Beranda blog Halaman 2592

Perihal Mentari dan Pandangannya

0

Mentari melangkah perlahan menghayati rerumputan yang basah embun di kaki mungilnya. Rerumputan itu menggelitiknya dan fakta itulah yang akan dicatat di kepalanya: rumput bisa menggelitik kaki.

Hawa hangat yang menyebar perlahan terasa nyaman seiring matahari terbit di hadapan Mentari, tapi gadis itu hanya bisa mengapresiasi kehangatannya tanpa tahu dari mana sumbernya.

Seperti saat orang-orang lain menikmati embusan angin tanpa tahu arah datangnya—kecuali ada seseorang yang buang angin di saat yang sama, baru itu jadi perkara.

“Sayang,” bisik Fajar dari belakang di telinga kanan Mentari.

“Oh,” kepala Mentari tengak-tengok, “kau ada di belakang, Sayang…”

“Aku ada di hatimu, Sayang,” bisik Fajar mesra lalu mengecup pundak Mentari. Gadis itu terkikik geli, menikmati pertunjukkan yang tak bisa ia saksikan.

“Seandainya kau bisa melihatnya, Sayang,” ujar Fajar, “Matahari pagi ini sangat indah… Itu, bisakah kau merasakan kehadirannya?” tangan kanan Fajar menggapai-gapai matahari dari kejauhan seolah ia akan datang mendekat.

“Oh, Kasihku,” jawab Mentari lembut, “bahwa matahari masih membawa kehangatan bagi kita semua adalah lebih dari cukup bagiku,” jawab Mentari sambil perlahan berbalik menghadap Fajar.

Si pria muda itu dengan sigap membantu kekasihnya berputar arah. “Mana, mana… ah… ini wajahmu,” kata Mentari saat kedua tangannya berhasil meraih kedua pipi Fajar. “Oh, kau berjerawat,” kikik Mentari, “sudah kubilang kurangi asupan kacang tanah.”

“Sayang…” sela Fajar, “manusia tidak bisa lepas dari kesenangan.” Pagi itu, bibir Mentari adalah asupan pertama Fajar. Sebelum roti dengan selai kacang.

***

“Manis sekali…” komentar Ares sambil memandangi foto Fajar dan Mentari dari layar ponsel sahabatnya. “Aku berharap segera mendapatkan undangan pernikahan kalian, Fajar.”

“Menikah?” Fajar terkekeh agak dipaksakan. “Topik yang bagus untuk kita bicarakan.”

“Aku pikir itu untuk di praktik kan juga,” sanggah Ares sebelum menyuapkan sup ke dalam mulutnya, “secepatnya.”

Fajar membalas dengan kekehannya lagi. “Brilian. Tapi aku bukan manusia yang sempurna,” pria muda itu terlihat memikirkan sesuatu.

Hujan dan Petrichor

0

“Aku mau mengirim kenangan kepada istriku. Sudah kumasukkan ke botol ini dan kukemas baik-baik. Tolong dijaga baik-baik ya, Nona. Sulit sekali mencari kenangan ini.

Ah, andai saja bisa kuceritakan kepada Anda bagaimana kenangan ini hampir membunuhku, atau nyaris membuatku masuk penjara. Jadi tolong dijaga, Nona. Aku berharap kenangan ini bisa tiba tepat waktu kepada istriku itu. Dia seorang perempuan yang manis.”

Pegawai kantor pengiriman itu tersentak mendengar pengakuan dari seorang lelaki gondrong yang sedang duduk begitu dekat di depannya.

Begitu dekat, hanya diantarai sebuah meja kecil berukuran tak lebih empat jengkal. Begitu dekat, sehingga pegawai yang baru saja dipanggil Nona itu bisa lebih leluasa meneliti wajah lelaki gondrong yang membuatnya heran setengah mati itu.

Mengirim kenangan? Apakah mungkin? Ini tahun kelima ia bekerja di kantor jasa pengiriman itu. Telah ribuan pelanggan yang datang kepadanya dengan segala rupa paketan yang minta dikirimkan, tapi tak sekali pun ada yang pernah memintanya mengirim kenangan seperti yang tengah yang dilakukan lelaki gondrong di depannya itu.

“Maaf, Nona, apakah Anda mendengarku?”

Pegawai perempuan itu tak menjawab. Matanya masih lekat menatapi wajah lelaki gondrong di hadapannya, sementara pikirannya sibuk mengira-ngira banyak hal tentang alasan apa yang kira-kira bisa membuat seorang suami berpikir mengirim sebuah kenangan kepada istrinya?

Mungkin mereka sudah tak serumah lagi dan lelaki itu sedang merindukan istrinya. Oh, tentu saja itu alasan yang masuk akal. Semua orang yang ingin kembali berurusan dengan kenangannya, tentulah tersebab rindu.

Sebuah Narasi yang Terluka

0

Lolongan mortir melaung tinggi. Raungan sirine memekak keras. Suara berondongan peluru terdengar dari halaman rumah. Aku segera lari untuk mencari tempat berlindung. Kutahu, di tempat ini bahkan di setiap sudut kota ini sudah tidak ada lagi tempat yang aman.

Lubang tikus sekali pun akan turut diperiksanya. Namun, aku juga tidak mungkin pasrah dengan keadaan.

Dari bawah kolong ranjang, aku memeluk erat tubuh Rawiyah, adikku. Aku katakan padanya bahwa itu bukan suara peluru, melainkan pesta kembang api. Aku terus membujuknya untuk berhenti menangis.

Sebab, aku tak ingin kami berdua mati di tangan tentara Zionis itu. Aku terus merapal doa. Seandainya terdapat alat canggih yang mampu menghitung seberapa banyak doa-doaku selama ini, mungkin lebih banyak dari puing-puing bangunan yang hancur bersebab roket yang mereka luncurkan.

Dari luar, terdengar suara jeritan menyayat hati. Sungguh, waktu antara Magrib dan Isya ini, aku merasa sudah berada di ambang kematian. Biar pun pasrah dengan kehendak-Nya, namun aku masih mengucap harap: semoga kiranya mereka tidak mengendus keberadaan kami.

Terdengar suara pintu didobrak. Derap langkah perlahan kian mendekat. Aku semakin gencar melesat kan doa-doa. Tangan kananku masih erat mendekap tubuh mungil Rawiyah.

Sementara tangan kiriku untuk menyumpal mulutnya agar berhenti menangis. Sungguh, aku tak tega melakukannya. Tetapi, aku juga tak ada pilihan lain.

Dari bawah kolong ranjang, aku melihat laki-laki bertubuh kekar menenteng senjata. Matanya awas menyelidik sekitar. Langkahnya semakin mendekati kami. Dibukanya selimut yang aku biarkan terulur ke lantai.

Tubuhnya menunduk. Laki-laki itu tersenyum menyeringai tatkala mendapati mangsa kecil yang tengah menggigil ketakutan di hadapannya. Namun, laki-laki itu tidak menembaki kami satu per satu. Justru ia merebut paksa Rawiyah dariku.

Tangis Rawiyah semakin menjadi. Aku berusaha sekuat tenaga merebut kembali Rawiyah dari manusia biadab itu. Tetapi, aku hanyalah bocah tujuh tahun, yang tentunya akan kalah bila melawan orang dewasa. Laki-laki itu langsung berdiri dan membawa pergi Rawiyah. Kulihat Rawiyah terus meronta dari dekapan laki-laki itu.

Tuhan, mengapa Rawiyah yang dibawa? Mengapa bukan aku saja? Rasanya aku ingin meraung-raung. Namun, entah mengapa tubuhku lemas. Air mataku juga kering. Malam itu benar-benar mencekam. Padahal selepas Magrib, aku masih sempat menyuapi Rawiyah. Namun, kini aku tidak tahu ke mana ia dibawa.

Kepergian Rawiyah membuatku tidak memiliki siapa-siapa lagi di sini. Ayah pergi bersama tentara Hamas dan hingga sekarang tidak ada kabarnya. Sementara ibu meninggal tiga bulan yang lalu bersebab delapan peluru yang bersarang di kepalanya saat ia melaksanakan salat Subuh.

Saat aku hendak mengambil wudu, betapa pilunya mendapati ibu yang sudah tewas mengenaskan di atas sajadah.

“Surga untukmu, ibu,” kataku saat mengelap darah segar yang mengotori sekujur badannya.

Cinta Dalam Ridha Sang Khaliq

0

Cahya, seorang gadis berusia 19 tahun merupakan cucu dari sesepuh Desa Darangdan yang terletak di Kabupaten Purwakarta.

Cahya terlahir dari keluarga yang taat terhadap hukum agama Islam, sejak umurnya masih 8 tahun, orang tua Cahya sudah membiasakannya menggunakan hijab ketika keluar rumah, namun hal ini sama sekali tidak membuat gadis berbulu mata lentik itu keberatan.

Cahya justru sangat menyukai hijab, bahkan dia lebih senang jika dibelikan hijab ketimbang baju-baju model terbaru sekalipun.

Setiap 3 bulan sekali Cahya bersama orang tuanya rutin mengunjungi rumah kakek dan neneknya sembari membawa beberapa hadiah untuk mereka.

Orang tua Cahya mengajaknya pindah dari Purwakarta saat Cahya berusia 10 tahun, sebab urusan perkerjaan sang ayah mengharuskan mereka menetap di kota Bandung.

Sudah hampir 5 bulan Cahya belum sempat berkunjung ke rumah nenek dan kakeknya, karena sang ayah sibuk dengan pekerjaan.

Sehubungan bulan ini Cahya libur kuliah dan sang ayah pun libur kerja selama dua hari, Cahya langsung mengajak orang tuanya menuju Purwakarta, tak lupa membawa beberapa hadiah untuk nenek dan kakeknya.

Sejak kecil Cahya memang dekat dengan sang nenek begitu juga kakek yang selalu memanjakan Cahya, sehingga liburan panjang ini menjadi kesempatan bagi Cahya untuk lebih lama tinggal bersama mereka.

Dalam perjalanan, Cahya terus memandangi pepohonan sambil mengingat masa kecilnya dulu, hingga tak terasa mereka pun sampai.

Kelas Unggulan

0

Sekolah itu mengadakan sistem baru, di mana kelas-kelas dipisah dalam tiga kategori sesuai dengan nilai kemampuan para siswa-siswinya. Kelas rendah, kelas rata-rata dan kelas unggulan.

Kelas unggulan adalah kelas yang paling istimewa, pelajaran mereka jauh lebih sulit dan mencakup sesuatu yang lebih luas karena akan bersaing dengan berbagai siswa-siswi pintar yang akan masuk perguruan tinggi. Bahkan fasilitas mereka sangat memadai.

Kelas unggulan berisi 25 siswa dengan peringkat tertinggi dari keseluruhan kelas 12-A sampai 12-E. Persaingan itu tidak sampai pada pemisahan tiga kategori kelas.

Setiap siswa yang masuk kelas unggulan harus bersaing kembali dengan teman sekelas mereka. Kompetisi ini sudah ada sejak tahun 1984 di sekolah itu, tetapi dihentikan karena suatu tragedi.

Ada banyak anak sombong di kelas unggulan hingga mereka tidak mengenal satu sama lain. Kelas rendah dan kelas rata-rata tidak suka dengan keberadaan kelas unggulan itu. Terkadang umpatan keluar dari mulut mereka.



Berbeda dengan kelas-kelas lain, kelas unggulan lebih sepi. Semua sibuk dengan buku-buku, laptop, dan ponsel mereka.

Ini adalah pertemuan ke-3 bersama pembina kelas unggulan. Jam belajar mereka sangat lebih, bahkan bisa sampai tengah malam. Mereka diharuskan untuk belajar dan belajar, tidak ada waktu untuk melakukan hal lain.

Hari semakin sore, tak ada tanda-tanda pembina kelas unggulan datang ke pertemuan itu. Siswa-siswi di kelas itu hanya saling bertukar pandang lalu membuang muka. Mereka tidak punya kebersamaan dan kekeluargaan. Seolah mereka di satukan untuk saling bermusuhan. Namun, beberapa dari mereka ingin berteman satu sama lain.

“Halo, bisa kita berteman?” Aliviyah si peringkat 15 menyapa kepada Isabel si peringkat 25 yang duduk di belakangnya.

Langkah Pertama

0

“Seorang wanita muslimah wajib menutup auratnya, bukan hanya untuk orang yang sudah baik saja tetapi wajib untuk seluruh wanita muslimah karena aurat wanita itu seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.

Silakan kalian buka Alquran surah al-ahzab ayat lima puluh sembilan. Allah telah memerintah kita sebagai umat Islam khususnya muslimah yang tujuan benar-benar baik bagi kita, selain agar lebih mudah dikenal dan tidak diganggu, ingatlah sungguh azab Allah sangat lah berat.

Semoga anak-anak di kelas ini tetap menutup auratnya, ya.” ungkap guru agama di kelas.

“Apa! Serius, nih? Ternyata Allah punya aturan menutup aurat dan itu wajib. Jadi selama ini aku bergelimang dosa. Aku sama sekali tidak tahu kalau wanita itu wajib pakai kerudung, aku kira memakai kerudung itu cuman pilihan. Orang tuaku juga tidak pernah menyuruhku menutup aurat, atau apa mereka juga tidak tahu seperti aku ini?” tanya Kyra dalam hati.

Kyra masih ragu untuk mengambil keputusan, bagaimana mungkin dia memakai kerudung di dalam rumah. Orang tuanya saja tidak pernah peduli dengan kerudung. Keraguan membuatnya aktif berbicara, tanpa pikir panjang tangan kanannya berdiri.

“Bu, saya izin bertanya! Maksud Ibu menutup aurat ketika keluar rumah saja, kan Bu? Kalau di dalam rumah tidak perlu ya Bu? Karena jarang sekali saya melihat perempuan dirumahnya memakai kerudung.” tantang Kyra pada guru agamanya.

“Bukan seperti itu maksudnya Kyra. Kyra tidak memakai kerudung karena menganggap kerudung dipakai saat keluar rumah saja. Contohnya seperti tas, kerudung itu bukan seperti tas.

Beside You (Di Sisimu)

0

Suatu hari di pagi yang cerah, di sekolah bernama SMP Sakura Kuning akan dimulai hari pertama pelajaran bagi murid-murid yang sudah naik kelas.

Seorang anak perempuan berambut cokelat kemerahan yang dikucir setengah dengan pita ungu dan bermata biru tua bernama Asahi White sedang mencari ruang kelasnya.

Gadis yang yang baru naik ke kelas 8 itu akhirnya menemukan kelasnya, yaitu kelas 8-4.

Asahi adalah gadis pemalu yang belum pernah berteman dengan siapapun di kelas 7. Maka itu, ia berharap bisa berteman dengan beberapa murid di kelas 8. Ketika ia memasuki ruang kelas, hampir semua kursi sudah ditempati.

Mata Asahi tertuju pada sebuah kursi di ujung belakang ruang kelas. Ia berjalan melalui beberapa kumpulan murid-murid dan akhirnya meletakkan tas berwarna jingganya di samping kiri meja dekat jendela.

“Aku cuma mau berteman-” DUG!!! Gumam Asahi terputus akibat mendengar suara yang sangat keras dari depannya. “UwaaAAaaAa!!” Bunyi itu hampir membuat Asahi melompat dari kursinya. Ternyata, itu hanyalah suara tas yang diletakkan.

Sekolah Angker

0

Aku Vanes Angelta yang biasa dipanggil Vanes, umurku 17 tahun yang artinya aku masih duduk di bangku SMA. Karena pekerjaan Ayahku, aku harus pindah ke SMA Chandra, sekolah yang terletak di daerah Malang di mana Ayahku kerja.

Namun, bukan itu yang ingin aku ceritakan, rumornya sekolah yang akanku tempati ini katanya angker. Sekolah itu angker. Bukan tanpa sebab pula sekolah itu dikatakan angker, karena banyak warga sekitar pernah mendengar suara misterius di sekolah itu.

Aku mendongak menatap gedung di depanku, hari ini hari pertama aku masuk sekolah di sekolah baru. Walaupun aku sedikit takut, aku harus berani lagi pula itu hanya rumor bukan?

Aku Menghela nafas pelan lalu melangkah memasuki pekarangan sekolah. “Indah sekali,” kata ku melihat pandangan di depanku. Aku takjub, gedung sekolah ini sangat indah terlebih lagi desain yang terpampang di dinding. “Aku tidak yakin dengan rumor itu, sedangkan gedungnya saja terlihat indah.”

“Indah?”

Aku terkejut mendengar suara tepat di sebelahku, aku menoleh mendapati pria paruh baya yang ku yakini Satpam di sekolah ini. Pria itu tersenyum membuatku ikut tersenyum juga.

“Apa kamu murid baru?” Tanya Pria itu.

Aku mengangguk, “Iya saya murid baru Pak,” jawabku dengan sopan.

“Terkadang, kita tidak boleh menilai sesuatu dari luarnya saja.” Aku menatap Satpam itu dengan wajah tak mengerti, sedangkan ia menatapku dengan seutas senyum tipis.

“Semoga kamu baik-baik saja,” katanya lagi lalu berbalik pergi, tapi sebelum itu tangannya terangkat mengusap kepalaku membuatku mengernyit.

Apa maksudnya? Aku hanya bisa melihat kepergian Bapak itu dengan bingung, Pak Satpam itu terlihat ramah tapi juga sedikit aneh. Sudahlah, tidak usah dipikirkan, aku pun melangkahkan kaki kembali.

Saat aku memasuki koridor sekolah, entah mengapa aku merasakan hawa yang berbeda seperti mencengangkan, terlebih lagi tidak ada orang kecuali diriku di sini. Aku mengusap leherku, bukankah tadi di luar matahari menyorot panas? Tapi, kenapa di sini terasa dingin?

Aku merasa bulu kudukku meremang, tidak bisa dipercaya sekolah sebagus ini ternyata mempunyai aura yang seram. Aku terdiam ketika teringat ucapan Satpam tadi, mungkinkah yang ia maksud adalah ini? Aku mengedikkan bahuku tak acuh, tak mau memikirkan lagi aku langsung melangkah menuju ruang Kepala Sekolah.

Aku menatap pintu di depanku lalu menunduk melihat peta yang diberikan oleh Pak Kepala Sekolah tadi. Aku tersenyum, tidak salah lagi ini kelasnya. Tanganku terangkat mengetuk pintu itu tak lama kemudian pintu itu terbuka dan menampilkan seorang Guru perempuan.

“Permisi Bu, saya murid baru di kelas 12 Mipa 1,” ucapku ketika melihat raut bingung Guru itu.

Guru itu tersenyum, “Ah begitu, mari silakan masuk,” titahnya mempersilahkan. Aku tersenyum, mengangguk lalu berjalan mengikuti Guru itu.

“Anak-anak kita kedatangan murid baru, silakan perkenalkan diri kamu.”

Aku mengangguk, lalu menatap ke arah depan. “Hai, nama saya Vanes Angelta, panggil saja Vanes. Saya pindahan dari Jakarta, salam kenal semua!” Ujar ku dengan senyuman, dalam hati aku bersyukur melihat semua orang senang denganku.

“Baiklah, Vanes silakan kamu duduk di bangku kosong itu.”

Sang Pemburu

0

Dua lelaki berpakaian putih berjalan menuju alun-alun. Sedikit canggung, salah satu di antara mereka berdua melepas topi yang senada dengan warna baju. Bermaksud mengusap peluh di dahi. Panas menghinggapi seolah matahari tepat berada di kepala orang itu.

“Seharusnya kita tidak berada di sini. Ini bukan tempat kita!”

Suara tegas Abraham de Joorg membuat Johannes Hofland menghadapkan wajahnya kepada lelaki yang sedang mengibas-ngibaskan topi itu.

“Keluhanmu itu akan berakhir jika kamu sudah menyaksikan hiburan di alun-alun. Ayo …. ” Johannes memaksa Abraham melangkahkan kakinya.

Mulut Abraham de Joorg terbuka lebar. Pun begitu dengan kedua matanya yang mendelik. Perlahan, ia menggeleng beberapa kali. Para pengunjung menyemut pada beberapa titik. Ia menatap Johannes dengan penuh tanda. “Sebenarnya apa yang hendak kau tunjukkan?” tanyanya.

Mulut Johannes hampir terbuka ketika terdengar suara yang mampu mengalihkan perhatian mereka berdua.

Seorang pribumi bertelanjang dada dengan destar di kepala memukul sebuah gong.

Orang-orang beranjak ke pinggir. Mereka berdiri mengelilingi alun-alun berbentuk lingkaran itu. Bunyi gong yang baru saja mereka dengar menjadi pertanda akan dimulainya sebuah pertunjukan.

Hari Minggu yang Ditunggu-tunggu

0

“Iya. Papaku mengajakku jalan-jalan ke pantai, seru banget! Buat istana pasir dan memungut kerang,” ungkap Ari dengan rasa bahagia, memamerkan liburannya kemarin di hari Minggu.

“Aku juga kemarin seru! Aku dan keluargaku mengunjungi kebun binatang di pusat kota, ada monyet yang loncat-loncat!,” ucap Reno memperagakan gaya monyet yang melompat.

“Kalau hari Minggumu gimana Rafli? Kamu kemana aja bersama keluargamu?” Tanya Ari penasaran, pasalnya setiap teman-teman menceritakan liburan pada hari Minggu, Rafli menjadi satu-satunya orang yang diam dan hanya menyimak.

“Aku? Seru juga kok!” Rafli tersenyum senang, membuat teman-temannya penasaran sekaligus bingung dalam satu waktu.

“Memangnya kamu liburan kemana?” Kali ini Reno yang mengajukan pertanyaan.

Siang itu Rafli dan kedua temannya baru saja pulang sekolah, seperti biasa disepanjang jalan mereka akan bercerita apa saja, dan hari ini mereka menceritakan masa liburan mereka kemarin pada hari Minggu, yang tentunya selalu menjadi hari yang dinantikan anak sekolah, begitupun dengan Rafly, Ari dan Reno.

“Hm.. ini Rahasia!”

“Apa? Jangan bilang kamu gak liburan! Iya kan? Ngaku deh, kamu pasti hanya rebahan di rumah,” Ari mendesak Rafly dengan cecaran pertanyaan dan tuduhan. Namun dengan tenang Rafly kembali membuka suara.

“Baiklah, besok akan ku ceritakan! Liburanku ini sangat hebat!”