Negeri Tak Mendengar Jerit Mahasiswa di Rantau

Opini – Dalam setiap pidato pembangunan, para pejabat kerap menyebut pendidikan sebagai kunci masa depan bangsa. Namun, kenyataan di lapangan sering kali berbicara lain. khususnya bagi kelompok-kelompok yang suaranya tak cukup keras untuk menggema di ruang-ruang kekuasaan.

Salah satu potret menyedihkan dari ironi itu adalah nasib mahasiswa asal Sulawesi Tengah yang menuntut ilmu di Mangkoso, Sulawesi Selatan. Mereka datang dari berbagai daerah—Tolitoli, Parigi Moutong, Banggai, Morowali—dengan semangat belajar yang tinggi, meninggalkan kampung halaman demi cita-cita. Namun setibanya di sana, mereka dihadapkan pada satu persoalan yang tak kunjung terselesaikan: ketiadaan asrama.

Bagi kami, mahasiswa Sulawesi Tengah, asrama bukan sekadar tempat tinggal. Ia adalah ruang kebersamaan, tempat kami bisa saling menguatkan, membangun solidaritas, dan menjaga identitas daerah di tanah rantau. Sayangnya, karena tidak ada asrama yang disediakan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah, kami terpaksa tinggal terpencar, berpencar dalam keterbatasan.

Ironisnya, kebutuhan dasar ini seolah tidak pernah dianggap penting. Hingga hari ini, belum ada inisiatif nyata dari pemerintah provinsi untuk membangun asrama di Mangkoso. Padahal, jumlah mahasiswa yang menuntut ilmu di sana cukup besar, dan kebutuhan ini bersifat kolektif, bukan pribadi. Yang terjadi justru sebaliknya—pembangunan diarahkan pada proyek-proyek artifisial yang indah dalam laporan, tapi tak menyentuh denyut nadi kehidupan nyata rakyat kecil.

Lebih dari itu, absennya asrama mencerminkan ketimpangan yang nyata. Mahasiswa dari keluarga berada bisa tinggal di tempat yang layak. Sementara yang berasal dari latar belakang petani, buruh, dan nelayan harus berjibaku membayar kos sempit dan menghemat biaya makan. Dalam kondisi seperti ini, sulit rasanya berbicara soal pengembangan potensi atau peningkatan kualitas SDM.

Padahal, provinsi lain di Indonesia Timur sudah lama menunjukkan keberpihakannya. Pemerintah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, misalnya, telah membangun asrama mahasiswa di kota-kota pendidikan seperti Makassar dan Yogyakarta. Ini menunjukkan bahwa membangun asrama bukan hal mustahil, ia “hanya soal niat politik dan kemauan berpihak.

Jika Pemprov Sulawesi Tengah masih juga diam, maka wajar jika publik bertanya: apakah pemerintah benar-benar peduli pada generasi mudanya? Atau mahasiswa-mahasiswa ini terlalu kecil untuk diperhatikan, terlalu sunyi untuk didengar, dan terlalu miskin untuk diperjuangkan?

Kesimpulan

Ketiadaan asrama di Mangkoso bukan sekadar soal fisik bangunan yang tak pernah dibangun. Ia adalah cermin dari ketidakpedulian struktural yang dibiarkan berlarut-larut. Jika pemerintah daerah terus mengabaikan, maka sejarah akan mencatat bahwa saat anak-anak muda Sulawesi Tengah berjuang dalam gelap, mereka yang seharusnya menyalakan cahaya justru memilih untuk berpaling.

- Iklan -

Sudah saatnya pemerintah membuka mata dan bertindak. Rakyat, terutama mahasiswa, bukan hanya pajangan saat meraih prestasi. Mereka adalah pejuang masa depan yang pantas didukung dari awal perjalanan, bukan hanya di akhir cerita.

Namun bila negara tetap abai, maka masyarakat sipil harus bersuara. Organisasi mahasiswa daerah, alumni, tokoh agama, dan keluarga mahasiswa harus bersatu. Desakan dari bawah harus terdengar kuat. Karena perubahan tak selalu datang dari atas, tapi dari suara yang tumbuh dan berakar di tanah perjuangan.

 

Penulis : M. Reski Rahmatullah
Mahasiswa Jurusan Hukum Keluarga Islam

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU