Beranda blog Halaman 2593

Hari Minggu yang Ditunggu-tunggu

0

“Iya. Papaku mengajakku jalan-jalan ke pantai, seru banget! Buat istana pasir dan memungut kerang,” ungkap Ari dengan rasa bahagia, memamerkan liburannya kemarin di hari Minggu.

“Aku juga kemarin seru! Aku dan keluargaku mengunjungi kebun binatang di pusat kota, ada monyet yang loncat-loncat!,” ucap Reno memperagakan gaya monyet yang melompat.

“Kalau hari Minggumu gimana Rafli? Kamu kemana aja bersama keluargamu?” Tanya Ari penasaran, pasalnya setiap teman-teman menceritakan liburan pada hari Minggu, Rafli menjadi satu-satunya orang yang diam dan hanya menyimak.

“Aku? Seru juga kok!” Rafli tersenyum senang, membuat teman-temannya penasaran sekaligus bingung dalam satu waktu.

“Memangnya kamu liburan kemana?” Kali ini Reno yang mengajukan pertanyaan.

Siang itu Rafli dan kedua temannya baru saja pulang sekolah, seperti biasa disepanjang jalan mereka akan bercerita apa saja, dan hari ini mereka menceritakan masa liburan mereka kemarin pada hari Minggu, yang tentunya selalu menjadi hari yang dinantikan anak sekolah, begitupun dengan Rafly, Ari dan Reno.

“Hm.. ini Rahasia!”

“Apa? Jangan bilang kamu gak liburan! Iya kan? Ngaku deh, kamu pasti hanya rebahan di rumah,” Ari mendesak Rafly dengan cecaran pertanyaan dan tuduhan. Namun dengan tenang Rafly kembali membuka suara.

“Baiklah, besok akan ku ceritakan! Liburanku ini sangat hebat!”

Point of View

0

Pernahkah hatimu seperti terbakar? Aku sering. Setiap kali mendengar dan membaca nama Han Kaliandra. Seorang penulis muda yang followernya di Instagram hampir mencapai 25 ribu orang, yang setiap kali mengunggah foto atau kutipan selalu mendulang banyak like dan komentar. Yang setiap minggu namanya sering tercetak di halaman surat kabar.

Sialnya, aku menjadi bagian dari followernya. Tentu saja, aku tidak memakai akun asli. Aku memakai akun bayangan. Dengan begitu lebih bebas memantaunya. Tetapi, entah apa yang ada di pikiran cowok itu, dia mengikuti semua akun media sosialku. Dari Facebook, Instagram, Twitter, bahkan Pinterest. Dia juga mengikuti akunku di sebuah platform menulis. Dan rajin memberi tanggapan.

Seharusnya aku senang. Seharusnya. Nyatanya, aku tidak suka.

Tentu saja ayah tidak pernah mengajariku untuk membenci. Ia membesarkan aku dengan kasih sayang. Tetapi mungkin ayah tidak sadar, bahwa puja-pujanya yang berlebihan untuk Han seperti menumpuk-numpuk bara di hatiku. Panas, dan pedih.

Kukira, Tuhan cukup mengujiku dengan kehilangan ibu pasca pemilu beberapa tahun lalu. Namun, aku harus menghadapi kenyataan bahwa diriku bukan satu-satunya yang memenuhi hati ayah.

Suatu malam ayah bercerita kalau aku mempunyai seorang kakak yang tampan. Ayah menunjukkan fotonya. Aku shock! Astaga, kami sudah berteman di Facebook, hampir tiga tahun.

Malam itu air mataku seolah diperas. Dadaku sesag. Kepalaku berat. Berhari-hari aku tidak bicara dengan ayah. Aku tahu, ayah sedih dengan sikapku. Tetapi aku juga terluka dengan semua kenyataan itu.

Berbagai kenangan perihal ibu tumpah ruah. Aku masih ingat bagaimana sibuknya ibu saat masa kampanye. Bagaimana ayah dan ibu masih terus bicara dengan tamu-tamu hingga larut malam. Bagaimana kudengar ibu yang kadang meninggikan suara di hadapan ayah.

Itu masa paling sibuk dalam keluargaku. Ibu yang sibuk kampanye dan aku yang dituntut belajar karena menghadapi ujian nasional.

Ibu yang kemudian bertengkar dengan ayah karena nilaiku tidak sesuai harapan. Perolehan suara ibu pun jauh dari prediksi. Ibu yang kelelahan dan berhari-hari harus dirawat di rumah sakit hingga akhirnya ia pergi mendahului kami. Rentetan peristiwa itu adalah pukulan demi pukulan dalam hidupku.

Jadi, ketika aku harus menerima kenyataan ada seseorang lain di hati ayah, aku benar- benar sulit menerima.

“Apakah ibu tahu semuanya?” tanyaku di hari lain setelah aku dan ayah kembali saling bicara.

“Ya,” suara ayah serak dan dalam.

Itu bukan jawaban yang aku harapkan.     Tetapi kenyataan yang harus aku telan. “Maafkah, ayah, Nak.”

Aku menyebut peristiwa itu sebagai patah hati pertamaku.

Darah Rindu

0

Pagi hari yang cerah di putaran kalender 11 Juni 2016, terlihat sebuah keluarga yang sedang bersenda gurau di sebidang sawah yang luas. Seakan sedang memberi tahu dunia betapa bahagianya mereka. Salah satu di antara mereka menghampiri seorang perempuan berusia tiga puluh tahun yang sedang duduk di pinggir sawah.

“Terima kasih kak Maretaku,” katanya sambil tersenyum.

“Untuk?” Tanya perempuan berambut pirang itu sambil tersenyum.

“Semuanya. Setelah ayah meninggal, kakak memilih mengumpulkan kami dan mengajak tinggal bersama. Walaupun kita berempat berasal dari ibu yang berbeda-beda, tapi tetap saja kita saudara satu ayah,” yimpal lelaki jangkung itu.

Kasih sayang yang empat bersaudara curahkan satu sama lain itu bak cermin dari dongeng asal Jerman “The Four Clever Brothers”. Penduduk pribumi memuji kekuatan cinta mereka. Bagaikan langit dan bumi, begitu perbedaan sifat mereka dengan ayah kandungnya, Arya.

Puluhan tahun silam, Arya memikat Sukma dengan janji suci pernikahan hingga melahirkan buah cinta mereka, Mareta. Dua tahun berjalan, mereka memutuskan berpisah karena Arya tak bisa menjaga kesetiaannya pada tulang rusuknya itu dan melakukan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga).

Tak lama, Arya naik pelaminan bersama Hanum, perempuan yang disebut-sebut sebagai orang ketiga. Dari keduanya, lahirlah bayi tampan bernama Aprilio. Namun pernikahannya seumur jagung. Hanum menghembuskan nafas terakhir setelah Arya mencengkam lehernya dengan kuat saat mereka bertengkar hebat karena masalah rumah tangga.

Satu tahun kemudian dunia kembali menyambut kehadiran manusia baru dari penyatuan Arya dan Dina, istri ketiganya. Namun sang ibunda meninggalkan bayi cantik itu setelah mental dan psikisnya terganggu. Dina mengalami ‘baby bues’ pasca melahirkan. Arya yang tak mengerti kondisi hati sang belahan jiwa yang sedang haus perhatian, kemudian menyakiti fisik wanita berkulit putih itu.

Seakan dunia sedang mempermainkan dan menyorot hidup Arya. Ia kembali dipertemukan dengan seorang bidadari cantik yang kemudian diikatnya dengan tali perkawinan. Ola namanya, ia berhasil memberi Arya seorang bayi jagoan dengan panggilan Juna.

Waktu terus mengikuti arus sampai pada 24 Desember 2016 di siang menjelang sore hari. Beberapa orang sedang berkumpul di luar sebuah bangunan dekat tambak garam. Rupanya mereka sedang menyaksikan Mareta yang berbalut selimut sambil menangis dengan tangan dan wajah berlumuran darah.

Sekelompok polisi patroli dan detektif tampak kesana kemari melihat ke dalam dan ke luar bangunan tua itu. Beberapa anggota tim forensik juga terlihat sibuk memotret di dalam bangunan.

Mereka mengumpulkan tiga mayat yang kemudian dibawa ke rumah sakit menggunakan ambulans. Di sisi lain, Mareta histeris tak kuasa melihat ketiga mayat adiknya.

Cak Ladrak

0

Tak ada yang lebih menyesakkan daripada mengenang sebuah perpisahan. Perpisahan yang acap kali membuat desa kami mendadak melankolis, dan terkadang harus diratapi dengan lenguh tangis.

Dan karena hal itulah, para warga rela berduyun-duyun menyusuri jalan setapak menuju ke dalam hutan yang mengelilingi desa. Kemudian lekas bersimpuh dan melingkari sebuah gubuk tua di samping pohon Dewandaru, untuk meratapi kepergian lelaki muda yang bertahun lamanya kami daulat sebagai pahlawan desa.

Ia bukan sosok pahlawan yang dulunya dengan gagah menenteng senjata untuk melawan penjajah. Bukan pula, sosok magis yang melindungi kami dari cengkeraman para makhluk gaib, yang selama ini kami yakini berkeliaran di dalam desa.

Lebih dari semua itu. Ia adalah sosok pahlawan, yang telah berhasil mengangkat harkat martabat desa kami. Desa yang terisolir di lereng gunung Argopuro. Desa yang dahulu menjadi salah satu daerah di mana lumbung kemiskinan menganga…

***

Namanya, Cak Ladrak. Lelaki kurus kering dengan pakaian compang-camping. Tak ada barang mewah yang melekat di sekujur tubuhnya, kecuali topi rimba sebagai penutup kepala, dan tas kumal yang terselempang di bahunya.



“Oh, ya, di dalam sini ada anak-anak saya,” timpalnya dengan kelakar, tiap kali kami menanyakan perihal isi di dalam tasnya.

Seluruh warga desa pun mahfum dengan segala perangainya. Meskipun dandanan dan tingkah lakunya mirip dengan orang gila, tetapi tak ada yang menyangkal bahwa ia jauh lebih waras daripada manusia pada umumnya.

Entah, sudah berapa banyak warga yang merasakan sentuhan magis dari uluran tangannya. Ia selalu berada di barisan paling depan bila ada warga yang membutuhkan bantuan. Utamanya terkait soal pemenuhan kebutuhan pangan tatkala desa dilanda paceklik karena mengalami gagal panen.

Ia akan mendatangi rumah-rumah warga yang sedang dilanda keresahan. Kemudian menanyakan keperluan-keperluan apa yang sedang mereka butuhkan. Dan ajaib, beberapa hari berselang, barang-barang itu sudah tergeletak di depan rumah warga yang akan dibantunya. Seolah semua barang itu turun dari langit dengan sendirinya.

We Are Pscometry

0

Flashback on

20 Agustus 2000, di desa Jounju, Korea selatan.

Hujan deras menghujani desa Jeonju. Di seberang jalan, seorang perempuan berumur 30-an menggunakan jas hujan hitam berjalan menyeberangi jalan menuju ke rumah yang ia kenal. Yaitu rumah sahabat dekatnya sejak SMA. Ia berharap temannya bisa membantunya untuk bisa menjaganya apa yang ia berikan kepadanya .

Tok tok tok

Suara ketokan pintu rumahnya. Sesekali kali ia menengok ke belakang untuk memastikan tidak ada orang yang mengikutinya. Terdengar ada orang yang mendekat di balik pintu .

“Siapa ya kamu?” Tanya seorang perempuan yang sebaya beriringan dengan mengintip dari bulatan kecil untuk memastikanya.

“Ini aku, Ah-in, sahabatmu,” jawabnya dengan nada biasa, tetapi sesungguhnya ia mempunyai rasa ketakutan.

Mendengar jawaban dan suara khas dari sahabatnya, ia langsung membuka pintu. Ia sedikit kaget dengan kondisi si Ah-in itu.

“Ya ampun, kenapa kamu kehujanan dengan seperti ini? Masuklah, aku akan membuat teh untuk menghangatkan badan kamu,” katanya berbalik badan menuju ke dalam, tetapi terhenti karena dicegah oleh Ah-in.

“Aku sedang buru-buru, kawan. Aku ke sini hanya memberikan amanah untukmu dariku. Tolong jaga bayiku dengan baik,” jawabnya membuat sahabatnya berbalik badan lagi.

Ah-in memberikan bayi perempuan mungil yang ia tutup oleh jas hujan hitam beserta tas bayi yang berisikan perlengkapan lengkap untuk bayi. Sontak sahabatnya kaget apa yang ia berikan. Ah-in langsung berbalik badan dengan niat pergi, tetapi terhalang oleh kata-kata dari sahabatnya itu.

“Kamu langsung pergi begitu aja tanpa surat, Ah-in?” Tanyanya .

“Didalam tas itu sudah ada surat wasiat dariku untukmu dan untuk anakku nanti. Aku pamit dulu ya,” jawabnya sambil meninggalkannya dengan cepat.

Dari jauh, terlihat sekelompok orang bertopeng menggunakan mantel bening sedang mengamati mereka berdua lakukan.

Are you sure she can join us?” Tanya salah satu dari kelompok itu menggunakan bahasa Inggris.

Yes I believe in him, predict he will have a big impact on this organization,” jawab perempuan dengan tersenyum dengan nada yakin.

What country will you target after South Korea?” Tanya temen disebelahnya.

Indonesian, wait ten more years to prepare thoroughly,” jawab perempuan itu sambil berbalik, lalu menghilang.

Yes, madam,” jawab mereka dengan sopan, lalu mereka menghilang kemudian.

Esa Kami Rindu

0

Halo! Namaku Angkasa Catur Adji. Biasanya sih dipanggil Angkasa. Aku tinggal di Surabaya, tau Pakuwon Indah? Nah rumahku ada di sana. Tahun ini umurku menginjak 18 tahun. Omong- omong, Aku ingin membahas temanku, Dia bernama Mahesa Aditya.

Teman-teman biasa memanggilnya ‘Adit’, sedangkan Aku sendiri lebih suka memanggilnya ‘Esa’. Dia adalah teman pertamaku, sejak Aku pindah ke Surabaya. Umur Kami yang sama, membuat Kami cepat akrab satu sama lain. Dahulu, sewaktu Kami berumur 5 tahun, Aku masih mengingatnya, Di membelikanku sebuah kue es krim untuk merayakan ulang tahunku.

Mendapati hadiah seperti itu dari temanmu, pasti senang sekali bukan? Waktu itu saja Aku langsung memeluknya sambil menjerit tertahan tepat di telinga kanannya. Lalu membisikkan kata terima kasih.

Dia ikut senang tentu saja, dan menyuruhku untuk memotong kue tersebut. Berakhir Kami makan bersama sembari berbincang-bincang. Membahas kira-kira kenapa Squidward selalu membenci Spongebob. Menginjak umur 7 tahun, Aku beserta keluarga memutuskan untuk pindah ke sebuah perumahan lain.

Lantaran rumah lamaku sangat jauh dari kantor ayah. Cukup sedih dan berat sekali rasanya untuk keluar dari zona nyaman. Sempat Aku mengatakan pada Esa, namun Dia sangat mengerti.

Dia berkata, “Kalau memang Kita itu teman sejati, Tuhan pasti mempertemukan Kita lagi kok!” dengan ceria. Mungkin tidak mau membuatku sedih. And guess what? We finally meet again after 3 months since I moved! Kita berada di satu sekolah yang sama, bahkan kelas Kita pun sama! Sungguh Aku senang sekali kala itu.

Esa, I guess we’re truly soulmate aren’t we? Haha. Pertemanan Kita bisa dibilang langgeng sekali, sampai menginjak bangku SMP loh! Tetapi ada yang berbeda, Kita menambah satu personil teman lagi. Namanya Daya Putri Lestari. Biasanya dipanggil Daya. Masa-masa SMP-ku, Aku habiskan bersama Mereka bertiga. Kita belajar bersama, bermain bersama, Cerita sana-sini, seru deh intinya!

Hingga pada hari itu, semuanya berubah. Kami yang awalnya selalu bertiga kemana-mana, kini hanya tersisa Aku dengan Daya saja. Esa? Entah kemana dia. Dia hilang bagai ditelan bumi. Esa benar-benar tidak bisa dihubungi. Hpnya selalu mati saat Kami mencoba untuk menghubunginya.

Ada mungkin sekitar 2 minggu Dia tidak menampakkan batang hidungnya di sekolah. Daya saja sempat berpikir bahwa Esa mengkhianati Aku dengannya. Ya bagaiman tidak? Selang beberapa hari, Dia mendatangi kembali sekolah dengan cengiran tanpa berdosa. Kekhawatiran Kami berdua mereda. Sedikit terkejut penampilannya berubah, kini Esa lebih sering menggunakan topi hitam ketimbang membiarkan rambutnya terurai.

Dinding Tirani

0

Desas-desus pemecatan pejabat pro rakyat terdengar dari mulut ke mulut. Bagai api yang menyala-nyala. Kini simbol raja tak lagi mengurung rakyatnya. Orator mulai turun bersamaan dengan massa yang tak percaya lagi pada raja.

Aku segera mempercepat langkah dan menuruni tangga kayu. Pikiranku berkecamuk, dadaku bergemuruh. Saatnya aku memulai kembali potongan pertama. Menceritakan semua dari awal.

Potongan Pertama

Terlahir di negeri yang terkurung memang membuatku agak buntu untuk membuka pikiran. Namun, nalar dan akal ini tidak akan buntu untuk melihat kejernihan. Aku akan memilih jalan diam untuk memperjuangkan hak rakyat.

Maka, sore ini kebisingan kota membuatku melangkah mencari peraduan dan ilmu. Aku, Rish seorang pemuda dari pinggiran kota di sebuah negeri menentang kewenangan raja yang sudah terlalu lama tirani.

Saat ini, aku memasuki bangunan kuno di seberang jalan. Kota kami sedikit mendung akhir-akhir ini. Suasana sekitar pun lengang, hanya terdengar suara kereta kuda di luar.

“Rish, kapan kau akan menerbitkan karya mu?”

“Sudah ku selesaikan, ini kuserahkan padamu.” Ucapku sembari mengeluarkan buku catatanku. Bangunan ini sekilas tidak seperti bangunan yang lain pada masanya. Di sinilah aku dan penulis lain saling bertukar pikiran, menghabiskan waktu, membicarakan hal mengenai pemikiran-pemikiran filsuf lain, dan mendapat berbagai sudut pandang sebagai penulis dan kritikus politik.

Sebenarnya, terkadang pertemuan ini menyenangkan. Namun ketika tiba di bagian tirani Sang Raja, sebagian berpikir untuk segera menentangnya dan sebagian yang lain termasuk aku, harus menyusun karya sebagai bentuk kritik atas berbagai masalah. Ya, Rish adalah seorang penulis dan kritikus. Golongan yang mengusahakan keadilan dan menentang negeri monarki yang semena-mena.

Sahabatku, Idamanku

0

Suasana pagi mulai cerah dengan sinar matahari yang beranjak naik menampakkan senyuman manis yang mengembang dari wajah oval Sheyra dengan lesung pipitnya. Terdengar suara kicauan burung yang menggema membuat Sheyra bangkit dari tempat tidurnya. Sheyra terbangun untuk melaksanakan rutinitas seperti biasanya, apalagi kalau bukan ke kampus.

“Yeay.. hari ini aku ngampus lagi pasti bakal asyik nih,” kata Sheyra dalam hatinya.

Sheyra meneguk secangkir teh panas dan roti bakar yang telah dibuatnya. Kemudian mencari kendaraan umum menuju kampus tercinta dengan stylenya yang feminim, yuppss.. jilbab pink dan kacamata minusnya. Tak lupa, Sheyra mengabari ibu dan ayahnya di kampung agar kekhawatiran tidak muncul dalam benak mereka.

Sheyra menjalani kehidupannya dengan rutinitas kuliah yang semakin padat dengan tugas yang menumpuk, sehingga sering begadang kala malam sudah semakin sunyi dan gelap. Namun, ada seorang teman yang tidak menyukainya, si cewek glowing Celine.

Tampilan glamornya membuat perempuan yang satu itu menjadi begitu sombong. Apalagi Sheyra hanyalah anak desa yang merantau ke Jakarta. Beda dengan Celine, asli Jakarta dengan logat kotanya yang begitu familiar di kampus karena berasal dari keluarga kaya raya.

“Iihhh… biasa banget sih tampilan kamu,” kata Celine mengejek Sheyra yang kemudian membalas Celine dengan kata ajaibnya.

“Iyyuhh.. justtru aku yang malu lihat tampilan kamu dari atas sampai bawah itu banyakan palsu hehe…” membuat Celine memberontak marah dan pergi.

Dibalik kejadian itu, ada seorang laki-laki yang memperhatikan Sheyra dari kejauhan dan mencoba mendekatinya dengan niatan awal ingin bersahabat.

“Hey.. Aku Rayn anak jurusan Fakultas Seni dan Desain. Aku takjub tadi ngeliat kamu bisa bikin Celine nggak semudah itu menginjak harga diri kamu, bahkan dia langsung pergi begitu aja ninggalin kamu,” kata Rayn memuji Sheyra.

Dan Sheyra membalas dengan senyuman khasnya. Mereka semakin akrab hingga menjadi sahabat. Namun, apakah ada persahabatan yang murni antara laki-laki dan perempuan tanpa ada perasaan suka dan nyaman yang terselip, entah salah satu atau keduanya?

Well.. ternyata tanpa menunggu waktu lama, Rayn menyatakan perasaannya pada Sheyra bahwa sebenarnya dia mendekatinya bukan hanya sekadar ingin bersahabat tapi lebih dari itu.

Padahal mereka sudah menjalin persahabatan hampir satu tahun lamanya, dari makan bareng antar ke kampus memang mirip orang pacaran, tapi Sheyra menganggapnya hanya sahabat, teman yang selalu ada buatnya kala suka maupun duka.

Mendengar apa yang diutarakan Rayn, Sheyra merasa takut jika nantinya hubungan persahabatan mereka akan hancur. Rayn begitu baik padanya. Hubungan persahabatan tidak mungkin terputus semarah apapun itu. Akan tetapi, hubungan yang lebih dari teman akan mudah terputus begitu saja ketika ada perselisihan diantara dua orang yang menjalin

hubungan. Apalagi Sheyra ingin menyelesaikan studi, tidak ingin terusik dengan suatu hubungan yang belum tentu akan bertahan lama. Sheyra trauma, dia hanya ingin bertemu dengan laki-laki yang serius mengajaknya menikah bukan lagi berpacaran.

Dia takut berbuat dosa dengan berpacaran. Dia ingin fokus dalam pendidikan karena baginya dengan belajar, ilmunya akan bartambah dan waktunya semakin bermanfaat dengan hal-hal positif.

Hari demi hari terlewati dengan diamnya dua orang yang bersahabat. Semenjak jujur dengan perasaannya, Sheyra menjadi diam seribu bahasa pada Rayn tanpa memberikan jawaban apapun. Terlalu banyak kalimat yang berkecamuk dalam hatinya yang tak bisa diungkapkan langsung pada Rayn.

Begitu banyak pula ketakutan yang bermunculan dalam benaknya. Sheyra berusaha keras menguatkan hati dan imannya agar tidak goyah karena perasaan cinta. Dalam pikirannya memang hanya menganggap Rayn sahabat, namun dalam lubuk hatinya yang paling dalam dia menganggap laki-laki tampan itu adalah sosok idaman yang kelak bisa menjadi pasangan halalnya.

Yah. seorang Sheyra juga telah jatuh hati pada Rayn. Dia merasa nyaman dekat dengan Rayn, tapi tidak ingin melewati batas yang seharusnya tanpa ada ikatan sah. Dia juga takut merasakan patah hati terhebat yang bisa membuatnya drop.

Perang Menimbulkan Cinta

0

Ku lihat kakakku sedang mengintip sesuatu dari lubang kayu itu. “Ayo sini, mau lihat juga tidak, Mien?” tanya kakakku

Aku mulai mendekatkan diri ke lubang kayu itu, aku melihat dua orang berseragam, kulitnya berwarna putih dan membawa senjata, mereka sedang asik memetik buah mangga yang ibu ku tanam sejak aku belum lahir.

“Kak, aku juga ingin mangga itu,” ucap ku merengek.

“Stt.. Jangan berisik, nanti tentara Jepang menemui kita,” kata kakakku sambil menutup mulutku pelan.

“Tapi mengapa kita tidak mengusirnya saja ka? Itu kan pohon ibu..” ucap ku polos kala itu.

“Sudah ibu bilang jangan bermain disini!, ibu kan sudah mengucapkannya berkali-kali Mien.. Ban.”

Ya, Bandrio adalah nama kakakku, sejak tentara Jepang mulai memerangi negara ini, aku cukup akrab dan dekat dengan kakakku.

“Ayo, kita akan mengungsi ke Jogja karena daerah disini sudah tidak aman lagi” ajak ibu kepada kita.

Mendengar hal itu, aku sedikit bingung “Tapi, bagaimana dengan rumah kita bu?” tanya ku.

Ibu hanya diam saja sambil menggandeng tangan kakakku, dan aku di gandeng oleh kakakku.

Saat diperjalanan aku haus sekali, persediaan minum ku sudah habis sejak sehari yang lalu, kakakku yang selalu memberi ku minum. “Apa kakak tidak haus?” tanya ku heran, karena tidak pernah aku melihat kakakku meminum airnya, setiap kali aku bertanya seperti itu, dia akan memberi ku airnya, karena ia kira mungkin aku haus.

Hingga ketika di pegunungan, kita menemukan sebuah sumur, ibuku segera mengambilkannnya untuknya, kemudian kakakku mengambilkannya untukku, baru dia minum.

Sumur itu rasannya sangat lezat, aku sangat menikmati tiap ceglukan yang ku minum, tidak lupa kakakku mengisi botol minumnya dan botol minum ku.

Hari mulai gelap kita sudah dekat dengan pedesaan paman, bibi mengajak kakakku untuk mandi di sungai, dan tentu saja kakak mengajakku, “Mommyy, aku di lempari batu sama Mien” tuduh sepupuku, Kharen kepada Mommynya.. dia memiliki darah German, tidak heran namanya cukup asing bagi para asia sepertiku.

Triangle Love

0

Anita meletakkan sebuah pulpen di meja Aldo yang terletak di tepat di sampingnya sambil menyungginkan senyum lebarnya

“Ini”

Aldo hanya mendengus menatap gadis yang berada di sampingnya. Setiap hari gadis itu selalu meletakan pulpen di mejanya saat dia sedang menulis dan guru sedang menjelaskan, dia langsung mengarahkan pandangannya kedepan karna malas melihat gadis yang ada di sampingnya.

**

“Hei lo ga capek apa ya? Letakin pulpen di mejanya Aldo?” ujar Gadis cantik dengan potongan sebahu menatap ke arah Anita, tidak habis pikir dengan kelakuan Sahabatnya.

“Tenang aja Sal, gue bisa beli lagi kok,” ucap Anita menatap Salsa dengan polos.

“Aduh terserah elo lah,” ujar Salsa capek sendiri memikirkan kelakuan temannya yang sudah di luar nalar itu.

Anita menyukai Aldo sejak masih kelas 1 SMA, otaknya ga pinter-pinter amat tapi dia berusaha keras untuk mengejar Aldo untuk masuk kelas 2 MIA 1 dan akhirnya berhasil, walau Aldo belum juga menunjukkan bahwa dia menyukai Anita.

Meskipun Anita sudah mengungkapkannya berkali-kali baik di depan umum yang akhirnya para guru dan siswa di kelas tau kalau dia tergila-gila dengan Aldo atau melalui ponsel pintarnya yang sepertinya hanya ponselnya saja yang pintar, Anita sendiri tidak pintar sama sekali.