OPINI : Lesunya Perdagangan Ikan, Hingga Sepinya Pappalimbang

Menjadi sebuah pertayaan besar di benak penulis, mengapa banyak kasus serupa terjadi di mana-mana? Kemiskinan merajalela, kesenjangan sosial, ekonomi yang lesu, pendidikan rendah dan masalah lainnya. Ada apa dengan negeriku ini?

FAJARPENDIDIKAN.co.id – Laut yang kaya kebanggaan bangsa, betulkah? Namun, rasanya miris jika melihat ulang sebuah riset mengejutkan dari Survey Sosio Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang mengatakan bahwa, nelayan merupakan salah-satu profesi paling miskin di Indonesia. Manakah laut yang katanya kaya itu?

Dampak dari pandemi Covid-19 dirasakan betul oleh masyarakat nelayan, yang mengubah tatanan sosial, ekonomi dan lingkungan di desa, kota, pesisir dan pulau-pulau, termasuk di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Hal ini dirasakan warga penduduk Kecamatan Kepulauan Sangkarrang, dan Pulau Lae-lae, Kecamatan induk, Ujung Tanah, Kota Makassar, Sabtu (pelakita.id 15/8/2020).

Profesi pappalimbang (bahasa Makassar) atau pengemudi kapal penumpang di Pulau Lae-lae terpuruk pendapatannya. Karena menurunnya penumpang akibat pembatasan sosial selama pandemi Covid- 19.

- Iklan -

Nelayan tangkap Pulau Lae-lae juga terdampak pandemi karena pembatasan sosial. Transaksi ikan di tempat pelelangan Paotere dan Rajawali yang turun drastis, serta banyak hotel dan restoran yang membeli ikan juga tutup. Disisi lain, harga sembako dan logistik lainnya yang menjadi mahal di pulau, karena transportasi antar pulau yang dibatasi.

Belum lagi praktik riba berkedok simpan-pinjam, bernamakan koperasi. Program jitu ala pemerintah, yang bukannya justru memberikan kesejahteraan, malah menambah beban rakyat. Ditambah kelakuan nakal para pengepul yang suka main harga. Hingga nelayan harus banting harga hanya sekedar untuk menutupi modal. Bukan hal yang tabu lagi, praktik main harga yang sering dilakukan oleh para penggepul atau punggawa, kejadian ini sering penulis amati di pelabuhan pelelanggan ikan di Poetere, ketika penulis melakukan praktik lapang di sana.

Baca Juga:  Tempo vs Bahlil: PERLUKAH TEMPO MEMINTA MAAF?

Akibat dari lesunya ekonomi nelayan, memaksa kaum ibu harus turun tangan membantu mencari tambahan penhasilan. Demi tercukupinya kebutuhan keluarga dengan jualan makanan dan air bersih. Kasus yang sama juga terjadi di pulau-pulau lainnya, seperti di pulau Samalona dan pulau Kodingareng keke.

- Iklan -

Pemerintah Provinsi Sul-Sel dan kota Makassar perlu memberi jaminan pasokan bahan pangan dan dukungan pengembangan bisnis bagi masyarakat di pulau-pulau, yang ada di Makassar yang terdampak pandemi.

Pemerintah wajib bertanggung jawab atas kesejahteraan nelayan lokal, yang tidak hanya membutuhkan infrastruktur, namun juga fasilitas peralatan penangkapan, wilayah penagkapan yang berlimpah hasilnya, keamanan saat melaut, bahkan persaingan dengan nelayan ilegal, ilegal fishing.

Menjadi sebuah pertayaan besar di benak penulis, mengapa banyak kasus serupa terjadi di mana-mana? Kemiskinan merajalela, kesenjangan sosial, ekonomi yang lesu, pendidikan rendah dan masalah lainnya. Ada apa dengan negeriku ini?

- Iklan -

Adakah kebijakan mengurusinya? Yang bukannya pro pada masyarakat nelayan? Justru menjadikan rakyat sebagai tumbal santapan lezat. Atau bisa jadi, sistem yang dianut di negeriku ini adalah sebuah sistem yang pengelolaan sumber daya alamnya diserahkan kepada ruwaibidhoh yang menggunakan standar ekonomi kapitalis.

Pandemi Covid-19 justru semakin menegaskan serta membuka mata kita, akan rapuhnya perekonomian negeriku ini. Yang mengunakan sistem kapitalisme-liberal, hingga perekonomian pun semakin terpuruk saat ditimpa pandemi.

Persoalan krisis ekonomi negeri ini, ada dalam penerapan ekonomi kapitalisme-neoliberal yang berstandar pada ekonomi non ril. Yang melahirkan institusi pasar modal, sektor perbankan berbasis ribawi, sistem keuangan yang bertumpuh pada pajak dan utang luar negeri. Serta sistem moneter yang berbasis uang kertas yang sebenarnya menjadi penyebab krisis ekonomi. Sistem ini telah memberikan jalan mulus bagi korporasi, untuk menguasai sumber daya alam dan perekonomian, mengerbiri peran negara.

Baca Juga:  Tempo vs Bahlil: PERLUKAH TEMPO MEMINTA MAAF?

Langkah untuk memulihkan negeri ini bahkan dunia, adalah kembali menerapkan sistem ekonomi Islam yang kuat, mandiri, dan anti krisis. Sehingga, negara akan mampu bertahan ketika suatu waktu dihantam pandemi.

Dalam situasi wabah seperti sekarang, Islam akan menerapkan kebijakan yang akan memprioritaskan pada upaya penyelesaian wabah terlebih dahulu. Lalu disaat yang sama melakukan mekanisme makro dan mikro ekonomi Islam, hingga negara tidak akan mampu jatuh ke jurang ekonomi krisis.

Islam mampu mencegah adanya krisis ekonomi berdasarkan prinsip-prinsip berikut:

  1. Sistem ekonomi Islam, mengharamkan praktik riba.
  2. Menata ulang sistem moneter, yang harus berbasis emas dan perak, bukan yang lain. Jika pun harus mencetak uang kertas. Tetap harus dicover dengan emas dan perak. Dan harus ditukar, jika ada permintaan.
  3. Melarang penjualan komoditi sebelum dikuasai oleh penjualnya, hingga jatuhnya haram menjual barang yang bukan milik seseorang.
  4. Sistem keuangan dalam Islam, berbasis baitul maal.
  5. Menata ulang kebijakan fiskal, yakni menutup semua pungutan pajak.

Demikianlah, dengan penerapan sistem ekonomi Islam. Khilafah akan mampu bertahan di tengah kondisi apapun, dan tidak akan jatuh ke dalam jurang krisis, apalagi resesi.

Wallahu a’lam bishshawab.

Oleh : Jusniati Dahlan
Aktivis Dakwah Kampus dan Anggota AMK

- Iklan -

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU