Panggung Arwah

Pagi yang cerah serta kicau burung telah mengantarkanku untuk mengawali aktivitas hari ini. Seperti biasa, sebagai seorang mahasiswa sudah menjadi kewajiban untuk kuliah tepat waktu agar tugasku sebagai seorang mahasiswa dapat terpenuhi seluruhnya.

Pantang bagiku untuk bolos kuliah, apalagi jika bolos kuliah hanya digunakan untuk sekadar nongkrong-nongkrong tak jelas.

Ya, begitulah memang seharusnya jika ingin menjadi mahasiswa teladan. Namun kali ini aku datang lebih awal. Tepat pukul 6.30 WIB, aku sudah berada di kampus.

- Iklan -

Bukan tanpa alasan, melainkan ada hal yang ingin aku telusuri. Tepat depan aula aku bertemu dengan seorang pegawai kebersihan kampus.

“Pak, boleh saya pinjam kunci aula?” tanyaku kepadanya.

“Silakan tunggu sebentar ya, karena Bapak lupa simpan kuncinya, bapak akan cari kuncinya dulu di loker.” Pegawai kampus mempersilakanku untuk menunggu depan pintu aula.

- Iklan -

“Oh gitu, ya, baik Pak. Saya tunggu di sini ya.” Aku menunggu sambil melangkahkan kaki menuju mading kampus yang ada di sebelah ruang gedung C: mes para pegawai kampus yang terlihat sepi.

“Semoga aja ada info beasiswa nih, kan lumayan buat nambah-nambah biaya kuliah kalo menang.” Langkahku semakin dekat menuju mading yang hanya tertempel di dinding dengan konsep ala papan tulis.

Aku membaca judul berita yang membuat mataku terbelalak: “Bunga Alinara, Mahasiswa Semester 5 Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Sukses Menghidupkan Kembali Tokoh Nina di Panggung Teater Pentas Drama Angkatan 17”. Di bawah judul besar itu ada foto orang dengan selendang warna merah dan rambut panjang terurai.

- Iklan -

“I-ini tidak mungkin! Siapa yang buat berita semacam ini?” Jeritku tertahan sembari menggelengkan kepala serta mata yang melotot menentang keras selembar kertas berwarna hijau itu.

Beberapa pasang mata yang sedang menikmati segelas kopi di bawah pohon rindang melihat ke arahku. Aku kembali merasakan hawa dingin membalut tubuhku. Tengkukku merinding.

“Bagaimana bisa berita ini mengatakan bahwa Bunga ada di sana dan memerankan Nina?” Tanganku bergetar menahan sergapan rasa takut.

“Orang di dalam foto ini bukan Bunga!”

Benakku seolah tak menerima dengan apa yang baru saja kubaca. Lantaran tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi.

“Kang, ini kuncinya.” Suara pak Jimin yang sejak tadi mencari kunci di loker. Namun aku tak menggubrisnya.

“Kang?” sapanya dengan lembut.

“Hey, Kang?” Kali ini suaranya mengeras sembari menepuk pundakku.

“Eh, Bapak ngagetin aja.” Detak jantungku berdegup kencang, sungguh menarik nafas dalam-dalam.

“Lagian akang melamun sih, emangnya mau ngapain kang di Aula?”

“Hmmmmm, i.. ini pak mau ngambil, hmmmm ngambil sesuatu pokoknya pak.” jawabku sedikit gugup.

“Sesuatu apa kang?” Gelagatnya penasaran.

“Ah, bapak pengen tau aja. Rahasia dong pak hehe…” Kucoba mengalihkan perhatiannya.

“Ah, yasudahlah, nanti kalo sudah, kuncinya simpan saja di pos depan ya, bapak mau mandi dulu, belum mandi nih dari kemarin”.

“Oke siap Pak, mandi yang bersih ya Pak biar gak bau, haha…” ucapku tak lagi digubris. Pak Jimin bergegas menuju kamar mandi yang letaknya tak jauh dari gedung C yang bersebrangan dengan gedung D.

Sementara itu, aku mulai membuka pintu Aula yang sejak tadi terkunci. Lalu berjalan melewati kursi-kursi yang belum dibereskan sejak pementasan itu berakhir, terlihat berserakan. Kakiku melangkah lagi menuju pojok kanan aula yang masih terpasang tirai hitam bekas pementasan.

Beberapa alat musik dan properti tampak berserakan, seperti habis diacak-acak dan dibiarkan begitu saja, padahal malam itu sudah kuinstruksikan untuk setidaknya dirapikan walaupun tak langsung dibawa atau dipindahkan ke luar Aula.

“Uh, parah ini! Nampaknya perkataanku kurang didengar,” gumamku. Aku meninggalkan pojok kanan Aula dan berbelok ke ruang belakang.

Terlihat sebuah kardus, kuambil satu gulungan kain berwarna merah dan membentangkannya. “Ah, bukan yang ini,” kuletakkan kembali di tempat semula.

Saat menjangkau tumpukan kardus yang lebih tinggi, kurasakan ada yang aneh di balikku. Sehingga kuurungkan niat untuk menjangkau kardus itu. Karena rasa penasaran tak dapat dibendung, aku berdiri dan memutar badan ke belakang.

- Iklan -

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU