Resensi Buku: Utang Republik Pada Islam

Di tangan Lukman Hakiem, sejarah bukan sekadar tulisan atau deretan kata atas peristiwa masa lalu. Di tangannya, sejarah berkisah. Sejarah hidup. Banyak segmen dalam sejarah yang lampau itu – yang sebelumnya merupakan the untold story – diungkap Lukman Hakiem dengan format yang anti-mainstream.

Oleh: Yuddy Ardhi

Bacalah. Buku ini mengungkap sejarah perjuangan para ulama, pemuka agama, tokoh-tokoh bangsa dan cendekiawan muslim terdahulu di pusaran inti perjuangan menuju kemerdekaan dan dalam misi menjaga Indonesia. Buku ini sudah tiga kali cetak ulang sejak Oktober 2021 – Yuddy Ardhi –

- Iklan -

Mengungkap Perjuangan Para Tokoh Islam Menjaga NKRI

“Ketika Salim sedang berpidato, Sjahrir dan kawan-kawan secara bersama-sama berteriak: “Mbeeek…. Mbeeeek…!” Salim yang berjanggut segera menghentikan pidatonya dan berbicara kepada para “pengembik”.

“Tunggu sebentar,” kata Salim. “Saya senang, para kambing pun tertarik mengikuti pidato saya. Sayang mereka kurang mengerti bahasa manusia, sehingga menyela tidak pada tempatnya. Sekarang saya persilakan para kambing itu untuk keluar ruangan, untuk merumput dulu. Sesudah ini, saya akan segera menyampaikan pidato khusus untuk para kambing dengan bahasa yang mereka pahami.”

Demikian salah satu cuplikan dalam buku Utang Republik pada Islam. Perjuangan Para Tokoh Islam dalam Menjaga NKRI karya Maestro penulis sejarah Indonesia, Lukman Hakiem. Cerita tentang ini ada dalam artikel berjudul “Utang Kemerdekaan Kepada Orang-Orang Berjanggut” – halaman 151. Salim yang dimaksud penulisnya adalah tokoh sejarah H Agus Salim dan nama Sjahrir yang dimaksud adalah Sutan Sjahrir.

- Iklan -

Membaca cuplikan di atas, rasanya kejadian itu seperti terjadi di masa sekarang. Padahal kisah ini terjadi 99 tahun lalu, tepatnya 1923, ketika Salim berpidato dalam sebuah rapat umum. Sangat jarang penulis sejarah yang mampu menghadirkan kembali Emotional Quotients  atau kecerdasan emosional tokoh-tokohnya sebagaimana Lukman Hakiem mengangkat kalimat Haji Agus Salim meng-counter pengganggunya. Ini adalah segmen sejarah bernilai yang sarat pesan moral.

Ada pesan lain yang ingin diungkap penulisnya bahwa sinisme terhadap orang-orang berjanggut – rupanya sudah berlangsung sejak dahulu. “Benar. Ketika para pejabat di negeri ini tiba-tiba gaduh mempersoalkan janggut, saya tidak tertarik untuk mendebatnya. Saya merasa lebih baik memberikan fakta-fakta tentang tokoh-tokoh pejuang bangsa yang dengan sadar memelihara janggut, tidak pernah merasa risih dengan janggutnya, dan sangat besar jasanya untuk republik”.

Dalam pengantarnya, Lukman Hakiem bercerita tentang Mr Ahmad Subardjo, seorang Aceh kelahiran Karawang, yang tercatat sebagai salah seorang perumus Konstitusi, dan bersama Bung Karno dan Bung Hatta merumuskan teks proklamasi. Seperti apa beliau?

- Iklan -

Perumus teks proklamasi itu adalah orang yang memelihara janggut, membiarkan janggutnya menjuntai. Dengan janggutnya itu, jika disebut radikal, “Sejak masih kuliah di Belanda, Subardjo bersikap radikal pro-kemerdekaan. Intoleransikah Subardjo? Ya. Dia sama sekali tidak mau bertoleransi terhadap kaum penjajah,” terang Lukman Hakiem.

Fakta berbicara, dengan janggut menjuntai, Ahmad Subardjo adalah salah seorang yang paling berjasa memerdekakan bangsa Indonesia. Ini sekaligus menjadi statement bahwa radikalisme dan intoleransi tak layak disematkan kepada fisik maupun agama Islam sebagaimana yang diributkan orang sekarang tentang janggut, jilbab, cadar, celana cingkrang, dan suara adzan yang mengganggu.

Kisah lain yang diangkat Lukman Hakiem adalah tentang gerombolan pemberontak pimpinan Kartosuwirjo di Jawa Barat. Sejauhmana pengetahuan kita tentang Kartosuwirjo dengan Darul Islamnya (DI), kecuali sebagai pemimpin pemberontak di Jawa Barat?

Ini bedanya Lukman Hakiem dengan penulis sejarah lain. Berbahan data yang kuat dan valid, dalam artikel “Memanggil Pulang S.M. Kartosuwirjo” (hal. 66), pembaca akan memperoleh gambaran jelas bahwa Kartosuwirjo pada mulanya adalah tokoh seperjuangan Perdana Menteri Mohammad Natsir, Hamka, KH Wahab Hasbullah, KH A Wahid Hasjim, Ustadz A Hasan, Kyai Muslich, dan pemuka Islam lainnya.

Dalam proses perjanjian Renville, Kartosuwirjo bahkan diamanahi Wakil Presiden Mohammad Hatta menjaga Jawa Barat. Ia juga bolak-balik ke Yogyakarta bertemu dengan Mohammad Hatta untuk urusan anggaran. Mengapa Kartosuwirjo jadi berseberangan dan memilih jalannya sendiri?

Lukman Hakiem menjelaskan dalam buku ini. Dengan jernih ia menceritakan sisi humanisme dimana Kartosuwirjo merasa kecewa ditinggalkan Tentara Nasional Indonesia, termasuk usaha-usaha para tokoh di atas mencari ikhtiar agar Kartosuwirjo – dalam kalimat Hamka – “Kembali ke dalam persatuan Tanah Air”. Sisi kemanusiaan Allahuyarham Mohammad Natsir pun terangkat kuat, yang menitipkan dua anak Kartosurwirjo kepada Kyai Muslich pasca Republik mengeksekusi mati Kartosuwirjo karena memilih berbeda jalan.

Di atas adalah dua bagian sejarah yang secara humanis diangkat ceritanya oleh Lukman Hakiem. Masih banyak cerita sejarah lain dalam buku Utang Republik pada Islam. Buku ini menghadirkan 38 artikel sejarah, yang terbagi dalam enam tema besar, meliputi tema Islam dalam Keindonesiaan, Pemikiran dan Kiprah Partai Politik Islam Masyumi, dan tema Tentang Perbedaan dan Keakraban.

Tiga tema lainnya adalah Romantika Perjuangan, Jejak Perjuangan Para Tokoh Muslim Merawat NKRI, dan Merawat Indonesia – Belajar dari Tokoh dan Peristiwa.

Dalam buku setebal 371 halaman ini – Lukman Hakiem membuka fakta sejarah tentang andil, peran, pembelaan, dan perjuangan tokoh-tokoh Islam di pusat pusaran dalam proses pembentukan negara Repubik Indonesia. “Kita bisa menyimak pandangan para pendahulu kita, sekaligus menarik ilham dari pemikiran dan perilaku mereka,” ujarnya.

Sebagaimana diketahui, kesulitan umum membaca buku-buku sejarah adalah diceritakan secara baku, dan itu membuat bosan. Tokoh-tokohnya hadir hanya diwakilkan dengan mencantumkan nama dalam narasi peristiwa sejarah.

Semakin jauh sejarah semakin minimalis pengungkapan kisahnya. Jarang muncul sisi humanisme para tokoh maupun percakapan humanis para tokoh, mengangkat pula proses-proses pertimbangan yang terjadi dalam diri para tokoh yang melandasi keputusan-keputusan dan sikapnya.

Dan inilah yang dipersembahkan Lukman Hakiem dalam buku Utang Republik pada Islam. Ia justru mengangkat sejarah primer dan mengkombinasikannya dengan sisi-sisi humanisme mereka, membuat pembacanya akan melek, mendapat pencerahan dan meningkatkan kecintaan kepada NKRI sebagai warisan para ulama, mencegah “mati obor” atau terputusnya mata rantai sejarah dari para tokoh pendahulu.

Ada puluhan tokoh Islam yang namanya disebut dalam buku ini karena jasa dan peran penting dalam kemerdekaan. Mereka antara lain Haji Omar Said Tjokroaminoto, Haji Agus Salim, KH Hasyim Asy’ari, KH Abdul Wahid Hasyim, Mohammad Natsir, Abdul Kahar Mudzakkir, Ki Bagus Hadikusumo, Mohammad Roem, dan lain-lain yang namanya layak kita muliakan.

Penulis kagum sekali, di tangan Lukman Hakiem sejarah bukan sekadar tulisan atau deretan kata atas peristiwa masa lalu. Di tangannya, sejarah berkisah. Sejarah hidup. Banyak segmen dalam sejarah yang lampau itu – yang sebelumnya merupakan the untold story kata penerbitnya Pustaka Al-Kautsar – diungkap Lukman Hakiem dengan format yang anti-mainstream.

Ia mengungkap sejarah perjuangan para ulama, pemuka agama, tokoh-tokoh bangsa dan cendekiawan muslim terdahulu di pusaran inti perjuangan menuju kemerdekaan dan dalam misi menjaga Indonesia.

Hadirnya buku ini dengan judul Utang Republik pada Islam tentu bukan berarti menihilkan peran kelompok agama-agama lainnya. Namun fakta sejarah tak bisa dipungkiri, para kyai dan tokoh-tokoh Islam memiliki saham yang besar dalam perjuangan kemerdekaan dan mempertahankan negeri ini. Mereka berjuang mengorbankan darah, keringat, dan air mata.

Sejarah itu, menghampiri kita. Maka, “Mengertilah siapa yang mau mengerti,” ujar Lukman Hakiem dalam pengantarnya. (*)

- Iklan -

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU