Beranda blog Halaman 2587

Tuhan, Bolehkah Aku Memeluk-Mu Sekarang?

0

Zea Shezan Mahasin adalah seorang gadis berusia 17 tahun yang memiliki mimpi dan cita-cita yang besar. Namun karena lingkungannya yang sangat tidak mendukung membuatnya susah untuk mewujudkan mimpi dan cita-citanya itu.

Zea, sapaan akrabnya, dengan mimpi besarnya yang sangat ingin menjadi penulis. Ia ingin menjadi penulis yang bisa memberikan hal positif pada banyak orang. Ia ingin tulisannya itu bukan hanya dibaca oleh orang-orang tapi Zea ingin tulisannya itu bermanfaat untuk orang banyak.

Namun saat ini, Zea merasa tertekan, sangat susah rasanya untuk Zea berkembang. Ditambah penyakit yang dideritanya juga tak kunjung sembuh. Membuat Zea semakin down.

Dikarenakan penyakitnya, Zea terpaksa tidak melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah. Ia harus fokus pada kesembuhannya dulu.

“ Untuk sekarang, Zea harus fokus pada kesembuhan Zea, soal kuliah nanti kalau Zea sudah sembuh,” Ucap Lina Ibu Zea.

Zea hanya menghembuskan nafasnya kasar. Mau tidak mau ia harus menuruti kata Ibunya. Meskipun Zea sangat ingin melanjutkan pendidikannya tahun ini bersama sahabat- sahabatnya di Universitas yang selama ini ia dambakan.

Setiap hari Zea hanya menghabiskan waktu di dalam kamarnya. Duduk di depan komputer menulis banyak cerita dalam komputer miliknya. Sesekali pergi berobat dan mengecek kesehatannya.

Dalam kesehariannya, Zea kadang merasa bosan dengan kegiatannya yang itu-itu saja. Ia ingin melakukan banyak hal, ingin melakukan banyak akivitas. Tapi selalu mendapat larangan dari sang Ibu, dengan alasan belum pulih.

“ Tunggu sampai Zea benar-benar sembuh. Ini untuk kebaikan Zea juga,” ucap Ibunya lembut.

Sebenarnya Zea bosan mendengar kalimat itu. Setiap kali ingin melakukan kegiatan diluar rumah Zea selalu mendapatkan larangan dari sang Ibu.

Sampai pada akhirnya Zea bertemu dengan sosok perempuan yang kisah hidupnya sama dengannya. Namanya Zahira. Awal perkenalan Zea dengan Zahira berawal dari Facebook sampai pada akhirnya lanjut ke WhatsApp.

Seiring berjalannya waktu, Zea dan Zahira semakin akrab, keduanya tak sungkan untuk bertukar kisah. Sampai pada akhirnya Zahira mengajak Zea untuk bertemu pada sebuah kajian yang tak jauh dari kediaman Zahira. Tanpa menolak Zea menerima tawaran Zahira.

Merekapun bertemu. Tampak diraut wajah Zea begitu senang saat bertemu Zahira, sosok yang selalu menyemangatinya, mendengar curhatan-curhatannya, bahkan sudah seperti saudara Zea sendiri.

“ Ze, senang rasanya bisa bertemu kamu, semoga kita bisa jadi sahabat sampai ke Jannah-nya,” Ucap Zahira.

“Iya Ra, beruntung rasanya punya sahabat kek kamu, bisa nerima dan ngertiin aku.

Aku berharap semoga gak ada konflik antara kita.” Ucap Zea diiringi kekehan kecil.

2 TAHUN KEMUDIAN

Zea sudah sembuh dari penyakitnya, dan mendapat tawaran dari sang Ibu untuk melanjutkan pendidikannya di bangku kuliah. Awalnya Zea merasa ragu, karena sudah terlalu lama berdiam diri dirumah, namun karena untuk mewujudkan mimpi dan cita-citanya, Zea menerima tawaran sang Ibu. Meskipun bukan pada Universitas yang selama ini Zea dambakan.

Sedangkan Zahirah, sudah mendaftar tahun lalu. Rencana awal, Zea dan Zahirah sepakat untuk daftar kuliah sama-sama. Namun karena Zea belum mendapat izin dari kedua orang tua, akhirnya Zea membiarkan Zahirah untuk daftar kuliah lebih dulu.

Flashback

“Gak papa Ra, daftar duluan aja, In Syaa Allah nanti Zea nyusul,” Ucap Zea terlihat

tegar.

“ Tapi Zea harus janji, daftar kuliahnya di kampus yang sama dengan Irah,” Jawab

Zahirah yang dibalas anggukan kuat oleh Zea.

Flashlight

Setelah melewati beberapa tahapan dan seleksi, Zea dinyatakan lulus. Berkat dukungan dari kedua orang tua dan kekasih Zea, Zea pun diterima di salah satu Universitas yang lokasinya tak jauh dari kediamannya.

Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Zea pun semakin sibuk dengan kuliah ditambah organisasi yang kini digelutinya.

Setahun berlalu Zea menduduki bangku kuliah, tak jarang ujian dan cobaan datang silih berganti. Ditambah hubungannya dengan Zahirah sekarang tidak terlalu baik dikarenakan kesalahpahaman antara Zahirah dengan kekasih Zea, Aslan.

“ Aku gak suka kamu berteman lagi dengan Zahirah, dia sudah mencuci otak kamu sampai-sampai kamu berubah, gak kayak dulu lagi,” Bentak Aslan kekasih Zea.

Zea dan Aslan sudah menjalani hubungan hampir 5 tahun, sejak mereka masih duduk dibangku SMA. Namun, sekarang hubungan mereka tidak baik-baik saja, dikarenakan Aslan terlalu possesive pada Zea.

Sebenarnya Zea tidak berubah, bahkan perasaannya pada Aslan pun tidak pernah berubah, hanya saja Aslan terlalu cemburuan dan terlalu possesive pada Zea.

Itulah yang membuat Zea merasa tertekan, ia tidak bisa melakukan apa yang ingin ia lakukan karena selalu mendapat larangan dan tekanan dari Aslan.

Bahkan, sekarang Zea kembali down karena tekanan dari Aslan. Mentalnyapun sudah tak sekuat dulu. Dan penyakitnya yang telah sembuh, kini kambuh lagi. Zea terlalu terbebani dengan fikirannya. Rambut Zea pun semakin hari makin menipis.

Zea merasa capek, ia lelah dengan semuanya. Banyak hal yang ingin ia lakukan, ada mimpi yang ingin ia wujudkan, tapi tekanan dari Aslan membuatnya menyerah dan patah semangat, ditambah lagi berbagai ujian lainnya yang semakin membuatnya terpuruk.

Sampai pada akhirnya Zea berfikiran untuk mengakhiri hidupnya, karena tak ingin mengorbankan dan merugikan banyak orang.

“ Cukup sekali Zea kehilangan sahabat Zea, sahabat yang sangat Zea sayangi,” Ucap Zea pilu.

Zea mulai melangkahkan kakinya menaiki pembatas jembatan, dan…..

“ Tuhan, bolehkah aku memeluk-Mu sekarang?.” Batin Zea…..

Penulis : Akilla Fadia Haya

 

Bukan Pendosa

0

Ruangan dengan ukuran 11 meter dikali 12 meter persegi itu terlihat sepi. Seorang gadis yang duduk di salah satu kursi di sana menundukkan kepalanya, membuat wajahnya tenggelam dibalik lipatan lengannya. Hening, hanya ada suara desingan kipas angin yang berputar.

Suasana sunyi membuat gadis itu terbayangi oleh seluruh memori semasa 17 tahun hidupnya. Kepalanya merunduk dan semakin merunduk hingga akhirnya menyentuh meja. Perlahan, bekas-bekas air mata di baju lengan panjangnya tercipta.

Ia menangis. Lebih banyak kesalahan yang ia lakukan daripada kata maaf yang pernah ia ucapkan, bahkan terima kasih pun hampir nihil ia sematkan untuknya. Mengumpati diri sendiri, betapa besar kesalahannya, betapa bodoh dirinya, dan betapa menyedihkan ia saat ini.

Malam itu, ia menjejakkan kaki ke dalam bar ternama. Membiarkan air-air memabukkan itu mengalir dalam kerongkongannya dan menjalar menguasai pikirannya, lantas menyelipkan sebatang rokok ke mulutnya. Menari di bawah gemerlap lampu dan musik yang memekakkan telinga.

Membiarkan tubuhnya menempel dengan orang asing untuk dicumbuinya. Ia benar-benar seorang pendosa. Dan sekarang, hatinya menyadari betapa menyesal dirinya. Ia telah mengecewakan seseorang yang selalu bersabar padanya, memberikan kepercayaan padanya, dan bahkan berkorban demi yang terbaik untuk dirinya.

Kesalahannya begitu besar dan sepertinya tak ada lagi asa untuk mendapatkan pengampunan. Kesabaran seseorang ada batasnya, kan?

Pintu kayu yang menjadi batas antara ruangan tersebut dengan ruangan lainnya terbuka. Membiarkan sejumlah suara dari luar masuk ke dalam ruangan. Seorang wanita yang mengenakan pakaian serba hitam tertutup berdiri di ambang batas ruangan lainnya.

Matanya yang merah dan sembab sudah menunjukkan bahwa ia baru saja menangis. Perlahan, ia berusaha tegar untuk duduk di kursi seberang gadis itu. Ia melihat wajah gadis itu, wajah yang dulu pernah ia kecup, wajah yang sekarang lebih memilih untuk menyembunyikan diri darinya.

Memegang tangan putrinya, putrinya yang tengah dirundung rasa sebagai pendosa. Ia mulai memutus keheningan di antara mereka, “Kau mungkin memandang Ibu sebagai orang suci, baik, dan tak berdosa hingga sekarang.

Tapi, setelah hari di mana Ibu mengizinkanmu keluar malam-malam tanpa bertanya kemana kau akan pergi−,” Ia mengambil jeda dalam kalimatnya. Lantas mengangkat wajah putrinya pelan agar netra mereka saling bertemu. Ia tersenyum dan melanjutkan kalimatnya. “−Perlu kau tahu, Nak. Ibu adalah pendosa mulai hari itu.”

Purworejo, 2021

Tentang Penulis:

Lyl Fyura.

Penulis : Dian Kalila Sumbogo

Seikat Krisan Merah di Rumah Nenek

0

Sejak kecil, aku sering bertanya-tanya mengapa selalu ada seikat krisan merah di rumah nenek. Bahkan saat layu, beliau tidak pernah mau menggantinya dengan jenis lain. Padahal, lili atau anggrek bisa dipertimbangkan. Mereka tidak kalah cantik dan sama-sama bisa bertahan hidup lama dalam vas.

Namun, segala sesuatu yang dijaga dan dirawat baik-baik pasti punya nilai berharga. Aku memang tidak tahu kisah apa yang bersemayam di baliknya, namun aku percaya akan hal itu.

Nama gadis nenekku Ratmi. Beliau dikenal sebagai sesepuh di lingkungan tempat tinggalnya. Usia nenek hampir seabad. Walakin, beliau masih dapat berjalan walau harus dengan bantuan tongkat.

Meski hanya lulusan sekolah dasar, nenek sangat cerdas. Terbukti, di usianya yang tak lagi senja—bisa dibilang sudah malam—daya ingatnya masih kuat. Beliau masih bisa mengeja hari ini Selasa Kliwon dan besok Rabu Legi.

“Kenapa to?” tanya nenek mendapatiku termangu.

“Bunganya cantik, Nek!” pujiku dengan suara keras, sebab fungsi pendengaran nenek tidak sebaik dulu.

“Ya … sudah pasti itu!” sahut nenek.

Nenek lahir tahun 1926. Jangan tanya apakah beliau mengalami zaman pendudukan Belanda atau Jepang. Sebab beliau merupakan seorang mantan veteran perang. Di lemarinya masih tersimpan rapi seragam cokelat susu dengan beberapa tempelan lencana yang dulu menjadi pakaian andalannya.

“Oh iya, Nek. Sarah rindu dibuatkan gambar oleh Nenek,” kataku, bernostalgia.

Saat kecil, aku sering menginap di rumah nenek yang arsitekturnya khas zaman kolonial. Nenek tinggal di rumah berdinding putih kusam ini bersama keluarga Tante Asih, bungsu yang umurnya sudah empat puluhan. Sementara kakek sudah lama wafat karena sakit.

Dari dulu, nenek suka sekali menggambar. Beliau sangat senang jika aku meminta digambarkan. Di selembar kertas, menggunakan sebatang pulpen, beliau menggoreskan sketsa tipis-tipis. Beliau sering menghabiskan waktu berjam-jam untuk menggambar. Objek yang paling sering digambarnya adalah dokar.

Di sela-sela menggambar, beliau bercerita. Paling sering cerita perjuangan, seperti bagaimana dulu beliau bersembunyi di sungai saat ada tentara Belanda, bagaimana bengisnya tentara Jepang, bagaimana riuh kota saat Indonesia merdeka, dan sebagainya. Sisanya, cerita tentang anak-anaknya. Pernah sekali beliau menceritakan betapa bandelnya ayahku dan bagaimana perjalanan panjang ayahku sampai bisa menikahi ibu.

“Hahaha ….” Nenek tertawa, menunjukkan sederet gigi ompongnya. “Ingin gambar

apa?”

“Bunga, Nek,” jawabku.

Nenek membuka laci nakasnya, mengambil selembar kertas. Kemudian beliau

berjalan tertatih dan duduk di sampingku.

Nenek membenarkan letak kacamata bacanya. “Kembang apa?1” Aku menatap meja di seberangku. “Bunga yang ada di vas, Nek.”

Nenek mengangguk. Beliau diam sejenak sebelum mulai menggerakkan tangannya yang sudah keriput.

*

Januari, 1942

1 Bunga apa? (Jawa)

Sang Rembulan Fajar

0

Gemuruh lirih menghampiri malamku yang sunyi. Rembulan bersembunyi murung dibalik awan hitam, semakin menambah gelap bumi tua ini. Kilat menyambar dari kanan ke kiri dari barat ke timur bak menunjukkan kemarahannya pada sang alam.

Malam semakin riuh dengan kabut dingin, jalanan mulai sepi, gelisah mulai menghampiri, malam-malam begini aku masih sendiri menyusuri jalan, selepas salah satu kegiatan yang aku ikuti. Teman- temanku sudah menunggu di penjara suci, beberapa menit lagi gerbang akan ditutup.

Namaku Marwa, gadis 21 tahun yang teramat jatuh cinta pada butir-butir hujan. Aku selalu menantikan peristiwa terbaik Tuhan, yakni pelangi. Pelangi, romantisme warnanya ibarat hati yang berbunga-bunga, yang memandangnya membuat mata terpana hingga masuk dalam jauh ke sukma.

Aku adalah salah satu dari orang yang paling beruntung, tak semua remaja seusiaku dapat menikmati bangku kuliah, namun Tuhan masih sangat berbaik hati memberiku kesempatan menikmati nano-nano berteman dengan teman-teman yang berbeda suku bangsa dan negara, masa-masa kuliah yang tak seindah di FTV, ngerjain tugas sampai subuh, dan tentunya menikmati romansa damai berada dalam lingkungan pesantren.

Berbicara tentang pesantren, pesantrenku bisa dibilang modern, tak ada aturan yang menyebutkan tidak boleh membawa handphone atau alat komunikasi lain, ini karena hampir seluruh santri adalah mahasiswa yang tidak terlepas dari riuhnya gadget masa kini.

Seperti biasa aku selalu aktif berbincang ria bersama teman-teman santri lain di grup angkatanku, selalu ada saja pembahasan yang sebenarnya tidak terlalu penting untuk dibicarakan.

Suatu hari, saat diri tengah terlena dalam heningnya bunga tidur yang ku sebut mimpi bersama dinginnya lambaian angin malam yang meniup ke sana kemari dan tiba-tiba ponselku berbunyi, “Allahu Akbar Allahu Akbar”, tanda tahajud ingin lantas ditemui.

Aku langsung terbangun, bukan langsung pergi ke kamar mandi tapi aku terlebih dahulu mengecek ponsel sambil berbaring malas menghadapkan tubuh ke arah kiri. Ku lihat ada panggilan tak terjawab dari nomor baru yang tak ku kenali, tepatnya pukul 02.50 dan sekarang adalah pukul 03.45, kurang lebih satu jam yang lalu.

Hatiku mulai bertanya, siapa yang menelfonku di sela-sela menuju fajar begini ? aku lantas mengirim pesan kepada nomor misterius itu untuk menanyakan siapa pemilik nomor itu. Lalu ku langkahkan kaki untuk pergi mandi di tengah dinginnya Bandung di detik-detik seperti ini.

Cukup lima menit aku mampu bertahan di kamar mandi, tak ingin berlama-lama bersama guyuran lirih yang mungkin membisingkan teman-temanku yang tengah merajut bunga-bunga mimpi.

Seperti biasa aku langsung membangunkan teman-teman yang lain untuk bergegas menjemput subuhnya. Bukan karena aku rajin, tapi ada beberapa alasan yang mungkin tidak ingin aku sebutkan, seperti karena telah menjadi kewajibanku sebagai keamanan, karena ingin memaksa diriku untuk melawan sulitnya beradu dengan godaan subuh, dan alasan tidak ingin ketinggalan dua rakaat sebelum subuh.

Aah apa-apan aku ini segalanya masih terpaksa, bukan tanpa alasan lain karena memang selalu saja ada rasa malas yang menghampiri di penghujung subuhku ini.

Setelah pulang mengaji, aku dan teman-teman lain masih bermanjaan di tempat tidur yang sungguh memberi kehangatan dari dinginnya Bandung. Kadang kita hanya tidur-tiduran sembari menikmati shalawatan dan lama-lama ketiduran juga.

Ku cek lagi ponselku ternyata ada balasan dari nomor yang menelfonku tadi. Dia menjawab bahwa dia adalah perantara malaikat subuh yang ingin membangunkanku. Aku tidak terlalu merisaukan hal itu.

Semenjak hari itu, ada yang berbeda dari setiap fajarku, nomor yang tak ku kenali kemarin selalu menelfon tepat di detik-detik seorang hamba menyampaikan kerinduannya pada Tuhannya. Bukan sekedar menelfon tetapi begitu banyak kata-kata yang tak ku dapatkan dari siapapun sebelumnya.

Menggapai Mimpi

0

Di suatu taman terdapat seorang gadis yang sedang termenung memikirkan sesuatu. Gadis tersebut bernama Aelsyah, Aelsyah mempunyai mimpi menjadi seorang penulis novel yang terkenal, berharap karyanya dapat bermanfaat bagi mereka yang gemar membaca.

Aelsyah adalah seorang gadis yang tumbuh didalam keluarga yang sederhana. Meskipun sederhana Aelsyah tidak pernah mengeluh dengan kehidupan yang dijalani, ia selalu bersyukur dengan apa yang Tuhan berikan kepadanya.

Aelsyah merupakan anak tunggal dari pasangan suami istri yang sering disapa dengan Pak Damar dan Ibu Aisyah, walaupun Aelsyah anak tunggal dia tidak pernah meminta hal yang aneh-aneh kepada orang tuanya.

Saat di sekolah, Aelsyah sering diacuhkan oleh teman temannya, karena Aelsyah cenderung gadis pendiam dan kutu buku, sehingga teman teman sebayanya menganggap Aelsyah gadis yang kurang pergaulan yang kerjanya hanya membaca.

Mereka tidak tau bahwa dengan membaca dapat meluaskan pemikiran dan cepat mengingat sesuatu.

Kegiatan sehari-hari Aelsyah hanyalah menghabiskan waktunya dengan membaca dan menulis di dalam kamar atau terkadang pula Aelsyah keluar melihat lihat sesuatu untuk dijadikan imajinasi.

Saat Aelsyah sedang bermain di sosial media Aelsyah tertarik dengan beberapa rangkaian kata yang tertulis disitu.

Kata kata tersebut adalah ” Didunia ini tidak ada yang mustahil selagi kita masih mau berusaha dan bersungguh sungguh dengan apa yang ingin kita capai, dan jangan lupa libatkan Tuhan dalam setiap langkahmu, karena jika kamu hanya berusaha dan tidak melibatkan Tuhan itu hanya akan sia sia,” Seperti itulah tulisan yang lewat di beranda Aelsyah.

Semenjak Aelsyah membaca kata kata motivasi itu ia sering merenung, ia mulai berpikir, apakah dia bisa? Sedangkan saat ini ia menganggap dirinya tidak akan mampu.

Tetapi Aelsyah membuang semua pikiran negative itu, ia tidak akan menyerah, ia akan berusaha untuk menggapai mimpinya, walau dunia tidak pernah mendukung tapi ia percaya dunia akan melihat kearahnya saat dia sukses nanti.

Setelah perjalanan panjang, mimpi Aelsyah perlahan mulai terwujud, saat ia tau ceritanya banyak diminati diaplikasi berwarna oranye, itu merupakan suatu peluang besar untuk Aelsyah, saat dia mendapat tawaran untuk menerbitkan ceritanya.

Teman teman Aelsyah yang mengacuhkannya dulu pun tak menyangka sekaligus merasa malu, karena saat di sekolah mereka sering mengejek Aelsyah, bukan karena Aelsyah pendiam dan kutu buku, tapi karena Aelsyah berasal dari kalangan bawah.

Namun saat ini mereka telah sadar dan mereka pun meminta maaf pada Aelsyah. Itulah jangan memandang orang hanya sebelah mata, mungkin saja mereka mempunyai bakat dan keahlian, tapi mereka tidak menunjukkannya, tapi mungkin juga mereka tidak sadar bahwa mereka mempunyai keahlian masing masing.

Dan saat Aelsyha menerima tawaran itu di saat itu pula kesuksesan Aelsyah dimulai, dimana ia melihat buku novel yang berjejer rapi di Gramedia dan toko buku, termasuk cerita Aelsyah yang saat itu sangat trend dikalangan para remaja.

Kedua orang tua Aelsyah merasa bangga dengan apa yang Aelsyah capai saat ini. Sedangkan Aelsyah merasa lega dan bersyukur kepada Tuhan, karena telah mengabulkan doanya, hingga sampai pada titik ini.

Penulis : Nur Elmarina

 

Krisis Oktober

0

Malam kelam nan sunyi. Tak ada kata-kata yang terucap. Hanya sapuan buku yang terus dikibaskan untuk menyejukkan tubuh anaknya.

Udara pengap terasa menyelimuti ruang kamar tidur berukuran 3 x 4 meter. Udaranya sangat amat panas di bulan Oktober.

Antara anak dan Bapak tak mengenakan sehelai baju pun pada tubuh mereka. Resah. Inilah yang mereka rasakan sekarang.

Sako yang usianya baru menginjak dua tahun, sebulan yang lalu, merebahkan tubuhnya di atas kasur.

Sementara Bapaknya, terus mengibas-ngibaskan buku untuk membuat anaknya nyaman dan tertidur pulas. Usaha Bapaknya tak mampu jua menenggelamkan anaknya dalam mimpi.

Di luar sana, rumah tetangga sebelah, samar-samar terdengar lantunan doa-doa peristiwa, diiringi nyanyian pujian lagu;

“ Avee…Mari…ii..a… Ave Mari…ii..a”

“Ave… Mari…ii..a…terpujilah Bunda terpuji namaMu sepanjang segala masa”

“ tuh… suara Mamamu, Derang. Mereka lagi nyanyi” kata Timo membunuh kesunyian.

“suala Mama Delang paling bagus…meldu lagi” ucap Sako polos. Menggoda. Memuji-muji suara Mamanya. Walaupun pelafalan hurufnya kurang sesuai.

Ia tahu, bahwa anaknya menderita penyakit “insomnia” beberapa hari belakangan ini. Apalagi cuaca sekarang. Gerah. Siang ataupun malam sama saja. Udara panas terus menyerang. Ia juga terus mencari cara untuk bisa membuat anaknya tertidur pulas.

Timo menatap anaknya lalu mengusap-usap kepalanya menggunakan tangan kirinya. Sementara tangan kanannya terus mengipas tanpa pause.

“Sako?” ucapnya halus

Sako mengangkat kepalanya lalu menatap balik wajah Bapaknya nanar. “mau dengar cerita?” Tanya bapaknya Sako mengangguk pelan.

“Pernakah kamu berjalan mendaki tanjakan bukit-bukit tanpa beralas kaki, di bulan Oktober yang begitu panas? Seperti saat ini?. Tentu belum!” pertanyaan sekaligus jawaban. Timo terkekeh menatap wajah anaknya.

Sako menggeleng-gelengkan kepalanya. Timo lanjut menceritakan ceritanya. Sementara Sako memperbaiki posisi tidurnya dengan beralasbantalkan paha Bapaknya sebagai bantal alami.

“Jalanan yang terjal ditambah sekawanan serpihan batu bak serpihan kaca yang tersiram tak teratur di setiap daerah jalan tertentu.

Mereka menginjak serpihan-serpihan itu dengan kaki yang tak beralas. Tak ada rasa bosan, tak ada rasa malas yang terlintas di benak mereka. Jiwa semangat terus berkobar di bulan Oktober yang sangat amat panas demi sapi-sapi mereka.

Mendaki tanjakan bukit-bukit dengan kaki yang tak teralas. Disitulah letak oposisi. Jika dari sini (rumah) adalah menanjak maka datang kembali adalah menurun.

Hebat bukan? Tanjakan yang jaraknya kurang lebih empat kilo meter ditempuh mereka setiap hari, setiap minggu, setiap bulan dan setiap tahun dan itu dilakukan setiap pagi dan sore dalam sehari. Rutin dilakukan mereka tanpa alasan terkecuali.

Sapi-sapi yang dimiliki mereka tak begitu banyak. Kobus, memiliki empat sapi. Tiga diantaranya adalah sapi mai (betina) sementara sisanya adalah jantan.

Anis adik Kobus, memiliki lima sapi. Tiga diantaranya adalah mai sementara sisanya jantan yang masih dalam taraf peralihan menuju remaja.

Pekerjaan mereka tidak hanya itu, mereka juga bekerja kebun di musim panas ini. Musim dimana orang-orang kampung suku dawan akan menebas hutan untuk dijadikan kebun berladang mereka.

Setiap tahun (bulan Oktober) mereka akan sudah siap mengobarkan si jago merah untuk melahap habis tebasan ranting-ranting juga dedaunan yang mereka tebas.

Mereka tidak sadar kalau hal seperti yang mereka lakukan saat ini yang menyebabkan cuaca panas ini berkepanjangan. Tapi, apa boleh buat kala penghasilan mereka hanya dari itu-itu saja. Hal itulah yang mereka bisa lakukan untuk menafkai sanak keluarga.

Dua Tali Tandu

0

Pagi mulai menampakkan sinarnya. Tetes embun masih melekat, menempel di rumput dan bunga-bunga. Di depan pekarangan rumah, wanita itu duduk di kursi goyang, duduk hanya untuk melamun. Bukan untuk menikmati pagi. Tatapan matanya kosong, tubuhnya yang kurus tak terurus menandakan kalau dia sedang tidak baik-baik saja.

Murnah, sebagian orang biasa menyebutnya begitu. Berbeda kalau tetangga yang tidak menyukainya, mereka lebih senang memanggil dengan sebutan orang gila. Ya, memang seperti itulah adanya.

Rambut Murnah yang kusut, badannya yang bau karena tidak pernah mandi, kebiasaannya yang sering mengamuk, menangis dan berbicara sendiri itu, mungkin bagi yang belum kenal dia pasti sependapat dengan para tetangga Munah yang tidak suka kepadanya itu. Pasti kamu juga kalau melihatnya akan berpikiran bahwa Munah adalah benar orang gila.

Murnah memang terkena penyakit gangguan mental. Semenjak anaknya wafat, ia jadi depresi. Ia merasa tidak layak dan sudah gagal menjadi orang tua. Padahal, sebelum penyakit kejiwaan itu menimpanya, Murnah adalah seorang wanita yang hidup berkecukupan.

Suaminya, Martono, adalah seorang pengusaha tebu ternama di Jawa Tengah. Anaknya, Edward, yang sudah wafat, ia lulusan Harvard dan bekerja sebagai seorang dosen muda di Universitas Karep Dewek.

Penderitaannya dimulai semenjak kepergian anaknya, Edward. Perlahan-lahan kebahagiaannya mulai hancur. Suaminya, Martono, memilih pergi meninggalkannya karena tidak mau mengurusinya. Martono gengsi kalau-kalau temannya tahu dia memiliki istri yang kurang waras.

Menurut kabar dari tetangga, Martono kawin lagi dengan janda kembang di kampung sebelah. Kadang-kadang, ia mampir ke rumah lama hanya sekadar untuk mengenang anaknya Edward.

Di saat-saat seperti itu penyakit kejiwaan Murnah bisa mencapai batas maksimal. Terlebih saat si istri baru Martono meludahi wajahnya, Murnah hanya bisa meneteskan air mata. Mungkin Murnah bisa disebut sebagai seseorang yang edan eling (Kadang waras, kadang gila) itu artinya Murnah masih punya perasaan.

Keadaan ini membuatnya semakin tertndas dan merasa sudah tidak berharga lagi. Tidak ada orang yang mau memberinya makan karena banyak gosip palsu yang beredar dari tetangga. Mereka mengatakan kalau dia adalah orang gila yang galak, sering mengamuk, itu sebabnya seluruh warga takut untuk menjumpainya.

Hanya air keran yang masih bisa dipergunakan untuk ia menyambung hidup, terkadang Murnah memilih untuk memakan apa saja yang ia temui. Hewan sejenis cecak, kecoa, dan tikus, biasanya dimakannya hidup-hidup. Karena rasa lapar yang berlebihan.

Murnah selalu mengingat apa yang telah ia perbuat kepada anaknya. Ia menyesali perlakuannya itu. Murnah terlalu mengekang Edward, terlalu mengatur-atur anak semata wayangnya itu. Alhasil, Edward jadi prustasi dan memutuskan untuk bunuh diri.

Hal itu kemudian yang saat ini selalu menghantuinya. Rasa bersalah yang selalu menjadi alasannya untuk malas melanjutkan hidup. Ia masih ingat betul kejadian hari itu, hari yang kelam bagi

hidupnya. Edward ditemukan mayatnya menggantung di sebuah pohon jengkol di atas bukit Kintamani pada saat mendaki. Ia melakukan kegiatan bunuh diri berjamaah dengan kekasihnya.

Hal itulah yang kemudian membuat Murnah merasa menyesal. Murnah tidak tahu kalau rasa cinta bisa mengalahkan apapun, itu sebabnya dalam cerita Romeo rela meminum racun demi Juliet.

Ia masih ingat awal pertamakali Edward berpamitan. Ia masih ingat wajah anaknya yang ceria tanpa kemarahan itu. Memang, awalnya Murnah menjodohkan Edward dengan anak saudagar sapi. Edward dipaksa agar melakukan pernikahan secepatnya.

Jika kejadian itu terlintas dalam kenangannya, biasanya Murnah mulai membentur-benturkan kepalanya ke badan tembok. Berusaha keras untuk bisa melumpuhkan ingatannya.

“Pokoknya, kalau kamu tidak menikah dengan Saritem, jangan anggap aku ibumu lagi,” ujarnya, saat itu.

“Apa Ibu tidak sayang kepada anak?” tanya Edward, wajahnya memelas.

“Justru karena aku sayang, aku jadi mengaturmu”

“Ibu, apakah cinta bisa dipaksa? Nanti malah aku tak bergairah, Bu” “Ah, aku dan ayahmu juga awalnya begitu. Kami juga dijodohkan” “Terserah Ibu saja lah”

Saat itulah Edward memilih pergi dari rumah. Dengan menyembunyikan kekecewaan terhadap ibunya, Edward pamit untuk pergi mendaki bukit Kintamani. Saat itu, Mirna, kekasihnya sangat prustasi mendengar Edward akan menikah. Edwar dikirimi surat oleh Mirna agar pergi ke Kintamani.

Terkejutnya Edward saat itu ketika melihat kekasihnya Mirna, sudah menjadi mayat yang menggelantung di pohon jengkol. Di samping mayat Mirna, terdapat satu tali tandu dan sepucuk surat yang sengaja ia gantung untuk Edward. Tulisannya berisi “Jika kau mencintaiku, mari mati bersamaku”

Itulah awal mulanya Murnah mengalami gangguan jiwa. Hari demi hari ia lalui tanpa gairah. Rasa sakit, dikucilkan, menumpuk jadi satu di dalam otaknhya. Berkali-kali ia melakukan aksi untuk bunuh diri, akan tetapi gagal karena ia merasa takut. Merasa takut kalau nanti akan sakit. Ia lebih memilih menunggu mati yang sewajarnya.

Kesedihan terus muncul di setiap hari-harinya. Bahkan saat-saat terakhir ia wafat pun sangat menyedihkan sekali. Air keran di rumahnya sudah tidak mengalir, sengaja dipadamkan pemerintah karena ia tidak pernah. Kecoa, cecak, dan hewan lain sudah habis dimakannya. Murnah wafat karena sudh takdirnya. Jasadnya ditemukan dalam keadaan sedang memeluk kuburan anaknya.

Penulis : Alan Maulana

Momentary Relationship

0

Akan tiba saatnya, di mana seseorang mulai merasa jenuh dan lelah dengan apa yang dihadapinya. Entah karena sudah tidak sanggup, atau karena ada hal lain yang membuatnya mundur untuk menghadapinya. Semua kembali kepada orang yang menjalaninya.

Perkenalkan, namaku Aisyah. Aku adalah perempuan yang sangat menyukai hal-hal berbau islami, dan aku juga sangat menyukai dunia kepenulisan. Pada kali ini, aku akan menceritakan sebuah cerita menarik yang di dalamnya terdapat hikmah yang bisa kita petik.

Pada awalnya, kisah ini bermula dari dua orang yang saling menyayangi satu sama lain. Sebut saja namanya Rini dan Rendi. Mereka satu sekolah denganku, satu jurusan sekaligus satu kelas. Rini merupakan anak yang sedikit manja, cengeng, tapi juga baik dan penyayang. Dia merupakan perempuan yang mudah iba.

Jika ada perempuan yang disakiti atau menangis karena laki-laki, dia akan langsung berubah menjadi ibu bagi perempuan tersebut. Dia akan memberikan segala saran yang muncul di otaknya, dan akan memberikan solusi untuk permasalahan yang dihadapinya.

Sedangkan Rendi, dia adalah anak laki-laki yang pintar, baik, humoris, dan sedikit menyebalkan. Dia selalu bisa membuat suasana di kelas menjadi ramai karena ucapannya. Tingkah laku dan perbuatan yang dia lakukan selalu bisa membuat teman di sekitarnya menjadi senang dan tertawa.

Rini dan Rendi menjalin hubungan sudah hampir 2 tahun. Masing-masing di antara mereka memiliki masa lalu yang berbeda. Bahkan salah satu di antara keduanya, mempunyai mantan lebih dari satu. Tapi itu semua, tidak menjadi alasan bagi mereka untuk berhenti menjalani hubungan asmara.

Setiap hari mereka selalu bersama layaknya sepasang sandal yang tidak bisa terpisahkan. Ke mana pun Rini berada, di situ ada Rendi yang menjaganya. Berangkat dan pulang bersama. Terlihat sangat romantis dan terlihat seperti hubungan yang sangat bahagia. Tapi itu semua hanyalah pandangan bagi orang-orang yang melihat dari depan tanpa tau apa yang berada di dalam.

Mustahil bahwa sebuah hubungan akan berjalan baik-baik saja. Walaupun sedikit, tapi pasti tetap ada yang namanya masalah. Hubungan yang terlihat bahagia di depan orang lain, belum tentu juga di dalamnya selalu bahagia. Setiap manusia di muka bumi ini pasti akan diuji keimanannya dengan berbagai macam masalah.

Ada yang diuji dengan harta, ada yang diuji dengan kesehatan, dan ada juga yang diuji dengan hubungan. Semua tidak ada yang mulus begitu saja, pasti akan tetap ada lika liku di setiap perjalanan manusia.

Begitupun dengan hubungan asmara antara Rini dan Rendi. Seiring berjalannya waktu, sebuah masalah datang ke dalam hubungan mereka. Pada suatu ketika, Rini bercerita kepadaku mengenai hubungannya dengan Rendi.

“Syah, aku mau putus.”

“Kenapa tiba-tiba bicara gitu sih?.”

“Aku merasa kalau aku tidak bisa meneruskan hubungan ini.” “Memangnya apa yang terjadi?.”

“Aku sudah sering kali mengingatkan Rendi tentang hal yang tidak kusukai, tetapi dia masih saja melakukannya.”

“Kenapa kamu tidak bilang langsung saja kepada dia?.” “Percuma aku mengatakannya.”

“Lalu sekarang bagaimana?.”

“Ya aku bakal bilang sama dia kalau aku mau putus, tapi disisi lain aku tidak tega melihat keadaan Rendi nantinya.”

“Kamu masih sayang sama Rendi?.”

“Ya gimana ya, kalau sayang sih sayang.” “Ya terus? Sudah dipikirkan baik-baik?.”

“Sudah, aku sudah memikirkan ini berulang-ulang, dan aku beneran ingin putus sama dia.” “Terus apa yang bakal kamu lakukan?.”

“Ya aku bakal tetap ngomong sama dia.”

Lantera Nayanika

0

Sayup-sayup terdengar derap langkah dari ujung gang jalan, aku yang hendak membuka pagar setelah pulang kerja sekitar pukul 10 malam merasa tertarik dengan hal tersebut. Kupercepat tanganku membuka gembok besi pagarku namun batinku penasaran dengan bayangan tegap bertubuh agak kekar yang berjalan perlahan sempoyongan di bawah sinaran lampu jalan.

Karena rasa ingin tahu ku, aku pun perlahan mendekati sosok tersebut. Sedikit ragu mendekat, tetapi kulangkahkan sekali lagi kaki ku lebih dekat dengannya, brukk… ia ambruk jatuh ke depanku dan dengan tangan ringkihku aku meraihnya.

Betapa terkejutnya aku melihat wajahnya penuh dengan peluhan keringat dan darah yang mengalir deras dari pelipis sebelah kirinya hingga mengotori kaus putih miliknya.

Gejolak batin kembali terjadi padaku, rasa hati aku ingin menolongnya memberikan pertolongan pertama kemudian membawanya ke klinik terdekat, namun rasa takutku pun tak kalah dahsyatnya, aku takut jika ternyata ia adalah seseorang yang jahat atau bahkan buronan kelas kakap.

Aku amati lebih dalam perawakannya, kulit bersih kuning langsat, bulu mata tebal begitu pula dengan alisnya yang bagaikan diukir dengan tinta cina, hitam legam. Wajahnya pun menampakkan kesakitan yang luar biasa seakan menahan perih dan mengatakan “tolong aku”.

Doa ku panjatkan, aku memohon pertimbangan pada Yang Maha Kuasa, dengan tekad dan kekuatan dari Sang Hyang Widhi, ku pegang degup jantungnya, kurasakan embusan napasnya, dan aku rasa masih ada harapan untuk ia hidup maka aku memutuskan untuk membawanya ke rumah kontrakan ku untuk memberikan pertolongan, setelah itu jika ia belum siuman akan ku bawa ke klinik dekat rumahku.

Penuh kekuatan aku membopongnya dengan tangan kecilku yang berbanding terbalik dengan lengan kekarnya, sedikit aku rasa langkah ku menjadi dua kali lebih berat namun aku terus berusaha hingga sampai di depan rumah dan perlahan membuka pagar dan pintu rumahku.

Aku meraih tas kecil hitam di atas rak buku yang berisi obat-obatan seadanya yang aku siapkan sebagai antisipasi jika terjadi sesuatu padaku, ya, jiwa anak rantau memang terbiasa dengan menyiapkan semuanya sendiri dan mengatasi apapun sendiri.

Ku ambil pula satu baskom berisi air suam-suam kuku dan sehelai kain untuk membersihkan terlebih dahulu darah yang masih sedikit mengalir dan yang telah mengering di pipinya. Hingga selesai aku membersihkan darahnya ia nampak masih belum sadar, kemudian aku menuangkan sedikit obat merah dan kapas lalu menempelkan dan menekannya dengan kuat di bagian lukanya. Ternyata hal ini membuatnya sadar dan terbangun.

”Hei!…” hardiknya.

Aku tetiba kaget dan tersentak ke belakang, hingga aku merasa aliran darahku terhenti seketika, aku terdiam kaku memeluk kedua kakiku karena merasa bersalah aku mungkin telah membuatnya kesakitan.

“M-maafkan aku, aku tidak sengaja, tolong ampuni aku, jangan bunuh aku”

Suaraku tersendat seakan leherku tercekat untuk berbicara menahan agar air mata tidak jatuh dari sudut mataku karena rasa ketakutan sedang meliputiku. Bagaimana tidak ketakutan? Jika seseorang tak kukenali di depanku ini bisa saja berbuat jahat padaku semau dirinya.

“Kau siapa ? Aku rasa tadi terakhir kali aku di pinggir jalan dan tidak ada siapa-siapa, kenapa kau ada di sini? Ini tempat siapa?” tanyanya sembari memegang luka di kepalanya.

“A-aku menolongmu, karena aku tidak sengaja melihat mu berjalan kesakitan melewati gang rumahku, kupikir kamu akan mati jadi aku menolongmu, agar aku tidak menyesal masih sempat menolongmu daripada hanya melihat kamu terbujur kaku di tengah jalanan gang. Kamu akan membunuhku?” tanyaku dengan riak wajah ketakutan.

“Omong kosong! Haha (tertawa terbahak-bahak), aku tidak akan berbuat jahat kecuali orang itu yang memulai jahat padaku, maka aku pasti akan tidak akan segan-segan menghabisinya!”.

Diam. Aku terdiam mendengar kalimat terakhirnya, walaupun aku sadar aku tidak berbuat jahat padanya tapi entah aku tetap merasa gusar dengan kehadiranya, aku masih takut jika ia tiba-tiba mencekikku atau lebih parah dari itu. Oh, Dewa. Lindungi aku!.

Sekitar 5 menit aku terdiam, ia pun sibuk meregangkan kakinya dan meraba luka di pelipisnya yang telah aku tutup dengan kapas dan obat merah, ia sesekali menatapku, tanpa sadar pun aku sesekali juga berpapasan pandangan, yang entah kenapa aku melihat matanya sangat indah dan memancarkan daya tarik sendiri meski ia saat ini sedang dalam kesakitan.

Tetapi aku tak terbiasa memandang wajah apalagi mata seorang pria yang membuatku malu hingga terus kusingkarkan pandanganku melihat ujung jari kakiku untuk menutupi rasa takut dan gugupku. Tak lama ia mulai membuka mulut seakan ingin berbicara.

“Kau tak ingin bertanya aku kenapa?” tanyanya dengan tegas

Aku sebenarnya penasaran apa yang terjadi padanya, namun aku ragu untuk bertanya padanya karena aku belum siap mendengarkan omongannya yang bisa saja membuatku jauh lebih takut daripada saat ini.

“Kau yakin tidak ingin bertanya apa yang terjadi padaku?”. Ia mengulang kembali

pertanyaannya dengan intonasi cukup tinggi. Aku rasa ia sudah sedikit membaik.

Aku menghela napas panjang. “Baiklah, ceritakan apa yang terjadi padamu hingga terluka seperti habis tawuran?”.

Ia tersenyum. “Nah, begitu lebih baik kan supaya aku juga tidak segan padamu. Sebelumnya perkenalkan namaku Rahman. Aku ini buronan yang baru saja berkelahi dengan orang jahat”.

Apa? B.U.R.O.N.A.N. Matilah aku!. Ternyata dia benar-benar seorang buronan. Tuhan, aku menyesal kenapa harus menolongnya, ah sudah benar kata Biyang harusnya aku hati-hati dengan orang asing yang tidak kukenali jangan asal menolong, ternyata fatal akibatnya bagi ku. Bagaimana yang harus aku lakukan? Apakah harus aku alihkan perhatiannya untuk menelpon Polisi? Atau lari sekuat mungkin mencari pertolongan?.

“Hei wanita! Kenapa melamun, kau dengar ceritaku?”.

“I-iya aku mendengarnya, k-ka-mu i-n-I b-b-uronan apa?”. Tergagap aku bertanya padanya.

“Duh, kamu ini kenapa? Oh, kamu pikir aku sejahat itu? Iya aku ini buronan, buronan Debt Collector karena aku berutang ratusan juta pada mereka untuk pengobatan Ibuku yang puluhan kali kemoterapi untuk menyembuhkan kanker otaknya lalu.

Aku terpaksa berutang pada mereka karena terdesak dan kupikir hanya pada bandit-bandit seperti itulah yang tidak memerlukan terlalu banyak pesyaratan administrasi untuk mendapatkan uang banyak dengan cepat”.

Ya, mendengar ini aku sedikit lega. Aku sekarang tahu jika ia buronan tapi bukan karena kasus kriminal luar biasa. Aku pun merasa iba dengan yang ia katakan dan aku merasa ia berkata jujur padaku.

“Lalu Ibumu sekarang bagaimana? Dan bagaimana caranya kamu bisa hidup tenang dengan dikejar terus-menerus seperti ini?”.

“Sudah meninggal, aku sendiri di sini, Ayah ku bekerja menjadi TKI di luar negeri dan hilang kabar sejak aku berusia 9 tahun hingga sekarang, 20 tahun berlalu seakan sangat cepat tanpa Ayah apalagi sekarang tanpa Ibu lagi. Aku pun rasa aku akan terus seperti ini sampai mereka lelah mengejarku”.

Ia menutup kalimat terakhirnya dengan tawa, seakan ia merasa hal ini sepele, hanya sekadar gurauan belaka. Tapi yang aku lebih yakin pasti ada terbesit rasa takut pula dalam dirinya jika ternyata sewaktu-waktu ia bisa saja mati di tangan para penagih hutang itu.

“Aku Tera. Aku belum lama merantau ke sini, sekitar 2 bulan yang lalu aku ke sini untuk

kerja. Aku seorang jurnalis di F-News”.

“Wah, hebat kau! Kerja di kantor, aku sih pengangguran haha”. “Mengapa tidak ingin kerja yang layak saja?”.

“Kau bercanda? Orang seperti ku, yang punya banyak masalah dikejar hutang ingin bekerja di tempat yang baik? MUSTAHIL!”.

“Kamu yang terlalu negatif sama dirimu, Tuhan itu selalu punya rezeki buat kita jika kita

berusaha selalu”.

“Ucapanmu hanya berlaku untuk orang baik, tampang neces, budinya baik. Bukan seperti ku yang luntang-lantung tidak karuan, berpindah sana-sini hanya untuk menghindari hutang”.

“Sstt. Sudah kamu mandi, akan kusediakan baju ku yang mungkin muat untukmu. Besok akan kuajak kamu jalan-jalan ke kantorku. Kebetulan kami mencari reporter tambahan. Biar aku coba untuk membantumu”.

Aku berniat menolongnya, karena aku yakin dia sebenarnya orang yang baik. Aku pun yakin dia lelaki yang berpotensi menjadi orang yang lebih baik. Aku yakin keputusanku tidak salah untuk ini.

“Berbual kau ini!. Sudah ku bilang aku bukan orang baik, aku ini gelandangan tak jelas. Kau sajalah yang kerja biar besok aku kembali dengan rutinitasku, bersembunyi dari kejaran para bandit-bandit tamak itu”. Jawabnya dengan ketus.

Aku pergi sejenak meninggalkannya masuk ke kamar almarhum Ayah untuk mencari pakaian yang kiranya pas untuknya. Mengacak sedikit lemari pakaian, aku menemukan sepasang kaus oblong dan celena pendek serta menyediakannya pula baju kemeja polos berwarna biru laut dan celana panjang hitam. Setelah itu, aku menutup kembali lemari dan beranjak keluar kamar menemuinya kembali.

“Ini pakai! (Menyodorkan pakaian). Setelah mandi, kamu ganti baju dan tidur. Besok kam ikut denganku memakai kemeja ini. Aku tidak ingin dengar kamu protes dan semacamnya, karena ini sudah larut malam aku ingin beristirahat”.

Ia ingin menjawab perkataanku, namun aku langsung megacungkan telunjuk ke depan bibirku memberi tanda untuknya agar tidak bicara kemudian menunjuk ke pintu kamar mandi seperti memberinya perintah untuk segera bangkit dan membersihkan diri. Aku memperhatikannya perlahan bangkit, mungkin ia pasrah karena sudah merasa lelah juga dan aku pun meninggalkannya menuju ke kamarku untuk beristirahat.

 

Kecamuk Zaman

0

Pagi ini cuaca sedikit mendung, beberapa bagian langit di atas sana hitam menggelayuti atas kepala, yang biasanya langit biru cemerlang, apalagi jika matahari baru mengerdipkan matanya menyingkap tabir subuh seusai melalui malam. Agak terburu Nanda melangkah meninggalkan sarapan nasi goreng buatan emak pagi ini.

Ia takut kalah cepat dengan hujan yang akan tumpah. Emak hanya menggelengkan kepala dan tersenyum, senyum kekhawatiran menyaksikan di atas meja makan, nasi goreng belum disentuh sedikit pun.

Ketika ia hendak menyuruh Nanda menyantap sarapannya, anak itu telah tak ditemuinya. Kemudian emak bergegas ke pekarangan dan tak jua ada seorang Nanda di sana.

”Ah, anak itu sarapannya pun tak ia sentuh. Malas nian dia makan,” gerutu emak kecewa.

Angkot yang ditumpangi Nanda penuh berjubel anak sekolahan. Di dalam angkot yang sesak Nanda hanya diam, menjadi pendengar setia obrolan di dalam angkot. Di bagian pojok tempat duduk angkot, di antara anak sekolahan yang menjubeli angkot dua orang bapak-bapak berbincang asyik. Pembicaraan mereka tentang Korna. Entah apa itu Korna. Seorang bapak yang berbadan kurus, lagaknya orang pintar, nampak benci sekali pada si Korna.

”Ini semua akibat Korna! Lihat, semua jadi sangat kacau!”

Tak kalah bapak berkepala plontos menanggapi,”Iya! Kali ini lebih parah saja akibat yang kita rasakan! Nampaknya Korna sudah benar-benar jadi ancaman serius!”

”Jelas! Ini semua gara-gara Korna!”

Cuma itu saja pembicaraan di dalam angkot yang sempat tertangkap sayup-sayup oleh Nanda. Tanpa terasa, ia sudah sampai ke tujuan. Sepatu Nanda menjejak aspal serentak hujan berderai.

Nanda berlari kecil berlindung di sebuah gedung megah. Dari arah depan gedung tersebut berjajar anak tangga seakan melambangkan betapa sulit jika ingin memasuki gedung tersebut.

Gedung megah, namun mengapa sepi di batin Nanda saat berteduh di dalamnya. Nanda mengamati lekat gedung tempat ia berteduh. ”Sungguh indah konstruksi bangunan ini, pasti dibangun dengan biaya yang luar biasa”, bergumam Nanda di dalam hati. Diperhatikannya tangga satu persatu berundak-undak hingga ke teras. Di atas ada ruangan

besar setelah teras yang posisinya beberapa meter menjulang tak menyentuh tanah. Di halaman depan terpampang plang bertuliskan GEDUNG DPRD. Nanda merasa kesepian di gedung tempat ia berteduh, untung tak lama kemudian hujan mereda.

Kemudian, setengah berlari ia menyeberang jalan meninggalkan gedung megah itu menuju suatu lokasi lain yang berjarak beberapa ratus meter. Lokasi yang dipenuhi kelompok gedung terpencar berdekatan jaraknya. Di depan gedung yang dituju Nanda sebuah tulisan besar terbaca jelas dari arah seberang jalan UNIVERSITAS KEBANGSAAN.

Di dalam gedung-gedung itu terlihat wajah-wajah ceria anak-anak muda yang bersemangat. Nanda membaur dalam kelompoknya. Mereka membicarakan topik-topik hangat dengan idialisme. Muncul dari salah satu gerombolan itu seorang gadis memanggil Nanda, ”Da! Ke sini sebentar”.

Nanda pun mendekati sang gadis setelah sebelumnya berbasa-basi dengan teman tempat ia ngobrol semula, ”Iya, Rin. Ada apa, sih?”

”Kamu sudah dengar kabar?”

Nanda jadi bingung dahinya mengerenyit, ”Belum. Apa, tuh?”

”Tentang Korna! Gak baca koran, ya? Ya ampun, Nda di zaman teknologi masih saja kurang update. Orang satu pasar dibuatnya kalang kabut”, semangat sekali Rina bercerita tentang Korna.

”Lalu?”

”Kios gelaran seni kita pun hangus jadi sasaran!” ”Lalu?”

”Kamu seperti orang begok saja! Ini sudah parah! Kamu tenang-tenang saja. Kamu gak bisa rasakan apa orang-orang itu pasti sangat kebingungan dan marah! Ini semua akibat Korna!”

”Jadi bagaimana? Kamu juga ingin aku ikut menyalahkan Korna seperti yang lain. Apakah itu membuat semuanya jadi lebih baik? Aku gak kenal siapa itu Korna, Rin. Atau bagaimana?”

Rina semakin memburu tidak puas dengan tanggapan Nanda yang seolah meremehkan permasalahan, ”Kamu gak punya perasaan. Mungkin kalau aku atau kelurgamu juga terkena musibah akibat keparat itu, kamu juga tidak akan perduli! Kamu sama jahatnya!”

Setelah mencapai puncak berangnya, Rina membalik badan merajuk, dan meninggalkan Nanda dengan wajah cemberut. Nanda terbengong, tak menyangka Rina semarah itu. Padahal bagi Nanda pembicaraan tadi hanya sebuah tanda tanya yang belum ada kepastiannya.

Seusai perkuliahan Nanda menunggu Rina. Ia merasa bersalah telah membuat Rina merajuk seperti anak kecil. Di sebuah ruang tepat Rina mendengar kuliah dosennya Nanda sabar menungu hingga Rina ke luar. Namun, sia-sia Rina nampaknya benar-benar marah.

Ia tak menanggapi kehadiran Nanda. Tak acuh Rina melenggang di hadapan Nanda tanpa memalingkan wajah sedikit pun ke arah Nanda, padahal Nanda yakin Rina tahu ia menunggunya. Sepanjang perjalanan peristiwa merajuknya Rina memenuhi ruang pikir Nanda.