Beranda blog Halaman 2588

Anak Jadah

0

Udara pagi masih segar saat murid laki-laki dari SDN 01 bermain sepak bola penuh sukacita. Di pojok lapangan Wekwek yang kini sudah berumur sembilan tahun sedang duduk manis mengamati teman-temannya bermain. Di sampingnya 23 ekor bebek miliknya sedang berburu anak kodok di sawah yang baru di panen.

Tiba-tiba bola melayang di atas kepala Wekwek hasil sepakan ngawur dari seorang teman yang meluncur seperti roket terbang ke awan.

“Weeeeeek,” teriak teman-temannya berjamaah.

Wekwek mengerti apa arti dari teriakan itu. Untuk yang ke sekian kalinya dengan satu gerakan cepat seperti kijang, Wekwek berlari mengambil bola yang jatuh di tengah sawah, dengan cepat pula Wekwek mengembalikannya ke tengah lapangan.

“Ayo, Wek main sama-sama,” ajak Ilham.

Wekwek tersenyum girang. Selama ini ia hanya menjadi anak gawang yang tugasnya mengambil bola yang keluar dari habitatnya.

Belum juga Wekwek menendang bola, guru olahraga sudah meniupkan peluit panjang. Semua anak-anak lari meninggalkan lapangan. Wekwek berdiri mematung di tengah lapangan seorang diri. Persis seperti tiang gawang: tidak berkutik.

Dari kejauhan Ilham melambaikan tangan ke arahnya. “Nanti 17 Agustus ikut lomba lari ya Wek.”

Wekwek hanya mengangguk.

Kemudian Wekwek berbalik arah berjalan pelan sambil menundukkan kepalanya memandangi kakinya yang berpupur lumpur sebelum kembali duduk di pojok lapangan. Cukup lama Wekwek melamun bagai orang-orangan sawah: mematung.

Tanpa disadari air matanya jatuh. Lalu Wekwek mengusapnya dengan bajunya yang sudah berumur dua hari menginap di badannya. Sungguh Wekwek tidak menyangka akan kehilangan kegembiraannya saat memakai seragam merah- putih saban pagi bersama Ilham. Terceritalah kenangannya yang tercecer dua tahun silam.

***

Weeeeek… Sebentar lagi jam tujuh,” teriak Ilham yang sudah siap berangkat ke sekolah dengan sepeda barunya. “Ayo, Wek sebentar lagi masuk.”

“Aaaa. Aaaa. Aaaa,” balas Wekwek dengan bahasa isyarat yang menggerakkan tangannya ke mulut.

“Kamu belum sarapan?” Wekwek mengangguk.

“Mak, Wekwek belum sarapan,” teriak Ilham.

“Kebiasaan. Dasar anak jadah,” kata seorang perempuan dalam hatinya yang sedang asyik menonton acara gosip di televisi. Kemudian ia berteriak lantang, “Aku bukan mamanya!”

Tidak beberapa lama seorang lelaki kurus bertelanjang dada yang di kampungnya mendapat panggilan Kerempeng muncul dari dalam rumah. Ia menghampiri Wekwek lalu menyerahkan plastik keresek berwarna hitam.

“Ayo Wek, nanti terlambat,” ujar Ilham sambil menggenjot pedal sepedanya. Wekwek mengikutinya dari belakang sambil berlari.

Kerempeng masih berdiri menatap anaknya dengan mata merah bata. Ilham sudah tidak terlihat sejak di belokan jalan. Wekwek masih berlari sambil memegang erat plastik keresek hitam berisi buku, pensil, dan dua telur bebek yang sudah direbus.

Sesampainya di dalam kelas Wekwek duduk seorang diri. Para orang tua murid yang mengantar anaknya masuk sekolah di hari pertamanya, melarang keras

anaknya duduk di samping Wekwek. Guru kalasnya tak mencegahnya. Sebaliknya, ia membiarkan Wekwek kesepian tanpa kawan. Sementara Ilham teman sebangkunya kini tidak bisa lagi bersamanya. Ia sudah naik kelas. Sedangkan Wekwek tidak.

Di dalam kelas Wekwek seperti orang asing yang terasing. Ia duduk seperti batu tak berkutik. Selama dua jam ia hanya memandangi sepatunya yang kotor dan bolong. Jalannya jam seperti mobil terjebak macet: lambat minta ampun. Barulah setelah lonceng berbunyi sebagai pesan semiotik bahwa anak-anak kelas satu sudah boleh pulang.

Berhamburan anak-anak seperti laron menemukan kebebasannya. Mereka bersorak-sorai bersukacita sambil bernyanyi-nyai kecil hasil pelajaran pertama yang didapatnya. Di dalam kelas sepatu Wekwek basah oleh air mata.

Ketika hanya menyisakan dirinya seorang, guru kelasnya menghampiri dan berujar: Wekwek besok tidak usah masuk lagi ya. Kamu sudah tidak diizinkan sekolah.

Wekwek baru mengerti pagi ini akan menjadi hari terakhirnya bersekolah.

Di rumahnya Kerempeng tidak bisa menahan anaknya pergi ke sekolah. Ia tidak sampai hati memberitahu apa yang sebenarnya terjadi. Awalnya ia akan berterus terang tapi melihat anaknya terlelap sambil memeluk seragam sekolahnya telah meluluhkan hatinya malam itu.

Sepanjang malam ia hanya mengamati rapor anaknya yang semua nilai pelajarannya berwarna merah darah. Kecuali pelajaran kesenian yang mendapat nilai lumayan.

Seminggu sebelumnya Kerempeng mendapat undangan untuk menerima rapor hasil belajar anaknya. Di sana ia sudah ditunggu oleh Kepsek dan beberapa orang guru.

Berasian

0

Semula dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kedua matanya tiba-tiba terbelalak hingga membuatnya bangun dari tidurnya dengan pikiran yang kalut seperti ada sesuatu yang salah dengan ingatannya. Dia kesiangan lagi. Ini hari libur dan tidak ada jadwal apa pun, beruntung.

Tubuhnya masih ingin melekat di atas ranjang tidurnya yang bau dan berdebu— ditambah lagi tak terlalu empuk. Matanya kali ini hanya fokus ke langit-langit bilik sempit yang sudah sejak lama ditinggalinya itu.

Padahal baru terjaga namun pikirannya seketika berkelana ke mana-mana hingga membuat dirinya sendiri bingung apa yang sebetulnya dia cari. Ditelitinya benar-benar, cukup lama, hingga akhirnya ketemu kalau dia ternyata masih terbayang-bayang dengan mimpi aneh yang baru saja dialaminya.

Di sana, dia berada di suatu tempat yang sama sekali tak diketahuinya—dalam mimpi memang sering begitu. Tempat itu seperti ruangan yang seluruh dindingnya bercat warna putih, tidak terlalu besar tapi juga tidak terlalu kecil yang kira-kira ukurannya seperti ruang tamu, ada beberapa gambar berpigura di atas meja yang entah itu foto siapa—tidak ada kursi sama sekali, dan sebuah jam dinding yang ketiga jarumnya mandek, tidak bergerak.

Dia tidak tahu apakah jam itu kehabisan baterai sehingga mati atau memang waktu yang benar-benar berhenti. Kiranya ruangan itu adalah salah satu bagian dari rumah orang tuanya di mimpi yang sedang dia lakoni.

Dia dunia nyata, tidak ada satu ruangan pun yang bentuk dan desain furniturnya seperti itu. Namun tak terlalu dipikirkannya sesuatu yang begitu-begitu karena dia memang tidak terbiasa memperhatikan hal-hal kecil yang sebenarnya penting.

Sementara di mimpinya itu ada orang-orang yang dia kenal dan anehnya mereka tampak sedikit berbeda. Dia melihat adiknya yang menyisir rambutnya ke arah kiri sedangkan yang biasa dilihatnya sisiran adiknya itu selalu ke kanan.

Bapaknya yang sebenarnya memiliki tahi lalat di pelipis sebelah kanan tiba-tiba tahi lalat itu tidak ada. Dia sebetulnya agak lupa— atau barangkali masih mengingatnya namun samar-samar—beberapa bagian plot mimpinya itu tetapi yang sangat jelas diingatnya yaitu masih banyak hal-hal ganjil yang dia lihat di sana terutama perangai mereka yang hanya cenderung diam dan pasif.

Yang menjadi pusat sorot matanya adalah seseorang yang sepenuhnya tidak asing baginya sedang berdiri persis di depannya. Ternyata ada perempuan itu, lagi-lagi, perempuan yang sangat disayanginya tapi belum pernah diungkapkannya dan sepertinya ia juga sempat sayang kepadanya meski sekejap.

Mestinya ketika momen itu ada, dia tak melakukan sebuah kesalahan bodoh yang membuatnya jadi dibenci olehnya. Tapi apa mau dikata, dia memang memiliki watak bodoh dan ceroboh sehingga sering kali melakukan hal-hal yang bodoh dan ceroboh pula.

Padahal sebelum tidur dia sudah amat memaksa kepalanya untuk tidak memikirkan apa pun yang berhubungan dengan perempuan itu tetapi tetap saja yang muncul saat dia tertidur adalah ia-ia juga.

Di mimpinya, perempuan itu tidak berhijab seperti yang biasa dia tahu di dunia nyata sehingga membuatnya dengan leluasa memandang rambut yang tak pernah dia lihat sebelumnya. Dia juga bisa melihat leher perempuan itu, leher yang putih dan menawan. Di

sana, perempuan tersebut tidak hanya memperbolehkannya melihat tapi juga mengizinkannya mengikatkan rambutnya yang sebahu.

Mulai didekatinya perempuan itu kemudian disentuhnya pelan-pelan rambutnya yang hitam dan harum—kedua tangannya mulai gemetar—lantas mengikatnya amat perlahan dari sisi belakang dengan model ekor kuda. Mereka tidak saling berhadapan namun berdiri menghala pada satu arah.

Musim Maling di Musim Haji

0

Trembesi tua yang tumbuh di tepi persawahan itu tampak agung lantaran tajuknya yang lebar. Daun-daunnya mengilap setiap tertimpa cahaya, dan kulit batangnya yang keras dan kasar menimbulkan kesan angkuh dan garang.

Akar-akarnya menonjol di permukaan tanah, menguasai area dengan diameter sepanjang hampir tiga meter. Orang-orang percaya, di pohon yang konon telah berusia lebih dari dua ratus tahun itu, danyang-danyang kampung berdiam.

Dulu sekali, ketika terjadi huru-hara 1965, tak kurang dari sebelas orang digorok lehernya di bawah pohon tersebut. Darah mereka yang tumpah ke bumi dengan segera diisap habis oleh akar-akar rakus trembesi itu.

Mayat mereka ditinggalkan begitu saja. Dan keesokan paginya, mayat-mayat itu menghilang. Orang-orang percaya, para danyang yang tinggal di pohon trembesi yang mengambil mayat-mayat tersebut.

Bagaimana pun juga, sebelas orang tersebut adalah penduduk kampung kami. Dan danyang-danyang, tidak bisa tidak, adalah pelindung kampung kami.

Sebelas arwah orang-orang yang sepertinya tak bertuhan itu kemudian bergabung menjadi penghuni baru pohon trembesi tersebut.

Sampai pertengahan tahun 1970-an, banyak penduduk kampung kami yang mengaku diganggu oleh penampakan – penampakan menyeramkan ketika melintas di sekitar pohon tersebut.

“Itu arwah dari orang-orang komunis,” kata mereka. “Mereka menjadi arwah penasaran sebab mereka tak bertuhan.”

Atas inisiatif kepala kampung, orang-orang kemudian menyelenggarakan tahlil dan memperbanyak membakar dupa di bawah pohon trembesi tersebut, agar arwah-arwah penasaran itu, meski tidak diterima Tuhan, berhenti mengganggu mereka.

Beberapa bulan kemudian, tak ada lagi cerita tentang penampakan di pohon trembesi itu. Kendati demikian, doa-doa kepada orang-orang yang mati di sana tetap dipanjatkan setiap tahlil rutin kampung seminggu sekali, dan dupa-dupa tetap dinyalakan pada malam Selasa Legi dan Jumat Kliwon.

Beberapa minggu sebelum lebaran haji tahun 2011 masehi, seorang maling sapi kabur dan menghilang di sekitar pohon trembesi itu. Bagaikan sebuah rutintitas, maling-maling kian agresif setiap musim haji.

Pada hari-hari itu, harga kambing dan sapi meningkat tajam. Sekitar sebulan sebelum lebaran haji, biasanya mulai terdengar kabar terjadi pencurian ,awalnya seperti desas-desus yang tidak jelas, namun lama kelamaan, kabar tentang pencurian muncul dari kampung-kampung sebelah.

Pada waktu itu pula, orang-orang kampung kami, yang memiliki ternak kambing atau sapi, berjaga di kandang ternaknya masing-masing.

Kandang- kandang ternak kampung kami terletak di sawah masing-masing pemilik ternak, terpisah satu sama lain, jauh dari pemukiman, untuk mencegah aroma tidak sedap binatang ternak mengganggu warga.

Kondisi ini memudahkan maling-maling melancarkan operasinya. Pada awal 2000an, kepala kampung kami – dia benar-benar orang yang baik – mengusulkan agar para pemilik ternak mendirikan kandang mereka di satu lokasi untuk memudahkan pengawasan.

Ia bahkan merelakan tanah ganjaran jatahnya sebagai tempat lokalisasi kandang-kandang tersebut.

Para pemilik ternak menyetujui usul itu, kemudian mereka mendirikan paguyuban dan mereka bergiliran menjaga lokasi kandang itu. Dengan itu, pengawasan menjadi lebih mudah, dan masing-masing orang tidak perlu ronda tiap hari memastikan ternaknya aman.

Maling yang menghilang di sekitar pohon trembesi beberapa minggu sebelum lebaran haji tahun 2011 masehi itu pertama kali dipergoki oleh jagabaya yang kebetulan bertugas jaga malam itu, bersama tiga orang lain.

Mereka membawa parang, sabit besar, tongkat besi, dan kartu remi, serta radio. Jagabaya hendak buang air dan tiga lelaki lain sedang bermain remi di pos ronda yang berada di tengah-tengah lokalisasi kandang ternak.

Sekitar setengah jam sebelumnya, mereka berempat keliling lokalisasi kandang dan keadaan aman-aman belaka. Jagabaya memejamkan mata, merasakan sensasi ketika air seni mengucur ketika ia mendengar lenguh kambing yang gelisah dari sebuah kandang. Jagabaya berusia setengah abad.

Dan lebih dari empat dekade, ia telah memelihara kambing. Jadi, ia tahu bagaimana suara kambing yang lapar, kambing yang birahi, atau kambing yang ketakutan. Jagabaya menahan kencingnya, namun air seninya tetap merembes juga.

Gadis Penenun yang Telaten dan Sabar

0

Alkisah, di sebuah desa hiduplah seorang gadis bernama Diana. Diana tinggal di sebuah gubuk yang sudah reyot. Diana tinggal bersama dengan neneknya yang sudah tua yang bernama Nek Sumi.

Nek Sumi bekerja di ladang perkebunan kelapa sawit milik Pak Tono. Setiap harinya Nek Sumi mendapatkan upah dari pak Tono sebesar Rp. 15.000,-. Dengan pendapatan Nek Sumi tersebut tidak mencukupi kebutuhan Sehari-harinya bersama dengan cucunya Diana.

Dengan keadaannya itu maka Diana berinisiatif ingin membantu meringankan beban neneknya dengan usaha kecil-kecilan yakni menenun sarung dan berencana menjualnya. Setiap harinya, Diana bisa menyelesaikan tenunan sarung sebanyak 5 lembar dan akan dijual di pasar-pasar terdekat.

Meskipun sarung Diana terbilang sangat sedikit tapi sarung Diana merupakan sarung yang paling laku dan popular di pasaran, karena sarung buatan Diana terbilang murah. Selain itu, kain sarungnya yang halus serta motif sarungnya yang indah dan warnanya bagus-bagus.

Sehingga banyak diminati dan disukai oleh pembeli. Ada banyak pembeli yang berminat membeli sarung Diana mulai dari warga lokal maupun turis-turis dari manca Negara.

Terlihat dari hari ke hari permintaan sarung tenunan Diana semakin meningkat, sehingga Diana tidak bisa mengerjakannya sendiri. Karena permintaan sarung Diana yang cukup banyak tersebut , maka Diana mulai memperkerjakan 5 orang pekerja.

Nana, Bu Lia, Mbak Lisa, Pak Harto dan Pak Herdin. Mereka adalah pekerja yang rajin dan ulet seperti Diana sehingga tidak sulit untuk diajak kerja sama.

Dengan Kemajuan usaha Diana menyebabkan penenun di desa itu merasa iri, Terutama penenun yang bernama Bu Ani. Bu Ani sudah lama menekuni usaha tenun tapi usahanya tidak semaju dengan usaha Diana.

Sehingga Bu Ani selalu mencari cara untuk menjatuhkan usaha Diana. Tetapi Diana selalu Diam dan tersenyum menghadapi sikap bu Ani. Hal itu membuat Bu Ani semakin geram pada Diana.

” Mengapa Sarung tenun Diana Selalu laku?” Ucap Bu Ani.

“Apa yang harus saya lakukan agar usaha Diana bangkrut dan tidak disukai oleh orang-orang,” Guman Bu Ani.

Tiba-tiba ide jahat terlintas dibenak Bu Ani. “Aku punya ide lebih baik kubakar saja toko Diana,” Guman Bu Ani Dalam Hati sambil tertawa.

Pada tengah malam yang sunyi dan senyap saat orang-orang terlelap dalam tidurnya. Bu Ani pun melaksanakan niat jahatnya bersama karyawannya dengan membakar toko Diana secara diam-diam.

Keesokan harinya saat Diana terbangun tiba-tiba datang Bu Lia terengah-engah.

“Non. Non Diana Toko sarung Non Diana terbakar,”ucap Bu lia.

“apa. serius Bu?” Tanya Diana Tidak percaya.

“Serius non, kalau non tidak percaya, mari ikut ibu ke toko untuk melihatnya non !” Ucap Bu Lia sambil menarik tangan Diana.

Sesampainya Diana Di depan tokonya alangkah terkejutnya Diana melihat tokonya terbakar. Tokonya terbakar habis tanpa tersisa sedikitpun. Di sana juga ada Mbak Nana, Mbak Lisa, Pak Harto, Nek Sumi dan Pak Herdin mereka lebih dulu tahu dan bergegas melihatnya. Merekapun sangat terkejut menyaksikan toko Diana yang terbakar habis.

“Astaga. Bagaimana ini bisa terjadi? “Ucap Diana.

Tiba-tiba Bu Ani datang dan berkata pada Diana.

“Ya ini karma buat kamu karena sudah menyaingi toko saya!”Ucap Bu Ani dengan sombongnya.

Setelah berkata begitu Bu Ani langsung meninggalkan Diana Yang hanya diam memandang tokonya yang terbakar habis. Sepeninggal Bu Ani , Mbak Nana mendekati Diana dan berkata ”Jangan-jangan kebakaran toko ada kaitannya dengan Bu Ani!”.

Hus.. Jangan berkata begitu Nana. Jangan menfitnah orang kalau tanpa bukti, mungkin ini cobaan buat saya,”Ucap Diana pada Nana.

Bulir Air Mata Yang Berbicara 

0

Katanya setiap kebahagiaan itu selalu ada keterpurukan yang mengikuti. Maka ada pepatah lama mengatakan ‘jangan terlalu bahagia, nanti nangis, loh!’. Sebenarnya aku sedikit percaya akan ucapan itu.

Mengingat kejadian dimana 6 bulan lalu adalah bulan bahagia ku, bertemu kekasih yang sudah lama tidak bertemu.

Kebahagiaanku saat itu sangat membuncah, tapi harus dipatahkan dengan realita dimana ia mengaku bermain perasaan dengan orang lain dibelakangku. Semesta memang senang sekali membolak-balikkan hati dan seisinya.

Hai, aku Karina. Kejadian yang tadi kuceritakan itu sudah lama sekali, dan bersyukurnya digantikan oleh seseorang yang ada dihadapanku sekarang.

Ia menjadi salah satu alasanku masih bisa bertahan sampai saat ini. Penyabar, Penyayang, dan pun aku mencintai segala nya dari dia.

“Ngelamunin apa sih?” ucapnya sambil menaruh ponselnya di atas meja lalu tangannya menjulur mengusap pucuk kepalaku.

Aku masih tetap menopang dagu dan memejamkan mata sembari tersenyum merasakan kenyamanan yang ia beri beberapa detik lalu. “Aku lagi bersyukur tadi” jawabku.

“Bersyukur kenapa? Tiba-tiba?”

“Iya, tiba-tiba” aku menatapnya dalam, dan dia pun begitu. Memberikan tatapan intens bahwa kami saling tertarik satu sama lain. Mungkin untuk saat ini kita sama seperti anak kembar yang tidak bisa dipisahkan.

“Aku bersyukur bisa nemuin jodoh di lingkungan terdekat-”

“-Maksud aku, kamu loh, Iqbal, teman SMP aku yang datang lagi kehadapan, trus milih untuk serius sama aku, kaget sih cuman aku gak bisa berhenti bersyukur karna itu kamu”

Ia tersenyum manis mendengar penuturan ku yang agak berbelit. Susah memang menjelaskan bagaimana perasaan hati didepan seseorang yang membuat jantung mu berdegup tidak normal.

“Ya artinya, kamu memang jodohku” jawabnya singkat. Iqbal memang orang yang tidak bertele-tele, dan karena itu aku menyayanginya.

Didikan orang tua yang tegas mungkin menjadi faktor lain kenapa kepribadian dia seperti itu. Ayah yang serius dan Ibu yang penyayang, Iqbal mempunyai keduanya, dan itu sempurna bagiku.

Kami menyudahi percakapan ringan didalam restoran yang biasa kita kunjungi untuk makan siang.

Babe, beli kopi dulu yuk di toko roti di sebrang” ajakannya kujawab dengan anggukan dan jawaban semangat “Yuk! Katanya sih ada cheesecake yang enak disana. Toh masih 2 jam lagi kan masuk kerja?” Ia pun mengangguk dan menggengam tanganku.

Perasaan bahagia ini selalu membucah dikala aku didekatnya. Sepanjang jalan menuju toko roti sebrang tak henti-hentinya aku melirik tangan kami yang bertautan.

Jari jemarinya yang berada disamping membuat telapak tanganku menjadi mungil karnanya. Aku terkekeh pelan dan fokus untuk menatap jalanan lagi.

Tetapi perlahan firasatku membuat kedua kaki menurunkan tempo berjalan. Surai itu, pakaian itu, dan juga senyuman itu pernah menjadi pelangi di hidupku. “Kenapa ada disini sih” gumamku pelan yang membuat Iqbal menoleh.

“Hm? Kenapa babe?” pertanyaan Iqbal kujawab dengan gelengan dan mengeratkan pegangannya. Mungkin ia sadar dengaan tingkah ku yang secara tiba-tiba menjadi aneh, ia mengusap pelan tanganku dengan ibu jarinya.

Dengan poni yang menutupi setengah muka, ku tolehkan pandangan ini kearah yang lain agar kami berdua tidak saling menatap.

Kalau kalian mau tahu apa yang kulihat, kalian masih ingat kan cerita tentang mantan ku yang sudah lama tidak bertemu, tetapi sekalinya bertemu ia malah berbicara dirinya mendua? Ya! Dia sekarang ada disini.

Entah apa keperluannya tapi yang kusadar ia bersama dengan wanita pilihannya yang baru. Ow, sudah tidak bersama dengan selingkuhannya lagi ternyata.

Saat kami memasukki toko roti ini wanita itu berjalan memasukki tempat, sepertinya sih mencari meja. “Babe, ada apa? Daritadi kamu keliatan gak nyaman”

“Eh-? A-anu…” Belum sempat aku menjawab pertanyaan sang pujaan hati, sialnya si brengsek itu menyadari kehadiranku. “Loh Karina?” Karna refleks yang kupunya, poni yang awalnya menutupi setengah wajah sengaja ku selipkan dibelakang daun telinga agar ia bisa lihat wajahku yang baik-baik saja, mungkin.

Iqbal yang masih disampingku melepaskan tautan di tangan dan beralih merangkul pundakku, He’s jealous. Awalnya aku memang kikuk melihat tatapan mantanku ini yang beralih ke rangkulan Iqbal lalu menuju wajahku lagi.

Mungkin ia sama-sama kagetnya denganku karna tidak menyangka bisa bertemu kembali disini, yah, tentu masing-masing ditemani pasangan baru.

“Kukira itu bukan kamu, na” ucapnya basa-basi

“Hehehe, udah lama ya gak ketemu, Ki” dan Rizki namanya. Kami masih sama-sama diam dalam beberapa detik sampai seorang wanita yang tinggi nya sepantar dengan Rizki dan tentu jauh diatasku menggandeng pergelangan tangan mantanku. “Yang, ko lama sih, uangnya kurang ya?”

“Hah? Enggak ko, ini ada temen lamaku, jadi ngobrol dulu sebentar” “Oh kukira ada apa, yaudah aku balik ke tempat duduk ya, yang” “Oke, sayang”

Tersenyum kecut kala aku melihat kemesraan yang berada dihadapan. Kepalaku agak menunduk untuk tidak terlalu fokus pada dua orang romansa muda yang sedang dimabuk cinta. Meskipun aku juga pernah merasakan itu dengan Iqbal, tapi kenapa hatiku terasa sakit lagi ya melihat Rizki begitu?

Sorry bro, kalau gak ada kepentingan kita mau pesan duluan dan cabut”

“Eh tunggu, kalau kamu gak sibuk na” Dia masih memanggil ku ‘na’, itu… panggilan kesayangan dia untukku. “Aku mau undang kamu ke acara nikahan aku minggu nanti” Masih berani memanggil mantannya dengan akrab ya, tidak tahu diri. “Undangannya online ko, instagram mu masih yang lama kan?”

Aku masih belum menjawab dan menunduk. Didalam pikiranku sekarang hanyalah aku ingin cepat-cepat pergi dari sini. “Bal.. ayo pergi” aku berujar pelan sambil mendekatkan diri kebadan Iqbal. Ia mengerti dan segera mengangguk untuk mewakilkan diriku menjawab ajakan Rizki. Tentu, Iqbal tau orang masa lalu ku ini, si lelaki brengsek.

“Maaf sebelumnya, tapi kamu tahu sendiri kalau Karina sekarang gak nyaman untuk bertemu dengan masa lalunya. Jadi daripada membuat Karina sedih, lebih baik undangannya dikirim saja ke saya” Aku melirik sebentar kearah Iqbal, dirinya terdiam sejenak karna mengambil sesuatu didalam kantong celana.

“Ini kartu nama saya dan kamu bisa kirim undangannya lewat e-mail. Biar nanti Karina sendiri yang memutuskan bakal datang atau enggak, yang jelas sekarang dia cuman mau pergi” “Oh… oke kalau gitu” jawaban singkat dari Rizki yang sudah mengambil kartu nama

Iqbal membuat ku sedikit lega. Ia tidak lagi membentak ataupun tersulut emosi seperti dulu ketika ada orang yang menolak ajakannya. Sudah banyak berubah ternyata.

“Yaudah na, aku duluan, mas, saya duluan” “Ya, silahkan”

Orang yang daritadi mengganggu penglihatanku sekarang sudah hilang. Iya, tentu dengan bantuan Iqbal juga.

Rangkulan tangannya masih terjulur di pundakku. Sambil memesan kopi yang ia inginkan dan tentunya cheesecake yang sebelumnya kubicarakan dengannya.

“Kamu tau gak sih babe, aku sempet pengen mukul orang tadi”

“Heh?! Ko gitu?” kaget akan penjelasan ngaco dari Iqbal, Raut wajahku berubah langsung menjadi kaget sambil menatapnya dari samping agak mendongak. Jangan berkomentar atas tinggi badanku, ya!.

“Iya, soalnya orang itu gampang banget ngebuat kamu sedih hanya dalam satu hembusan nafas”

“Ih apasih, enggak ya~! Sok tau kamu” Aku merenggut kesal sambil bersedekap. Tetapi anehnya ia malah terkekeh lalu mengusap kepalaku sayang.

“Jangan kesel-kesel lagi ya, babe. Jangan takut lagi buat ngehadepin masa lalu, karna sekarang kamu bisa bertopang sama aku. Jadiin aku senjata kamu juga boleh. Yang penting kamu jangan sampai terpuruk karna dia ngusik kehidupan kamu lagi”

“aku sayang banget sama kamu, Karina.”

Dengan gerakan yang lembut ia mengecup pucuk kepalaku dengan sayang. Tepat pada saat itu juga hatiku terenyuh.

Air mata yang telah mengembang di kelopak mata karna mendengar ucapan Iqbal turun perlahan membasahi pipi.

“Loh jangan nangis…”

Perih ternyata, jika kamu masih mempunyai perasaan setitik untuk masa lalumu, sedangkan masa depan mu sedang menunggu untuk bersiap melangkah maju bersama denganmu. Semesta memang sebercanda itu ya.

Aku tak ingin menyuarakan kejujuran ku kali ini, alih-alih membuat Iqbal merasakan sakit hati, aku hanya bisa memendam biar bulir air mata saja yang kini berbicara untuknya.

“Iya babe, makasih ya, aku sayang kamu juga, Iqbal”

Aku munafik? Entahlah, aku pun tak tahu harus bagaimana.

Penulis : Clara Syifa

Clara Syifa

Pak Tua William

0

TUKANG kebun di rumahku, Pak Parno, membukakan gerbang untukku seraya berpesan agar aku hati-hati. Dia tak kuberi tahu bahwa pagi itu aku berkunjung ke Klinik Long Live di Jalan Veteran No. 78, Malang, semacam klinik underground.

Aku tergiur atas sebuah kiriman pesan di kotak masuk emailku, mengatakan bahwa mereka melayani berbagai pengobatan. Dan satu hal yang membuat diriku tergerak adalah pernyataan bahwa mereka berani menjamin seratus persen kesembuhanku.

Mereka mengklaim bahwa mereka adalah klinik pertama di dunia yang mengimplementasikan teknologi alien termutakhir ke dalam pelayanan kesehatan. Apa pun itu, kupikir tidak ada rugi jika aku mencoba berobat ke klinik tersebut, tak peduli biaya yang harus kubayarkan lumayan mahal.

Seorang petugas secantik Barbie berkebaya ungu menyambutku dengan hangat ketika aku tiba di lokasi. Dia lekas mengantarkanku ke sebuah bilik berlapis kain hitam. Pada tiap sudutnya diberi bola lampu kecil-kecil memancarkan cahaya merah, kuning, biru silih berganti.

Berdirilah aku di sana di depan sebuah komputer dengan monitor seukuran kurang-lebih empat belas inci dilengkapi tombol di sisi kanan-kiri, mirip sebuah mesin ATM.

Kupencet tombol ON berbentuk kotak merah di sisi bawah. Tiba-tiba layar itu menyala, menampilkan ratusan nama penyakit dalam MENU UTAMA. Semua tereja dalam huruf kapital.

Mulai dari penyakit KESEMUTAN sampai OSTEOPOROSIS, JANTUNG LEMAH, bahkan hingga KEBODOHAN, tetapi aku tak memilih satu pun di antara mereka karena aku lebih tertarik pada MENU LAIN yang terletak di deret paling bawah.

Dalam iklan yang kubaca kemarin itu, mereka merekomendasikan MENU LAIN kepada siapa pun yang ingin memulai hidup baru dengan kondisi tubuh yang prima.

Di dalam MENU LAIN tadi terdapat dua opsi saja. Opsi kesatu berbunyi: REPARASI PENUH. Opsi kedua berbunyi: KEMBALI KE MENU UTAMA. Tak ada yang membuatku ragu memilih opsi kesatu. Maka kupencet tombol itu, dan komputer memberiku catatan berupa peringatan bahwa pilihan yang aku ambil ini akan berdampak besar pada hidupku dan bla-bla-bla hingga berpuluh-puluh paragraf.

Tentu aku tidak membaca teks tersebut sampai selesai karena mataku perih. Kakiku pegal berdiri. Jadi, kutekan saja tombol SAYA SETUJU. Kemudian komputer memberiku beberapa pilihan tubuh baru.

Setiap tubuh yang kupencet memiliki detail spesifikasi tersendiri. Harganya tentu saja berbeda- beda sesuai kualitas fisik. Karena anggaran yang kusiapkan hanya cukup untuk membeli tubuh dengan kualitas standar saja. Aku tidak punya banyak pilihan karena aku bukan orang kaya. Dan setelah beberapa menit memilah-milah, aku akhirnya menjatuhkan pilihanku pada tubuh dengan kode HB-51.

Terdapat beberapa informasi umum persis di samping foto tubuh HB-51 yang telah dengan mantap kupilih tadi. Di antaranya bahwa dia berumur 25 tahun dengan tanggal lahir 28 Januari 2034, memiliki tinggi badan 174 sentimeter, berat badan 65 kilogram, rambut hitam lurus, kulit kuning langsat, golongan darah A, dan dia dibekali IQ 118.

Kupikir dia cukup bagiku jika aku ingin hidup lebih baik. Tubuh yang kukenakan sekarang kurasa sudah terlalu busuk, berumur 65 tahun dengan segudang penyakit mulai dari rematik, asam urat, hipertensi, kolesterol, dan kencing batu. Semua itu membatasi aktivitasku sehari-hari, tentu saja.

Kemarin bahkan aku hampir mati karena jantungku tiba-tiba berhenti saat aku kencing di kamar mandi. Aku ambruk di sana, membangunkan Pak Parno. Kepalaku membentur pintu, dan aku terbangun kembali dalam keadaan berdebar-debar. “Anda kenapa, Tuan?” tanya Pak Parno. “Kepleset” jawabku. Aku muak dengan segala penyakit yang menggerogoti jiwaku.

Maka begitu mengetahui iklan Klinik Panjang Hidup di Malang melalui email yang mereka kirimkan padaku, aku langsung menjual sebagian besar Bitcoin-ku termasuk sebelas hektar tanah warisan almarhum bapakku di Bojonegoro. Demi hidup lebih baik, pikirku.

Aku digiring menuju ke Ruang Pengunduhan Pikiran dan Instalasi di ujung koridor setelah membayar biaya yang tertera di layar komputer tadi ke mesin resepsionis. Di ruang itulah kepalaku kemudian ditempeli kabel-kabel kecil yang terhubung ke sebuah sistem kendali.

Hanya dalam beberapa menit, seluruh data di otakku telah berhasil dikonversi ke dalam format “.SOUL”, tersimpan ke dalam sebuah bio-disket sebesar kulkas dua pintu. “Apa Anda sudah siap, Pak Tua?” kata seorang dokter bernama Usman yang menanganiku. Aku tahu dia bernama Usman karena aku melirik tanda pengenal yang menempel di dada kirinya.

“Tentu saya sudah siap, Pak Dokter,” jawabku penuh keyakinan. Dokter Usman memiliki kepala botak berkilau memantulkan cahaya lampu yang menempel di langit-langit ruangan. Itu cukup membuat mataku silau. Dia terlihat kurus, menggunakan kacamata kebesaran, kulit wajahnya longsor, dan berseragam kemeja tropis layaknya seorang turis di Bali.

Dia menyuntik lenganku. Namun, sebelum aku tak sadarkan diri, aku masih dapat melihat bayang-bayang dua orang perawat masuk ke ruangan dengan membawa peti kaca berisi tubuh HB-51 yang sudah terbungkus oleh pakaian sebagaimana tampak di foto ketika aku memilihnya.

“HB-51. Pilihan yang bijak, Pak Tua!” seru Dokter Usman padaku sebelum aku benar-benar tak ingat apa pun kemudian.

Singkat cerita, ketika aku tersadarkan kembali, aku menemukan diriku terbaring di ranjang di sebelah diriku sendiri. Kemudian aku segera mengetahui bahwa aku telah berada di tubuh HB-51. Aku pun mulai berpikir bahwa aku salah jika tadi aku berpikir bahwa si dokter menyuntikkan obat bius padaku.

Lebih tepat jika kukatakan bahwa si dokter telah menyuntik mati diriku. Kurasakan kepalaku berdenyut-denyut, masih terhubung dengan bio-disket melalui dua kabel hitam.

Morning Glory

0

Lukisan ini indah sekali, Jo.” Pria berkepala lima tersebut mengomentari kanvas berukuran 20×30 cm yang kuletakkan pada easel yang berdiri kokoh di pojok ruang keluarga rumah kami.

“Tentu saja, Yah. Ini dibuat dengan hati, aku sungguh menyesal baru menemukannya sekarang. Aku akan mengunjunginya malam ini. Ayah mau ikut?” Aku memperhatikan dengan saksama bagaimana wajah lawan bicaraku yang sedang memandangi kanvas bergambar bunga merambat itu kini dihiasi keriput sana-sini.

Pria yang kupanggil Ayah tersebut terkikik dengan napas pendeknya. “Ayah sudah terlalu tua, Jo. Persendian Ayah tak lagi kuat untuk melakukan perjalanan jauh, pulang kampung dalam setahun sekali pun terasa sangat melelahkan. Namun, tidak bisakah berangkat besok siang saja seperti biasanya, Nak? Ayah sungguh mengkhawatirkanmu.”

Aku merentangkan lengan kananku, merangkul bahu lebar Ayah. “Tidak bisa, Yah, lukisan ini harus sampai tepat waktu. Aku juga sudah mengatur jadwal bimbingan mahasiswaku.

Lagi pula aku bukan anak kecil lagi, Yah, bulan lalu usiaku tepat 29 tahun.”

“Kamu selalu menerangkan betapa sibuknya diriimu, Jo, tetapi tak pernah absen mengunjunginya setiap bulan,” sahut Kak Intan, kakak perempuanku satu-satunya. Ia bergabung bersama kami.

“Agendaku memang padat, Kak, tetapi untuknya ataupun kalian pasti aku selalu punya waktu. Ngomong-ngomong, Kakak bakal menginap di sini?” Aku mengambil duduk tepat di sebelah Kak Intan.

“Aku melihat postingan terbarumu mengenai lukisan itu, Jo. Siapa lagi selain putri sulung Ayah yang dapat menemani beliau ketika kamu sedang tidak di rumah?” tanya wanita berkepala tiga tersebut sambil berlalu menuju dapur.

Sesekali aku menanggapi beberapa pandangan Ayah mengenai lukisan yang akan segera kupertemukan dengan pelukisnya. Walau tak terlalu paham mengenai kesenian, setidaknya aku di sisi sang pelukis kala lukisan itu dibuat.

“Aku ke kamar dulu, Yah, Kak,” pamitku. Setengah jam lebih kami habiskan waktu bersama dengan saling berbagi kisah ditemani cangkir-cangkir berisi teh hangat tanpa gula.

“Kakak titip salam buat dia ya, Jo.” “Ayah juga nitip untuk keponakan Ayah.”

***

Hani!” Gadis berambut sepundak itu hampir saja terjungkal dari ayunan mendengar teriakanku memanggil namanya. Ujung baju terusan ungu yang ia kenakan terbang ke sana- kemari mengikuti gerakan ayunan tali yang menggantung pada pohon dekat rumah kami.

“Kak Jono? Aku kira Kakak sampainya lusa.” Hani memberhentikan laju ayunan lantas berdiri menyambutku.

“Kalau bisa hari ini kenapa harus menunggu besok, kan? Aku bisa ke sini juga setahun sekali, Han.” Aku mengisyaratkan pada gadis itu untuk kembali duduk lalu perlahan mendorong dan menariknya hingga kembali terayun.

“Kak, aku barusan tau kalau ternyata Kak Jono itu sepupu mama. Biar lebih sopan sebaiknya aku panggil Kakak dengan sebutan om atau paman? Paman Jono?” Hani bergerak cepat menutup mulutnya dengan telapak tangan, kami tertawa geli bersama. Aneh ketika mendengar Hani menyebutku paman, sedangkan selama belasan tahun ia selalu memanggilku kakak.

“Ya ampun, Han, kita beda tiga tahun doang, panggil kayak biasa aja! aku nggak keberatan sama sekali kok. Lagi pula aku dan mamamu sepupuannya jauh banget, buyut dari buyut kami yang bersaudara.” Ia memutar kepala, melihatku dengan ekor matanya. “Oh ya?”

Aku berdeham pelan, tetapi masih sampai ke telinganya. “Lukisan morning glory-mu apa kabar, Han? Sudah empat tahun kamu lukis itu dan sampai sekarang belum selesai.” Aku benar-benar penasaran dengan nasib salah satu lukisannya yang sejak lama kutunggu.

“Setelah ini aku lanjut, Kak. Aku selalu merasa butuh saran Kakak.” Aku mengambil duduk pada bangku panjang tak jauh dari ayunan. Di bangku tersebutlah Hani selalu melakukan hobinya dengan ditemani olehku ketika dahulu aku masih tinggal di desa ini, beberapa tahun yang lalu.

Akhir Bahagia

0

“Bu, Alina berangkat kerja dulu yaa, Assalamu’alaikum” “Wa’alaikumussalam, hati hati ya lin…” “Iya bu…”. Setelah berpamitan, Alina pun bergegas ke kantor barunya menggunakan ojek online. Alina adalah seorang freshgraduate berusia 21 tahun.

Dirinya berhasil menempuh kuliah selama tiga setengah tahun di salah satu Universitas Negeri yang ada di Bandung. Meskipun hanya seorang mahasiswa bidikmisi, dirinya mampu berprestasi dan menjadi lulusan termuda di angkatannya.

Pagi ini cukup mendung, namun semangat Alina berlawanan dengan kondisi langit yang tidak mendukung, Alina melangkahkan kakinya menuju perusahaan swasta yang tidak jauh dari rumahnya, dan hanya memakan waktu satu setengah jam untuk sampai disana menggunakan ojek online.

Kini, Alina hanya tinggal bersama ibu dan satu adik laki-lakinya yang masih kuliah, Namanya Fazriel. Alina sangat ingin bekerja semenjak dirnya SMA, namun tidak diizinkan ibunya, dengan alasan Alina cukup fokus saja mengenyam Pendidikan.

Semenjak kepergian ayahnya, kebutuhan mereka kurang terpenuhi karena ibunya hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Namun, Alina memiliki kakak laki-laki dengan usia terpaut 6 tahun yang sudah menikah dan berkeluarga.

Biaya hidup sehari-hari hanya mengandalkan sang kakak setiap bulannya. Sesungguhnya Alina sudah sangat bersyukur, keuangan keluarga terbantu oleh sang kakak.

Tetapi, jika hanya mengandalkan kakaknya, bagimana kehidupan dirinya bersama ibu dan adiknya makmur seperti dulu. Sementara ibu semakin tua, tentu membutuhkan biaya lebih untuk menunjang kesehatan sang ibu.

Akhirnya, Alina yang memang dianugerahi otak cerdas hingga menyelesaikan kuliah dengan waktu singkat, memutuskan untuk langsung melamar pekerjaan. Dan bersyukur langsung diterima.

Dengan gaji yang cukup besar karena lulusan sarjana, Alina berpikir ini lebih dari cukup untuk keberlangsungan hidupnya dan keluarganya. Fazriel pun juga belum diizinkan bekerja oleh ibu, dikarenakan alasan yang sama dengan yang ibunya katakan pada alina dahulu.

“Mbak Alina, silakan datang ke lantai 7 ruang B15. Disana sudah ada seseorang yang siap mengarahkan Mbak Alina melakukan pekerjaan hari pertama dan seterusnaya.” kata wanita 30 tahun itu dengan ramah.

Wanita tersebut adalah staff administrasi yang bekerja di lantai 2. Namanya Liza, begitu alina melihat name tag yang disematkan di kemejanya. “baik mbak, terima kasih untuk informasinya. Saya permisi.” jawab Alina.

Dan langsung menuju lift. Entah mengapa perasaannya tidak enak. Kini dirinya berada di lift Bersama pemuda dengan postur tinggi besar, menggunakan kemeja dan menggelangi jasnya di tangannya.

“Umm… saya belum pernah melihat anda sebelumnya. Apakah anda.. pekerja baru disini?” kata laki-laki itu sedikit menunduk melihat Alina yang bertubuh kecil didepannya. “I-iya pak. Perkenalkan, saya Alina Ramanda, staff baru bagian sekretaris.” jawab Alina sedikit gugup.

Laki-laki itu hanya mengangguk paham dan tersenyum. “Saya Arkan, pimpinan perusahaan ini.” Jelas Arkan. Tiba-tiba, lift sampai di lantai yang alina tuju. Tak disangka, ternyata Alina dan Arkan menuju lantai yang sama. “Anda mau kemana?” Tanya Arkan sambal berjalan disampingnya.

“Ruang B15 pak. Ngomong-ngomong, sebelah mana ya pak? Berhubung saya baru bekerja hari pertama, saya belum begitu hafal letak-letak ruangan Gedung ini” jawab Alina. Arkan tersenyum simpul.

“Dari sini anda bisa berjalan lurus, lalu belok kiri dua kali. Bila anda menemukan ruang dengan pintu kayu ukir, maka disana ruangannya.” jelas Arkan sambal menunjuk-nunjuk menggunakan jarinya. “Baik pak, terima kasih atas bantuannya.

Saya izin permisi”. Baru saja Alina hendak pergi, Arkan menggengam pergelangan tangan Alina. “Tunggu” tegasnya. “Oh, ada apa ya pak?” Alina kebingungan saat mendapati dirinya merasakan perasaan aneh yang tiba-tiba datang.

Arkan langsung terus terang menjelaskan bahwa dirnya dan Alina sebenarnya ingin menuju ruangan yang sama. Mereka pun menuju ruangan tersebut dengan jalan bersampingan.

Alina merasakan kerisihan yang luar biasa sejak Arkan memegang pergelangan tangannya. “Silakan masuk” kata seseorang dari dalam.

Ternyata didalam ada seorang lelaki paruh baya. “Wajahnya tidak asing, tapi siapa ya?” gumam Alina. “Calonmu, dek?” tanya lelaki tua tersebut. “Mungkin suatu saat Pa” jawab Arkan. Eh? Alina mulai pusing.

“Dek? Pa?” seperti panggilan ayah ke anaknya. Setelah Alina pertegas, loh? Wajahnya… “Mirip? Ini Papa saya.” Tiba-tiba arkan langsung mengetahui isi otak Alina. Dan tadi… mengenai calon… “Enggak pak, mohon maaf.

Saya bukan calonnya. Saya hanya pekerja baru disini. Mohon pengarahannya pak.” Tegas Alina sambil membungkukan badannya. Lelaki tua itu terkekeh, disusul kekehan Arkan. “Tidak ada yang tidak mungkin.

Kita kan tidak tahu takdir kita kedepannya. Siapa tahu anda memang calon saya” jelas Arkan santai. Alina menjadi semakin malu dan canggung dibuatnya. “Nak, justru, anak saya ini yang akan mengarahkan segalanya mengenai pekerjaan kamu.

Saya hanya bertamu, mengontrol keadaan perusahaan. Sekarang pimpinan perusahaan ini adalah anak saya, Arkana Lazuardi” jelas lelaki tua itu, tidak lama, dirinya berpamitan lalu pergi meninggalkan perusahaan.

Arkana langsung duduk di kursi tempat Papanya duduk. Alina yang melihat kejadian barusan hanya terdiam di depan meja, sambal menunduk. “Jadi, hari ini anda mulai bekerja menjadi sekretaris saya.

Bagaimana, apakah anda siap?” tanya Arkan. Alina tidak punya pilihan Dirinya segera menyetujui pekerjaannya tersebut. Hari demi hari, Alina mengerjakan pekerjaannya dengan lancar.

Dirinya dan Arkan juga semakin dekat seiring berjalannya waktu. Tak terasa sudah 2 tahun bekerja dibawah pimpinan perusahaan yang Arkan kendalikan. Semakin lama, semakin tekuak bahwa Arkan adalah teman alina semasa SMP.

Keduanya sama-sama tinggal di bandung. Setelah itu, mereka berpisah karena Arkan harus tinggal di Jakarta mengikuti Papanya yang sedang dinas. Keduanya mengikat janji jika suatu hari bertemu, Arkan akan menikahi dengan Alina.

Alina pun menunggu, namun dirinya mulai melupakan janji tersebut karena sibuk mengejar akademiknya. Dan sekarang mereka dipersatukan kembali, hingga selang beberapa bulan, mereka memutuskan untuk menikah dan bahagia bersama.

Penulis : Nisrina Putri

Nisrina Putri

Piala

0

“Dunia ini tidak adil bagiku, Bund,” tiba-tiba saja kata-kata itu meluncur dari mulut mungil bocah kelas II MI itu. Entah apa yang membuat anak itu melontarkan kata seperti itu. Padahal seingatku, aku selalu mengajarinya untuk selalu berprasangka baik terhadap apa pun. Namun entah kenapa kali ini ia sampai mengucapkan kalimat seperti itu.

“Kenapa, sayang?” kubelai rambutnya yang panjang sebahu sambil kupeluk. Bibirnya yang manyun mengisyaratkan ada kekecewaan yang masih tersimpan di hatinya.

“Gini lho, Bund. Dulu waktu aku dapat juara satu lomba mewarnai, panitia gak nyediain piala. Sekarang giliran aku gak dapat juara, panitia menyediakan piala. Apa ini adil namanya, Bund? Aku kan juga mau dapat piala.”

“Fatin pengin seperti Dik Fadel punya piala banyak terus dipajang di ruang tamu. Bagus, kan Bund? Nanti ayah sama bunda pasti senang dan bangga sama Fatin? Iya, kan, Bund?” mulutnya yang masih manyun terus menerocos seolah mengalirkan rasa kecewa dan marahnya pada keadaan.

Kurasakan tiba-tiba saja pipiku basah oleh air mata. Entah perasaan apa saja yang berkecamuk waktu itu. Tiba-tiba saja dadaku terasa begitu sesak. Aku bisa merasakan sejuta perasaan kecewa anak keduaku ini. Andai aku bisa menebus rasa kecewa itu, Nak, batinku. Namun sebenarnya bukan itu yang kami Inginkan.

“Sayang, biarpun Fatin gak dapat piala tapi bagi ayah sama bunda Fatin tetap juara, kebanggaan Ayah dan Bunda kok,” kupaksakan bibirku untuk tetap tersenyum di hadapannya.

“Seorang juara bukan dilihat dari berapa banyak piala yang berhasil diraihnya, tetapi seorang juara yang sebenarnya adalah ia yang mampu mengalahkan kemalasan, keterbatasan, dan mengubah keadaan menjadi lebih baik, dan jauh lebih baik lagi. Itulah juara yang sesungguhnya, Nak!”

Sedikit ada perubahan di mimiknya, sudah tidak manyun lagi, tapi masih terpancar ketidakpuasan di wajahnya. Hatiku sedikit lega. Semoga penjelasanku tadi dapat menenangkan kegelisahannya.

Jujur kuakui, pasti setiap orang tua akan merasa bangga jika anak-anaknya menjadi juara dan mengumpulkan segudang piala yang dapat dipajang dan dipamerkan pada rekan- rekannya. Namun bagi kami, itu bukanlah tujuan utama. Yang terpenting justru bagaimana ia dapat menjadi anak-anak yang saleh dan salehah.

Memang selama ini dia suka lihat piala-piala punya Fadel yang dipajang di rak kaca di ruang tamu. Fadel, anak sulung adik perempuanku itu memang jago sekali menggambar. Bakat dari ibunya mungkin.

Maklum ibunya yang seorang guru TK itu memang pandai menggambar. Sederet pialanya turut menghiasi rak kaca di ruang tamu, berjajar dengan piala perolehan anaknya. Apapun yang digoreskannya diatas kanvas akan menjadi lukisan yang artistik, memukau setiap mata yang memandangnya. Bakat melukisnya semakin terasah dengan melekatnya sebuah profesi guru TK pada dirinya.

Lain halnya denganku. Sebagai seorang alumni Sastra, sense of humanioraku lebih dominan. Rasa yang mengajarkanku pandangan dan prinsip hidup yang agak berbeda dengannya. Bagiku, hidup bukanlah soal menjadi seperti apa kita, tapi lebih pada seberapa kita dapat memberi manfaat bagi orang lain dan lingkungan.

Kebahagiaan sejati bukan terletak pada seberapa megahnya rumah kita, seberapa banyak koleksi mobil mewah kita, seberapa banyak emas dan harta yang mampu kita timbun, dan seberapa dihormati serta dipuja-pujanya kita.

Tapi, kebahagiaan sejati akan senantiasa kita rasakan ketika kita mampu memberi dan berbagi sebanyak-banyaknya. Kebahagiaan sejati adalah ketika kita berasyik masyuk dengan Sang Pencipta, baik secara langsung ataupun melalui alam ciptaannya. Itulah sebabnya aku sering mengajarkan kepada anakku agar bisa menjadi kran yang selalu mengalir bagi sesama.

Ada yang Tidak Presisi

0

Lelaki muda itu membuka jendela kamar lebih lebar. Ia berdiri tepat di tengah-tengah, hingga jendela itu tampak seperti sedang membingkai dirinya, lalu ia memandang lurus ke depan. Tak lama kemudian ia tengadah, dan malam rupanya sedang memamerkan bulan separo yang tampak seperti mengambang di udara yang ditemani bintang-bintang.

Lama ia memandang langit itu, mungkin sedang mengamati, manakah bintang yang tetap bertahan memancarkan cahaya jika langit sedang tidak bersih. Sejenak rambutnya yang panjang melambai-lambai karena tertiup angin yang masuk ke kamarnya. Ia merasa seperti sedang dibelai-belai angin malam yang datang dari perbukitan paling sunyi.

Lantas ia menunduk, teringat dengan Lestia, kekasihnya yang begitu dicinta, tadi sore menemuinya dalam keadaan menangis. Lestia tiba-tiba datang dengan napas yang kadang tersengal, hingga hal itu membuat Lestia sulit untuk mengatakan sesuatu sebelum akhirnya dengan susah payah menyampaikan bahwa hubungan mereka harus segera diakhiri.

Ayah Lestia tidak menyetujui hubungan mereka, bahkan menganggap lelaki itu tidak pantas untuk menjadi pendamping hidup anaknya. Lestia tidak kuasa berontak terhadap kehendak itu dan tak henti-henti sesenggukan ketika ia harus menyampaikan kabar tersebut. Sementara lelaki itu berusaha untuk tegar, bahkan masih sempat membelai rambut kekasihnya sembari menenangkan hatinya sendiri yang berantakan.

Benak lelaki itu mengembara. Diawali dengan memikirkan kejadian yang ia alami beberapa hari lalu. Karena di dalam dirinya dinilai punya kelebihan, ia dimasukkan menjadi tim fasilitator pembekalan perihal pengajaran bagi guru-guru.

Karena kejadian itu lantas ia teringat dengan cerita hidupnya dulu, sebuah kisah yang oleh orang-orang dijadikan penanda bahwa ia diduga akan menjadi manusia malang. Dulu, sekolah baginya sangat menjemukan. Pada saat itu ia berpikir bahkan berjanji tidak mau berhubungan dengan pendidikan lagi.

Selain ia tidak punya pengalaman menyenangkan terkait pengajaran, juga karena ia merasa tidak ada pengalaman perihal guru yang berhasil membuatnya menyukai sekolah. Sekolah baginya hanya belenggu, bahkan penjara, karenanya begitu lulus ia tak mau kuliah.

Namun karena orangtuanya meminta lantas ia melakukannya dengan terpaksa, kuliah dijalaninya dengan susah payah, pun diselesaikan alakadarnya, sebatas lulus untuk menyenangkan orangtua. Karena itulah, dulu orang menduga, bahwa ia akan menjadi orang yang gagal.

“Aku heran mengapa ayah tidak bisa mengerti?,” guman lirih Lestia sore itu.

“Yang benar itu beliau tidak mau mengerti,” sahut lelaki itu datar.

“Apa bedanya, Mas,? tanya Lestia dengan suara agak menghentak.

Lelaki itu lantas menjelaskan kembali pengertian yang dulu pernah ia sampaikan kepada kekasihnya itu, bahwa apa yang biasanya menjadi masalah bukan tentang salah mengerti. Menurut lelaki itu, apa yang hampir selalu menjadi masalah jika dalam segala hal orang itu tidak pernah mau mengerti. “Dalam hal ini, ayahmulah yang tidak pernah mau mengerti terhadap hubungan kita, atau lebih tepatnya terhadapku,” tambah lelaki itu.

“Tahunya ayah, kamu itu pengangguran,” gumam Lestia lagi.

“Kalau masalah itu, bukan hanya ayahmu, tapi sebagian banyak orang sering menganggapku begitu,” sahut lelaki itu dengan tenang, sembari ia melanjutkan memikirkan kenangannya.

Setelah lulus kuliah, ia lebih memilih belajar pada alam, pada lingkungan, dan pada dunia. Baginya, belajar bisa di mana saja, dan dari sumber apa saja. Keyakinan itu membawanya kepada kehidupan nyata, berusaha untuk menjawab tantangan zaman dengan mandiri hingga ia lantas dikenal sebagai pembelajar yang sesungguhnya.

Rupanya semesta merestui, lelaki itu bukan saja bisa menghidupi dirinya sendiri dengan mendayakan kemampuan dirinya, tapi juga menghidupi orang-orang di sekitar dengan cara mendaya guna segala hal yang ada di lingkungan di mana mereka tinggal.

Dan apa yang ia tekuni itu tidak terlepas dari teknologi, bahkan dari situ ia akhirnya dikenalkan dengan sebuah program pendidikan yang dinamai Presisi, yang arti harfiahnya adalah ketepatan. Program itu membuatnya terhenyak.