Perihal Mentari dan Pandangannya

Mentari melangkah perlahan menghayati rerumputan yang basah embun di kaki mungilnya. Rerumputan itu menggelitiknya dan fakta itulah yang akan dicatat di kepalanya: rumput bisa menggelitik kaki.

Hawa hangat yang menyebar perlahan terasa nyaman seiring matahari terbit di hadapan Mentari, tapi gadis itu hanya bisa mengapresiasi kehangatannya tanpa tahu dari mana sumbernya.

Seperti saat orang-orang lain menikmati embusan angin tanpa tahu arah datangnya—kecuali ada seseorang yang buang angin di saat yang sama, baru itu jadi perkara.

- Iklan -

“Sayang,” bisik Fajar dari belakang di telinga kanan Mentari.

“Oh,” kepala Mentari tengak-tengok, “kau ada di belakang, Sayang…”

“Aku ada di hatimu, Sayang,” bisik Fajar mesra lalu mengecup pundak Mentari. Gadis itu terkikik geli, menikmati pertunjukkan yang tak bisa ia saksikan.

- Iklan -

“Seandainya kau bisa melihatnya, Sayang,” ujar Fajar, “Matahari pagi ini sangat indah… Itu, bisakah kau merasakan kehadirannya?” tangan kanan Fajar menggapai-gapai matahari dari kejauhan seolah ia akan datang mendekat.

“Oh, Kasihku,” jawab Mentari lembut, “bahwa matahari masih membawa kehangatan bagi kita semua adalah lebih dari cukup bagiku,” jawab Mentari sambil perlahan berbalik menghadap Fajar.

Si pria muda itu dengan sigap membantu kekasihnya berputar arah. “Mana, mana… ah… ini wajahmu,” kata Mentari saat kedua tangannya berhasil meraih kedua pipi Fajar. “Oh, kau berjerawat,” kikik Mentari, “sudah kubilang kurangi asupan kacang tanah.”

- Iklan -

“Sayang…” sela Fajar, “manusia tidak bisa lepas dari kesenangan.” Pagi itu, bibir Mentari adalah asupan pertama Fajar. Sebelum roti dengan selai kacang.

***

“Manis sekali…” komentar Ares sambil memandangi foto Fajar dan Mentari dari layar ponsel sahabatnya. “Aku berharap segera mendapatkan undangan pernikahan kalian, Fajar.”

“Menikah?” Fajar terkekeh agak dipaksakan. “Topik yang bagus untuk kita bicarakan.”

“Aku pikir itu untuk di praktik kan juga,” sanggah Ares sebelum menyuapkan sup ke dalam mulutnya, “secepatnya.”

Fajar membalas dengan kekehannya lagi. “Brilian. Tapi aku bukan manusia yang sempurna,” pria muda itu terlihat memikirkan sesuatu.

- Iklan -

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU