengandalkan seleksi CPNS atau PPPK.

Karena sampai saat ini, belum ada jaminan jumlah kuota bagi guru honorer dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Hal tersebut pastinya akan menambah kekhawatiran, baik bagi mahasiswa pendidikan maupun jutaan guru honorer.

- Iklan -

Dengan demikian, para mahasiswa maupun guru honorer meminta kebijakan yang lebih adil mengenai permasalahan ini. Muh Nur Alamsyah, salah seorang mahasiswa pendidikan dari Universitas Negeri Makassar mengungkapkan, terkait isu penghapusan tenaga honorer tahun depan, sangat memiliki konsekuensi dan dampak tersendiri bagi instansi pemerintahan.

“Dampak yang paling dirasakan adalah berkurangnya SDM pada instansi tersebut, yang dimana tenaga honorer itu masih sangat dibutuhkan,” kata Nur Alamsyah, Rabu, 6 Juli 2022.

Namun menurutnya, jika melihat tujuan penghapusan tenaga honorer ini, maka hal tersebut tidak perlu menjadi kekhawatiran. Karena SDM tersebut akan diisi kembali dengan melakukan perekrutan ASN, yang tentunya disesuaikan dengan kebutuhan instansi tersebut.

- Iklan -

“Timbul pertanyaan, apakah kuota yang disediakan akan menjaring seluruh tenaga honorer yang dihapuskan? Jika tidak, bagaimana nasib mereka yang tidak terjaring? Tentunya ini akan menjadi masalah baru, seperti pengangguran yang tentunya akan menjadi beban negara,” tutur Alamsyah.

Menurut dia, penghapusan tenaga honorer untuk pegawai teknis/dinas, maka sebenanya itu sangat cocok. “Adapun untuk guru honorer pun, menurut saya bagus meskipun akan membuat kekurangan guru yang sangat besar di sekolah-sekolah se-Indonesia.”

Namun, waktu penerapannya perlu dipertimbangkan lagi. Selama puluhan tahun, perekrutan guru-guru di sekolah hampir semuanya kacau, tanpa syarat dan seleksi yang terstandar.

- Iklan -

“Mereka masuk honorer dengan jalur keluarga di sekolah, masuk honorer dengan jalur ada keluarga di pemerintahan, asal nama masuk dapodik, lalu menjadi alasan menunggu harap PNS,” ujarnya.

Selain itu, banyaknya tenaga pengajar yang tidak sesuai dengan background pendidikan alias salah jurusan. Misalnya Jurusan Hukum mengajar IPA, dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, Alamsyah berharap agar motif perekrutan tenaga honorer harusnya mengedepankan pada kebutuhan sekolah, tidak dengan pola yang berbau nepotisme atau pola yang bernuansa politik.

“Di sisi lain, ketika guru honorer dihapuskan maka semua pembelajaran dilakukan oleh guru PNS. Sedangkan sekolah-sekolah yang masih sangat kekurangan guru PNS. Untuk itu, sekolah mengambil jasa guru honorer. Belum lagi banyaknya guru PNS yang pensiun setiap tahunnya. Tentunya ini juga menjadi permasalahan yang cukup besar, mengingat pemerataan pendidikan saja belum dapat dituntaskan,” lanjutnya.

Banyaknya kemungkinan-kemungkinan atau problem yang akan terjadi akibat kebijakan penghapusan tenaga honorer ini, Alamsyah berharap pemerintah meninjau kembali untuk mempersiapkan kebijakan ini dengan mempersiapkan solusi-solusinya.

“Bagi saya, ada tidaknya kebijakan ini, tetap saja lulusan dari pendidikan tidak akan memenuhi instansi pendidikan itu sendiri. Dengan kata lain, lulusan-lulusan sarjana akan memiliki passion dan tujuan yang berbeda untuk masa depannya.”

“Namun, harapannya adalah pemerintah dapat memiliki alternatif solusi lain untuk mengatasi dampak dari kebijakan yang ingin diterapkan. Sehingga sangat perlu dipertimbangkan kembali penerapannya,” tegas Alamsyah.

Selain itu, dia juga berharap semoga penghapusan honorer ini betul-betul untuk mensejahterakan tenaga honorer sesuai dengan latar belakang pemerintah membuat kebijakan tersebut. Bukan karena untuk memangkas tenaga honorer, lantas tidak memberikan solusi.

“Dan juga semoga pembekalan untuk mahasiswa ke depannya lebih terarah dan tepat sasaran agar siap menghadapi dunia kerja,” harap Alamsyah. (*)

(Baca artikel terkait di FAJAR PENDIDIKAN versi cetak edisi 386/Juli)

- Iklan -

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU