Beranda blog Halaman 2596

Kehidupan Bu Moilina pada Awal Pandemi Covid-19

0

Awal Pandemi Covid-19

Mewabahnya virus covid-19 pada akhir Desember 2019 dan masuknya virus tersebut ke Indonesia pada awal Maret 2020. Berita covid-19 ini diumumkan secara informatif oleh Presiden dan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Kondisi ini menghadirkan masyarakat Indonesia khususnya DKI Jakarta dalam kondisi yang berbeda, tidak aman, dan tidak nyaman.

Tidak ada satu pun manusia yang menyukai situasi ini termasuk ibu Moilina yang kesehariannya sebagai ibu rumah tangga. Beliau pun tidak pernah menyangka kondisi sekarang memukul usaha keluarga yang dikelolanya bersama suaminya. Usaha keluarga yang dimiliki dan dibangun almarhum ayah mertua sejak tahun 1997 dan kini dikelola suaminya.

Sebelum masa pandemi virus covid-19, semuanya terlihat normal dan tidak ada masalah pada apapun. Namun pasca masuknya covid-19, maka semuanya berubah karena kehadirannya sudah merusak sendi-sendi kehidupan. Dan salah satu cara untuk menekan laju penyebaran dengan memulai segala sesuatu dari rumah seperti 3B, seperti bekerja, belajar, dan beribadah.

Belum lagi ditambah ketatnya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) selama beberapa waktu lamanya yang diregulasikan Pemerintah. Perspektif tersebut yang menjadi buah pemikiran Ibu Moilina untuk menghasilkan suatu bisnis yang kompetitif dan bertahan lama. Kemudian gagasan tersebut dikalkulasikan secara seksama dan cermat terkait SWOT dan 4P.

Sejarah Awal Pendirian Bisnis

Awal pendirian bisnis yang mulai dipikirkan sepasang suami-istri tersebut khususnya Ibu Moilina pada pertengahan April 2020. Selama 2 (dua) minggu ke depan atau tepatnya awal Mei 2020 yang fokus memikirkan business plan yang kelak diterapkan. Pasca waktu tersebut, mulai disusun rencana untuk memulai bisnis dengan fokus pada sembilan bahan pokok.

Dengan memikirkan 4P, yakni: Product, Place, Price, dan Promotion yang dicermati secara cerdas dan positif. Ibu Moilina dan suaminya memperhitungkan segala resiko secara seksama supaya tidak menyesal dan mencari pemasok dan distributor. Semuanya dicari melalui media sosial baik itu jalur WA, Telegram, portal situs web online, dan ragam media sosial lainnya.



Selama 1 bulan lamanya (Mei 2020-Juni 2020) belum ada gerakkan untuk memulai bisnis sembako tersebut. Gerakan tersebut baru muncul pada awal Juni 2020 dengan mempersiapkan iklan, spanduk, dan pembelian gula sebanyak 4 karton. Modal awal untuk memulai bisnis sembako tersebut sebesar Rp 4 Juta yang di bagi ke dalam beberapa produk.

Dan karena berkaitan dengan nama ke dua putra-putrinya yang masih kecil dan selanjutnya menamainya dengan Toko NJ Jaya. Toko NJ Jaya merupakan Toko Nathania Jeremia Jaya yang diharapkan menjadi besar dengan fokus pada grosir. Toko inilah yang kelak dibesarkan dan menjadi sumber nafkah terbaru selain bisnis keluarga yang sudah berjalan sebelumnya.

Perkembangan Bisnis Sembako Tahap 1

Awal bisnis sembako yang pertama kali dijalankan ibu Moilina pada awal pertengahan Juni 2020 adalah gula dan minyak goreng. Jenis gula yang diambil adalah gula kuning dan gula hijau dari produsen yang cukup familiar selama bertahun-tahun. Minyak goreng yang diambil bukan minyak goreng curah melainkan dari produsen yang familiar di telinga masyarakat.

Kemudian, ibu Moilina memulai penjualan perdana dari bisnis minyak goreng yang mendapat respon positif dari masyarakat. Berinvestasi pada transaksi bisnis minyak goreng berbagai merek juga menuai hasil positif yang tidak sedikit. Tak sedikit permintaan akan kehadiran minyak goreng datang baik dari lingkungan sekitar atau lingkungan luas lainnya.

Perspektif serupa terjadi pada permintaan akan kemasan gula (karton) yang tidak sedikit dan mendatangkan hasil positif. Tidak sedikit dari masyarakat yang memesan sampai puluhan karton gula baik gula hijau dan gula kuning. Dan demi terpenuhinya permintaan konsumen tersebut, maka ibu Moilina harus mendatangkannya dari supplier atau distributor gula.

Bahkan ibu Moilina dan suami mengajak ke dua anaknya berangkat bersama ke pemasok untuk mencari berbagai komoditas. Tidak mudah dan juga tidak sulit, namun harus berjalan secara seksama dengan selalu mengevaluasi perspektif yang lain. Prinsip yang selalu dipakai adalah “ Setia dalam perkara kecil, supaya kelak mampu mengerjakan perkara yang besar ”.

Semua kemajuan tersebut diperoleh tidak hanya mengandalkan kekuatan sendiri tapi juga melalui doa yang di atas segala-galanya. Ibu Moilina tetap setia dalam perkara kecil meskipun dalam suasana yang tidak menentu pada zaman pandemi. Berlahan namun pasti, titik terang mulai bermunculan dengan hadirnya beberapa mitra dagang yang luar biasa.

Perkembangan Bisnis Sembako Tahap 2

Perkembangan Bisnis Sembako Tahap 2 mulai bergerak maju dengan hadirnya komoditas lain selain minyak goreng dan gula. Komoditas sembako lain seperti tepung dan garam mulai terlihat seiring dengan permintaan konsumen. Harga yang ditawarkan murah dan menawarkan kerja sama dengan pihak lain sebagai reseller yang bersedia menjual kembali.

Meskipun sudah mulai ada kemajuan tapi tidak mengabaikan inti bisnis yakni komoditas minyak goreng dan gula. Perjalanan bisnis sembako selama 2 hingga 3 bulan pasca awal bulan Juli 2020 mulai menunjukkan titik terang. Titik terang yang diyakini menjadi sumber nafkah baru sebagai bisnis yang sejalan dengan bisnis transportasi yang dibangun keluarga.

Semua transaksi niaga seperti jual-beli komoditas sembako pangan berasal dari media sosial, portal situs web, dan blog. Dalam kondisi pandemi covid 19, ibu Moilina dan suaminya menjual sembako dengan dinamika harga dan di bawah harga pasar. Dan melakukan aktivitas bisnis dengan hanya mengandalkan HP cerdas, internet, dan jalur komunikasi normal lainnya.

Perspektif Bisnis Sembako Tahap 2 menambah semangat hingga akhirnya datang mitra lain yang membeli komoditas minyak goreng. Tidak hanya membeli minyak goreng tapi juga

menawarkan kerjasama yang berujung pada bisnis sembako pakaian. Ibu Moilina memulai bisnis sembako pakaian yang terdiri dari sabun cuci, sabun mandi, sabun pakaian, dan lainnya.

Ibu Moilina semakin menemukan jati dirinya dan kepercayaan dirinya makin bertambah. Beliau menyambut baik hadirnya kerja sama di bidang bersabunan karena kelak melengkapi ragam produk yang sudah tersedia. Tentunya peran suami tidak kalah dari istrinya, ibu Moilina karena dari pemikiran dan tangannya berhasil menuai positif yang tidak sedikit.

Lorong Waktu

0

Keadaan di mana aku harus menerima kenyataan pahit . Sahabatku harus pergi untuk selamanya, tenang di pangkuannya.

Aku butuh beberapa waktu untuk mengikhlaskanya. Mengapa aku harus bertemu dengan sosok yang sama di saat ini. Rupanya seakan satu, seakan iya hadir kembali di dunia ini. Mengapa. Mengapa aku harus memutar memori itu kembali. Membuatku teringat waktu itu.

Terngiang diingatanku hari itu adalah hari pertama ku masuk sekolah lagi setelah dua Minggu terbaring di rumah sakit. Kutatap setiap pojok ruang kelas. Suasana kelas yang berbeda tak seperti biasanya. Aku menolehkan pandanganku ke kiri tepat di sampingku ada sosok baru bagiku.

“Siapa dia?” tanyaku dalam hati.

Aku yang belum bisa berbicara banyak saat itu, dan belum sempat menanyakan siapa gerangan dirinya.

Ku tangkap tatapan matanya yang selalu tertuju padaku. Seolah iya membalikkan pandangannya, sontak bertingkah aneh tak semestinya.

Tanpa ku  berbicara,  teman yang  duduk  sebangku  denganku  seolah  mengerti isyarat dariku yang ingin tahu tentang sosok baru itu. Iya menceritakan semua yang terjadi semenjak aku tidak masuk sekolah. Hingga mengapa ada sosok baru itu di dalam kelas kami ( kelas 11 MIPA 1).

Aku hanya bisa mendengar semua ocehan temanku ini, nyambung tidaknya itulah ciri khasnya, tanpa ku tanggapai sedikitpun dari penjelasanya itu.

Ternyata sosok baru ini bernama Rama Fahmi. Siswa pindahan rupanya. Namun sayang namanya tak serama orangnya. Itu menurut pandanganku saat pertama melihatnya.

Keesokan harinya aku mulai berpikir untuk bangkit kembali. Tidak semestinya aku selalu tampak lemah dan lesuh setiap hari. Itu bukanlah aku yg dulu.

Ku coba kembalikan semangat dan keceriaan ku yang pernah hilang.

Hari itu kelas dimulai jam 07:30. Aku sudah berada di kelas sebelum itu. Pelajaran bahasa Inggris pun dimulai lagi-lagi ada yang aneh di dalam kelas, sosok Rama yang di ceritakan temanku kemarin tidak terlihat.

Aku mulai bertanya-tanya dalam hati.

“orang  itu  memang  ada  atau  hanya  halusinasi  saja,  seperti  biasanya  yang  aku alami?”tanyaku dalam hati.

Berselang beberapa waktu Rama pun datang. “Iya. Ini dia, ini bukan halusinasi ternyata”

kataku lagi dalam hati setelah iya mengetuk pintu kemudian masuk.

Berbagai pertanyaan dilontarkan guru kepadanya, sesekali iya senyum tak ikhlas. Seakan beban hidupnya menggunung tinggi.

Kutatap wajahnya saat berbicara. Kubaca bahwa dia orang yang menyimpan banyak luka. Entah apa itu, aku penasaran dengan kehidupannya.

**

PENDIDIKAN SEOLAH-OLAH

0

Sebuah kisah; seorang anak kampung yang kedua orang tunya lengkap tapi hidupnya serasa anak yatim piatu, sejak lahirnya ia ditinggal oleh kedua orang tuanya lantaran perceraian, sehingga si anak itu diasuh oleh kakek dan neneknya yang sudah berusia senja.

Sejak kecil anak itu tidak pernah merasakan buaian manja kasih sayang dari kedua orang tuanya, selayaknya anak-anak pada umumnya, digendong dan dimanja oleh kedua orang tuanya yang mencintainya sebesar-besarnya, dinyanyikan sembari diayung saat menjelang tidur dan tak lupa memanjatkan doa kepada Sang Pengasih dalam setiap solatnya, meminta anaknya diberkati rahmat dan ketika besar menjadi orang besar.

Sungguh jauh berbeda dengan nasib hidup yang menimpa si anak itu, terlebih saat ia ditinggal oleh kakek dan neneknya untuk waktu yang selamanya, menumpang sana sini sekedar untuk makan, bahkan terkadang kawan-kawannya yang berbaik hati bergantian membawakan makanan kerumah kosong tempat dimana si anak itu merebahkan tubuhnya ketika tidur, berteduh dan melamunkan mimpi-mimpinya.

Akan tetapi justru si anak itu merasa beruntung karena dengan segala kepahitan itulah, si anak itu mendapat pelajaran hidup yang sangat berarti dalam hidupnya pada masa-masa desawasanya saat ini. Adalah pelajaran yang tak terlihat oleh mereka yang terbuai dalam kemanjaan hidup.

Si kakek, sebelum kepergiannya untuk selamanya kembali pada ketiadaan hakekat permulaan manusia sebagai mahluk hidup, kepada cucunya yang telah duduk dibangku sekolah dasar kelas VI pada saat itu, ia memberikan pesan yang mengesankan arti pendidikan sesungguhnya, dalam bahasa Mandar si kakek menuturkan; “kambe passikola tongano’o, mala to’ao di’o jari tau, ma’guna lao diparammu rupa tau: cucu sekolah-lah yang serius, siapa tau kamu bisa menjadi manusia, yang dapat berguna bagi sesamamu.”

Sebuah pesan, yang terus tertanam kuat di dalam jiwanya, menjadi warisan peninggalan yang terus bergema dalam kesadarannya, membangkitkan semangatnya tanpa kata surut dalam mengarungi dunia pendidikan demi satu harapan, dapat menjadi manusia sebagaimana kehendak pendidikan yang diajarkan oleh para tetuah terdahulu bukan agar menjadi pegawai, dokter atau polisi, akan tetapi menjadi tau malaqbi (manusia agung).

Namun, kenyataan yang ia temukan dalam dunia pendidikan formal saat masih duduk dibangku sekolah tinggi menengah keatas, menyadarkannya bahwa ini tidak akan pernah dapat menjadikannya manusia sebagaimana kehendak pendidikan yang dikesankan oleh para tetuah atau seperti yang dipesankan oleh kakeknya.

Sekolah yang hanya sibuk memacu anak-anak muridnya untuk bersaing mendapatkan nilai tinggi bukan memahami, sibuk memastikan anak- anak murindnya menulis saat guru mendiktekan sebuh pelajaran, tanpa penjelasan yang memadai.

Bagaimana tidak sebab guru hanya menjelaskan berdasarkan apa yang tertulis dibuku bukan berdasarkan apa yang ia pahami dalam pembacaannya, ahkirnya lebih terlihat seperti orang yang sedang mendongeng ketimbang sebagai guru, atau seperti orang yang sedang berkhotbah yang hanya menunduk berfokus pada bunyi yang ada dalam buku tanpa pernah menatap kedepan kecuali saat mengucapkan assalamualaikum.

Tiga tahun, dilalui tanpa peredaran isi kepala, rutinitas tanpa kreativitas, setiap hari selalu pulang membawa sampah-sampah hafalan yang diberikan oleh guru-gurunya, ialah 1+1 = 2 tanpa mengajarkan apa arti pentingnya hitungan bagi hidup, dapatkan dengan mempelajari hitungan hidup menjadi mulia? dan sebagainya, yang kemudian merangsang anak-anak untuk berfikir lalu memahami bukan mencatat lalu menghapal.

Dalam kenyataan tersebut si anak itu berkata; bila pendidikan berfungsi untuk mencerdaskan atau memanusiakan, maka yang kulalui selama 12 tahun bukanlah pendidikan yang sesungguhnya, tetapi hanyalah PENDIDIKAN SEOLAH-OLAH.

Tidak jauh berbeda dengan kampus, tempat dimana si anak melanjutkan studinya dengan niat hati yang masih sama, adalah ingin menjadi seperti yang pernah disampaikan kakeknya tempo dulu, ialah “tau malaqbi.” Tetapi kemungkinan tersebut juga tak terlihat di kampus, tidak memberikan harapan. Hal tersebut diperkuat saat si anak melihat kampus berupaya menyeragamkan mahasiswa dengan standar-standar ukuran yang telah diasosiasikan untuk dicontoh oleh semua mahasiswa.

Kampus hanya sibuk memastikan seluruh mahasiswanya berpakean rapih ketimbang memastikan perminggu seluruh mahasiswanya harus menamatkan satu buku, bahkan soal jilbab hingga makeup pun diatur. Dapat dibayangkan betapa paradoksnya kampus itu, kampus filsafat yang setiap hari mengajarkan pemikiran-pemikiran kritis dan bertujuan untuk melahirkan “generasi yang mampu berperan dalam memajukan kemanusiaan dan pencerahan pemikiran berdasarkan Islam,” malahan sibuk memantau soal- soal remeh temeh.

Bahkan yang terburuk pun dilakukan adalah selalu mewajibkan seluruh mahasiswa untuk menghadiri setiap kegiatan yang digelar oleh kampus, tanpa memerdulikan bahwa mahasiswa punya pilihan, dan mereka berhak untuk menolak bila dirasa kegiatan itu tidak menarik atau tidak bermutu.

Namun sayangnya hal tersebut tidak dapat dilakukan, sebab jika berani maka jatah makan akan distop dalam waktu beberapa hari atau bahkan diskorsing dari asrama. Karena itulah si anak tesebut selalu berkata pada teman-temannya; “lampaui kampus, jika tidak maka kalian tidak akan membawa arti apa-apa ketika selesai, kecuali orang yang merasa pintar karena ijaza menuliskannya begitu (Jazuli Imam).”

Ingatlah, bahwa moral kampus tidak terletak pada pakaian rapi mahasiswa, akan tetapi terletak dikepalanya.

Sebuah karya cerpen berjudul ‘PENDIDIKAN SEOLAH-OLAH’ oleh Rajib Al Nujud yang diperlombakan dalam lomba menulis cerpen fajar pendidikan

Rinjani, Mandalika dan Santiago

0

Aku bermimpi tentang ibu hampir setiap malam. Dia akan datang dengan pakaian sehari-hari. Dalam mimpi, aku akan membantunya memotong sayur, mencuci piring, atau menjemur baju-baju. Jika adegan terjadi di sore hari, maka dia akan menyeruput teh, mencicipi biskuit rasa kelapa, lalu kami mengobrol tentang ini-itu.

Mimpi itu akan mengabur, saat Suara Bariton mengetuk pintu. Sama seperti dulu, kemesraan kami juga hilang saat sore hari ketika Suara Bariton pulang.

Ibu bernama Rinjani, mungkin karena itu dia selalu sendiri. Hilir-mudik orang mendaki, tetapi tak ada yang pernah singgah lama. Dari jauh orang yang memandang Rinjani berdecak karena kagum, sesungguhnya ia hanyalah ilalang, bebatuan, dan awan-awan yang bosan menemui pergiliran musim.

Entah sejak kapan Suara Bariton itu mulai tidak tertarik kepada Rinjani. Mungkin sejak farjinya kering bekas operasi. Namun, aku seperti Lombok, dan tidak ada Lombok tanpa Rinjani.

Wanita itu mungkin tidak akan mecolok kalau seandainya aku tak bertemu dengannya tepat setelah aku bermimpi ganjil untuk pertama kali. Saat melek, celanaku basah oleh cairan beraroma khas. Itu bukan mimpi tentang Ibu. Aku lupa perempuan yang ada dalam mimpiku, tetapi aku jadi membayangkan kalau itu adalah dia.

Gelora mimpi itu tersisa untuk waktu yang lama dan darahku semakin berdesir saat menikmati senyum semringah pegawai baru yang ditunjukkannya. Kubayangkan dua gigi kelinci yang terlihat saat matanya menyipit karena tersenyum menyesap sisi kiri leherku.

Aku membaca papan nama di dadanya, Mandalika. Aku tak pernah bertemu seseorang bernama seperti itu. Serupa nama seorang putri kerajaan dalam kisah lama Suku Sasak. Mungkin ibunya atau ayahnya, terlalu terobsesi pada legenda.

Siapa juga orang tua yang mau memberi nama anak mereka dengan meniru nama orang yang mengancam disintegrasi kerajaan karena terlalu ayu. Kami sering dibacakan kisah itu saat pelajaran muatan lokal. Saat aku bertanya pada guruku kenapa di akhir cerita Putri Mandalika memilih bunuh diri terjun dari atas bukit dan hanyut ke laut, guruku bilang itulah kebijaksanaan.

“Apa kau butuh bantuan?” tanya Bu Mandalika memutus khayalanku.

Sejujurnya, itu adalah kali pertamaku mengunjungi perpustakaan sekolah. Terpaksa, karena ada tugas meresensi buku. Mungkin dia gusar melihatku mondar-mandir di antara rak- rak yang berdebu.



“Saya butuh rekomendasi.”

Dia memberikan isyarat untuk mengikutinya. Dia mengecek katalog di komputer yang disediakan untuk pengunjung dan kemudian tersenyum lagi. Aku terus membebek di belakangnya. Kami berhenti di sebuah lorong antara dua rak. Jari-jari lentiknya menyusuri judul demi judul. Tak lama, dia memilih satu buku dan menyerahkannya kepadaku. Buku Paulo Coelho, Sang Alkemis.

Dua hari setelahnya, aku datang lagi untuk mengembalikan Sang Alkemis di hadapannya.

“Bagaimana buku ini menurutmu?” Dia berbicara padaku sembari mencatat data pengembalian buku.

“Bagus, Bu.”

Sejujurnya, buku itu terlalu berat—atau terlalu membosankan?—untuk seorang pembaca pemula, tetapi sesama anak remaja 16 tahun, Santiago telah mengajarkan banyak hal padaku. Baru membaca tiga halaman aku berhenti, melipat kertas untuk menandai batas, lalu menutup buku itu rapat-rapat.

Namun, karena aku ingin segera bertemu dengan Bu Mandalika, aku putuskan menamatkan buku itu. Karena sepertinya, tidak ada alasan terbaik bertemu dengannya selain Sang Alkemis.

“Semua orang harus mewujudkan legenda pribadinya, ‘kan? Apa kau sudah tahu legenda pribadi yang ingin kau raih?” Aku baru saja baligh tiga hari sebelumnya dan dia sudah menanyaiku tentang esensi hidup. Aku bukan penggembala seperti Santiago yang tiap malamnya memimpikan harta karun. Aku hanya anak sekolah biasa dan mimpi terindah yang bisa kuingat adalah mimpi tiga malam yang lalu saat gairah merayapiku.

Pertempuran Dua Saudara

0

Kau menjerit saat melihat anak tertuamu, dihujani anak panah bertubi-tubi. Kau menangis, setengah menjerit, sampai tergugu, karena sedemikian sedih melihatnya tak berdaya. Oh betapa Kresna sangat jahat. Pasti ulah Kresna, batinmu dalam hati.

Puluhan anak panah menancap di tubuhnya, dan terakhir, sebuah anak panah melesat dan menembus tenggorokannya. Oh betapa malang anakmu, anak tertuamu. Kau tak mampu lagi berdiri. Kakimu sedemikian gemetar, dan kau limbung. Kau terduduk, sambil terus menangis. Betapa kau tega kepada anak tertuamu.

Kau telah berupaya untuk mencegahnya bertarung melawan adik-adiknya. Kau tidak tidur semalaman ketika itu. Kau menyelinap ke bilik perkemahannya, dan kau mendapati Wrusali— perempuan yang seharusnya kau panggil menantu—menyambutmu dingin. Ia tahu belaka, tentang penghinaan anak-anakmu yang lain terhadap anak tertuamu.

***

Kau telah berada di dalam bilik rumahnya yang sederhana. Ia memilih tinggal di rumah yang sederhana, meskipun ia telah menjadi seorang raja. Bahkan anak tertuamu, tidak sudi menatap wajahmu.

Kau menceritakan rahasia yang selama ini kau pendam dengan kalimat yang terbata-bata. Kau berucap dengan hati-hati, agar anak tertuamu tidak tersinggung. Kau lihat, badannya begitu legam, mungkin saja karena sejak kecil sudah terbiasa terpanggang sinar matahari, bersama ayah angkatnya, yang sama-sama menjadi kusir kereta. Jika kau sudah menceritakannya sejak kau melihatnya di perhelatan akbar itu, tentu permusuhan semacam ini tak perlu terjadi.

“Kau adalah anak tertuaku Nak. Telah bertahun-tahun aku menunggu saat ini, menunggu saat mengatakan yang sebenarnya. Kau lihat baju zirah yang melekat dalam tubuhmu, itu anugerah dari Dewa Surya Nak. Kau akan menjadi raja, jika perang ini berakhir Nak. Jika kita menang. Bahkan kau juga berhak untuk menjadi suami Drupadi, karena kau adalah yang tertua.”

Ia diam. Bahkan kau melihat sorot penuh kebencian di dalam matanya.

“Jika kau benar ibuku, di mana ketika Arjuna menghinaku di depan rakyat Hastina. Aku tidak sudi bertarung melawan seorang suta, katanya. Apa Ibu masih ingat kalimat yang ia ucapkan ketika itu? Kenapa Ibu tidak membelaku di saat itu? Ke mana Ibu, saat anak-anak Ibu yang lain mencercaku, mengejekku, menghinaku di hadapan seluruh rakyat Hastinapura? Hampir saja aku menangis Ibu, pulang dengan kekalahan, tetapi Pangeran Duryudana, memberikan kehormatan padaku. Aku tidak akan bisa meninggalkannya, ia yang telah memberiku kedudukan, ia memberiku kemuliaan di saat orang lain menghina dan mencercaku. Aku tidak akan meninggalkan orang yang telah memberiku kemuliaan ini Ibu. Tidak akan.”

Kau menangis. Tergugu. Betapa ia kukuh dengan apa yang diyakininya. Kau berdiri, hendak memeluknya, tetapi Karna menolak.

“Badan seorang suta, tak layak dipeluk oleh seorang istri raja Ibu. Hanya akan mengotori pakaian ibu.”

Kau pandang wajahnya. Ia masih tak mau menatapmu.

Kau ingat ketika itu, saat kau mendapatkan sebuah mantra dari Resi Durwasa karena pengabdianmu selama kau belajar kepadanya. Kau menjauh dari semua orang. Di tepi Gangga, kau menghadap Dewa Surya, kau ucap mantra itu. Betapa ajaib. Tiba-tiba dalam pelukanmu, seorang bocah telah lahir. Kau tak percaya.

Kau menepok pipimu sendiri, mencubit lenganmu, berharap itu mimpi dan khayalan belaka. Tak mungkin. Namun yang yang ada di dalam dekapanmu benar-benar seorang bayi yang sangat manis. Ia merengek dan bergerak-gerak. Kau sentuh tubuhnya.

Begitu lembut. Baju zirah melekat di dalam tubuhnya. Betapa menyilaukan diterpa sinar matahari. Kau pandangi mata bocah itu, begitu bening. Namun kau adalah seorang putri, dan kau belum menikah. Kau tak ingin seorang pun tahu, kau telah melahirkan seorang putra.

Kau memandang sekeliling, tak ada siapa pun. Kau tak tahu apa yang harus kau lakukan. Kau kembali ke perkemahan Sang Resi. Kau lega ketika tak mendapati siapa pun di sana. Kau harus bergegas. Resi Durwasa tak boleh tahu, bahwa kau telah melahirkan seorang bayi, hanya karena mencoba mantra yang telah diberikannya. Bayi itu terus merengek, dan kau berusaha menenangkannya sedemikian rupa.

Kau mendapatkan sebuah peti kecil di dalam perkemahan itu. Kau segera menidurkannya bayi itu di dalam peti. Kau bergegas membawanya kembali ke tepi Gangga. Hatimu hancur. Betapa kau melakukan hal memalukan. Kau lebih memilih menjaga nama baikmu, dibandingkan dengan menyelamatkan bayi yang kau lahirkan dari mengucap mantra.

Kau menggenggam peti itu, sebelum melepasnya ke tepi Gangga. Kau pandangi lagi sekeliling. Tak ada orang. Maka kau segera meletakannya ke tengah Sungai Gangga, dan peti itu pun terbawa arus.

Kau ikuti alur arus Sungai Gangga, mengikuti laju peti yang berkelok-kelok mengikuti arus sungai. Berharap anak itu baik-baik saja. Namun arus terlalu deras untuk kau ikuti, kau tak bisa lagi menjejak keberadaan anakmu. Dan kau menangis tersedu-sedu di tepi Gangga. Hingga Resi Durwasa melihatmu menangis.

Ia mendekat dan menanyakan kenapa kau menangis. Betapa kau bingung menjawab, tergeragap. Kau berdusta, kau hanya bersedih karena kehilangan rusa yang begitu cantik, ia telah lenyap ke dalam hutan.

Betapa Sang Resi tertawa mendengar kesedihanmu karena hal yang tak sepantasnya ditangisi. Ia mengajakmu pulang, karena sebentar lagi matahari akan terbenam. Kau mengikuti langkah Sang Resi. Sesekali, kau menoleh ke arah Gangga. Berharap anakmu selamat.

***

Bertahun-tahun kau diliputi kesedihan. Hidupmu tak kurang suatu apa. Kau telah memiliki tiga anak yang cukup berbakti, juga ditambah dua anak lagi, dari istri kedua suamimu. Nakula, dan Sadewa. Namun, bayangan anak tertuamu selalu terbayang begitu rupa. Kau selalu ingat ketika kau meletakkannya di tepi Gangga.

Hingga perhelatan kelulusan para Pangeran Kuru, setelah selesai belajar di padepokan Resi Durna. Semua pangeran unjuk kebolehan. Bima dan Duryudana dengan gadanya, Mereka saling bertarung sama lain. Hingga tiba saat Arjuna memperlihatkan kebolehannya dalam memanah.

Saat Arjuna melepaskan anak panah, tiba-tiba datang anak panah yang tak dikenal melesat, dan membelah panah Arjuna, kemudian mengenai sasaran yang terletak di sekeliling perhelatan. Arjuna memanah lagi, dan pemanah tak dikenal itu selalu membelah panah Arjuna menjadi dua. Saat itulah kau melihatnya.

Lelaki berbadan gelap, seorang pemanah yang tak dikenal. Arjuna memanah tubuhnya, dan kau lihat senyum di wajah orang asing itu. Panah itu mendesing kemudian terpental saat mengenai tubuhnya. Kulitnya tak tertembus, karena tiba- tiba dari tubuhnya, keluar baju zirah yang begitu megah.

Seketika tubuhmu menjadi gemetar. Kau mengenalnya lebih dari siapa pun. Semua orang terbelalak. Saat itulah kau menjerit disertai dengan tangis yang tertahan. Bibirmu bergetar sedemikian hebat, dan tiba-tiba semuanya menjadi gelap.

***

Betapa kau selalu bersedih sepanjang hari setelah peristiwa itu. Bagaimana kau bisa hidup satu atap dengan anak yang kau buang? Celakanya, ia dimusuhi adik-adiknya sendiri. Kau selalu menasihati anak-anakmu, supaya jangan mencemooh, apalagi menghina Karna. Namun kau tak pernah memberikan jawaban pasti mengenai itu. Kau selalu tergeragap ketika mereka bertanya tentang lelaki asing yang seolah-olah selalu kau bela.

Kemudian ketika Arjuna membawa pulang hadiah sayembara. Drupadi. Betapa kau menyesal telah mengatakan, hadiah itu dibagi menjadi lima, sebagaimana yang selalu mereka lakukan, apa pun yang mereka dapatkan selalu dibagi lima. Namun kau terbelalak, bukanlah harta, bukan kekayaan, yang mereka bawa.

Tetapi perempuan yang begitu cantik. Namun kalimat telah kau ucapkan, tak mungkin bisa ditarik kembali. Akhirnya Drupadi menjadi istri dari kelima anakmu. Kau hanya menunduk pada hari itu. Kau mengingat kembali tentang Karna, anak lelaki yang kau buang. Harusnya ia menjadi bagian dari kebahagiaan itu. Namun kau tak pernah memiliki keberanian, untuk mengatakan kepada kelima anakmu yang lain bahwa kau adalah ibu dari Karna.

***

Kurusetra menjadi lautan darah. Bau anyir menguar. Hatimu berharap-harap cemas ketika Duryudana mengangkat Karna, menjadi panglima perang. Kau harus menemuinya sebelum perang dimulai.

“Bejanjilah Nak, untuk tidak membunuh adik-adikmu.” katamu ketika itu. Karna bahkan masih tidak mau memandangmu. Napasnya mendengus.

“Baiklah Ibu. Anakmu ada lima, dan akan tetap menjadi lima setelah perang ini berakhir. Entah aku atau Arjuna yang mati.”

Betapa hatimu koyak. Seharusnya kau memiliki dua anak yang menjadi pemanah hebat. Seharusnya perang itu bisa dengan mudah dihentikan, tetapi kau datang terlambat. Perang telah berkecamuk. Kau menyesalkan, kenapa kau tidak mengatakannya sejak pertama kali kau melihatnya.

Seandainya saja, kau membelanya saat adik-adiknya menghinanya, mungkin saja, Karna akan berada di pihak anak-anakmu yang lain, dan mereka tak perlu saling bermusuhan satu sama lain.

***

Kau lihat perang itu. Arjuna dan Karna saling beradu panah. Kau melihatnya dengan hati yang gemetar. Sanjaya terus bercerita di samping Prabu Destarastra, tentang jalannya peperangan. Namun kau melihat sendiri.

Arjuna terdesak, dan keretanya terguling. Kau menunggu dengan cemas, betapa perang ini telah menimbulkan banyak korban dari menyalahi aturan perang yang telah disepakati. Arjuna tak berdaya, Kresna berdiri di depan Arjuna, melindunginya. Kau lihat Karna, menarik tali busurnya. Tanganmu menggenggam kuat. Arjuna pasrah menerima keadaan.

“Aku bukanlah pengecut Arjuna. Sebagaimana yang telah diucapkan Kakek Bisma, tidak boleh menyerang pasukan yang tidak bersenjata. Tidak boleh menyerang lawan yang tidak berdaya. Sekarang naiklah keretamu, kita bertarung lagi.”

Karna tak jadi menarik tali busurnya. Ia menurunkan panahnya. Ia menunggu Arjuna kembali masuk ke dalam keretanya. Kau melihat kemarahan di wajahnya.

Mereka kembali beradu ketangkasan. Panah mendesing di udara, berlesatan seperti hujan anak panah. Mereka saling mengelak satu sama lain. Hingga akhirnya mereka sampai pada medan yang berlumpur. Kau tahu belaka, Kresna sangat mahir berkereta dalam keadaaan apa pun. Sedari kecil, ketertarikannya pada kereta mengalahkan semua saudaranya. Namun tidak begitu dengan Prabu Salya, yang menjadi kusir kereta Karna. Ia begitu kesulitan mengendalikan kereta di medan itu.

Panah-panah Arjuna melesat. Kau lihat betapa Prabu Salya sangat kesulitan mengendalikan kereta. Hampir saja ia terbunuh. Atap tutup kereta telah terlepas karena dihujani anak panah tanpa henti.

Praabu Salya melompat turun, karena kuda sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Maka kuda yang berlari kesetanan, membuat kereta berjalan tak tentu arah kemudian terperosok dan terbenam di dalam lumpur.

Kau lihat anak tertuamu jatuh.

Kau lihat Kresna berbisik terus tanpa henti di telinga Arjuna.

“Sebagaimana aku yang bertindak kesatria, tunggulah aku mendirikan keretaku kembali Arjuna.” pinta Karna.

Kau lihat Arjuna begitu marah. Karna masih berusaha sekuat tenaga mendirikan keretanya sendiri. Di saat itu, Arjuna membentangkan busur, hendak melesatkan anak panah, saat itu kau menjerit, sambil berlari menuruni bukit.

Sanjaya, Destarastra dan semua yang menyaksikanmu menuruni bukit berteriak lantang, supaya kau menghentikan langkahmu. Namun mereka tak bisa mengejarmu karena langkahmu terlalu cepat. Kau tahu belaka Arjuna pemanah ulung, yang tak mungkin meleset jika telah membidik. Jika yang diincar tenggorokannya, seketika Karna akan mati. Tetapi jika yang diincar tubuhnya, kau sangat yakin, putra tertuamu akan diselamatkan baju zirahnya.

Entah siapa yang pertama menjadi pengecut di dalam perang itu. Anak panah telah dilesatkan dan menembus tubuh Karna. Kau menjerit. Tak mungkin. Panah itu benar-benar menembus tubuhnya. Ke manakah baju zirah anak tertuamu itu? Kau berteriak kesetananan, dan terus menuruni bukit.

Anak panah dilesatkan tanpa henti. Satu per satu menancap di tubuh Karna. Langkahmu semakin gegas, dan tak seorang pun yang bisa mengejarmu. Hingga pada panah terakhir menancap di tenggorokan Karna yang membuatnya benar-benar tak berdaya. Karna limbung, dan tubuhnya ambruk.

Kau menjerit lebih keras. Kau terjatuh, kemudian duduk. Langkahmu terhenti. Dan para petinggi Hastina yang tidak mengikuti peperangan mencoba untuk menenangkanmu. Kau tergugu. Terisak begitu deras melihat anak tertuamu mati di tangan adiknya sendiri.

Sebuah karya cerpen berjudul ‘Pertempuran Dua Saudara’ oleh Rumadi yang diperlombakan dalam lomba cerpen fajar pendidikan

Arti Perjuangan

0

Gita sangat gelisah, ia susah sekali untuk tidur karena setiap malam dirinya selalu dihantui rasa khawatir yang memikirkan apakah ia mampu untuk melanjutkan studinya di perguruan tinggi agar bisa membuktikan kepada kedua orang tuanya bahwa ia juga mampu untuk berhasil seperti abangnya yang bernama Dony.

Kedua orang tuanya sering membandingkan Gita dengan Dony, karena Dony abang Gita sangat pintar di sekolahnya dan dia sangat disegani. Karena Dony selalu mendapatkan juara 1 di kelasnya dan pernah mendapatkan juara umum disekolah serta dia juga pandai dalam berbisnis dan berinvestasi.

Sedangkan Gita adalah pelajar yang biasa saja di sekolahnya akan tetapi ia selalu bertekad untuk bisa melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi agar bisa sukses seperti abangnya serta mendapat pengakuan dari kedua orangtuanya.

Gita berasal dari keluarga yang kaya, akan tetapi berbeda dengan Neneng yang berasal dari keluarga yang miskin tetapi dia anak yang pandai dalam pelajaran. Ayah gita bekerja sebagai pengusaha dan ia sangatlah terkenal, sedangkan ibunya bekerja sebagai dokter.

Tak heran bahwa keluarga Gita sangatlah kaya. Gita dan Neneng adalah sepasang sahabat. Walaupun Gita berasal dari keluarga yang kaya tetapi ia tidak malu untuk berteman dengan Neneng yang lahir di keluarga miskin.

Karena bagi Gita kaya atau miskin itu tidak terlalu penting asalkan dia bisa mempunyai teman yang baik. Neneng hidup dengan ibunya dan satu adiknya karena ayah Neneng sudah meninggal 10 tahun yang lalu.

Sedangkan ibunya bekerja sebagai pelayan di salah satu rumah makan di Jakarta. Melihat kondisi perekonomian yang susah Neneng sadar bahwa dia juga harus membantu ibunya bekerja dengan cara berjualan kue setiap sore selepas pulang dari sekolahnya.

Gita juga sering membantu Neneng dalam berjualan kue mereka berjalan mencari pelanggan. Sesekali mereka bercanda dengan menghayalkan kehidupan mereka di masa depan.
“Git jadi orang kaya enak kah?” ujar Neneng dengan canda tawa.
“Hehe ga enak Neng karena nanti kita sering sibuk terus, nanti dikiranya kita sombong” ujar Gita dengan tertawa juga.
“Iya sih biasanya orang kaya sibuk terus ya wkwk, eh habis lulus sekolah mau lanjut kemana kamu Git?” ujar Neneng.
“Aku mau kuliah sih Neng, aku juga punya cita-cita jadi Menteri Keuangan supaya orang tuaku ga membandingkan aku dengan abangku lagi, kalau kamu mau kemana Neng?” ujar Gita.
“Wah bagus banget cita-citamu Git aku berdoa semoga bisa terwujud itu ya, aku mau cari beasiswa sih Git untuk bisa kuliah, biar bisa jadi dokter hehe” ujar Neneng.
“Iya Neng bagus itu, moga kita berdua bisa berhasil ya” ujar Gita. Mereka berdua pun mengatakan amin dan melanjutkan berjualannya.

Setelah beberapa waktu, rasa khawatir itu semakin mendalam sejak Gita tidak terdaftar untuk mengikuti Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) oleh sekolahnya. Pada saat itu Gita merenung di kantin sekolah dan ketika itu juga Neneng datang menghampiri Gita.

“Kenapa wajahmu muram Git?” ujar Neneng.
“Aku ga masuk daftar list untuk SNMPTN Neng” ujar Gita.
“Tenang Git masih banyak cara lain agar kamu bisa di terima di perguruan tinggi kok, yang penting kamu semangat terus ya” ujar Neneng.
“Hehe iya Neng makasih banyak ya buat semangatnya, aku juga mau mengucapkan selamat kepada kamu udah masuk di daftar list untuk seleksi SNMPTN, semoga kamu diterima di jurusan dan perguruan tinggi yang kamu inginkan ya” ujar Gita.
“Iya makasih buat doanya ya Git, kalau kamu mau kita bisa belajar bareng nanti selepas pulang sekolah bersama Pak Sanusi” ujar Neneng.
“Boleh juga itu belajar bareng, makasih banyak Neng udah selalu ada buat aku, mulai sekarang aku mau semangat lagi buat belajar agar aku bisa mendapatkan pengakuan dari orang tuaku kalau aku juga bisa sukses seperti abangku” ujar Gita
“Iya Git semangat ya aku yakin kamu pasti bisa” ujar Neneng. Malam hari pun tiba, Gita bergegas ke rumah Pak Sanusi untuk belajar bersama dengan Neneng. Disaat itu suasana sangat serius karena mereka berdua bertekad untuk melanjutkan kuliahnya. Tetapi sesekali Pak Sanusi mengalihkan perhatian mereka dengan bercanda. Ia berkata
“Eh apa itu yang sedang lewat jangan-jangan setan ya?”
“Eh yang bener dong pak” kata Gita dan Neneng
“Hehe ga ada sih bapak cuma bercanda saja, lagian kalian serius kali sih belajarnya” ujar Pak Sanusi dengan canda.
“Iya jelas dong pak kami sangat serius karena kami memiliki tujuan” kata Gita dan Neneng.
“Emangnya berapa persen tekad kalian untuk melanjutkan kuliah?” sahut Pak Sanusi. Gita dan Neneng serentak menjawab
“100% pak” “Bagus lah kalau kalian mempunyai tujuan dalam hidup yang penting kalian harus memperjuangkan cita-cita kalian ya” kata Pak Sanusi.
“Siap pak kami pasti akan berjuang” ujar mereka berdua. Baiklah untuk belajar nya malam ini sampai disini dulu ya, besok kita lanjutkan lagi.
“Baik pak, terimakasih banyak ya pak buat pembelajarannya hari ini” kata mereka berdua.
“Sama-sama nak” kata Pak Sanusi.

Akhirnya Gita dan Neneng pulang ke rumah masing-masing dengan berjalan kaki. Ketika di jalan mereka mengobrol tentang kebaikan hati dari Pak Sanusi. Mereka berdua menganggap Pak Sanusi seperti ayah mereka berdua dan mereka selalu mendambakan memiliki seorang ayah yang baik seperti Pak Sanusi.

Karena Neneng sangat sekali merindukan sosok ayah karena ia sudah 10 tahun tidak bisa mendapatkan perhatian dari seorang ayah. Sama halnya dengan Gita, ia juga jarang sekali mendapatkan perhatian dari kedua orang tuanya karena mereka berdua sangat sibuk pada pekerjaannya masing-masing.

Mereka berdua sangat beruntung bisa bertemu dengan orang seperti Pak Sanusi. Dan bertekad untuk tidak menyia-nyiakan pengorbanan yang sudah diberikan Pak Sanusi. Beberapa bulan kemudian hari kelulusan pun tiba, para siswa dan siswi SMA Negeri 1 Jakarta bersorak merayakan kelulusan mereka. Saat itu wali kelas Gita yang bernama Pak Sanusi menanyakan mereka satu per satu kemanakah mereka akan melanjutkan sekolahnya.

“Saya mau jadi polisi pak” ujar salah satu teman Gita
“Saya mau jadi dokter pak” ujar Neneng sahabat Gita.

Siswa dan siswi yang lainnya mengatakan jawaban mereka kepada Pak Sanusi, ada dari mereka yang lebih memilih untuk langsung bekerja, ada juga yang mau daftar polisi, ada juga yang membantu orangtuanya menjalankan bisnis, ada juga yang kuliah, serta ada juga dari mereka yang tidak tahu untuk memilih antara bekerja atau kuliah.

Dan terakhir ketika Pak Sanusi menanyakan kepada Gita semuanya diam, mereka mau mendengarkan kemana Gita akan melanjutkan jalan hidupnya karena mereka semua tahu bahwa Dony abang Gita adalah alumni yang sangat pandai dan di segani di sekolah itu karena dia bisa menjadi pembisnis yang hebat di masa muda nya mengikuti jejak ayahnya.

Akan tetapi berbanding terbalik dengan Gita yang sama sekali susah untuk memahami pelajaran di sekolahnya.

“Setelah lulus kamu mau jadi apa Gita?” ujar Pak Sanusi
“Saya mau melanjutkan kuliah pak agar bisa menjadi Menteri Keuangan” ujar Gita dengan suara pelan
“Hahaha kamu bercanda ya Gita (seisi kelas tertawa), gimana jadinya Indonesia kalau kamu menjadi Menteri Keuangan, pelajaran matematika aja kamu ga bisa” ujar salah satu teman Gita.
“Sudah-sudah jangan ribut, kalian jangan menertawakan mimpi seseorang, jika Gita berhasil menjadi Menteri Keuangan apa kalian tidak malu nanti nya” ujar Pak Sanusi dengan nada tegas.

Ketika itu para siswa dan siswi sudah banyak yang pulang ke rumahnya masing-masing, tetapi Gita masih di sekolah dan ia duduk di dekat aula sambil melamun. Tak lama kemudian datang Pak Sanusi,

“Gita kenapa kamu tidak pulang dan apa yang sedang kamu pikirkan?” ujar Pak Sanusi
“Hmm… saya cuma mau menyendiri saja pak” ujar Gita.
“Sudah jangan terlalu dipikirkan apa kata teman-teman mu tadi.

Jika kamu sungguh- sungguh dan mau berusaha pasti kamu bisa meraih cita-cita mu itu, percayalah bahwa tidak ada yang mustahil bagi Tuhan kalau kita percaya kepada-Nya. Yang terpenting kamu semangat terus jangan dengarkan kata-kata orang yang ingin menjatuhkan kamu, fokus saja kepada tujuan kamu pasti kamu bisa, ujar Pak Sanusi.

“Terimakasih pak buat motivasinya saya berjanji saya pasti akan selalu memperjuangkan cita-cita saya pak” ujar Gita.

Akhirnya ia pulang ke rumah, ia senang sekali karena ternyata masih ada orang yang mau menyemangati dirinya untuk meraih mimpi. Baginya Pak Sanusi adalah sosok yang baik, Gita menganggap Pak Sanusi sudah seperti ayahnya sendiri.

Pak Sanusi selalu membantunya di sekolah tak hanya menolongnya ketika ada masalah di sekolah Pak Sanusi juga meluangkan waktunya supaya bisa menjelaskan materi yang kurang ia mengerti. Berbeda dengan kedua orang tuanya yang cenderung cuek dan acuh tak acuh serta selalu membandingkan Gita dengan abangnya Dony.

Beberapa bulan kemudian, Gita mendaftarkan dirinya untuk mengikuti Seleksi Bersama Masuk Politeknik Negeri ia mencoba untuk mengikuti tes tersebut dan ia sudah berusaha serta berdoa semoga ia lulus di Seleksi Bersama Masuk Politeknik Negeri.

Setiap malam Gita dan Neneng pergi ke rumah Pak Sanusi untuk belajar bersama, mereka bertiga tampak sangat akrab satu sama lain layaknya ayah dan anak. Singkat cerita, pengumuman Seleksi Bersama Masuk Politeknik Negeri telah tiba. Ia langsung mengakses ke website untuk mengetahui apakah dirinya diterima atau tidak.

Saat itu, Gita melihat bahwa dirinya belum dinyatakan lulus pada Seleksi Bersama Masuk Politeknik Negeri. Di saat yang bersamaan, Gita merasa sangat kecewa terhadap hasil keputusan itu dan yang bisa ia lakukan hanyalah menangis di kamar.

Kemudian ia pun mau mencoba lagi untuk mengikuti Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Nasional (SBMPTN). Di saat itu Gita bertekad untuk bisa lulus di seleksi tersebut supaya dirinya juga dianggap oleh kedua orangtuanya dan bisa sukses sama seperti abangnya.

Semangatnya memuncak ketika sahabatnya yaitu Neneng dinyatakan lolos seleksi SNMPTN. Dan dia juga berusaha supaya dia juga bisa berhasil seperti Neneng. Gita sudah mempersiapkan diri dengan belajar dan berdoa. Singkat cerita, pengumuman SBMPTN telah keluar.

Gita menantikan dengan cemas. Pada hari itu hasil pengumuman sudah bisa diakses di website Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT). Namun ia masih cemas dan merasa takut dinyatakan gagal untuk kesekian kalinya.

Beberapa menit kemudian, sambil berdoa didalam hati ia langsung melihat hasil pengumuman saat itu juga dan akhirnya hasilnya pun keluar, dan ia dinyatakan tidak lulus SBMPTN, Gita kaget dan tidak percaya tetapi ia tetap berusaha menenangkan dirinya.

“Mungkin ini kesalahan sinyal, aku pasti lulus” ucapnya kala itu. Gita segera membuka ulang hasil pengumuman, tapi hasilnya sama saja dinyatakan tidak lulus, tak disangka-sangka dirinya selalu mengalami kegagalan. Gita bingung, cemas dan putus asa dengan masa depannya, ia sangat kacau dan marah luar biasa. Gita melempari bukunya dan membakarnya seakan itu semua tidak berarti.

“Semuanya sia-sia, apakah aku sebodoh ini? Apakah aku tidak layak untuk meraih mimpiku? Kenapa aku selalu gagal, berkali-kali aku mencoba dan tidak satupun berhasil! Kenapa? Apakah yang selama ini kuperbuat tidak ada gunanya? Aku putus asa, aku bingung, aku tidak punya siapa-siapa sebagai tempat untuk mengadu. Aku sudah berusaha melakukan yang terbaik tetapi kenapa hasilnya nol? Siapapun tolong aku” ujar Gita sambil menangis dan berteriak.

Hari demi hari berlalu Gita semakin terpuruk, ia sudah tidak selera makan, ia sangat malas dan hidupnya dihabiskan di dalam kamar saja. Tak disangka dia mendapatkan kabar duka bahwa Pak Sanusi wali kelas Gita meninggal dunia.

Gita sangat terkejut dengan kabar tersebut. Karena dia berpikir sudah tidak ada lagi yang menyemangatinya karena Pak Sanusi lah yang membuat dirinya mempunyai harapan dan tujuan untuk mewujudkan mimpinya. Gita dan Neneng pergi ke rumah Pak Sanusi, sesampainya disana mereka menangis, melihat bahwa sosok yang sangat mereka hormati dan dianggap sebagai ayah sudah tiada.

Hati mereka sangat sedih dan yang bisa mereka lakukan adalah mengikhlaskan dan berdoa buat Pak Sanusi. Sungguh ini adalah minggu yang berat buat Gita karena dia gagal seleksi SBMPTN sekaligus kehilangan sosok orang yang sudah dianggap sebagai ayahnya. Setiap hari dia habiskan dengan menyendiri di kamar dan pikirannya sangat kacau.

Ia tidak mau makan, kala itu ada terlintas di benaknya untuk bunuh diri karena hidup ini tidak ada artinya lagi dan dia selalu gagal di setiap hidupnya. Tetapi sebelum dia mau bunuh diri tiba-tiba terdengar bunyi “Tok…tok..tok” dari pintu kamar Gita. Itu siapa sahut Gita. Ini kami nak orangtuamu. Ah kenapa kalian mencariku, pasti kalian mau membandingkan aku lagi dengan abang Dony. Tidak begitu nak, ibu sama bapak dapat telepon dari bibi katanya kamu tidak mau makan.

Ayolah nak makan dulu habis itu mari kita berdiskusi kata ibuku. Tak lama kemudian aku keluar dan mengurungkan niatku untuk bunuh diri, karena aku berpikir bahwa aku masih punya kesempatan untuk membuat bangga kedua orangtuaku.

Ketika di meja makan suasana sangat canggung. Di suasana yang canggung itu ayahku berkata,

”Maafkan bapak sama ibu ya nak, selama ini kami selalu cuek kepadamu, kami selalu membandingkanmu kepada abangmu. Maafkan juga kalau ayah sama ibu tidak bisa menjadi sosok orangtua yang baik kepadamu, kami selalu mementingkan pekerjaan kami dibandingkan dirimu”
“Iya nak maaf kan kami ya” sahut ibu. Akhirnya dengan meneteskan air mata kami semua berpelukan sambil meminta maaf. Gita juga minta maaf ya belum bisa membuat bangga ibu dan ayah, Gita selalu gagal dan membuat ayah dan ibu kecewa, ujar Gita.

Beberapa saat kemudian, kedua orangtua Gita mengajak dirinya berdiskusi. Gita menceritakan bahwa dirinya tidak direkomendasikan sekolah untuk mengikuti seleksi SNMPTN, ia juga sudah mengikuti tes Seleksi Masuk Politeknik Negeri tetapi tidak lulus, ia juga mengikuti tes SBMPTN namun lagi dan lagi selalu gagal. Ayahnya menyarankan dia untuk mengikuti tes Seleksi Mandiri atau berkuliah di luar negeri. Tetapi Gita ragu dan takut ditolak untuk kesekian kalinya.

Pada malam hari Gita bermimpi bahwa ia dan Neneng sedang belajar bersama Pak Sanusi. Pada saat itu juga Pak Sanusi berkata bahwa mereka harus berjuang untuk mewujudkan impian mereka masing-masing walaupun banyak masalah yang harus dihadapi.

Setelah itu Gita bangun dan kembali mengingat janji nya kepada almarhum Pak Sanusi untuk selalu berjuang dalam menggapai cita-cita. Akhirnya berkat dukungan dari orangtua dan juga janji yang pernah ia katakan kepada almarhum Pak Sanusi, semangat yang tadi padam kini kembali mulai bangkit lagi.

Disaat itu hatinya mulai membaik, ia sekarang sering diperhatikan kedua orang tuanya walaupun ia selalu gagal untuk mengikuti tes masuk perguruan tinggi. Saat itu ia mencari info mengenai pendaftaran seleksi masuk perguruan tinggi untuk jalur mandiri tetapi sudah tidak ada lagi universitas yang membuka pendaftaran.

Pada hari berikutnya ia melihat sebuah postingan di instagram bahwa Politeknik Keuangan Negara Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (PKN STAN) masih membuka pendaftaran. Pada saat itu ia tanpa pikir panjang langsung mendaftar dan melengkapi berkas-berkas yang diperlukan walaupun ia tahu bahwa seleksi masuk STAN sangatlah berat.

Tetapi ia bertekad untuk mencobanya dengan penuh semangat dan keyakinan. Gita kembali belajar lebih giat dari sebelumnya dan selalu didukung orang tuanya supaya ia bisa masuk STAN. Pada suatu hari abangnya mengunjungi rumah dan bertemu dengan Gita, saat itu jelas ia sangat iri terhadap kesuksesan abangnya dan bertekad bahwa ia pasti bisa masuk STAN.

Saat itu, Dony menghampiri Gita dan bertanya keadaan dirinya. Gita pun menceritakan semua hal yang sudah ia alami dan itupun membuat Dony agak sedikit tertawa. “Adikku Gita kenapa kamu cepat sekali menyerah? Tidak masalah jika kamu gagal terus menerus itu hal yang wajar, tetapi hal yang tidak wajar adalah ketika kamu tidak mau bangkit dari kegagalanmu itu dan mencobanya lagi.

Abang sering juga sering mengalami kegagalan tetapi abang selalu tekun dan bangkit dari kegagalan itu. Banyak orang hanya mengetahui keberhasilan seseorang saja tanpa mengetahui banyaknya proses yang sudah dilewati oleh orang tersebut. Saran abang kamu harus bangkit dari kegagalanmu itu dan buat orang disekitarmu bangga. Ujar Dony abang Gita yang begitu panjang.

Oh iya ada lagi abang punya motivasi buat kamu katanya ”Orang bodoh bisa menang dari orang pintar jika orang bodoh tersebut berusaha lebih keras dari orang pintar tersebut, aku percaya kepada kamu adikku Gita bahwa kamu juga bisa sukses asalkan kamu sungguh-sungguh berusaha, buat ayah dan ibu bangga dengan pencapaianmu ya” Sejak saat itu, semangatnya sangat membara seperti binatang buas yang ingin memakan mangsanya dan ia semakin kuat dalam mental dan setiap hari ia belajar juga berdoa dengan tak henti-hentinya.

Hari seleksi pun tiba ia berangkat dan meminta doa restu kepada orangtuanya, abangnya, Neneng sahabatnya. Mereka semua mendoakan dia supaya bisa berhasil. Seleksi demi seleksi sudah dilewati, ketika menjawab soal-soal ia bisa mengerjakannya dan merasa dibimbing oleh Tuhan untuk dapat menjawab soal-soal itu tanpa ragu. Setelah ujian berakhir Gita sangat lega bahwa dia setidaknya bisa mencoba bersaing dengan banyak orang yang menginginkan bisa masuk di STAN.

Ketika itu Gita hanya bisa pasrah nantinya terhadap hasil keputusan tersebut, yang terpenting dalam dirinya ia sudah berusaha semaksimal mungkin dan ia berjanji apapun hasilnya dia menerima dengan lapang dada. Hasil pengumuman seleksi STAN telah tiba, ketika itu keluarga Gita menemani dirinya untuk melihat hasil pengumuman seleksi tersebut.

Perasaan Gita sangat berdebar-debar karena kedua orang tuanya dan juga abangnya menyaksikan bersama keputusan tersebut. Ia memberanikan diri untuk membuka hasil pengumuman itu tersebut di website di iringi dengan suara satu… dua.. tii..gaa dari abangnya yang membuat hatinya semakin berdebar kencang.

Semua berteriak histeris, Gita dinyatakan lolos seleksi masuk STAN, ia terharu dan menangis sambil saling memeluk satu sama lain. Kedua orangtuanya serta abangnya mengucapkan selamat kepada Gita karena akhirnya semua perjuangannya tidak sia-sia, kedua orang tuanya sangat bangga kepada dirinya.

Momen itu yang sangat menggembirakan untuk Gita dan ia tak henti-hentinya bersyukur dan mengucapkan terimakasih kepada Tuhan. Sebab Ia baik kasih setia-Nya ada untuk selama-lamanya dan Tuhan sudah mendengarkan doanya. Hari itu hari yang sangat indah bagi Gita karena dia berhasil membuktikan kepada kedua orang tuanya bahwa dia juga bisa sukses sama seperti abangnya, dan dia juga membuktikan kepada teman-temannya yang selalu mengejeknya sekaligus juga pembuktian janji kepada almarhum Pak Sanusi kalau ia sudah berjuang untuk mencapai mimpinya.

Dari awal perjuangannya tidak sia-sia ia banyak mengalami kegagalan tetapi ia berhasil bangkit dari kegagalan itu dan mewujudkan mimpinya. Akhirnya ia bisa mendapatkan pengakuan dari orang tuanya, gurunya, dan teman-temannya yang sering memandang rendah dirinya.

Semua kegagalan yang dialaminya merupakan awal sebuah kesuksesan yang membawa ia sampai pada saat ini. Ia membuktikan kepada semuanya bahwa ia berhasil masuk STAN yang mana banyak orang mengatakan sangat susah sekali untuk memasukinya, namun ia berhasil lulus dan itu suatu kebanggaan bagi dirinya.

Terakhir Gita dan Neneng mengunjungi makam almarhum Pak Sanusi mereka berdua hanya bisa melihat batu nisan yang ada dan mereka berdua menangis dan saling berpelukan, mereka berdua mengucapkan terimakasih kepada almarhum Pak Sanusi karena beliau telah membantu banyak kepada mereka berdua.

Mereka berjanji pasti akan menjadi orang yang sukses di masa depan dan tak lupa untuk mengingat jasa-jasanya. Akhir cerita Neneng diterima SNMPTN dengan jurusan kedokteran di Universitas Indonesia dia juga mendapatkan beasiswa penuh, hak itu semakin mendekatkan Neneng untuk mencapai cita-citanya menjadi seorang dokter.

Begitu juga dengan Gita yang berhasil masuk STAN dan semakin mendekatkan langkahnya agar bisa menjadi Menteri Keuangan di masa yang akan datang.

TAMAT.

Sebuah karya cerpen berjudul ‘Art Perjuangan’ oleh Samuel Martin Simanjuntak yang diperlombakan dalam lomba menulis cerper fajar pendidikan

Terlahir Sementara

0

Kau sudah hadir nak, selamat datang di dunia impian. Rasa senang yang amat mendalam tatkala suara tangisan pertamamu menjerit dengan keras, “Alhamdulillah akhirnya kamu selamat” pikirku dalam hati. Tangis bercampur haru menyelimuti rasa yang tak terbendung betapa beruntung aku didunia ini.

Meskipun kau bukan yang pertama tapi predikat istimewa tentu menempel atas hadirmu. Hari-hari Bahagia kau lewati hingga Tuhan memberi ruang untuk bermetaformosa hingga kini kau sudah berusia 2 tahun.

Wajah yang manis lengkap dengan bulu mata yang begitu lentik dan kilauan bola mata indah berbinar mampu menawar luka pada kondisi rumah yang hampir setiap harinya adalah pertikaian. Ulah bapakmu yang emosional dan sikap ibumu yang keras kepala hamper tidak pernah menghadirkan harmonisasi keluarga.

Dari pagi hingga pagi lagi tidak pernah terdengar suara kasih sayang melainkan suara teriakan, pecahan piring, bahkan bunyi benda yang meletup-letup pada lantai. “Lebih baik saya pergi dirumah ini” ujar Endang. Endang memutuskan pergi ke rumah ibunya, sedangkan Aan juga memutuskan pergi lebih jauh lagi.

Bagaimana nasib Indira anak mungil yang sedang membutuhkan keharmonisan mereka. “Aku harus mengambil tindakan, Indira harus mendapatkan kasih sayang kalau bukan dari orang tuanya berarti aku harus merawatnya” Ujarku dalam hati.

Endang dan Aan memilih pergi meskipun belum pada tahap perceraian. Karena keterpurukan ekonomi Aan bekerja keluar Negeri dan dan Endang tetap pada pendiriannya yang sama-sama meninggalkan Indira. Kamu harus tumbuh seperti anak-anak yang lainnya Nak, “sambil mencium kening Indira”. Rasa sedih menggelayut dalam hatiku apakah Indira akan terlentar dengan asuhan orangtuanya sementara Aku masih harus menyelesaikan semester akhir kuliah.

Karena tuntutan akademik saya harus kembali ke tempat pengabdian meninggalkan Indira yang terpaksa harus ku alihkan pengasuhan kepada Ibu dan Bapakku. Selamat tinggal sayang, Bunda masih harus berjuang “bisikku pada telinga Indira”. Sengaja ku biasakan Indira memanggil Bunda agar ia tetap merasa bahwa ia masih memiliki Ibu.

Selang beberapa bulan Endang kembali kerumah merawat Indira. Kabar Bahagia yang ku dapatkan dari medan perantauan. “Alhamdulillah Indira sudah kembali kepangkuan ibunya” Ucap mama saat menelfonku. “Semoga kamu baik-baik saja Nak, tumbuhlah menjadi anak yang baik” titip kata untuk Indira.

Rasa tenang menghampiriki dimana aku juga harus fokus menyelesaikan kuliah. “Indira sudah kembali kepangkuan Ibunya tapi kenapa rasa khawatirku masih terlalu tinggi kepadanya, apakah dia diurusi dengan baik, apakah makanannya diurus dengan baik, apakah dan apakah.. aduuhh kenapa aku jadi begini jelas dia pasti lebih tenang bersama ibunya” gejolak batinku mulai meningkat. Sudahlah lebih baik saya menyelesaikan tugas-tugas yang menumpuk sambil menikmati dinginnya angin malam di teras rumah.

Semester demi semester sudah terlewat bulan depan saatnya KKN, sebelum berangkat aku harus pulang menemui gadis kecilku dikampung. “Indira tunggu bunda pulang nak” semangat ku semakin membara.

Aku harus membelikan Indira hadiah yang banyak setiap pulang kampung memang sudah ku sisipkan uang beasiswaku untuk memberi hadiah pada anak-anak dikampung. Tuuuuuuttt, tuuuttt, bunyi nada dering HP ku di tas “sudahlah nanti saja aku jawab”. Tuuutt, tuuuutt lagi-lagi HP ku berdering, terpaksa aku harus berhenti ditengah jalan menjawab telfon yang dari tadi sudah berbunyi. Kulihat HP ku ternyata telfon dari Ibu.

“Assalamu ‘alaikum warahmatullah, iye kenapa kiMama ?” Tanyaku singkat. “Dimana makiNak ?” jawab Ibu.

“Masih dijalan ka Ma” ujarku.

“Ohh. Kalau begitu hati-hati dan cepatlah sampai” jawab Ibu. “Iye’Mama saya sudah diperjalanan” Jawabku lirih

Usai menjawab telfon, tanganku terasa lemas rasanya tak sanggup lagi menyetir motor. “Sepertinya ada kabar yang ingin ibu sampaikan, kenapa rasa cemasku meningkat apakah sesuatu terjadi pada Indira ?” Tanyaku dalam hati. Nama Indira semakin terngiang-ngiang menyertai perjalananku melintasi rute jalan yang begitu terjang hingga akhirnya aku sudah sampai didepan rumah.

Suasana rumah begitu hening, kulihat didepan rumah beberapa tetangga berdatangan, di teras rumah ada hembusan asap kemenyang spertinya sedang ada ritual dirumah. Dengan Langkah pelan aku masuk kerumah. “Dag..diig..duug” gemetaran, denyut jantungku begitu kencang tatkala melihat didepan mataku si kecil yang sedang ditimang ibunya dalam kondisi yang tidak ku tahu dia sedang kenapa.

Serasa terputus sendi-sendi tulangku, seakan berhenti aliran darahku, keringat dingin bercucuran, air mataku berderai. Tak ada lagi si mungil menjemput hadiah dari tentengan ku, tidak ada lagi yang berlari merentangkan tangannya dengan teriakan bunda. Hancur, hancur, hancurlah semunya.

Mencoba menghela nafas agar tidak berlarut pada keadaan. Indira masih ada, hanya saja dia tidak seceria dulu lagi, bahkan satu kata pun tidak pernah terucap dari bibir manisnya karena menahan sakit yang sampai saat ini masih kelabu.

“Sebenarnya Indira sakit apa selama ini ?” tanyaku pada ibu. “Dia sering demam tinggi sampai kejang” jawab ibu. “Innalillah sejak kapan begitu Ma ?” tanyaku panik. “sebenarnya sudah 2 bulan” jawab ibu.

Aku semakin tertekan dikelilingi rasa bersalah yang begitu besar. “Kalau begitu kita harus bawa ke dokter untuk berobat segera” pintaku pada Endang. “Tidak usah bawa ke dokter karena di sini juga sudah di obati sama pak Dukun” jawab Endang. “Tidak, sakit seperti ini harus dikonsultasikan ke dokter apalagi jika sudah sering kejang takutnya terkena epilepsi”. Ujar ku kembali. “Biarkan saja dulu kita lihat hasilnya sampai tiga hari ke depan, yang obati juga adalah Dukun terpercaya” balas Endang.

Lagi-lagi pertarungan ideologi kembali memanas tatkala aku dan keluargaku saling berargumen soal pengobatan Indira. Ya, memang mereka masih sangat tabuh akan beberapa kondisi berbahaya bagi Indira. “lagian kalau mau dibawa ke dokter dan harus masuk rumah sakit siapa yang mau tanggung biayanya pasti mahal kan ?” ujar Endang. “Baiklah” jawabku lirih. Tiba pada hari ke tiga tapi tidak ada perubahan terhadap kondisi Indira.

Tanpa berpikir panjang aku pergi ke tetangga memberanikan diri untuk pinjam uang dengan modal nekat tanpa jaminan apapun. Aku harus bawa Indira ke dokter hari ini juga, setidaknya aku harus bertindak sebelum penyesalanku semakin besar.

Aku berhasil membawa Indira ke dokter ditengah kondisi yang cukup kritis, dokter memanggilku ke ruangan khusus menerangkan keadaan Indira yang cukup membuat kembali pada kondisi awal saat datang kerumah. Sakit rasanya mendengar kalimat dari dokter.

“sepertinya Anda harus banyak berdo’a dan bersabar” ujar dokter. “Bagaimana maksudnya dok ?” tanyaku

“Masih ada kemungkinan tapi kecil, dan kita coba masukkan di ruang ICU untuk pemasangan alat-alat bantu” jawab dokter.

“Lakukan yang terbaik dok apapun itu” pintaku sambil menangis. “Kami tetap berusaha keras, tapi..” ujar dokter.

“Tapia apa dok ?” tanyaku lebih tegas.

“Batang otaknya sudah mati, karena kekurangan oksigen yang masuk akibat terlalu sering kejang dan tidak mendapatkan penangan segera, adapun jika kemungkinan besar terjadi Indira tidak akan hidup normal seperti dulu lagi” jawab dokter.

Malaikat kecilku yang aku cintai, sependek itukah kesan indah yang kau lukiskan untuk bunda ? Jauh dari espektasiku sebelumnya bahwa kau hanya terlahir sementara.

Sebuah karya cerpen berjudul ‘Terlahir Sementara’ oleh Rosnani yang diperlombakan dalam lomba menulis cerpen fajar pendidikan

BINTANG DI TENGAH KESUNYIAN

0

Suara hujan masih terdengar jelas berjatuhan di atap rumah kami yang sudah mulai usang termakan usia. Hujan yang turun sedari sore seakan enggan untuk beranjak dari bumi pertiwi ini. Sayup-sayup kudengar suara Bapak sedang berbicang dengan Ibu di ruang tamu. Di dalam kamar sederhana ini aku masih meringkuk kedinginan setelah kehujanan sore tadi.

Suara hujan ini seakan membawa pikiranku akan masa depanku. “Tidak lama lagi aku lulus SMA, apa yang harus aku lakukan selanjutnya?” gumamku dalam hati. “San, kamu tidak ikut kumpul di ruang tamu?” suara Ibu membuyarkan lamunanku. “Iya bu, sebentar lagi” jawbku pelan.

Dengan masih menggunakan selimut aku beranjak dari tempat tidur menuju ke ruang tamu. Disana seperti biasa seluruh keluargaku berkumpul untuk sekedar bercengkrama, menikmati makanan ringan buatan ibuku, dan menonton televisi. “Kamu kenapa San, sakit?” tanya Bapak. “Tidak Pak, Hasan hanya kedinginan tadi pulang sekolah kehujanan” jawabku pelan.

Aku merupakan anak kedua dari tujuh bersaudara. Bapakku hanya seorang guru honorer di sebuah sekolah SMA swasta dimana tempatku bersekolah juga. Ibuku murni hanya seorang ibu rumah tangga. Kakakku hanya bersekolah sampai SMP saja dan tidak mau melanjutkan ke tingkatan berikutnya. Kini dia sudah menikah dan tinggal bersama suaminya. Adikku masih kecil-kecil, yang paling besar sekarang masih kelas VII SMP. Mengingat itu semua semakin membuatku berpikir keras apa yang akan saya lakukan setelah lulus SMA nanti.

“Kak, kamu lagi mikirin apa sih, dari tadi melamun terus” pertanyaan adikku membuyarkan lamunanku. “Iya San, Bapak perhatikan kamu tidak bersemangat hari ini” tanya Bapak penuh selidik. “Tidak ada apa-apa Pak” jawabku lirih. “Apa kamu punya masalah di sekolah, ceritakan saja” tanya Bapak lagi. Entah apa yang harus aku katakan pada Bapak. Apa aku harus mengatakan yang sejujurnya.

Tetapi jika aku mengatakan yang sejujurnya hanya akan menambah beban pikiran Bapakku. Akhirnya aku memberanikan diri untuk mengatakan apa yang aku rasakan. “Pak, aku mau kuliah” jawabku dengan hati-hati. Bapak terlihat kaget mendengarkan keinginanku. Bapak masih terdiam belum mengeluarkan sepatah katapun. “Pak, apakah boleh?” aku mengulang kembali pertanyaannku.

Bapak mulai menarik napas panjang. Terlihat sekali raut kebingungan dalam wajah Bapak. “San, apakah keinginananmu untuk kuliah sudah bulat?” tanya Bapak. “Sudah Pak” jawabku mantap. “San, Bapak khawatir, apakah dengan kekuranganmu, kamu bisa menyesuaikan diri di tempat yang jauh dari kami?” tanya Bapak cemas. Aku sangat menyadari Bapak sangat mengkhawatirkan keadaanku.

Aku merupakan penyandang disabilitas. Semenjak kelas VI SD aku menjadi seorang tuna rungu. Jadi wajar jika Bapak berat sekali untuk melepasku jauh dari beliau. “Aku akan belajar mandiri Pak. Bapak tidak usah khawatir, disana pasti akan banyak yang membantuku” aku terus membujuk Bapak. “San, kalau kamu kuliah, bagaimana dengan biaya sekolah adik-adikmu?” jawab Bapak dengan hati-hati.

Aku terdiam lesu mendengar jawaban Bapak. Aku menyadari kondisi ekonomi keluarga kami memang jauh dari kata mapan. Jika aku memaksakan untuk kuliah bagaimana nasib adik-adikku. Hening, tidak ada lagi percakapan antara aku dan Bapak.

Hari ini aku selesai melaksanakan ujian nasional. Aku tidak terlalu bersemangat untuk menanti hasil ujianku. Rasanya tidak ada lagi gunanya hasil ujianku. Aku duduk termenung di perpustakaan sekolah, tempat favoritku ketika waktu istirahat.

Tanpa aku sadari, Pak Agus guru olahraga di sekolahku sudah duduk di sebelahku. “Gimana ujiannya, bisa?” tanya beliau. “Bisa Pak” jawabku tidak bersemangat. “Lalu apa yang membuatmu tidak bersemangat?” tanya beliau lagi. “Aku tidak bisa melanjutkan kuliah Pak” jawabku singkat.

Guru olahragaku paham betul akan kondisiku, karena memang beliau sudah cukup lama mengajar di sini dan paham akan kondisi Bapakku. “Jangan patah semangat dulu, pasti akan ada jalan keluarnya, biar kamu tetap bisa melanjutkan kuliah” kata beliau sambil menepuk- nepuk pundakku.

Aku hanya membalasnya dengan senyuman, rasanya sudah tidak mungkin hal itu terjadi. Walaupun aku selalu mendapatkan peringkat satu di kelasku, tetapi karena keadaannya seperti ini, apa yang bisa aku lakukan. “Nanti akan saya bantu San, tenanglah” ujar beliau lagi.

Pak Agus pergi meninggalkan ruang perpustakaan, meninggalkan aku sendirian yang masih meratapi nasib yang tak tau arahnya harus bagaimana. Seminggu sudah ujian nasional berlalu, selama itu tidak ada aktivitas berarti yang aku lakukan.

Membantu ibuku menjadi hal yang sering aku lakukan saat ini. Selepas itu waktu ku habiskan untuk membaca kembali buku-buku yang aku koleksi selama sekolah. “Jenuh juga ya setiap hari harus seperti ini, apa aku kerja saja ya, tapi kerja apa? Apakah ada orang yang mau menerima orang tuna rungu sepertiku?” gumamku dalam hati.

Berbagai pertanyaan mulai bermunculan dalam pikiranku. Ku buka Handphone jadulku untuk sekedar menghilangkan rasa jenuh dengan berbagi kabar dengan teman. Di tengah keasyikanku bercanda di dunia maya dengan teman, satu notifikasi pesan masuk. Kubuka ternyata dari Pak Agus. “San, ada beasiswa untuk kuliah. Tetapi harus ikut semacam les supaya lulus SMPTN selama satu bulan lebih di Yogya. Bagaimana San, mau? tanya Pak Agus melalui pesan singkat. “Akan saya diskusikan dengan Bapak dulu Pak, terimakasih informasinya” balasku.

Menunggu kepulangan Bapakku adalah hal yang sangat ku tunggu saat ini. Sesampainya di rumah, Bapak heran melihat aku begitu bersemangat. “Kenapa San, kamu kelihatannya bahagia sekali” tanya Bapakku sambil masuk ke rumah. “Aku ingin menyampaikan sesuatu yang penting Pak” jawabku.

Bapak mengurungkan niatnya untuk masuk ke kamar. Beliau mengajakku untuk duduk dan mengobrol di ruang tamu. “Ada apa San?” tanya Bapak. “Pak, kata Pak Agus ada kesempatan untuk Hasan memperoleh beasiswa kuliah” jawabku penuh semangat. “Iya San, tadi Pak Agus juga sudah bercerita ke Bapak” kata Bapakku. “Apakah Bapak mengizinkan?” tanyaku penuh selidik.

Bapak tidak langsung menjawab pertanyaannku, suasana hening beberapa menit hingga Ibu masuk ke ruang tamu dengan membawakan segelas air putih dan pisang goreng untuk Bapak. “Izinkan saja Pak, biarkan Hasan menentukan masa depannya. Tidak ada salahnya dia berusaha, Tuhan pasti memberikan pertolongan anak kita” kata ibu sambil menyuguhkan minuman untuk Bapak. “Baiklah, jika kamu sudah yakin akan keputusanmu, Bapak izinkan. Semoga berhasil San” jawab Bapak. Aku terharu dan senang tak terkira. Awan hitam yang selama ini meyelimuti hari-hariku seakan sirna seketika.

Dua hari kemudian, aku dan dua temanku berangkat menuju Yogyakarta. Hanya berbekal alamat kami beranikan bertiga untuk kesana. Diantara kami belum ada yang pernah ke Yogya, kami hanya modal nekat saja. Sesampainya di terminal, kami menghubungi ketua panitia untuk menjemput kami.

Setelah menunggu hampir setengah jam, akhirnya mereka menjemput kami. Badan ini rasanya lelah sekali, maklum kami belum pernah bepergian sejauh ini. Tetapi kita tidak boleh mengeluh, setelah selesai merapikan barang bawaan dan menata tempat tidur, kami langsung bergegas membersihkan diri dan bersiap bergabung belajar bersama yang lain.

Satu bulan lebih kami belajar di sini, besok tiba saatnya kita akan mengikuti tes masuk SMPTN. Aku sudah berusaha semaksimal mungkin, semua hasilnya aku pasrahkan pada Tuhan.

Pagi harinya, kita dikumpulkan dan dikelompokkan berdasarkan tempat tes kami. Sepanjang perjalanan menuju tempat tes, selalu ku lantunkan doa-doa supaya hatiku tenang. Sesampainya di tempat tes, kami langsung menuju ke ruangan dan mengikuti semua prosedur yang ditetapkan. Aku mengerjakan dengan sepenuh hati, aku harus lulus. Waktu ujian telah selesai, keluar ruangan dengan perasaan lega.

Aku sudah mengerjakan sebaik mungkin, semoga hasilnya sesuai dengan harapanku. Esok harinya kami mengadakan kegiatan perpisahan dengan semua teman dan para pengajar dan panitia. Ada perasaan sedih karena harus berpisah dengan teman-teman dari berbagai kota dan para panitia serta pengajar yang begitu mengerti kondisiku.

Di sisi lain aku juga merasa senang karena sebentar lagi aku akan pulang ke rumah setelah satu bulan lebih aku di sini. Selepas Dzuhur kami bertiga pun diantar beberapa panitia menuju terminal. Setelah mendapat bus, kami berpamitan dan mengucapkan terima kasih kepada mereka.

Setelah menempuh perjalanan selama enam jam akhirnya aku sampai ke rumah. Ku salami Bapak dan Ibuku, ku peluk mereka penuh haru. Baru kali ini aku tidak bertemu orangtuaku selama ini.

Hampir satu bulan berlalu, besok tiba saatnya pengumuman hasil seleksi SNMPTN. Perasaanku sudah tak menentu, sudah tak sabar rasanya ingin melihat hasilnya. Pada saat malam mata ini enggan untuk terpejam, berbagai prasangka berkecamuk dalam pikiranku. Entah jam berapa mata ini terpejam, hingga tiba-tiba suara Bapak membangunkanku dari tidur. “San, Shalat subuh dulu, sudah jam lima” kata Bapak dari balik pintu. “Baik Pak” jawabku.

Akupun segera beranjak dari tempat tidur dan menunaikan kewajibanku. Tak lupa ku panjatkan doa semoga aku lulus SNMPTN. Siang hari setelah Bapak pulang dari sekolah, aku mengajak beliau ke warnet untuk melihat pengumuman. Di perjalanan tak henti-hentinya ku panjatkan doa. Begitu sampai di warnet, aku langsung mencari komputer yang kosong. “Disini saja Pak” kataku sambil menuju ke tempat kosong paling pojok.

Ku hidupkan komputer dan kuarahkan mouse ke symbol google. Ku ketikkan laman pengumuman seleksi dan ku ketikkan passwordnya. Ada rasa cemas jika hasil pengumuman tidak sesuai dengan yang ku harapkan, aku pasrah. Ku beranikan untuk melihat hasil pengumumannya.

Deg… seketika air mataku mengalir deras melihat hasil seleksi, aku tak sanggup lagi untuk berkata-kata. Ku peluk Bapakku dengan terus menangis. “Bagaimana hasilnya San? Tanya Bapak dengan perasaan khawatir. Aku masih terdiam dan berusaha menenangkan diri. Setelah tenang baru ku utarakan hasilnya kepada Bapak. “Aku lulus Pak. Aku diterima di Universitas Gajah Mada jurusan Sastra Indonesia Pak” jawabku sambil gemetar. Seketika Bapakku pun ikut larut dalam tangis, seakan semuanya seperti mimpi.

Kini aku sudah hampir lulus S1 dengan berbagai perjuangan yang amat berat. Semua yang mempunyai kekurangan sepertiku, kalian harus percaya jika kita mempunyai keinginan dan usaha yang kuat, kita bisa menggapai apa yang kita cita-citakan.

Sebuah karya cerpen berjudul ‘Bintang Ditengah Kesunyian’ oleh Rina Prihatin yang diperlombakan dalam lomba menulis cerpen fajar pendidikan

Mengapa Semuanya Terjadi

0

Keluarga…..

Satu kata yang mengandung makna yang dalam, dimana seringkali kata ini diucapkan membuat segelintir orang menuai ekspresi berbeda-beda. Keluarga identik dengan rumah, dari sekian orang yang saya jumpai ada yang mengatakan keluargaku adalah rumahku untuk pulang namun bagaimana dengan orang yang broken home? Akankah dirinya juga mengatakan jika keluargaku adalah rumah.

Tanpa basa-basi lagi namaku Asyah anak pertama dari pasangan suami istri Nana dan Wijaya. Aku memiliki adik laki-laki yang saat ini bersekolah sama denganku di Sma Arta.

Berawal dari pulang sekolah, aku tak sengaja membaca notifikasi wa milik hp Ayahku. Aku kaget, cemas juga tentunya. Saat aku ingin membuka wa ayahku untuk membaca lebih jauh tiba- tiba Ayahku datang menarik paksa hp nya dari tanganku.

“ga sopan kamu buka- buka hp ayah” bentak ayah ku yang mungkin suaranya sudah naik beberapa oktaf. Mendengar itu, aku menundukkan kepalaku dengan mata yang mulai berair. Baru kali ini aku di bentak oleh ayahku.

“maaf ayah caca ga sengaja.” Ucapku dengan sepelan mungkin. Ayah yang mendengar ucapanku berusaha meredam amarahnya. “ ya sudah kamu masuk kamar, dan soal pesan yang kamu baca tadi jangan bilang- bilang sama ibumu nanti dia salah paham, tante rita cuman teman kantor ayah ga lebih”.

Mendengar ayahku mengatakan seperti itu aku ingin sekali berkata kepadanya teman kantor apa yang bilang transferan mas udah masuk yah. Namun kata itu hanya sampai di ujung lidahku saja karena tak berani mengatakannya. Aku masuk kamar dengan perasaan yang gundah, gelisah memikirkan bagaimana jika ternyata ayah benar selingkuh sama tante rita.

Air mata berjatuhan memenuhi kertas ku, aku memikirkan bagaimana perasaan ibuku jika tahu tentang hubungan ayah dan tante rita. Meskipun ayah bilang jika tante rita itu hanya teman kantor saja. Karena lelah menangis aku pun tertidur.

Malamnya aku terbangun karena suara alarm yang begitu menggema di kamarku. Ku lirik jam weker ternyata jam sudah menunjukkan pukul 20:00 yang artinya sudah 4 jam aku tertidur.

Brak!!!!!! Aku mendengar suara piring terjatuh, karena penasaran aku pun turun kebawah. Namun, saat di tangga aku melihat orang tua ku bertengkar pertama kalinya. Aku memutuskan untuk tidak turun ke bawah dan malah melihat orang tuaku bertengkar dari atas.

“rita itu siapa mas, kenapa kamu transferkan uang sebanyak itu.” Kata ibuku dengan suara yang sangat keras. “ itu cuma teman kantor mas nana, ga lebih! Kamu kenapa sih curigaan banget jadi orang.”

“jujur mas! aku bisa memaafkan semua kesalahan mas tapi satu yang tidak bisa aku maafkan yaitu selingkuh. Kalau mas memang selingkuh lebih baik kita cerai!” teriak ibuku dengan air mata yang berjatuhan membasahi pipinya.

“maafin mas nana, aku khilaf dan itu aku transferkan uang rita untuk keperluan anak aku dengan dia na.” Ungkap ayahku penuh penyesalan.

Duarrrrrrrr, bagai disambar petir di siang bolong kata-kata ayah sangat mengejutkan aku. Aku tidak menyangka ayah punya anak dengan tante rita. “kamu tega mas sama aku, kurang apa coba aku sehingga kamu selingkuh.” Ibuku berkata dengan air mata yang tak henti-hentinya berjatuhan.

“maafin mas, saat itu mas khilaf. Usia anak mas dengan rita saat ini 12 tahun. Maaf na, maafkan aku tapi aku ga mau cerai dari kamu na. Mas cinta sama kamu. Mas janji mas akan perbaiki ini semua.”

“12 tahun? Jadi selama 12 tahun kamu duain aku mas, kamu tahu kan mas kalau aku ga bisa maafkan kamu kalau itu menyangkut perselingkuhan . Kamu kenapa sih mas, kalau kamu bosan sama aku bilang bukan cari yang baru di luar sana. Tekad aku udah bulat mas, aku mau cerai. “teriak ibuku lalu meninggalkan ayahku sendirian di dapur.

Sedangkan aku? Rasanya lutut ku lemas aku tidak sanggup berdiri, kata-kata ayah tadi sangat menusuk ke hatiku. Aku tidak habis pikir ayah selingkuh sama tante rita. Apa tadi?

Perceraian tidak ada satu pun terlintas di benakku kalau orangtuaku akan bercerai. Selama ini hubungan mereka berdua baik-baik saja namun, ternyata ayah menutupi kebohongan ini selama 12 tahun lamanya. Berarti perselingkuhan itu terjadi saat aku berumur 5 tahun.

Kacau, semuanya kacau kalau mereka bercerai aku harus ikut sama siapa. Aku tidak bisa memilih di antara keduanya. Aku melihat ibu menyeret kopernya, lantas aku berlari turun mengejar ibu.

“Ibuuu, bu jangan pergi. siapa yang temani aku sama aldi kalau ibu pergi, ibu juga harus pikirin aku sama aldi . “ dengan berderai air mata aku berusaha menahan ibuku agar tidak pergi. “ yah tahan ibu dong jangan diam aja disitu.”

“Maafin ibu nak, ibu ga bisa tinggal disini. Setelah ibu urus perceraian ibu dengan ayah kamu, ibu pasti balik lagi buat ambil kamu dengan adik kamu.”

“Jangan na, biar aku aja yang pergi. Aku yang salah kamu ga seharusnya pergi kasihan caca dan aldi kalau kamu ga ada.”

“Kasihan? Waktu kamu selingkuh kamu ga mikirin aku dan anak-anak kamu mas, jangan main api kalau kamu ga mau terbakar.” Ibuku meninggalkan kami berdua. Aku menangis sejadi-jadinya.

“ Ini semua gara-gara ayah, ayah egois tahu gak, ayah ga mikirin perasaan ibu,aku dan aldi saat tahu ayah selingkuh. Ayah cuma mikirin kesenangan Ayah doang.” Teriakku.

“Maafin ayah nak.”

“Maaf? Maaf ayah bilang, maaf ga bisa balikin ini semua yah.”

Aku lari masuk ke kamarku. Aku tak menyangka ini semua terjadi, duniaku sudah runtuh hatiku kacau. Rasanya aku mau mati saja. Aku tidak habis pikir kenapa ayah bisa selingkuh. Aku gatau harus ngomong apalagi, pikiranku blank. Tidak lama adikku pulang dari rumah temannya dan ia langsung masuk ke kamarku.

“Kamu kenapa kak? ibu mana ayah juga?” aku yang mendengar pertanyaan adikku lantas memeluknya. “ibu udah pergi dek, ibu ninggalin kita dan ayah mungkin pergi kerumah tante rita.”

“Tapi kenapa kak? “

“Ayah selingkuh sama tante rita dek, dan mereka berdua mau bercerai.” Kamu yang sabar kita pasti bisa lewati ini semua.” Ucapku menguatkan adikku yang saat itu mulai menangis.

Hari itu tiba, hari dimana orangtuaku tak bersama lagi dimana aku dan adikku harus memilih ikut sama siapa. Itu adalah pilihan yang sulit, dan aku berdua sepakat untuk tidak memilih mereka berdua dan lebih memilih untuk tinggal di rumah dulu. Rumah dimana mereka masih bersama.

Mereka berdua kaget akan pilihanku, mereka tak setuju namun aku tetap kekeh untuk tetap tinggal dirumah kami yang dulu dan tidak akan ikut sama mereka berdua. Aku dan adikku pun meninggalkan mereka berdua dan kembali ke rumah kami yang dulu.

Sesampainya di rumah, hatiku hancur berkeping-keping rumah tak sehangat dulu, semuanya sudah hancur tidak ada lagi canda tawa dari mereka berdua yang biasa aku dengar. Mereka sudah memilih jalannya masing-masing begitu pun aku dan adikku.

Hanya kenangan yang tersisa, kenangan dimana orangtuaku masih harmonis. Tidak ada lagi ayah yang memgantarku ke sekolah begitupun dengan ibu yang selalu buatkan aku makanan. Aku harus kuat, agar aku bisa menguatkan adik aku. Ini semua sudah takdir mau tidak mau aku harus menjalaninya.

Sebuah karya cerpen berjudul ‘Mengapa Semua Terjadi’ oleh A. Wulandari Azzahra yang diperlombakan dalam lomba menulis cerpen fajar pendidikan

Sehelai Pilu Memeluk Temaram Yang Redup

0

“Mak, lilinnya jangan ditiup, Gana. Takut gelap,” rengek Gana. Ia terbangun karena merasa suasana rumahnya semakin gelap. Sambil mengucek mata. Ia melihat ibunya mendekati lilin yang semakin pendek di atas tutup kaleng bekas.

Kala sunyi beralas temaram, remang mengalun sepi. Mengantarkan anak-anak pulang pada malamnya. Iringan suara jangkrik bagai symphony alunan musik syahdu mengusik keheningan. Mak Lasti masih terjaga menyiapkan masakan untuk ia jual pagi hari.

“Enggak, le … ini lilinnya mau Mak ganti dengan yang baru,” terang Mak Lastri, ia membawa lilin yang masih utuh.

Gana berdiri sempoyongan menuju Mak Lastri yang duduk di ambang pintu.

“Mak, ini sampai kapan, listrik di rumah padam?” Gana kemudian tidur di pangkuan Mak Lastri.

“Sabar, ya, le … ini Mak juga masih cari tambahan uang untuk bayar listrik dan kebutuhan hidup kita nanti,” jelas Mak Lastri dengan mengusap punggun Gana supaya kembali terlelap.

Matanya berderai melihat keadaan anaknya yang kian hari semakin mengurus, masa mudanya nelangsa, dihabiskan dengan hidup yang serba kurang. Suaminya juga tidak pulang- pulang selama lima tahun, alasannya merantau untuk menambah tambahan membeli sembako.

Namun, hingga kini Pak Bahrul belum pulang juga. Kehidupannya semakin runyam, saat Mak Lastri bekerja di pabrik dan karena pandemi. Pabriknya harus gulung tikar, ia bersama buruh yang lain harus dipulangkan dan diberikan pesangon.

Mak Lastri meneroka usaha pecel lele keliling. Meskipun masih merintis dagangannya, laku tidak laku tetap ia jalani. Ia juga hutang ke rentenir untuk menutupi kebutuhan sehari- harinya.

Setiap hari dekolektor datang menagih, Mak Lastri hanya bisa membayar dengan janji- janji yang hingga akhirnya bunga peminjaman lebih banyak dari hutang sebelumnya. Kejadian tersebut membuat Mak Lastri kenyang dengan omelan dan gertakan dari dekolektor yang berbadan besar dengan wajah yang bengis itu.

Bertahan hidup selama pendemi di ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-76. Orang-orang seperti Mak Lastri harus bertahan. Hidupnya seperti terombang-ambing, mengikuti aturan pemerintah yang tak jelas ini mau dibawa ke mana.

Perpanjangan PPKM dan lain sebagainya mencapai babak yang memaksa Mak Lastri harus lapang dada menerima cobaan dari Allah. Hidup di masa pandemi hingga saat ini, seperti kalangan Mak Lastri yang hidup susah semakin susah, lain halnya dengan mereka yang duduk di perkantoran yang semakin berjaya.

Kita memang diharuskan untuk tetap berkerja di rumah, tetapi bagaimana mereka yang harus berkerja di luar rumah dan berkeliling dari gang ke gang, dan jam saja dibatasi? Bertahan hidup pada era sekarang, seolah untuk hidup saja tak segan, mati tak mau. Saat semangat Mak Lastri surut, ranum indah senyum Gana seolah amunisi untuk semangatnya.

***

Hari kemerdekaan kurang seminggu, orang-orang bersemangat memasang bendera di tiang depan rumah. Sang saka merah putih meliuk di terpa sarayu, warnanya elok amat indah dilihat mata. Semua orang menyambut baik hari-hari kemerdekaan banyak harap yang tertanam di dalam hati para kaum minoritas.

Lain halnya dengan Mak Lastri, rumahnya tak ada bendera merah putih. Semua orang bergunjing di belakang Mak Lastri perihal ia tak memasang bendera depan rumahnya.

He, delok to Lastri ora masang bendera gae meringati Agustusan,” bisik Mak Tonah, terlihat sinis menatap pekarangan rumah Mak Lastri.

Walah, Lastri iki ora menyambut hari kemerdekaan ancene, ora menghargai pahlawan seng gugur demi kemerdekaan iki,” sindir Bu Yanti. Menambah panas berbincangan mereka.

Mereka yang berkerumun mengitari penjual sayur keliling. Sangat asik menggunjing Mak Lastri.

Wes to Mbak yu … wong perkoro gendero wae lo, gae bakasan. Bee Lastri kui ora duwe gendero,” sela Bu Wiwit menengahi perghibahan mereka.

Dari balik pintu Mak Lastri mendengar ucapan mereka, rasanya sangat sesak. Perihal bendera saja ia dibicarakan tetangganya. Mak Lastri kemudian mencari bendera di laci lemari kayunya. Bendera yang lusuh, warna sedikit pudar, dan sudah tidak layak untuk dikibarkan depan rumah.

Matanya perih, menahan debit air yang menggenangi pelupuk matanya. Mak Lastri memeluk erat bendera lusuh itu dan mulai menjahit dengan beberapa kain perca bekas ibu-ibu penjahit kampungnya.

“Mak, sedang apa?” tanya Gana, yang muncul dari belakang Mak Lastri.

“Mak lagi jahit bendera buat dipasang depan rumah,” jawab Mak Lastri. Ia menjahit dengan rapi dan teliti, supaya kain bekasnya tidak terlihat jika benderanya ditambal.

“Mak, kita enggak bisa, ya. Beli bendera baru?” ucap Gana tiba-tiba yang langsung menusuk relung hati Mak Lastri.

Mak Lastri terdiam, tangannya lemas, dan pikirannya kacau. Hatinya bergeming apakah mereka se-mlarat itu hingga membeli bendera saja tidak mampu. Hatinya berdebat mengenai hal itu. Perkara yang kecil tetapi jika dipikir-pikir bisa mengacaukan pikiran.

“Uangnya buat beli makan saja, le … ini Mak jago banget bisa menyihir bendera yang lusuh jadi baru,” bujuk Mak Lastri.

“Iya, Mak. Mak hebat banget, Gana bangga jadi anak Mak, bisa sihir bendera ini jadi baru,” ucap Gana tulus dari hatinya, wajahnya yang polos dan mata menunjukkan kejujuran.

Mak Lastri memeluk erat tubuh kurus anakknya. Perutnya mengecil seperti kekurangan asupan makanan. Semakin erat tangan Mak Lastri, ketika air matanya tumpah ruah di pipi hingga membasahi pundak Gana.

“Mak, jangan nangis, nanti Gana kalau sudah besar. Nanti Gana belikan bendera yang baru dan hutang Mak Gana yang bayar semua.”

Mendengar hal itu Mak Lastri hanya bisa menangis. Pikirnya bagaimana bisa anak sekecil itu memikirkan hal yang tidak ia sangak-sangka.

***

Malam hari Mak Lastri terbangun ketika mendengar Gana batuk-batuk, tubuhnya yang panas tinggi, dan hidungnya mengeluarkan cairan hitam kemerahan kental. Mak Lastri langsung panik, ia mengompres Gana dengan handuk dan air hangat. Ternyata hal tersebut tidak membuahkan hasil.

Gana menangis kesakitan, Mak Lastri menggendong tubuh kecil Gana dan mencari klinik yang masih buka. Semua menolak dengan alasan kliniknya sudah full dan tidak menerima pasien lagi. Mak Lastri sempoyongan menggendong Gana dengan berlari berpindah dari satu klinik ke puskesmas terdekat. Tidak ada yang membantu Mak Lastri.

Pencarian Mak Lastri berakhir di puskesmas dekat dengan perumahan, ia sampai jatuh di lobbi dekat pintu masuk karena kelelahan, ia menangis memohon untuk merawat anaknya yang sudah lemas. Perawat langsung membawa Gana yang sudah tidak sadarkan diri ke ruang IGD.

Setelah menunggu beberapa menit kemudian, dokter menemui Mak Lastri untuk memberikan kabar duka. Gana anak semata wayangnya meninggal di perjalanan menuju puskesmas. Kaki Mak Lastri lemas, ia terbanting di atas lantai puskesmas. Matanya kosong dan hanya perkataan dokter mengusik pikirannya, seolah ucapan dokter tersebut berulang- ulang di telinganya. Tak ada lagi air mata, sepertinya stok air mata kering sudah ia kuras.

Esok harinya, orang-orang berduyun-duyun menuju rumah Mak Lastri. Kali ini bukan bendera merah-putih yang berkibar melainkan bendera kuning tanda kematian. Lantunan ayat suci Al-Quran berkumandang di dekat jenazah Gana kecil, semua orang ikut mendoakan kepergian jagoan kecil Mak Lastri. Kerabat dekat berdatangan ikut bela sungkawa, atas kepergian Gana untuk selamanya.

***

Kematian adalah sebuah rahasia yang Allah berikan kepada kita. Apa saja yang kita lalui sekarang hanya ujian, bagaimana bentuk ketakwaan kita pada Tuhan seluruh alam.

TAMAT

Sebuah karya cerpen berjudul ‘Sehelai Pilu Memeluk Temaram Yang Redup’ oleh Khirza Fahira Ariftama yang diperlombakan dalam lomba menulis cerpen majalah fajar pendidikan.