Beranda blog Halaman 2591

Usaha dan Hasil

0

Aileen Nayanika, Clara Helen, Adelia Putri Pratama. Seluruh penjuru sekolah tidak ada yang tidak tahu siapa mereka. Persahabatan Aileen, Clara, Adel yang dijuluki sebagai best friend goals, membuat para murid iri dengan mereka.

Bagaimana tidak? Aileen Nayanika, putri semata wayang dari pasangan Clarissa Dewi dan Abian Putra. Berparas menawan, matanya yang indah, serta kepintarannya yang membuat orang lain kagum.

Begitulah yang orang lain pikirkan jika mendengar namanya. Di saat siswa lain asyik hang out dengan teman-temannya, berbeda dengan Aileen. Ia justru disibukkan dengan belajar.

Aileen bukanlah siswi yang tidak suka bergaul, justru ia dikenal sebagai siswi yang friendly dengan semua orang di mana pun.

Clara Helen, anak kedua dari lima bersaudara. Sosok perempuan yang dijuluki sebagai “Ratu Lapangan” karena bakatnya di bidang basket, membuat siapa pun yang melihatnya akan tertarik dengannya.

Sedangkan Adelia Putri Pratama, merupakan putri sulung dari keluarga Pratama. Si pemilik bakat seni mengagumkan yang selalu menjuarai segala perlombaan seni.

Kamis, 1 November 2018.

“Halo, Aileen! Good morning! Heh, bangun deh. Ada kabar baru, tapi enggak tau bener atau enggak sih.” sapa Clara.

“Dih, apa sih? Ngantuk banget, gila. Tapi yaudah, ada info apa emangnya?” Sahut Aileen dengan malas.

Clara dengan cepat menyambung kalimatnya, “Katanya di kelas sebelah ada anak baru lo. Cewek orangnya, katanya sih cantik. Tapi pas tak lihat, biasa aja gila,” dilanjut dengan hembusan malas.

Aileen yang mendengar info tidak penting tersebut, mengangguk paham.

“Males banget, diceritain malah ngangguk doang,” cibir Clara.

Aileen membalas dengan mata terpejam, “Haduh, lagian enggak ada urusannya sama aku. Toh juga, yang heboh paling anak-anak cowo.”

Clara menyengir hingga memperlihatkan sederet gigi putih di wajahnya. Clara tersadar, satu temannya tak terlihat batang hidungnya, “Ai, Adel ke mana? Dia lomba apa lagi Ya Tuhan. Tapi, dia emang beneran lomba? Dia sekelas sama kamu, kan?”

Aileen yang mendengar namanya disebut pun menjawab, “Heem, dia lomba lagi.”

Clara mengomel, “Nah, kan bener. Orang tuanya gimana sih? Aku yang dengerin dia lomba aja capek, apalagi Adel sendiri. Heran banget.” Aileen yang mendengar pun segera menutup mulut Clara agar tidak melanjutkan kalimatnya.

Sekolah? Buat Apa?

0

“Dadan nggak mau sekolah, Mak!”

Mulut itu berucap dengan lantang, dengan logat sunda yang fasih. Wajahnya memerah murka, nafas menggebu, mata melotot tajam.

Kedua kaki yang berbentuk mirip bambu itu melangkah lebar keluar rumah, memikul karung kosong di pundak dengan tangan kanan menenteng arit. Meninggalkan emaknya yang sedang menangis sedih di ambang pintu.

Sedikit jauh dari pemukiman warga, Dadan dengan emosi yang telah menguar duduk di atas rumput di area kebun. Bersiul seolah hidup tanpa beban sembari memangkas rumput panjang di hadapannya.

Sesekali bocah bertopi miring itu menyapa para pemetik teh yang berlalu-lalang, penuh riang dan kegembiraan.

Ya. Dadan melupakan semua hal perdebatan dengan emaknya yang baru saja terjadi.

“Masih nggak mau sekolah, Dan?” Tiga wanita seumuran emak Dadan yang akan berangkat memetik teh menatap bocah 10 tahun yang duduk klesotan di atas rumput.

Dadan membenarkan topinya dengan gaya sok keren. Sebelum menjawab, ia tertawa. “Enggak, aku kan udah pinter. Nggak perlu sekolah.” Dijawabnya dengan sombong, sok bisa atas segalanya.

“Mana ada orang pinter yang kerjaannya ngembala kambing, suka kelayapan lagi.” Namun, jawaban ini tak mampu menyentil hati Dadan. Bocah itu malah tertawa, bahkan terbahak hingga memukul-mukul rumput di sampingnya.

Seharusnya saat ini Dadan sudah berseragam gagah dan duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Belajar bersama teman-temannya. Namun, nyatanya Dadan telah memutuskan tidak bersekolah sejak ia dinyatakan tidak lulus sekolah pada saat SD.

Alasannya, Dadan sering bolos, di samping itu Dadan sudah terlalu lama berada di bangku kelas dua kerena selalu tinggal kelas saat kenaikan kelas tiba.

Para emak pemetik teh saling bergeleng kepala. Tak merasa aneh akan kelakuan bocah satu ini.

Dadan sudah dikenal hingga penjuru desa, satu-satunya bocah di desa yang tidak mau bersekolah atau belajar, gemar mengembala kambing, dan duduk di ujung jembatan sambil mengorek-ngorek hidung dengan ilalang.

Seluruh desa menyebutnya sebagai ‘Jalma bodo nu bageur’ atau orang bodoh yang baik hati. Ya, Dadan memang bodoh tapi ia suka membantu orang lain, meski kadang pertolongannya tak dibutuhkan. Dadan juga bocah periang penebar tawa setiap orang.

Dadan mengasingkan diri dari teman seumurannya. Ia memilih bertani pada saat musim panen padi, mencari rumput untuk kambing emaknya, berjalan kaki mengelilingi kampung seraya menggigit ilalang, menendang-nendang batu yang di tengah jalan, dan memancing di sungai, biarpun tak ada air yang mengalir, Dadan akan tetap mengulur mata pancingnya.

Dengan harapan, akan ada ikan besar yang berjalan dan nyangkut di mata pancingnya, lalu ia akan tertawa sendiri dengan kencang karena pikiran konyolnya yang menunggu ikan di saat air sungai surut.

Tak ada handphone. Bocah itu berpikir bahwa tak penting memiliki gadget. Seluruh hidupnya tercurah bebas bersama alam.

Sejatinya, Dadan adalah manusia bertelinga budek dan bermata picek. Ia tak pernah mendengarkan siapa pun, ia hidup sebagaimana yang ia mau.

Kepada AC

0

“Hari ini akan menjadi langkah terakhirmu menginjakkan kaki di sini. Toko service AC yang pernah berjaya bersama 10 tahun kini akan menjadi kenangan tanganmu. Ucapkan permohonan maafku untuk istrimu, karena kau sudah banyak menaruh nama untuk membangun kaki toko ini. Ambillah, ada harapan dari kedua bunga putrimu”.

Cerita terakhir si bapa pemilik toko AC itu mengantarkanku pulang, dengan melemahkan daya pada tubuhku yang rapuh.

Sebelum beranjak pergi jauh, suara gerbang bergerak menutup seakan mengunci harapanku, menghentikan keinginan-keinginanku untuk membangun keluarga lebih baik.

Setelah ini kita mengirit saja, makan nasi saja, mandi hanya dengan air saja asalkan kontrakan terbayar, mungkin itu akan menjadi atap yang indah bagi keluarga yang meneduhi saat panas dan hujan.

Si bapa baru saja pergi dengan ayunan letih dari tangannya.

“Sampai berjumpa lagi Endru,” ujar si bapa dengan nama yang selalu disebutkannya untukku agar lebih keren katanya. Biarkan ini menjadi cerita dalam perjalanan si anak lulusan SD skill service AC.

Setiap langkah dari patuhnya kaki berjalan, sebentar lagi ujung batang hidungku akan nampak terlihat dari kontrakan di ujung jalan gang sempit itu.

“Ayah…” Sahut istriku menyambut pulang.

Begitulah ramahnya karena ia tahu bahwa hari ini gajiku turun dibayar setiap akhir minggu. Walau begitu hatinya sangatlah baik, selalu sedia membuatkan teh dan gorengan di pagi hari.

Tapi, saat ini menatapnya aku memikirkan bagaimana jika dia tahu bahwa aku telah berhenti bekerja sekarang karena tokonya bangkrut di tengah pandemi covid seperti ini.

Tidak ada cara lain untuk mendapatkan uang, hanya dengan kembali menyanyikan lagu, menebarkan kebisingan suaraku untuk orang-orang yang beristirahat di waktu siang.

“Eh Ibu…”. Jawabku sambil sedikit ketawa agar dia tidak mengetahui dengan apa yang telah terjadi.

“Ambillah, aku mendapatkan bonus tambahan hari ini”. Ceritaku sedikit kepadanya sambil memeluk si bungsu di atas pangkuanku. Namun setelah amplop itu mengelupaskan lemnya, nampak kaget ia.

Karena memang tahu betul semua gajiku bahwa jarang sekali diberi bonus tambahan sebanyak ini. Lantas dengan lugas ia menanyakan.

Terasing

0

“Apakah daging babi menjadi halal, bila dimakan atas rida orang tua?” kau diam tak menanggapi pertanyaanku.

Ada raut kesal di wajahmu, kau berusaha menutupinya dengan senyum simpul di depanku.

Seperti mereka, kau menatapku hanya sebatas raga. Tak mampu menembus jauh ke relung jiwa. Meski kita bersaudara, jalan hidup kita berbeda, perbincangan kita sering tak searah, ini juga soal prinsip hidup kita yang tidak sama. Sebelum kejadian itu, kita masih suka saling bercerita, bertukar pikiran dan sesekali menikmati kebersamaan.

Lima hari berlalu, aku seperti burung dalam sangkar yang dikunci dari luar. Di malam keenam, kau mendatangiku ke kamar, memberi kabar bahwa besok lusa kau hendak bertunangan.

Bapak dan ibu yang semula kecewa, kini kembali ceria, wajah mereka terlihat sumringah mungkin juga bangga dan bahagia. Itulah sebabnya kau mengatakan bahwa pertunanganmu itu adalah hiburan buat mengobati luka di hati mereka.

Di balik pintu rumah ini, aku melihat jejakmu yang kerap menabur decak kagum di hati kedua orang tua, kerabat dekat dan para tetangga. Di sini, aku belajar dengan metode terbalik.

Ada kesimpangsiuran pemahaman dan keegoisan yang bersarang cukup kuat. Tak mudah kupatahkan hanya dengan berkata bahwa itu salah. Keteguhanku pada sebuah pilihan adalah kesalahan besar bagi mereka dan telah melemahkan posisiku sebagai anak sulung dalam keluarga.

Cita-cita Dhea

0

Sore itu, Dhea menikmati waktu terbenamnya matahari. Di atas ayunan kayu, gadis cantik dengan usianya yang masih 12 tahun itu terus tersenyum bahagia. Meskipun dengan kondisi matanya yang tidak bisa melihat akibat kecelakaan saat Dhea masih berusia 7 tahun.

Dhea adalah anak yang punya semangat belajar tinggi, terlihat saat di mana pun Dhea berada, iya tidak pernah berhenti bertanya pada kak Putri tentang pelajaran sebelumnya. Ya, kak Putri adalah guru sekaligus pengasuh Dhea setelah kecelakaan waktu itu.

Kedua orang tua Dhea terpaksa menyekolahkan Dhea di rumah, pikirnya anak dengan kondisi buta tidak ada harapan lagi dimasa depannya. Teman-teman Dhea pun tidak ada yang mau mengajaknya bermain, malah hanya mengejek kondisi Dhea saat ini.

Namun tidak dengan Dhea, kondisi saat ini bukanlah penghalang gadis cantik dengan hobi berpuisi itu untuk menggapai cita-citanya.

Dengan bimbingan kak Putri, Dhea sudah membuat banyak karya puisi indah, bahkan salah satu karyanya pernah mendapat juara 1 lomba karya puisi tingkat provinsi.

Dengan keadaan saat ini, kedua orang tua dan kakak Dhea tidak pernah melibatkan Dhea dalam aktivitas apa pun. Bahkan saat libur sekolah tiba, kedua orang tua dan kakak Dhea menghabiskan waktu liburan di luar kota tanpa mengajak Dhea. Pikirnya, dengan mengajak Dhea hanya akan merepotkan saja.

Dibalik jendela kamar, dengan air mata mengalir di pipi Dhea sembari berbicara dalam hatinya “apakah kedua orang tua dan kakak Dhea sudah tidak menganggapnya sebagai keluarga lagi? ataukah benar, Dhea hanya menjadi beban buat keluarga kecil Dhea.

Dengan air mata yang masih membasahi pipi Dhea, tiba-tiba dari belakang Dhea datang seseorang lalu memeluk dan berkata pada Dhea “Dhea gak boleh nangis, Dhea kan anak yang kuat dan pintar,” ya, dia adalah kak Putri.

Bagi Dhea, kak Putri adalah kakak sekaligus ibu baginya. Kak Putri yang selalu mengerti perasaan Dhea, dia yang selalu menjadi penyemangat saat Dhea merasa sedih, bahkan bagi Dhea kak putri lebih dari sosok ibunya sendiri.

Suatu hari, Dhea bercerita pada ibu dan ayahnya “Ibu, Ayah, Dhea sudah membuat banyak karya puisi meskipun dengan bantuan kak putri.

Jiwa

0

Semakin lama rasa sakit ini tumbuh walau perlahan. Tanpa disadari ia menyerang hingga ke saraf-saraf seluruh tubuh dan tentunya juga ke otak.

Setiap detiknya bergejolak hingga menciptakan pikiran-pikiran tak di minta dan juga tidak sepantasnya hadir pada manusia. Penyakit ini memakan ribuan bahkan jutaan nyawa bersalah ataupun tidak.

Melihat semuanya tanpa terkecuali. Setiap kau menyibak mata mu, mengendurkan paru paru mu, mencerna apa yang kau santap sebelumnya, bahkan di setiap detakan yang ada pada dadamu, kau bisa melihat apa pun yang seharusnya tak kamu lihat. Entah ini anugrah atau kutukan. Tapi mereka semua menganggap itu semua hanya omong kosong.

***

“Sssrrtt”

Suara serat pagar sekolah terdengar lebih nyaring hari ini. Bukan karena telinga yang baru saja dibersihkan, tapi karena cuaca terasa lebih cerah dari hari kemaren. Mungkin rambatan bunyi nya tak lagi terhambat oleh kelembapan sore kemaren.

“Lihat lah, kenapa dia sangat bersemangat ke sekolah.”

“Ya, bagaimana bisa seseorang dengan tanpa kemampuan sosial bisa hidup dengan tenang disini.”

“Jangan terlalu keras, nanti teman temannya mengusik kita.”

Begitulah timpalan mereka ketika Han Na berjalan ke arah kelas. Hmm, memang terdengar seperti dia yang dikucilkan, tapi sebenarnya tidak.

Si aneh begitu orang memanggilnya, memiliki amat sangat banyak teman di sekolah ini. Hanya saja orang di sekolah ini tidak mengetahuinya. Tidak, tidak, mereka mengetahuinya hanya saja tidak mengenalnya.

Hanya bagi kalian yang memahaminya, tidaklah buruk untuk berteman dengan tembok sekolah, meja kayu yang dingin, kursi yang sudah bertahan setengah mati untuk tetap tegak. Dan juga teman-teman yang sebenarnya selalu’ hidup’ berdempetan dengan mu.

“ Hai, kenapa sendiri saja? Mari main bersama.”

Menoleh. Han Na hanya mengangguk. Apa yang bisa ia katakan. ‘Tak mungkin aku menolak ,kan?’ batin Han Na

“Perkenalkan, aku Min Hyun Na. Kau mau coklat?”

Requiem kepada Istri Seorang Nabi: Sebuah Antologi

0

Ibu masih berserakan pada tepi ranjang usang dan lantai berdebu di dalam kamar lamaku. Cerita-cerita Ibu menggaung memantul-mantul dan merambat hingga ke masa lalu. Aku serasa menjadi seorang anak berusia empat tahun lagi setiap kali memasuki ruangan itu.

Ibu, entah kenapa, paling senang bercerita tentang istri-istri nabi dengan narasi yang dia buat sendiri.

Maka, tokoh utama cerita Ibu hampir selalu seorang wanita yang diuji bertubi-tubi atau yang justru berkhianat pada nasib, sedangkan suami suci mereka hanya berdiri jauh di pinggir, seperti satu titik cahaya yang berpendar samar.

Aku tidak ambil pusing tentang tema cerita apa yang dibawa Ibu. Aku hanya takjub oleh hamparan padang pasir, kalajengking, dan azab Tuhan yang seperti langsung diturunkan oleh Ibu.

Untuk mengabadikannya, Ibu mengetik cerita-cerita itu pada ratusan lembar kertas yang sekarang tersebar menyelinap di antara buku-buku tua yang berjejer mati pada tiga buah lemari kayu yang sudah hampir ambruk digerogoti rayap dan waktu.

Beberapa cerita itu sekarang berada di tanganku. Demi ibuku, maukah kamu mendengar beberapa kisahnya?

***

Seorang wanita ditakdirkan untuk menjadi istri nabi. Yang didapatkan wanita itu bukan hanya seorang utusan Tuhan, tapi juga pria yang mapan serta rupawan. Layaknya nabi-nabi lain, dia juga adalah seseorang yang lembut tutur katanya.

Tak Sengaja Memojokkan Tuhan

0

Sudah sedari kemarin dulu, saya selalu dipaksa oleh Obin untuk mengikuti suatu kompetisi menulis yang tengah dirubung dan diikuti oleh teman-teman saya yang lain. Saya tak langsung membalas, ya, maupun, tidak. “Berbayar, harus saya pikir terlebih dahulu. Selain itu, tenggat waktunya tinggal nanti malam, jadi enggak bisa mendadak untuk menulis.” Jawab saya agar Obin tak terus-menerus nggeremeng kepada saya.

Kasihan. Namun dengan entengnya ia menawarkannya sekali lagi kepada saya, “Hanya dua puluh ribu. Terlebih, kau, sudah beberapa kali mengikuti kompetisi yang serupa. Lagipula, saya sudah menawarkan sedari dua hari lalu. Pikirkan baik-baik, Yum.”

Kemudian saya melipir sebentar dan langsung mematikan gawai saya. “Benar, biasanya saya mengerjakan beberapa kompetisi menulis lain dengan tenggat waktu yang terbilang mendekati pergantian hari.”

Lalu segera saja saya mengambil beberapa lembar kertas yang terlihat masih kosong melompong itu. Saya menumpahkan ide pada guratan pensil berwarna hitam keabuan dengan sedikit mengerutkan dahi saya. Sejurus kemudian, saya berganti untuk menggunakan mesin tik kepunyaan saya untuk menyalin hasil ide saya.

“Akhirnya selesai juga!” Gumam saya dengan bersijingkat kecil untuk merayakan keberhasilan saya setelah menyelesaikan naskah tersebut dengan waktu yang sudah sangat terbatas.

Kemudian saya teringat bahwa saya belum membalas pesan Obin, “Ya, Oyum, bersedia.”

Tak berangsur lama saya membalas pesan Obin, dengan cepat terdengar nyaring nada dering yang saya pasang untuk balasan pesan.

“Syukurlah. Jangan lupakan persyaratan yang lain, Yum.”

***

Tepat hari ini, hasil kompetisi menulis yang saya ikuti akan segera diumumkan melalui salah satu platform sosial media oleh panitia. Saat itu saya merasa berharap- harap cemas dengan hasil yang akan saya peroleh. Namun kemudian saya dikagetkan dengan Obin yang tiba-tiba saja celingak-celinguk di muka pintu kamar saya.

“Masuk.” Tawar saya kepada Obin.

“Tak usah memasang raut masam begitu. Saya di sini akan menemani kamu.” “Saya tidak meminta,”

“Saya ingin saja,” kata Obin sembari membenarkan tempat duduknya di sebelah saya.

Kemudian saya dan Obin membuka platform sosial media tersebut tepat pukul dua belas lebih lima belas menit, yang merupakan waktu pengumuman hasil kompetisi menulis yang saya ikuti. Sejurus kemudian saya mendapati mata Obin terbelalak, pun saya lebih terbelalak, ketika melihat hasil juara yang disandingkan dengan nama saya. “Ada nama saya, Bin. Itu nama saya.”

“Untung kemarin saya memaksa kamu,” timpal Obin.

Kado Untuk Ayah

0

“Kebahagiaan bukan diukur dari seberapa kaya dan banyaknya harta yang seseorang miliki, tapi seberapa sering kita bersyukur atas segala sesuatu yang telah Tuhan titipkan kepada kita”.

Adit adalah seorang anak dari keluarga yang sederhana. Ayahnya bekerja sebagai tukang ojek dan ibunya membuka warung kecil-kecilan. Setiap harinya kedua orang tua Adit selalu sibuk bekerja sementara Adit fokus sekolah dan belajar karena sebentar lagi Adit akan lulus dari bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Adit sangat jarang bertemu ayahnya karena di saat ayahnya pulang ia sudah tertidur pulas dan keesokan paginya saat ia terbangun ayahnya sudah berangkat bekerja. Terkadang Adit selalu merasa rindu dengan ayahnya.

Malam itu Adit memutuskan untuk tidur lebih larut agar bisa bertemu dengan sang ayah, ia menunggu sambil belajar. Tidak lama kemudian pintu rumah terbuka dan sosok yang sedari tadi Adit tunggu perlahan memasuki rumah dengan kondisi pakaian yang lusuh dan muka yang sangat lelah. Ia lalu menghampiri sang ayah dan langsung memeluknya.

Adit sangat bahagia karena setelah sekian lama ia akhirnya bisa menghabiskan waktu untuk bercerita dan bercengkerama bersama sang ayah walaupun hanya sebentar.

Pohon Rindu

0

Pohon yang rindang dan batangnya yang kokoh menjadi sebuah kisah antara aku, kamu, dan dia. Kunamakan pohon itu pohon Rindu. Setiap kuingat kenangan yang tercipta bersamamu perasaan ingin bertemu itu meluap – luap. Tapi aku tidak berdaya. Setahun yang lalu.

***

“Hei kamu, apa yang kamu lakukan di atas sana?” aku melambaikan tangan kepada gadis yang duduk didahan pohon itu.

“Kamu bicara pada ku?”

Aku pun menganggukkan kepalaku dan mengulangi pertanyaanku “Aku bertanya apa yang kamu lakukan di atas sana?”

“Aku sedang menatap bintang yang menghiasi langit malam.”

“Tapi tidak seharusnya seorang gadis duduk di depan pohon pada malam hari. Dari bawa pohon saja sudah kelihatan bintangnya.”

“Pemandangan dari atas sini lebih indah,” bantahnya tidak menerima nasehatku.

Aku pun beranjak pergi mengayuh sepedaku sambil menggelengkan kepala dan berkata “Gadis yang aneh”.

***

Setelah pulang dari rumah nenek aku melihatnya didahan pohon lagi. Aku pun menghentikan sepeda di bawah pohon itu dan menyapanya, “Kamu melihat bintang didahan pohon lagi?”

Dia hanya melihatku sebentar dan tetap diam. Ini Minggu kedua aku bertemu dengannya. Aku pun pergi karena tidak mendapat respons darinya.

Di Minggu ketiga kita berjumpa lagi. Kali ini aku memutuskan untuk memanjat pohon itu dan duduk di sampingmu. Hening seketika karena kita menikmati bintang malam. “Kamu benar pemandangan dari atas sini lebih indah. Siapa namamu?”

“Apa?”

“Aku tanya siapa namamu? Namaku Ryo.”

“Namaku Laiya.”