Gadis Mochaccino

Malam ini aku melihatnya lagi, gadis dengan raut wajah yang selalu menampakkan kesenduan.

Dia selalu duduk di sana, pojok ruangan di dekat jendela kafe, dia juga selalu memandang jendela luar.

Setiap hari, datang pukul tujuh malam, memesan secangkir mochaccino, kemudian duduk di tempat “miliknya” dan memandang keluar.

- Iklan -

Kegiatan itu ia lakukan hingga kafe ini tutup, yaitu pukul sepuluh malam. Aku tidak tahu siapa yang ia tunggu, mungkin seseorang yang sangat berharga untuknya, jika tidak mana mungkin ia akan melakukan hal itu setiap hari.

Hari itu adalah hari pertamaku bekerja di kafe ini, dan juga hari pertama aku bertemu dengan dia, si gadis mochaccino, begitu aku menjulukinya.

Awalnya kupikir ia adalah pengunjung biasa, atau mungkin hanya sekedar pelanggan yang singgah dan tidak akan datang lagi, namun ternyata aku salah, dia terus datang bahkan satu minggu, sepuluh hari, satu bulan, dan seterusnya.

- Iklan -

Jadi aku beranggapan bahwa dia adalah pelanggan setia kafe ini. Setelah aku bertanya ke senior, ternyata senior bilang gadis itu rutin mengunjungi kafe ini selama tiga tahun di waktu yang sama, duduk di tempat yang sama, dan dengan raut muka yang sama. “wow, konsisten sekali” batinku.

“Silahkan kopinya.” pecahku sembari menyajikan mochaccino pesanannya di meja, dia menatapku dan senyum kecil tersungging di bibirnya.

Aku sempat terperanjat sepersekian detik, karena tidak biasanya dia menatap orang yang mengantarkan minumannya, dan bahkan TERSENYUM?!! Setelah sadar aku membalas senyumnya dan kembali ke meja bar, kurasakan jantungku berdebar. “Ada apa denganku?”

- Iklan -

Suatu hari yang tak diduga, dan mungkin adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh si gadis mochaccino, hari ini orang yang ia tunggu –begitulah yang kupikirkan– datang menghampirinya dan duduk di depannya.

Gadis mochaccino terlihat gugup namun senang di saat yang sama. Aku tidak dapat mendengar apa yang mereka katakan karena aku berada di meja bar, lumayan jauh dari tempatnya, namun aku masih bisa melihat mereka dengan jelas.

Terlihat ia begitu gugup berbicara pada orang yang ia tunggu, namun orang yang ditunggu hanya menunjukkan ekspresi datar.

Sampai akhirnya orang yang ditunggu berdiri dan mengatakan sesuatu yang mengubah ekspresi gadis mochaccino menjadi suram lalu meninggalkan gadis mochaccino begitu saja. Selama beberapa menit gadis mochaccino terdiam hingga kemudian ia beranjak pergi.

Terhitung sudah tiga bulan sejak kejadian tak terduga itu, dan juga hari terakhir aku melihat gadis mochaccino. Dia tak lagi datang seperti biasanya setelah kejadian itu, “Apa pria itu menyuruhnya untuk tidak usah datang dan menunggunya lagi?” aku menggelengkan kepalaku, “ah, untuk apa aku peduli?”

Nyatanya aku memang peduli, tak jarang aku melihat pintu kafe setiap pintu itu didorong, memastikan apakah gadis mochaccino kali ini datang kembali, menikmati secangkir mochaccino kesukaannya dan duduk di tempatnya.

Namun selalu rasa kecewa yang kudapat karena dia tidak datang. Tanpa sadar aku selalu menunggu kehadirannya di kafe ini lagi.

Dia benar-benar lenyap dari dunia ini, atau duniaku. Gadis mochaccino, bahkan hingga tiga tahun berlalu dia tak datang lagi, “Sebenarnya ada di mana dirimu? Apakah kamu baik-baik saja?” Harusnya aku tidak seresah ini, tapi kenapa aku merasa begitu resah? Lagi aku bertanya pada diriku, “Sebenarnya ada apa denganku?”

Jika kau ditakdirkan untuk bersama dengan seseorang, sejauh apapun, selama apapun kau terpisahkan darinya, dengan ajaib alam akan menuntunmu kembali kepadanya, mempertemukan, serta menyatukan kalian kembali.

Aku membaca penggalan kata itu di suatu buku –yang aku lupa apa– Secara tidak sengaja aku kembali bertemu denganmu, apakah ini takdir atau hanya kebetulan semata? Kamu berdiri di seberang jalan, menunggu lampu hijau pejalan kaki menyala, haruskah aku mengabaikanmu atau haruskah aku menyapamu?

Mana yang baik yang harus kulakukan? Setelah berpikir secepat kilat dan melihat kembali beberapa tahun ke belakang, tentang bagaimana diriku menghabiskan hari tanpa hadirmu, akhirnya aku memutuskan untuk menyapamu.

3 2 1 lampu hijau pun menyala, semua orang langsung berjalan dengan tergesa-gesa, aku pun melakukan hal yang sama dengan pandangan mataku tak lepas darimu.

Ketika aku hendak mengeluarkan suara untuk menyapamu indra penglihatanku melihat seseorang yang tidak asing dan dia menggenggam erat tanganmu, dia, pria yang kamu tunggu dengan segenap hati, kalian berjalan bersama dengan tangan saling terjalin dan tawa yang sesekali hadir dalam percakapan kalian.

Aku terdiam melihat pemandangan yang baru saja kusaksikan, hingga suara lampu lalu lintas menyadarkanku untuk segera bergegas menyeberang.

Ternyata pertemuanku dengan gadis mochaccino bukanlah sebuah takdir, hah, dasar, bagaimana bisa aku dengan besar kepala mengira bahwa aku bertemu denganmu adalah takdir bahwa kita akan bersama.

Aku tertawa miris, bagaimana bisa aku dengan percaya diri ingin menyapamu yang bahkan mungkin kamu tidak akan mengenaliku, karena aku hanyalah sekelebat orang yang tidak sengaja hadir dalam hidupmu.

Aku hanyalah penonton dalam kisah cinta kalian berdua. Kata-kata tentang takdir itu ternyata berlaku untuknya dan untukmu, bukan untukku dan untukmu.

Penulis: Tiara Fanisa

- Iklan -

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU