Gadis di Kursi Roda

Namaku Aurel. Biasa dipanggil Arel. Aku hanya seorang gadis remaja kecil kelas tujuh di SMP paling favorit di kotaku. Warga sekolah mengenalku sebagai anak serba bisa, pintar dan multi talenta. Hobiku mengoleksi piala, piagam dan medali.

Aku menyukai semuanya. Semuanya ingin aku coba. Tingkat penasaranku selevel dengan kanker stadium empat. Alhamdulillah sekali, orang tuaku mendukung sepenuhnya. Aku anak semata wayang yang diberi kebebasan oleh orang tuaku untuk kegiatan apapun yang aku ikuti. Asalkan semuanya bermanfaat.

Hari ini Etek Jum satu-satunya pembantu rumah tangga di rumahku sedang libur. Anaknya sedang sakit di kampung. Papa belum pulang, masih di kantor. Mama pun begitu. Saat ini aku sendiri saja di rumahku yang besar ini sepi.

- Iklan -

Tiba-tiba aku teringat dengan teman-teman sekolahku. Mereka sedang apa ya? Ah, ini hari Rabu. Aku lirik jam dinding, pukul sembilan seperempat. Tepatnya sembilan lebih tiga belas menit. Pasti teman-temanku sedang berolah raga.

Mereka pasti tengah berlarian di lapangan hijau di samping sekolah. Tertawa, kejar-kejaran, bercanda. Ah, sedangkan aku duduk di kursi roda. Satu kaki sudah tak ada. Setelah diamputasi beberapa hari yang lalu dan masih harus dikontrol lagi.

Kecelakaan yang aku alami sekitar dua bulan yang lalu telah memisahkan kaki dari ragaku ini. Mama melarang aku mengendarai motor matic. Tapi aku bersikeras mencoba. Akhirnya aku menabrak pohon di pinggir lapangan dekat masjid. Salahku juga.

- Iklan -

Satu kaki harus kurelakan diamputasi dokter. Namun aku masih bersyukur pada Tuhan. Aku masih diberikan kesempatan memiliki satu kaki lagi. Setidaknya aku masih diberi umur untuk melanjutkan kehidupan. Alhamdulillah Wa Syukurillah.

Aku keluar dari kamar. Kedua tangan ini memutar roda samping kursi rodaku. Rasanya sudah lama aku tidak keluar kamar sendirian seperti ini. Biasanya aku dibantu oleh etek Jum, papa atau mama. Perlahan kugerakkan roda

kursi dengan kedua tangan. Kursi roda menuju ruang foyer. Belum pernah aku sampai ke ruangan ini selama aku berada di kursi roda ini. Ruang foyer adalah sekat antara ruang tamu dan ruang keluarga di rumahku.

- Iklan -

Di ruang inilah tempat piala, piagam dan medali tersusun rapi. Sudah sebulan aku berada di kursi ini dan sekarang aku sudah cukup lihai bergerak kemanapun dengan alat transportasiku ini.

Aku melihat dengan takzim deretan piala-piala itu. Aku coba menghitungya. Mmhh… banyak sekali. Piagam-piagam juga terpajang di dinding berjejer hampir sampai ke plafon rumah.

Medali juga begitu, bergelantungan di lemari pajang khusus yang dibelikan ayah untuk itu. Mataku tertuju pada satu trofi yang bertuliskan “Juara 1 Lomba Sepatu Roda Tingkat Nasional”.

Kala itu aku memakai sepatu roda warna pink yang dibelikan mama. Aku sangat mengenang sekali momen itu. Setelah melewati batas garis finish dan aku yakin aku yang pertama, langsung aku berlari menuju mama yang sedang menonton anakya di barisan bangku penonton. Terima kasih ma, atas sepatu roda keberuntungan pemberianmu ini.

Aku lirik kursi roda. Kakiku hanya satu. Dan memang tinggal satu. Apa mungkin aku bisa memakai sapatu roda warna pink ini kembali? Mataku perih. Kugigit bibir menahan tangis. Aku tak ingin mengeluarkan air mata. Tak bisa. Butiran bening dari kelopak mata bawahku keluar juga. Air mataku mengalir begitu saja.

Aku beralih ke medali di sebelahnya. Kugeser perlahan kursi roda tanda aku mendekat. Kepala aku dekatkan ke medali emas itu. Tertulis “ Juara 1 Kejuaraan Kyiurigi Taekwondo dalam POPDA Sumatera Barat.

Waktu itu, master Jaka Suparyada mengalungkan medali ini di leherku. Aku berdiri membungkuk di atas podium berangka satu. Aku ciumi medali ini tanda aku bangga dan terharu bahagia.

- Iklan -

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU