Beranda blog Halaman 2597

Penjual Gorengan di Pagi Hari

0

Pagi masih belum pergi. Di usiaku sekarang, aku sudah menginjak umur tujuh belas tahun, sepuluh jam yang lalu, usia yang sangat matang di masa remaja. Kamar ini sudah rapi, yang sebelumnya berantakan seperti kapal pecah. Memang ada yang usil di kala seperti ini dengan menghamburkan semua barangku di semua penjuru.

“Adik, ayo isi perut bersama!” pemuda usil berwajah tentram muncul di ambang pintu, ditambah dengan senyuman manis terukir dengan jelas. Aku hanya mengangguk seraya membalas senyumannya. Kata mama, senyuman bisa menenangkan jiwa.

Ada kalanya orang yang hendak berbuat kejahatan, urung karena senyuman. Ada kalanya orang yang murung, tiba-tiba lenyap karena senyuman. Dengan senyuman hari menjadi lebih indah. Apalagi pemberian yang paling murah adalah senyuman, bukan?

Langkah kaki menggema setelah perkataan itu usai. Dua pasang kaki yang berirama menapaki petak demi petak lantai biru hingga terganti dengan rerumputan hijau yang menawan. Tempat dimana kami selalu berkumpul.

Zona kebahagiaan mulai terdengar. Didukung dengan kicauan burung menyanyi. Pemuda yang menjemputku tadi duduk di antara laki-laki yang raut wajahnya menandakan umur empat puluh tahunan dan perempuan cantik yang usianya tak jauh dari sang laki-laki. Senyuman mereka masih mengembang di antara makanan yang tersaji di depan mereka. Suasana ini benar-benar membahagiakan.

Tanpa dipandu, aku berhambur ke arah mereka. Mereka yang luar biasa selama tujuh belas tahun silam. Aku sangat bahagia memiliki mereka, mereka yang selalu menyayangiku, menjagaku, yang khawatir akan keadaanku. Rasanya mereka mengorbankan semuanya, ya … semuanya. Tujuh belas tahun yang sempurna. Apalagi dilengkapi dengan pemuda tadi, dia kakak terbaik.

“Ayo! Adek sudah lapar,” rengekku. Mereka langsung menandatanganinya dengan cepat. Beraneka ragam makanan yang tersajikan siap dilahap dengan penuh syukur. Ini masakan mama yang mengalahkan masakan restoran mana pun di dunia.

“Sayurnya dimakan, Sayang,” kata mama menyuguhkan sayur berkuah padaku dan Kak Re.

“Papa mau juga dong.” Suara baritonnya terdengar jelas.

Tentang mama, dia sangat penyayang, dan paling sabar. Dia selalu sigap dengan pekerjaan rumahnya. Sekali-kali aku membantunya memasak, atau pun mencuci. Mama juga yang selalu membuat kita tersenyum di setiap harinya. Tidak apa-apa, Sayang, kata itu yang selalu keluar dari mulutnya meski dirinya lelah. Dia adalah perempuan terhebat yang pernah aku kenal.

Pernah suatu ketika, saat aku hendak ingin pergi membeli buku tentang matematika, aku mengajak mama untuk menemaniku karena papa dan kakak tidak ada di rumah. Mama mengangguk dan langsung bangkit dari tempat tidurnya. Padahal dia sangat lelah atau bahkan pusing, tapi aku menyadari hal seperti  itu ketika mama sudah berbaring lagi di tempat tidurnya, kulitnya memerah karena panas. Aku panik dan langsung menelepon papa agar cepat pulang dari kantornya.

Tentang papa, meskipun terkesan cuek, aku yakin dia sangat perhatian pada kami. Papa selalu memberikan yang terbaik buat kami. Selalu memberi semangat hingga kami tak pernah patah semangat. Selalu memberi kejutan yang luar biasa di hari yang tak terduga.

Apalagi punggung papa sangat kuat menahan segala beban. Sangat bijaksana apalagi terkait dengan mana yang salah dan mana yang benar. Sangat sigap ketika ada permasalahan yang harus diselesaikan. Intinya papa adalah laki-laki terhebat yang pernah aku kenal.

Mataku beralih pada pemuda yang masih berumur delapan belas tahun. Biasanya aku memanggilnya Kak Re. Jika semua orang di rumah ini menyayangiku dengan perhatiannya, Dia tidak. Dia sangat menyebalkan. Meski seperti itu, Kak Re sering membelikanku apa yang aku mau. Sering mengajariku akan pelajaran yang tidak kumengerti.

Apalagi soal Bahasa Indonesia, dia jagonya. Dan dia adalah orang yang selalu mencariku jika kehadiranku tidak ditemukan. Aku rasa kami keluarga paling bahagia sedunia. Ya … seperti saat ini, saat kami sudah selesai makan. Kak Re malah mengotori pipiku dengan bumbu merah sisa ikan tadi. Tanpa merasa bersalah dia malah menjewer ke arahku.

Tiba-tiba bangunan kebahagiaan yang dibangun hari ini benar-benar runtuh dalam sekejap. Kau tahu, mama yang paling penyayang tiba-tiba mengucapkan kalimat ini dengan lirih. Seraya tangannya memegang tanganku. “Sayang, kau sebenarnya bukan bagian dari kami. Kau harus tahu perihal itu. Kau sudah besar, Sayang.

Kami menemukanmu di depan rumah, bayi mungil itu menangis mencari perlindungan, untung kakakmu sangat baik mengatakan pada mama kalau ada adik baru di luar sana. Tapi percayalah, kami sangat menyayangimu, sangat. Jadi jangan bersedih hati, kau sudah kami anggap sebagian dari kami sejak tujuh belas tahun silam.” suasana menjadi mendung seketika.

Kata-kata yang meleburkan hati yang bahagia. Tidak, aku tidak boleh bersedih. Aku harus tersenyum di depan mereka. Sekarang mereka memelukku erat, sangat erat. Aku merasakan bahwa mereka menyalurkan rasa kasih sayang kepadaku dengan tulus. Pantas saja, semua orang bilang bahwa aku tidak ada kemiripan sama sekali dengan mereka.

Mereka yang memiliki hidung pesek, aku tidak. Mereka yang memiliki mata lebar, aku tidak. Mereka yang suka daging, aku tidak. Ah … Aku kira selama ini kemiripanku sama dengan nenekku dulu. Yang memang sejak lahir tidak aku jumpai di dunia ini.

Sudahlah, mungkin nanti malam aku akan menangis sepuas-puasnya di balik selimut. Tak lupa aku harus mengunci pintu agar tidak ada yang tahu bahwa aku menangis. Sekarang aku harus membuat mereka bahagia. Aku harus tersenyum.

Mereka sang malaikat dari Tuhan yang begitu baik. Aku yang bukan bagian dari mereka sendiri, merasa seperti bagian dari mereka. Apalagi mama. Sangat romantis, nyaman dan syahdu. Aku tak tahu harus mengungkapkan seperti apa. Bagaimana dengan Kak Re yang memang bagian dari mereka?

Tiba-tiba perempuan yang raut wajahnya mulai berkeriput datang sekonyong-konyong. Menyihir suasana menjadi sunyi seketika dan membuat kami melepaskan pelukan yang syahdu di pagi hari ini. Bajunya yang sederhana dan rambut panjangnya terikat menjadi satu di belakang kepalanya. Sekarang raut wajahnya dipenuhi rasa penyesalan.

Meski begitu, guratan kecantikannya masih nampak meski belum mengalahkan kecantikan mama. Kami kenal perempuan itu. Ada apakah gerangan? Apakah gorengan yang kita pesan telah habis?

“Maafkan saya.” tubuhnya menunduk menghampiri kami, lebih tepatnya disampingku. Matanya yang berlinang sedang menatapku dalam, hingga aku tak bisa bergerak dan berkata- kata. Aroma gorengan tercium menyeruak dari tubuhnya. Kenapa Bu Maya? Kenapa dia seperti ini? Tanpa dipandu, dia memelukku hangat, sangat hangat. Menyembuhkan luka yang baru datang menghilang seketika.

Kami mengenal wanita ini dengan sebutan Bu Maya. Dia wanita baik dan ramah. Ketika kami membeli gorengan di rumahnya, pasti dia memberikan bonus, bahkan gratis. Suaminya bekerja sebagai buruh tani.

Anaknya masih seumuran anak kelas tiga SD. Pastilah anaknya itu yang sering mengunjungi rumah kami hanya sekedar memberikan sebungkus gorengan. Sekarang, entahlah kenapa dia memelukku seperti ini.

“Bukannya ibumu tak sayang padamu, Nak. Tapi, dia tak ingin kamu nelangsa. Bukannya ibumu tak cinta padamu, Nak. Tapi, dia tak ingin kamu menderita. Ibumu hanya ingin kau bahagia. Ibumu hanya ingin kau ceria. Jangan bersedih, Nak. Jangan kecewa. Jangan kau membenci cerita ini, semuanya sudah berlalu. Janji, Nak. Tetap sayangi ibumu. Ibumu hanya memikirkan yang terbaik untukmu.”

Perkataan panjang Bu Maya membuatku lemah tak berdaya. Semula aku ingin menahan kesedihanku, untuk ini, tidak! Air mata telah keluar sederas-derasnya, menggugu. Semuanya menangis, semuanya meratapi, merenungi. Bahuku pun basah oleh air mata. Pelukan hangat semakin erat. Hari ini benar-benar basah oleh air mata.

***

Hari semakin pudar. Setelah satu minggu berlalu, hatiku telah tenang setelah kisah yang sesungguhnya diungkapkan. Hari masih pagi. Sebuah rumah sederhana tepat tiga meter di depan rumahku telah kupandangi sejak lima belas menit yang lalu. Aku ingin berkunjung ke rumah itu. Rumah yang selalu aku kunjungi ketika ingin membeli gorengan. Pelan-pelan kakiku melangkah. Pintu yang selalu terbuka segera kumasuki. Aroma gorengan menyeruak masuk ke dinding hidung, mungkin Bu Maya lagi menggoreng gorengan baru.

Tepat di ruang utama. Sambutan hangat terlihat dari kedua matanya yang berbinar. Senyumnya yang merekah. Kulitnya yang tak segar lagi. Kakinya yang tidak berfungsi lagi. Membuat dirinya harus tetap duduk di kursi kayu yang mulai melepuh. Aku berlari lalu memeluknya hangat, menangis tersedu-sedu, dia pun ikut menangis. Tangannya mengelus pundakku pelan. Namanya Nazalah, nama yang bagus.

“Maafkan Ibu, Sayang,” ucapannya yang serak masih terulang-ulang. Kata menenangkan yang keluar deras dari bibirnya. Dia yang tak pernah aku panggil Ibu. Dia yang tak pernah aku peluk. Dia yang tak pernah aku cium tangannya. Dia yang tak pernah aku perhatikan. Dia yang tak pernah aku rawat di kala sakit seperti ini. Aku tak bisa berkata-kata lagi.

Selama ini, aku mengetahuinya sebagai penghuni rumah ini, salah satu saudara Bu Maya, sang penjual gorengan. Selama ini, aku tahu bahwa dia yang selalu tersenyum ketika aku membeli gorengan. Dia yang selalu menatapku dengan mata berbinar ketika aku melewati rumah ini. Dia yang selalu memberiku gorengan ketika aku berangkat sekolah. Dia yang selalu menyapaku ketika datang bermain.

Dulu, saat aku masih berumur sepuluh tahun. Aku berlari-lari tanpa memperhatikan sekitar, hingga sepeda berwarna biru menyerempetku membuatku terjatuh dan meninggalkan luka di kedua sikuku. Aku meringis seketika kemudian terdengar dari kejauhan seseorang menangis.

Dan aku melihatnya, orang itu adalah wanita yang selalu duduk di kursi itu. Matanya basah oleh air mata, seraya mulutnya memanggil nama Maya. Untung Kak Re datang untuk memapahku masuk ke rumah sebelum Bu Maya menghampiriku. Dan aku selalu bertanya, kenapa dengan wanita itu? Apa yang terjadi dengannya?

“Aku sayang Ibu,” hanya kata itu yang benar-benar lolos dari mulut kakuku, kata yang membuat semua orang menaruh rasa kepercayaan besar terhadap orang yang mengucapkan. Aku akan menjaga kepercayaan seorang ibu yang baru aku kenali. Aku akan menjadi anak yang baik dan berbakti untuknya, hanya untuknya.

“Ibu juga sayang padamu, Nak. Kau bahagia kan?”

Kemudian, aku merasakan dia melemas dan beban tubuhnya bertumpu padaku. Aku melepaskan pelukannya dan melihat apa yang terjadi. Mata sayunya memejam hangat. “Ibu. !”

Sebuah karya cerpen berjudul ‘Penjual Gorengan di Pagi Hari’ oleh Rizka Laili Ramadhan yang diperlombakan dalam lomba menulis cerpen fajar pendidikan

Juang

0

Aku masih ingat keributan yang terjadi beberapa detik setelah lonceng peringatan bergema. Bagiku itu bukan hanya sekedar lonceng biasa, namun mimpi buruk yang menjadi kenyataan.

Mimpi buruk yang membuat para rakyat berhamburan ketakutan di sepanjang jalanan, mencari perlindungan dari para pejuang. Satu-satunya hal yang dipikirkan para manusia saat itu, hanyalah berlari dan berlari. Bunyi pesawat tempur membuat bagaskara seolah tak berarti karena yang terukir di mata kami saat itu, hanyalah bumantara yang temaram.

“DUUAAAAARRR….DUUAAARRRRR…DUUAAARRRR”

Ledakan demi ledakan terus bergulir dan membuat telinga ini mendengung. Para penjajah mulai menyerang, merasa bahwa mereka yang paling berkuasa, merasa bahwa merekalah yang paling kuat, padahal perjuangan yang berat dan penuh tantangan dihadapi bangsa ini dengan berani. Tiada kata menyerah, sampai kemerdekaan itu menjadi milik kita.

Di setiap sudut tempat hanya ada darah, darah dan darah, diikuti oleh tulang-tulang yang berhamburan dan semua itu dilakukan demi kebebasan yang kami ingin dapatkan secara mati- matian. Sakit dalam perjuangan itu hanya sementara. Namun jika menyerah, rasa sakit itu akan terasa selamanya.

Yang lengah akan tertinggal namun sebaliknya, melarikan diri tidak akan menentukan keselamatan kalian. Karena derap langkah pasukan itu akan terus terdengar, dimanapun kalian berada. Yang tertangkap akan mendapat siksaan neraka dunia entah di jemur dibawah terik sinar matahari sampai terbakar hidup-hidup mereka bahkan tidak segan untuk menyiksa seorang anak yang bahkan belum mahir berbicara dengan menguliti tubuhnya yang suci.

Para pasukan itu berpostur tegak dan memiliki kulit pucat, berwajah dingin dan kosong layaknya hantu. Namun, sepertinya perbuatan yang mereka lakukan, 2 kali lipat lebih menyeramkan dari para hantu yang ada, karena mereka akan menyiksa siapapun yang berada di hadapan mereka. Apalagi, yang mencoba membantah perintah mereka.

Kala itu, aku dan ibu berhasil melarikan diri masuk ke dalam sebuah jenggala yang tidak jauh dari perkampungan. Di sana, kami disambut oleh suasana yang begitu sunyi. Suara yang terdengar saat itu hanyalah suara dersik ilalang yang diiringi oleh derik jangkrik, bayangan rembulan yang terbentuk di genangan air malam itu sangat elok untuk dipandang, sekalipun keindahan itu tidak akan bisa mengobati kegundahan hatiku.

Dor! dor! dor! Seorang tentara, melepaskan tembakan secara masal. Rasa panik yang kami rasakan tentu bukan main. Awalnya, kami mencoba bersembunyi di balik pohon besar, namun semakin lama, suara tank tempur mulai terdengar, membuat kami terpaksa melanjuti perjalanan, mengikuti gemintang yang menghiasi langit redum malam itu secara sumarah.

Berjalan cepat tanpa menghasilkan suara langkahan tentu membuat kami letih. Namun, rasa gulana yang kami rasakan, seolah-olah terbayarkan setelah kami melihat siluet sebuah pilau terambang yang terlihat di tepi pantai. Pilau tersebut tak berpenghuni, maupun dimiliki dan hal itu tentu menumbuhkan sepotong harapan kecil untuk melarikan diri dari kota yang sudah tidak layak ditinggali. Dengan cepat kami berlari menuju pilau tersebut, walaupun begitu usaha kami gagal.

DOR!

Sebuah tembakan mengenai ulu hati ibu. Di momen itu, dunia seolah berhenti, sesaat setelah diriku menyadari bahwa sosok malaikat tanpa sayapku, telah pergi untuk selama-lamanya.

“Ibu! Bangun bu! Ibu harus kuat,” ucapku memohon-mohon. Air mataku, mulai turun membasahi pipi, masih belum bisa menerima kenyataan bahwa peluang ibu untuk hidup sangatlah kecil. Dan dugaanku benar,

“Tidak nak, kamu yang harus kuat. Perjuangkan negeri ini, sampai merdeka,” itulah pesan terakhir beliau, sebelum akhirnya ia menghembuskan nafas terakhirnya.

Ibu, asal kau tidak tahu. Pergimu tak sendiri, karena saat matamu tertutup damai, engkau membawa hati serta jiwaku bersamamu. Meninggalkanku dengan sejuta perasaan, yang bahkan belum sempat aku ucapkan. Murni, teduh, dan lembut. Itulah hati terbaik yang pernah diciptakan Tuhan dan itu semua adalah hatimu bu. Sekarang aku tahu mengapa engkau selalu memintaku untuk menjadi anak yang kuat, karena engkau sudah tahu, bahwa aku harus mempunyai kekuatan, serta keikhlasan diriku untuk menanggung kepergianmu. Terimakasih Tuhan telah menitipkanku terhadap malaikatmu yang kusebut dengan panggilan “ibu”. Kini giliranku untuk mewujudkan harapan terbesarnya, yaitu melihat hari dimana Indonesia berhasil meraih kemerdekaan.

Aku belum hidup dalam sinar bulan purnama, aku masih hidup di masa pancaroba. Nyawa ibu bukan direnggut oleh Tuhan, melainkan diambil secara paksa oleh para tentara itu. Kesedihan, rasa marah, serta kecewa menggumpal menjadi satu, membuat semangat perjuanganku berkobar setelah sekian lamanya, terkubur di balik pelukan ibu.

Aku tidak berlari menghampiri pilau itu, aku malah berputar balik dengan sebuah bambu runcing yang kupungut di tanah. Semangatku begitu berapi-api dan tentu saja berstrategi. Tekadku sudah bulat, entah seburuk apa takdir yang akan menanti, aku sudah tidak mempedulikannya lagi. Aku akan melakukannya demi kemerdekaan. Jika aku tidak dapat melawan kematian, aku harus meyakinkan diriku bahwa aku dapat melawan para penjajah itu.

Perlahan-lahan aku mengendap-endap, memasuki salah satu tenda yang didirikan oleh tentara-tentara itu. Seketika, suasana menjadi begitu mencekam, wajar saja tindakan yang diriku lakukan akan mengarahkan antara hidup dan mati.

Kematian adalah hal yang menyakitkan, namun bukankah jauh lebih menyakitkan untuk melihat masa depan negeriku tercinta terus tersiksa. Aku bisa melihat beberapa wajah tentara yang sedang berjaga. Melihat mereka, sejenak aku teringat ibu. Semakin membara emosiku

Heb je het gehoord? is dat niet het geluid van iemands voetstappen?”

“Apakah kamu mendengarnya? bukankah itu suara langkah kaki seseorang?” tanya salah satu dari tentara tersebut. Tidak mendengar hal yang sama, temannya hanya menatapnya bingung lalu pergi meninggalkannya begitu saja.

“Inilah saatnya!” Merasa ada celah, dengan cepat diriku langsung menancapkan bambu runcing tersebut tepat di ulu hatinya, membalas perbuatan yang ia lakukan terhadap ibuku. Nyawa dibayar dengan nyawa, itulah yang selalu mereka katakan bukan?

Berhasil! aku membatin gembira. Memang benar kata orang, kita terkadang suka lupa dengan Tuhan di saat hasrat mengelilingi kita. Alih-alih berterimakasih kepadaNya, aku malah mengejek tentara yang jelas-jelas sudah tak bernyawa dan tanpa kusadari sebuah tembakan mengenai kaki kananku.

Dengan perasaan panik, aku memaksa kakiku untuk berlari, membawa tubuhku menjauh dari markas tersebut. Aku tak lagi memikirkan kakiku yang pincang ini. Darah yang terus mencuat dan meninggalkan jejak mengikuti kemana aku berlari. Isi kepalaku hanya tentang berlari, lari dan lari.

Walaupun pada akhirnya, lagi-lagi aku tidak menyadari bahwa besi panas berhasil menembus dadaku. Tuhan memutuskan untuk mengakhiri perjuanganku di hari itu. Tuhan lebih ingin diriku tenang, daripada merasakan dendam yang terus berlanjut. Tuhan lebih tahu, mana yang terbaik bagiku, bagi para pejuang tanah air lainnya, juga bagi ibu.

 

Sebuah karya cerpen berjudul ‘Juang’ oleh Raisa Khalisa yang diperlombakan dalam lomba menulis cerpen fajar pendidikan

PERCAKAPAN SATU MALAM YANG PENTING

0

Setiap pagi, warga Desa Lobuk selalu disibukkan dengan berbagai macam kegiatan. Ada yang sibuk mengajar di sekolah, sibuk menjaring ikan di laut, sibuk membuka toko di pasar, dan masih banyak lagi kesibukan warga yang lainnya. Di antara mereka seolah-olah tidak ada waktu untuk duduk bersama dan bercerita panjang lebar tentang banyak hal.

Untungnya, keakraban warga sekitar masih terjaga dengan adanya salam-sapa singkat saat berpapasan di jalan. Entah itu yang lebih muda menyapa duluan, ataupun sebaliknya. Hal ini menjadi bukti bahwa hal kecil seperti sapaan singkat menjadi sangat penting untuk menjaga kerukunan antar sesama. Termasuk seperti yang dilakukan oleh Pak Hasan. Seorang wiraswasta yang membuka toko baju di dekat rumahnya.

“Mau berangkat ngajar Pak?” Tanya Pak Hasan yang sebenarnya sudah tahu jawabannya apa. “Iya Pak, lewat ya, Pak” jawab Pak Bambang dengan senyum ramah.

“Monggo, Pak” balas Pak Hasan dengan senyum yang tak kalah ramah.

Setelah Pak Bambang menghilang dari pandangan, Pak Hasan masuk ke tokonya. Membuka Hp dan membaca berita di beberapa media. Kasus yang paling banyak meningkat di berbagai daerah adalah pemerkosaan dan pelecehan seksual terhadap anak usia dini. Beberapa pelaku sudah tertangkap. Dan yang lainnya masih proses pencarian dan penyelidikan. Pak Hasan yang membaca berita itu langsung teringat pada anaknya yang masih kecil, namanya Noura.

Tak lama dari itu, jam sudah menunjukkan pukul sepuluh. Waktunya Pak Hasan menjemput anaknya di Taman Kanak-Kanak (TK). Sebuah sekolah untuk anak kecil yang mengajari pelajaran-pelajaran ringan sambil bermain. Di sana Noura bisa bertemu dengan teman-teman sebayanya. Ini masih satu tahun pertama Noura di TK.

“Yah, yah, aku mau beli-beli” ucap Noura saat Pak Hasan datang dengan mata penuh harap.

Sebenarnya uang yang ada di saku Pak Hasan sedang pas-pasan. Tapi karena tak tega menatap mata Noura yang ingin sekali beli-beli, akhirnya Pak Hasan pun menuruti apa permintaan anaknya. Perihal uang gampang bisa dicari. Tapi untuk kebahagiaan anak, rasanya Pak Hasan tak bisa menolak.

Setelah belanja beberapa camilan pilihan Noura, Pak Hasan dan Noura langsung pulang. Banyak pekerjaan yang menunggu di rumah. Termasuk merawat sang istri yang sudah satu minggu terbaring di kamar.

Sesampainya di teras rumah, Pak Hasan tidak melihat satu orang pun di sekitar rumahnya. Suasana benar-benar sepi. Seperti tidak ada kehidupan bermasyarakat. Sejenak Pak Hasan melihat suasana sekitar dan menikmati angin segar. Kemudian masuk menemui istrinya yang sudah terbatuk-batuk di dalam kamar.

“Gimana keadaanmu, Dek?” Tanya Pak Hasan dengan tatapan haru.

Istrinya tak langsung menjawab. Ia kembali terbatuk dengan suara yang lebih kencang. “Lumayan mendingan, Mas” jawabnya dengan nada pelan.

Pak Hasan langsung menyiapkan obat untuk istrinya. Setelah itu lanjut memasak makan siang untuk keluarga. Keahliannya dalam memasak sudah teruji sejak berada di pondok pesantren dulu. Sehingga, Pak Hasan tak kaget lagi saat harus berhadapan dengan alat-alat dapur beserta bumbu-bumbunya.

***

Malam sudah tiba. Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Setelah menyelesaikan semua urusan istrinya, dan Noura telah dipastikan tidur pulas di kamarnya, Pak Hasan langsung pergi menuju toko pulsa milik Pak Waid. Tujuan utamanya ialah untuk sekedar mencari angin dan menenangkan pikiran dengan berbincang-bincang dengan tetangga. Biasanya, jam segini sudah banyak orang di sana.

Pak Hasan mengendarai sepeda supra warna hitam yang sudah tiga tahun menemaninya. Banyak cerita menarik yang ia lewati bersama sang supra itu. Tak sampai sepuluh menit, Pak Hasan sudah sampai di lokasi. Dan ternyata benar, di depan toko sudah banyak orang yang terdiri dari Faris, Hamdi, Waki’, Kamil, dan Waid sendiri selaku pemilik toko.

“Wah, Pak Kyai kita baru datang nih,” ucap Pak Hamdi dengan nada bergurau.

Semua anggota forum tertawa singkat. Pak Hasan langsung bergabung dan mengeluarkan satu bungkus rokok surya.

“Gimana kabar istrimu, San?” Tanya Pak Waki’ yang usianya lebih tua.

“Masih tetap sama seperti yang awal Pak. Rencana besok mau kontrol kesehatan ke puskesmas Kecamatan. Dulu setelah periksa tahap awal, masih belum ada perkembangan sampai sekarang” jawab Pak Hasan dengan santai tapi lesu.

“Nggak pernah nyobak diperiksa ke kliniknya Adi, San?” Tanya Pak Waki”

“Belum pernah Pak” jawab Pak Hasan sambil mengeluarkan satu batang rokok dari bungkusnya.

“Udah berapa lama istrinya sampean sakit, Pak?” Tanya Pak Hamdi. “Sudah satu minggu lebih Pak” jawab Pak Hasan.

“Wah, sudah lumayan lama berarti ya” sambung Waid.

Pak Waki’ mengambil nafas sejenak. Melihat suasana sekitar lalu melanjutkan perkataannya.

“Coba kamu bawa istrimu ke sana. Menurut kerabat saya, banyak orang yang cocok dan cepat sembuh setelah periksa ke sana” saran Pak Waki”

“Memang, banyak orang yang cocok kalau periksa ke Adi. Beberapa hari yang lalu, kerabat saya ada yang sakit pusing dan batuk cukup lama. Setelah menerima resep obat dari Adi dan meminumnya sesuai arahan, dua hari kemudian alhamdulillah mendingan. Sekarang sudah sembuh total” tambah Hamdi.

Faris dan Kamil hanya menjadi pendengar setia. Setelah Kamil menghidupkan rokok di mulutnya, tiba-tiba ia juga angkat bicara.

“Oh iya, teman saya dulu juga ada yang sakit. Terus periksa ke Adi, alhamdulillah cocok dan bisa sembuh” jelas Kamil sebagai pemuda paling muda di antara yang lain.

“Temenmu sakit apa?” Tanya Faris yang sudah bosan diam saja. “Nah itu, saya kurang paham” jawab Kamil singkat.

“Siapa tahu istrimu juga bisa cocok kalau periksa ke sana, San” ucap Pak Waki”

Mendengar cerita dari tetangganya, Pak Hasan semakin mantap untuk membawa istrinya kontrol kesehatan ke Adi. Meskipun tempat prakteknya cukup jauh, tapi demi kesembuhan istrinya, semua itu harus tetap dilakukan.

Pembahasan berpindah pada hal lain. Faris kemudian bercerita tentang saudaranya yang membuka toko baru di Jakarta. Menurut cerita, saudara Faris kebingungan jika harus mengelola toko itu seorang diri. Apalagi sebelumnya ia tidak mempunyai pengalaman sama sekali tentang pertokoan. Modal yang ia dapatkan untuk membangun toko itu berasal dari harta warisan.

“Mau buka toko apa di sana?” Tanya Waid yang dari tadi sibuk dengan hp barunya.

Faris tak langsung menjawab. Ia masih menyempatkan diri untuk menghisap rokok di mulutnya.

“Toko baju Om. Kebetulan ia juga dapat informasi tentang tempat kulakan baju yang murah. Jadi ia langsung ngambil banyak barang” jelas Faris.

Sejenak percakapan terhenti. Suara deru motor dan sapaan dari warga yang lewat di depan toko juga ikut meramaikan suasana.

“Oh kalau gitu, mending ngajak Pak Hasan saja. Dia kan sudah punya pengalaman dalam pertokoan. Apalagi juga sama-sama toko baju” saran Pak Waki’.

Semuanya terdiam termasuk Pak Hasan. Awalnya ia tak berpikiran sama sekali untuk menawarkan diri. Tapi setelah mendengar cerita dan peluang yang disampaikan Faris, sepertinya itu boleh dicoba. Apalagi keadaan toko di desa yang sekarang juga sedang sepi. Keadaan ekonomi sedang mepet. Siapa tahu dengan merantau ke kota, akan banyak pengalaman dan ilmu baru yang bisa diterapkan. Pikiran Pak Hasan mulai bekerja dan langsung menyimpulkan beberapa hal.

“Oh iya, nanti juga akan ada bayarannya kok. Dan sepertinya lumayan besar sih,” jelas Faris.

“Lumayan tuh, San. Selain bisa dapat pengalaman, juga bisa dapat bayaran” ucap Pak Waki yang suaranya sudah terdengar agak serat.

Pak Hasan tak langsung menjawab. Tatapannya mulai berkeliling dan pikirannya masih tetap berputar.

“Tapi kan istrinya Pak Hasan sedang sakit. Mana mungkin bisa ditinggal jauh ke Jakarta” sanggah Waid dengan mimik wajah yang menggelikan.

Pak Hasan langsung tersadar. Bahwa masih ada orang yang sangat dicintainya dalam keadaan sakit. Rasanya tak mungkin Pak Hasan meninggalkannnya sendiri hanya demi bayaran dan pengalaman.

“Ya kan nggak harus berangkat sekarang juga. Bisa beberapa hari lagi, minggu depan, atau bulan depan. Kebetulan saudara saya juga tidak keburu” jawab Faris.

“Wah, sepertinya menarik” jawab Pak Hasan yang dari tadi hanya diam memikirkan banyak hal.

“Ya sudah Pak, nanti gimana-gimananya tak kabari lagi” ucap Faris setelah menghisap rokoknya.

Pak Hasan hanya mengangguk. Tapi pikirannya kembali bekerja. Ia langsung berkesimpulan bahwa perkumpulan kecil dan yang awalnya terasa tidak penting juga ada manfaatnya. Mungkin juga itulah yang menjadi sebab kenapa Rasulullah mengajarkan bahwa salah satu cara untuk melapangkan rezeki ialah dengan silaturrahmi. Tidak perlu terlalu resmi atau hanya selepas lebaran saja. Cukup dengan ngopi santai di depan toko, di pinggir jalan, dan di malam yang indah dengan bulan yang sedang purnama. Selama perkumpulan itu tidak mengandung hal-hal yang merugikan diri sendiri atau orang lain, mengapa tidak?

Selebihnya, mereka hanya berbincang santai sambil meneguk kopi hitam yang disajikan oleh tuan rumah. Sesekali canda tawa terdengar dari salah satu mereka. Perkumpulan itu telah membuat mereka melupakan semua beban hidup yang mengganggu pikiran dan kesehatan. Hingga akhirnya jam menunujukkan pukul satu dini hari. Satu persatu anggota forum pamit undur diri. Termasuk Pak Hasan yang matanya sudah mulai memerah dan merasakan kantuk yang lumayan parah.

sebuah karya cerpen berjudul ‘PERCAKAPAN SATU MALAM YANG PENTING’ oleh M Kholilur Rohman yang diperlombakan dalam lomba cerpen fajar pendidikan

Lampu Minyak Pak Urip

0

Gelap gulita menyelimuti Desa Ciburial di malam kejora. Listrik di desa ini terpaksa harus direnggut karena masalah gardu yang tak kunjung surut sejak tiga bulan lalu. Pak Urip yang memiliki usaha lampu-lampu cantik pun gulung tikar karena listrik di Desa Ciburial sudah tak ada. Ekonomi keluarga Pak Urip kacau balau. Beruntung usaha dan tekad Pak Urip tidak berhenti sampai di situ, ia berkeliling menjual jasa lampu minyak. Warga sangat senang karena Pak Urip menerima upah seikhlasnya. Pak Urip senang karena dapat menolong warga Desa Ciburial.

Sorot lampu minyak yang dipegang Pak Urip tampak meredup. Pak Urip yakin sorot lampunya mampu menerangi rumah terakhir di ujung jalan Cendrawasih, rumah gadis kecil bernama Laisa. Tanah merah tempat Pak Urip berpijak yang merupakan lintasan ban sepeda ontelnya tampak melunak. Memang tadi hujan sempat turun, makanya pakaian Pak Urip setengah basah.

Pak Urip tinggal di gubuk tengah kebun Desa Ciburial, kecil dan rapuh. Namun, penuh dengan kasih sayang. Keluarga kecil Pak Urip sangat senang apabila Pak Urip masih membawa sisa minyak untuk lampu minyaknya. Artinya merekabisa tidur dalam keadaan remang nan syahdu.

Resah tersirat di wajah Pak Urip, ia sudah berjanji pada Resa, putrinya yang berusia tujuh tahun, untuk tidur dalam sorot lampu minyak. Sepertinya ia tak bisa menepati janjinya itu karena Laisa sudah terduduk manis di kursi kayu depan gubuknya.

“Uripak, lampu minyak Laisa, mana?” tanya Laisa sumringah.

Ibu Laisa tersenyum. “Pak Urip namanya. Ibu kan sudah sering bilang pada Laisa,” katanya.

“Biarkan Bu, namanya juga masih anak-anak,” ujar Pak Urip, menyiapkan lampu minyak untuk Laisa.

Sudah terdapat tiga buku yang hendak Laisa baca malam ini.

“Sebenarnya, Laisa sudah membuat puisi untuk lomba itu, Pak,” lapor Ibu Laisa, ia menyiapkan upah Pak Urip.

“Bagus kalau begitu. Nanti akan saya segera kirim ke pos.” Pak Urip enggan menerima upah yang diberikan oleh Ibu Laisa. “Simpan saja buat tambahan biaya pos, lagipula sorot lampunya sudah meredup.”

Ibu Laisa berterima kasih.

Laisa membaca dengan cekatan. Laisa sangatmenyukai hal berbau sastra, puisi karyanya sudah siap untuk diikutsertakan dalam Lomba Sastrawan Cilik di Jakarta. Pak Urip yang akan mengirimkannya ke pos.

“Lain kali, saya siapkan minyak lebih banyak untuk Laisa ya,” kata Pak Uripsaat Laisa sudah selesai dan berterima kasih.

“Tapi, Resa juga sangat senang dengan lampu itu, kan, Pak?”

“Tenang saja, Laisa. Bapak usahakan juga untuk sisihkan sedikit untuk Resa di rumah. Yang penting Laisa bisa terus baca dan berkarya.”

Setelahnya, Ibu Laisa menggendong Laisa masuk ke dalam rumah mereka yang hanya sepetak. Laisa lumpuh, tapi tak pernah sedetik pun mengeluh karena itu. Setiap kali ditanya orang yang baru bertemu, ia hanya menjawab, “mungkin kaki cantik Laisa sudah disiapkan di surga.”

Itu alasan mengapa Pak Urip sangat menyayangi Laisa layaknya anak sendiri, dulu ibu beliau juga lumpuh. Profesi Pak Urip hanyalah tukang lampu minyak keliling, pendapatannya tak menentu. Jika dapat Rp 25.000, Pak Urip akan beli satai padang untuk Resa dan istrinya. Namun, jika hanya Rp 15.000, ia hanya mampu membelikan satu bungkus nasi goreng untuk bertiga.

Malaikat kecilnya, Resa, tak pernah mengeluh soal menu makanan yang dibawa Pak Urip. Resa dan Laisa selalu bermain di rumah Laisa setiap siang, Laisa selalu menuliskan Resa cerita-cerita atau puisi dan itu membuat Resa senang. Lalu, Resa akan bernyanyi untuk Laisa sebagai balasan. Dua gadis kecil yang amat berarti di hidup Pak Urip.

Pak Urip sudah mengirim berkas lomba Laisa tadi sore sebelum berkeliling menjual jasa lampu minyaknya. Laisa dan ibunya berterima kasih banyak karena tanpa Pak Urip, Laisa tidak bisa mengikuti lomba tersebut. Perjalanan ke kantor pos memakan waktu dua jam lamanya, menjadi empat jam untuk kembali lagi ke rumah. Ibu Laisa tidak mampu menggendong Laisa selama itu. Sekarang, Laisa dan Ibunya hanya tinggal menunggu hasilnya.

Sore ini, awan hitam menyelimuti Desa Ciburial. Sebenarnya, istri Pak Urip sudah melarang Pak Urip untuk keliling. Tetapi Pak Urip keras kepala tetap ingin keliling.

“Kalau gelap biasanya semakin laku, Bu,” bantah Pak Urip saat istrinya melarang.

Akhirnya, Pak Urip meninggalkan rumah dengan sepeda ontelnya yang tampak penuh. Kantong kanan kiri sepeda itu dipenuhi lampu dan minyaknya. Tak lama Pak Urip meninggalkan rumah, bulir-bulir air hujan mengenai kulit kepalanya. Rasa dingin membuat tubuhnya sekilas menggeliat. Seakan tak ingin ketinggalan, petir menggelegar memenuhi pendengaran Pak Urip.Dirinya resah mencari tempat berteduh.

Dalam benaknya, ia hanya ingin melindungi sepeda ontel dengan kantung kanan kirinya yang penuh. Pak Urip berjalan tergesa-gesa tak karuan, ia tergelincir karena tanah basah yang sangat licin sekali. Terdengar suara gaduh ditengah derasnya hujan sore ini, tapi Pak Urip tak mampu untuk berteriak minta tolong.

Sementara itu, Laisa dan ibunya sampai di tempat pengumuman Lomba Sastrawan Cilik di Jakarta. Baju mereka lusuh dan setengah basah. Namun, mereka tak peduli, Laisa sangat bersemangat dan optimis akan memenangkan lombatersebut.

Sebelum berangkat, Laisa dan ibunya mampir ke rumah Pak Urip, ternyata Pak Urip belum pulang berkeliling. Karena khawatir akan semakin larut, akhirnya mereka pergi tanpa sepatah kata penyemangat dari Pak Urip.

“Ibu, perasaan Laisa kok tidak enak, ya?” tanya Laisa setelah mendapat tepat duduk di sebelah ibunya.

“Kau pasti menang, Sayang,” jawab ibunya setenang mungkin.

“Semoga saja, Bu.” Laisa tersenyum. Tapi bukan masalah kemenangan yang menghantui pikiran Laisa, melainkan Pak Urip. Segera Laisa mengusir semua pikiran kurang enak tentang dirinya.

“Juara 1 Lomba Menulis Puisi Sastrawan Cilik 2015 diberikan kepada Laisa Anitya dengan hadiah uang tunai sebesar Rp 20.000.000. Beasiswa pendidikan untuk bersekolah di sekolah pilihan di Jakarta beserta penerbitan buku sebanyak seratus salinan,” seru sang Juri di puncak acara.

Laisa menangis bahagia memeluk ibunya erat. Ibunya menangis sejadi-jadinya di pelukan Laisa. Namun, perasaan tak enak tentang Pak Urip masih menghantui Laisa. Laisa berniat membuatkan Pak Urip ruko untuk usahanya, di Jakarta sudah ada listrik. Pasti lampu-lampu akan sangat dibutuhkan oleh warga di sini. Laisa akan mengusulkan Pak Urip untuk menjual berbagai macam jenis lampu di ruko itu.

Keesokan harinya, Laisa dan ibunya segera mengunjungi rumah Pak Urip. Karena Laisa sudah bersekolah di Jakarta dan pendapatannya terus mengalir lewat buku terbitannya, maka Laisa harus meninggalkan Desa Ciburial.

“Loh kok, ada bendera kuning dimana-mana, Bu?” tanya Laisa saat perjalanan menuju rumah Pak Urip.

Resah menguasai wajah Ibu Laisa. Ia terus berjalan tanpa ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan Laisa kecilnya.

Sesampainya di rumah Pak Urip, suasananya tampak sepi tak berpenghuni.

Padahal Ibu Laisa yakin betul ada anak dan istri Pak Urip di dalam rumah. “Assalamualaikum,” seru Ibu Laisa cemas.

Tak perlu menunggu lama, istri Pak Urip membukakan pintu rumah mereka yang rapuh.

“Walaikumsalam,” jawabnya lesu.

Istri Pak Urip terlihat tak berdaya. Laisa melihat sepeda ontel Pak Urip menganggur di samping rumahnya.

“Bu, Pak Urip kemana?” tanya Laisa penasaran sekali.

Lantas istri Pak Urip menangis lara, meninggalkan beribu pertanyaan di ujung lidah Laisa dan ibunya. Resa yang bersembunyi di balik badan Ibunya angkatbicara.

“Bapak pergi, tadi Resa lihat Bapak dikubur. Kata Ibu, Bapak nggak akan pulang lagi.”

Kalimat Resa menusuk hati Laisa dan ibunya teramat dalam seperti ribuan samurai yang habis diasah. Pak Urip, sosok yang selalu ada di saat mereka membutuhkan apapun. Sosok tersabar yang pernah Laisa kenal setelah ibu dan Ayahnya.

Sosok yang rela menunggu orang lain memakai jasa lampu minyaknya, rela pulang malam demimengantri untuk beli satai padang untuk keluarganya. Sosok itu sudah pergi. Meninggalkan raga. Menuju tempat yang lebih indah yaitu surga yang diidamkan berjuta umat.

Pada akhirnya, Laisa dan ibunya tinggal bersama istri Pak Urip dan Resa di Jakarta. Ibu Laisa dan Istri Pak Urip bekerja banting tulang demi menghidupi sanak keluarga kecil mereka.

Laisa pun sudah giat bersekolah dan ia selalu mengajari Resa apa yang diajarkan di sekolah Laisa. Laisa yakin, Pak Urip akan menjaga kakicantik Laisa di surga agar Laisa dapat berlari senang di bentangan tanah surga. Laisa tersenyum sembari membayangkan wajah Pak Urip yang cerah memantulkan cahaya surga.

Sebuah karya cerpen berjudul ‘Lampu Minyak Pak Urip’ oleh Queen Oktaviani diperlombakan dalam lomba menulis cerpen fajar pendidikan

Metta

0

Pagi ini adalah pagi yang sibuk, di Jakarta Barat tepatnya banyak orang berlalu lalang kesana kemari, seperti biasa Metta gadis cantik bergigi gingsul tengah menunggu bus yang akan mengantarkannya ke sekolah. Sangat berbeda dengan saudara tirinya. Megan, gadis populer di antara para gadis di SMA GARUDA itu saat ini tengah diantar papa tirinya, ya semenjak papa Metta menikah lagi dengan mama Megan, Megan selalu berhasil untuk membuat papa membenci Metta.

Flashback 5 tahun lalu

Metta yang sangat lelah akibat ekstrakulikuler di sekolahnya sampai di depan gerbang rumahnya, sampai rumah Metta binggung kenapa ada mobil papanya di garasi rumah, dengan perasaan senang Metta masuk ke rumahnya “Assalamualaikum” salam Metta saat masuk rumahnya “Waalaikum salam” sahut penghuni rumahnya “Metta sudah pulang?” tanya papa Metta “belum pah” sahut jahil Metta “hahaha ada ada aja Metta” papa Metta tertawa.

“gimana sekolahmu Metta” tanya papa
“baik pah, Metta dapat 100 tadi di ekskul Melukis“ jawab Metta
“hebatnya anak siapa si ini” balas papa sambil mengelus rambut Metta
“anak bapak Ekooo” jawab Metta dan papanya sambil menunjuk satu sama lain dengan kedua tangan
“ hahaha” papa Metta dan Metta tertawa.

Metta memang memiliki hobi melukis sejak kecil, menurut Metta melukis dapat menghilangkan rasa rindunya terhadap mamanya yang sudah meninggal saat iya mengginjak kelas 1 SD akibat kanker otak stadium akhir, papa Metta juga sangat mendukung Metta untuk melukis, tak jarang lukisan Metta mendapat piala hingga dibeli oleh orang orang terkenal.
“ sekarang kamu siap siap ya sayang” ucap papa
“ kemana pa” tanya Metta, papa terdiam sejenak
“ketemu mama baru Metta” DEGG jantung Metta berdetak lebih cepat dari biasanya matanya sudah mulai berkaca kaca, papa yang melihat ekspresi sedih anaknya pun tidak tega dan berkata “ kalau Metta ga mau puny-“ dengan senyum palsu Metta pun menjawab
“ Metta gapapa ko pa punya mama baru, kebahagiaan papa kebahagiaan Metta juga” jawab Metta dengan suara serak dan mata berkaca kaca yang sebentar lagi akan pecah, Metta berusaha menahan tangis di depan papanya agar papanya tidak sedih lagi,
” Metta udah besar ya” ucap papa Metta sambil memeluk Metta, air mata Metta sudah tidak bisa di tahan lagi ia menangis di dalam pelukan papanya.

Akhirnya Metta dan papanya sampai di salah satu restoran sushi terkenal,
“permisi tuan sudah booking tempat?” tanya salah satu pegawai yang memiliki rambut sebahu dan memakai sarung tangan putih
“sudah” jawab papa Metta
“atas nama Eko Dwi Erlangga” lanjutnya. Sesampainya di meja yang sudah di booking papa Metta ternyata sudah ada 2 orang perempuan yang terlihat seperti ibu dan anak, ya benar mereka adalah Megan dan mamanya.
“ Cintya” panggil papa Metta, mama Megan dan Megan kompak menoleh ke arah sumber suara
“ eh mas sudah datang” sapa mama Cintya dengan ramah
“sini cantik duduk” lanjutnya menyuruh Metta duduk
“nah Metta perkenalkan ini mama dan saudara baru kamu” mereka tersenyum kepada Metta setelah papa Metta berbicara, anehnya Metta kurang yakin dengan senyum calon ibu dan saudara tirinya „semoga tidak terjadi apa apa‟ batin Metta.

Setelah selesai akad pernikahan mama Cintya dengan papa Eko, papa Eko mengajak dinner sekeluarga untuk membuat hubungan keluarganya menjadi akur dan tidak canggung
“Metta, Megan papa sama mama mau ngomong sama kalian” ucap papa Eko dengan lembut
“mau ngomong apa pah?” jawab Metta
“papa sama mama mau honeymoon ke raja Ampat” balas papa. Siapa yang tidak kenal dengan Raja Ampat, Raja Ampat adalah kepulauan yang terdiri dari banyak sekali pulau karang dan tersebar luas di seluruh wilayahnya, yang terletak di Papua Barat, disanalah kita dapat dimanjakan dengan indahnya pemandangan laut dan pulau yang hijau.

Keesokan paginya papa Eko dan mama Cintya sedang berkemas kemas dibantu dengan Metta dan Megan
“hati hati ya pah di jalan, jangan lupa oleh olehnya” ucap Megan sambil menyalimi papa Eko
“MEGAN” peringat mama Cintya
“hahah gapapa Cintya, Megan kan sekarang anak aku juga” ucap papa Eko sambil mengelus rambut Megan
“papa disana berapa hari?” tanya Metta
“dua hari sayang” jawab papa Eko lembut
“kok sebentar sekali pah?” tanya Megan
“iya sayang soalnya Rabu papa mau ada metting mendadak sama client di Bogor “ jawab papa Eko
“yah Megan sendiri dong” ucap Megan sambil sedikit memiringkan kepalanya
“kan ada aku sama Mbok Minah” ucap Metta dengan senyum tulus tanpa dibuat- buat
“iya non, non Megan mau minta di masakin apa sama mbok?
“sayur asem,telur balado,kentang balado,sayur sop semua mbok bisa masak” ucap Mbok Minah sambil menghitung jarinya Megan yang melihat itu memutar bola matanya jengah
“maaf ya Metta Megan emang orangny moodyan” ucap mama Cintya
“gapap ta- eh mah” balas Metta cangung. Skip

Dua hari pun berakhir sifat-sifat busuk Megan mulai keluar dari yang selalu Membentak bentak Mbok Minah, menyuruh Metta mengerjakan PR nya sampai mengambil barang- barang Metta tanpa seizin Metta,
“Meg kembaliin itu kan handphone aku “ ucap Metta
“ogah minta aja sama bokap lo, bokap lo kan kaya” ucap Megan sinis
“awas ya nanti kalau lo sampe ngadu ke bokap lo soal gue” ucap Megan
“gue bakar foto nyokap lo”ancamnya dengan menunjuk sebuah foto wanita cantik yang menggunakan sebuah syal polos berwarna merah jambu
“iya Meg aku ga akan bilang ini semua ke papa, tapi tolong kembaliin foto mama itu berharga buat aku” ucap Metta dengan hidung merah dan mata berkaca kaca
“cih cengeng” ucap Megan seraya menjatuhkan foto mama Metta di sebelah Metta, Metta pun segera menggambi foto tersebut dengan air mata yang terus mengalir
”Mama…” ucap Metta dengan suara parau
“maaf mah Metta gagal,Metta cengeng metta hiks kangen mama,kangen hiks dipeluk mama waktu Metta nangis”ucap Metta dengan pilu, sungguh kali ini Metta benar- benar merindukan mamanya.

Hari-hari berlalu Metta kira mama barunya adalah orang baik ternyata salah Metta selalu dijadikan pembantu jikalau tidak ada papanya dirumah dan jika papa kembali ke rumah dua iblis itu akan berubah wujud menjadi ibu peri dan anak bab- eh peri sebaliknya mereka akan merubah keadaan seolah olah Metta adalah iblisnya, jika Metta ingin mengadu pasti dua orang itu akan mengancam membakar foto ibu Metta sehingga membuat Metta takut.

“Metta pijati aku”
“Metta buatkan aku susu”
“CEPAT METTA KAU MAU FOTO IBUMU KUBAKARR”
“atau kau mau ku kurung kau di gudang lagi ha!!! “ ucapan yang hampir setiap hari di dengar oleh Metta jika tidak ada papanya
“mama tolong perlakukan aku dengan adil, aku juga sekarang anggota keluarga kalian juga” ucap Metta yang terlihat kelelahan sehabis disuruh membersihkan mobil ibu tirinya tersebut
“apaa!! Aku menganggap mu anakku?!! Cih tidak sudi” ucap Cintya dengan menunjukkan mimik muka meremehkan Metta
“dan ingat anak sialan, jika tidak ada suamiku kau tidak boleh memanggilku MAMA!!! MENGERTII” ucap Cintya sembari tangan satunya menjambak rambut Metta
“akkhhh sakiiitt maaa suuddaah cukkupp” rintih Metta kesakitan
“nyonya sudah nyonya kasihan non Metta” ucap Mbok Minah
“berani sekali kau menasehatiku!!!” ucap Cintya marah. Sepertinya setelah kejadian itu hanya Mbok Minah lah yang peduli terhadap Metta.

Flashback off

Jam menunjukkan pukul 08.11 saat Metta sampai di depan gerbang gerbangnya sudah tertutup, ini kali pertamanya Metta terlambat, ia terlambat karena harus mengerjakan PR milik Megan yang sangat banyak karena Megan tidak mau mengerjakannya sehingga membuat PR nya menumpuk
“huft gimana ini gerbangnya udah di tutup, padahal nanti pelajaran pak Asep” wajar bila Metta takut karna pak Asep adalah guru paling killer di SMA GARUDA.

Tiba tiba terdengar bunyi klakson
“TIN!..TIN!..” bunyi motor itu berasal dari klakson Abas, yaa Sebastian Elnino Grissham atau kerap di panggil Abas pria tinggi tampan dan macho ini merupakan pria berkeblasteran Amerika – Indonesia yang lahir di Jember ia merupakan Most Wanted di SMA GARUDA.
“Naik” ucap Abas dengan suara husky nya
“h- hah?” bingung Metta
“ lo g mau telat kan?” ucap Abas dingin, setelah mendengar ucapan Abas Metta langsung naik ke moge Abas. Mereka lewat terobosan sekolah yang biasa di pakai untuk anak-anak SMA GARUDA yang sering bolos, sesampainya di parkiran Metta yang ingin berlari karena sudah terlambat dicegat Abas sehingga jidat metta terkena dada bidang Abas
“a-auu” ucap Metta memegangi kepalanya, kepala Metta sedikit oleng karena sejujurnya dada bidang Abas memang hampir mirip baja ketimbang dada pria pada umumnya, saat Metta hendak jatuh Abas segera menangkapnya sehingga terjadi tatap-tatapan yang cukup lama „cantik‟ itulah yang ada di pikiran Abas ketika melihat Metta
“EKHEM PERMISI KAKAK KAKAK TOLONG HARGAI YANG JOMBLO YAA” ucap Ucup yang menyadarkan Metta dan Abas
“sa ae lo jones” ucap Andre
“Jomblo ngenes” lanjut Adam
“AWOKAWOKAWOK” tawa mereka kecuali Ucup dan Metta
“permisi duluan” ucap Metta terburu buru meninggalkan mereka.
“siapa tu boss gebetan baru yaw” ucap Andre menggoda
“ gue si yes boss” ucap Adam
“gimana cup menurut lo” tanya Andre
“ menurut sepenglihatan gue si ALHAMDULLILAH AKHIRNYA BOS GUE GA JADI JONES ABADI” ucap Ucup dengan gestur tubuh seperti orang berdo’a
“ALHAMDULILLAH” Adam dan Andre mengucapkan bersamaan
“ lah Ndre lo kan kristen “ bingung Abas
“ khilaf hehe“ jawab Andre sambil menampilkan cengir khasnya
“ pake nyengir lagi lo” ucap Adam
“istigfar Ndre” ucap Ucup
“yey dah sesat kite udah sesat” andre menirukan salah satu scene kartun favorit adiknya yang saat ini tengah trend di media sosial. Skip

Ternyata benar dugaan Metta bahwa kelas sudah di mulai dan karena terlambat Metta ditugaskan membersihkan toilet sekolah, saat sudah selesai membersihkan toilet tiba-tiba Metta berpapasan dengan Abas, Abas mencegat Metta
“lo masih ada utang seminggu sama gue” bisik Abas tepat di sebelah telingga Metta, kemarin Metta tidak sengaja menumpahkan jus semangka kesukaannya di jaket putih Abas yang harganya bisa sampai milyaran rupiah, karna Metta tidak diizinkan membawa uang, oleh papanya karena fitnah mama Cintya dan Megan, akhirnya Metta berkata bahwa ia tidak punya uang Abas yang mendengar itupun tersenyum licik, ternyata Abas menyuruh Metta untuk menjadi asistennya sampai minggu depan, di dalam pikiran Metta itu lebih baik daripada mengganti sampai bermilyar milyaran.

Ternyata menjadi asisten Abas tak semudah yang dibayangkan Metta, ia harus membelikan apapun yang Abas mau dan mengantarkannya ke rooftop sekolah tempat Abas bolos alhasil Metta juga harus ikut Abas bolos,jika mau tau seperti apa posisinya Abas adalah Raja dan Metta adalah dayang yang selalu mengikuti di belakang Raja.

Hari ini Metta diminta membeli camilan untuk Abas dan mengantarkannya ke rooftop saat sampai di sana tempatnya sepi ya sepertinya semua takut kepada Abas, tempat ini seperti dikususkan untuk Abas seorang
“lama lo beli ginian doang” ujar Abas tidak sabaran
“ yaudah sana beli sendiri” balas Metta tak terima karena sudah capek – capek ngantri, saat Metta ingin pergi Abas menahan Metta
“jangan pergi” ujarnya
“huftt” Metta menghela nafas karena kelelahan abas menoleh ke arah Metta
“kenapa?” tanya Abas
“tumben pake jaket?” tanyanya lagi
“sakit” jawabku pasrah mataku mulai berkaca kaca, Metta menghadap keatas
“kangen” abas mengerutkan dahinya tak paham
“kangen mama” tak terasa air mata Metta meluncur begitu saja saat menyebutkan kalimat mama,
“ga ada yang sayang sama aku,ga ada yang percaya sama aku” Metta menghadap ke Abas dengan air mata yang berlinang abas yang mngerti suasana hati Metta sedang kacau langsung memeluknya
“papa berubah,papa ga sayang aku lagi Bas”

Flashback

Malam itu adalah mlam yang damai sampai,
“Metta kerjain PR gue dong” ucap Megan seenaknya
“ga mau Meg aku capek” ucap Metta, dan memang benar adanya jika Metta memang lelah saat itu
“alesan cepet kerjain” paksa Megan dengan menjambak rambut Metta
“agkk saakiit” teriak Metta karena sakit, tiba-tiba terdengar langkah kaki, Megan panik dan Metta senang karena ini kesempatan Metta untuk membongkar penyamaran dua iblis yang ada di rumah Metta dan tiba tiba CEKLEK
“DEGG MEGANN” yaa tiba tiba Megan menarik tangan Metta seolah olah Metta menjambak Megan dan Megan terlihat ingin Melepaskan tangan Metta darinya tetapi malah sebaliknya, tiba tiba Megan mengarahkan Metta ke balkon kamar Metta yang bawahnya terdapat kolam renang dan BYUUUR
”METTA” papa menampar Metta
“anak kurang ajar papa tidak pernah mengajarkan kamu seperti ituu!!” bentak papa Eko
“sini kamu ikut papa!!” bentak papa Eko sambil menjambak rambut Metta
“ampun paa hikss saakiit” papa membawa Metta ke gudang yang gelap
“masuk!!” Metta mengeleg
“engg-“ belum sempat Metta melanjutkan kalimatnya papa sudah membentak Metta
” MAASUUK!!!” ” Hiks bukan Metta yang nyeburin Megan paa” Metta berusaha membela diri dengan mengatakan kejujuran, tapi papa Metta sama sekali tidal mengubris itu tatapan matanya sungguh sangat kecewa.

Flashback off

“nanti malem lo ikut gue, gue jemput” ujar Abas
“ kemana? “ tanya Metta
“nguli” abas memutar bola matanya jengah
“ hah apaan si Bas, akutu capek masak disuruh nguli” Metta membalas ucapan abas jengkel
“ lo lupa perjanjian kita?” tanya abas dingin
“ ehh iya dehhh” ucap Metta pasrah.

Malamnya Metta sedang bersiap siap untuk pergi bersama Abas, Metta terlihat sangat cantik dengan bawahan jeans dan atasan baju lengan panjang berwarna pink yang dirajut boneka karakter kucing coklat. Terdengar bunyi klakson dari arah depan rumah Metta, ya sesuai dugaan bunyi klakson itu berasal dari moge Abas, saat Metta hendak berjalan keluar ternyata di depan sudah ada Abas dan saudara tirinya Megan.
“ pasti kak Abas ke sini mau ngajak jalan aku kan” ucap pede Megan seraya ingin mengandeng lengan Abas, tapi segera ditepis Abas,Abas menatap Megan dengan tatapan sinisnya Metta yang melihat itu ingin tertawa
“ pftt” suara Metta menahan tawa sontak Abas dan Megan mmenoleh ke arah sumber suara
“ ayo” ajak abas sambil memakai helm nya
“ hah serius kak abas mau ngajak aku!!!” histeris Megan sambil memegang pipinya
“ tunggu sebentar ya kak ak-“ Megan tercengang dan malu saat Abas turun dari mogenya dan memasangkan helm ke kepala Metta bukan Megan
” lama lo” ucap Abas, Megan yang melihat itupun terbakar api cemburu pasalnya Abas adalah kakel incarannya dari pertama ia masuk sekolah
“o-ouhh Metta ya yang di ajak, hati hati ya Met” ucap Megan pencitraan, karena ada Abas Megan tak berani memaki maki Metta saat moge Abas sudah pergi dari kawasan rumah Megan menyusun rencana untuk menjebak Metta
“ lihat aja Mett” ucap Megan dengan penuh makna.

Sesampainya di tempat tujuan Metta bingung,
“ lo kok kita ke sini si Bas, kita kan mau nguli” ya benar Abas mengajak Metta ke pasar malam yang memiliki banyak wahana asik di dalamnya Abas tertawa terbahak bahak karena keluguan gadis pemilik gigi gingsul tersebut
“ lo beneran mau nguli” tanya abas gemas
“ iya aku udah bawa sekop malahan” jawab lugu Metta dengan menunjukkan sekop yang ada di dalam tasnya abas mencubit pipi Metta gemas
“ ihh sakit Bas” ucap Metta sambil memegangi pipi yang sedikit merah
“ sakit ya, sini gue obatin” ucap Abas khawatir
“dalgona” ucap Metta yang membuat Abas bingung
“ iya piiku sakit obatnya makan permen dalgona” abas yang mengerti maksut ucapan Metta pun mengajak Metta ke sebuah tenda yang letaknya beberapa langkan dari tempat mereka berdiri
“ lo tunggu di sini gue beliin” ucap Abas Metta hanya menjawab dengan isyarat jari yang membentuk huruf O atau isyarat Oke, saat tengah menunggu abas yang sedang membeli permen viral tersebut tiba tiba Metta melihat ada dua orang yang asik mengamatinya, orang itu pun Mendekat ke arah Metta dari wajahnya terlihat kalau dua orang itu ingin mencelakai Metta
“ sendirian aja neng” tanya pria berkumis dan bertubuh sedikit gendut Metta tidak ingin menjawab
“ mas temenin deh neng “ ucap pria yang terlihat lebih kurus dari temannya sambil menanyai Metta pria berbadan gendut memegang pundak Metta
“ JANGAN KURANG AJAR YA PAK” teriak Metta, Metta ingin menghampiri Abas tapi buru buru dua orang preman itu mencegat Metta, SREEEK baju Metta disobek oleh pria bertubuh kurus keadaan tenda yang disingahi Metta tidak begitu ramai jadi Metta susah untuk Minta tolong
“ hiks kalian siapa” tangis Metta dngan memegangi bagian belakang bajunya yang robek”
ABASS” teriak Metta minta tolong, dan tiba tiba BRUUK preman berbadan kurus ambruk terkena pukulan Abas
“KURANG AJAAR” murka Abas, preman bertubuh gendut tidak terima temannya di pukuli saat preman gendut ingin memukuli Abas dari belakang
“ABAS AWASS” histeris Metta abas menoleh ke arah sumber suara dan BUGG Abas terkena bogeman dari preman bertubuh gendut yang mengakibatkan bibirnya dan pipinya lecet
“sialan “ Abas menghajar dua preman tersebut sampai babak belur
“ lo apain cewek gue anj*g” murka Abas, tenda yang tadinya sepi kini menjadi sangat ramai bahkan ada beberapa orang yang merekam perkelahian sengit antara Abas dan dua preman tersebut. Kini Abas, Metta dan kedua preman tersebut sedang berada di kantor polisi
“Maaf” ucap Abas
“ maaf?” Metta
“ maaf gara gara gue kita ga jadi jalan jalan” ucap Abas menatap Metta yang sedang membersihkan luka lebam di pipinya
“kamu ga perlu minta maaf Bas, harusnya aku yang berterimakasih” ucap Metta memegang tangan Abas
“karena kamu udah nolongin aku dari preman tadi” lanjut metta “ coba kalau ga ada kamu mungkin tadi aku udah di apa apain sama preman preman tadi” Abas mengelus rambut hitam Metta dan tersenyum tulus
“ i love you” Metta pun tersenyum dan membalas
“ i love you to” jantung Mereka berdetak lebih cepat dri biasanya
“ jadi?” tanya abas
“ jadi apa?” Polos Metta
“ hari ini kita resmi jadian?” ucap Abas membuat pipi Metta semerah tomat
“ hemem” ucap Metta malu malu
“ gemes banget si pipinya kayak tomat” ucap abas seraya membelai pipi Metta
“ihh nyebelin” ucap Metta

Sesampainya di rumah Metta, Abas sedang melepaskan helm Metta
“ jaket kamu” ucap Metta
“ buat lo aja” ucap santai Abas , tadi memang Abas memberikan jaketnya untuk dipakai menutupi baju belakang Metta yang sobek karena dua preman kurang ajar itu.
“hati hati di jalan ya Bas” ucap Metta
“ siap” jawab Abas
“ sampai rumah jangan lupa di obatin lo Bas, hati hati nanti infeksi” dari tadi Metta memperingati Abas, karena ia khawatir dengan keadaan Abas
“ iyaa tuan putri” Metta yang dipanggil seperti itu jadi salting seketika
“ apaan si Bass” ucap metta malu sambil menepuk bahu kanan Abas.

Hari hari berjalan baik bagi kehidupan Metta dan Abas, pagi ini Metta tidak diantar Abas ke sekolah karena Abas sedang pergi keluar kota untuk menjenguk neneknya bersama keluarganya dua hari kedepan maka pagi ini Metta naik kendaraan umum saat ditengah perjalanan menuju halte bus Metta merasa ada seseorang yang sedang Membuntutinya dan hap “ HMMMHMNHH” orang itu membekam mulut Metta dengan kain yang sudah diisi cairan yang jika di hirup akan membuat orang tersebut pingsan.

Saat terbangun Metta merasakan kerpalanya yang sangat sakit
“ aakh sakiit” lirih Metta saat melihat sekeliling Metta tercengang melihat papanya dalam keadaan tidak sadarkan diri sedang di ikat di kursi dengan mulut diikat kain
“papa” lirih Metta hatinya sangat hancur melihat papanya yang tidak berdaya tersebut
“ ckckck lama banget lo tidur mett” ucap seseorang Metta menoleh ke arah sumber suara
“ gimana sayang enak?!” Metta terkejut, ternyata mereka adalah Megan dan Mama Cintya
“ LEPASIN AKUUU” Metta berteriak kepasa Megan dan Mamanya
“ ututut berani banget sii anak inii” ucap mama Cintya sambil membawa foto mama Metta
“ KALIAN MAU APAIN FOTO MAMAAA” teriak Metta tak terima
“hemm enaknya di apain ya ma” tanya Megan
“ hemm dibakar boleh sii” ucap mama Cintya
“ JANGAN BAKAR FOTO MAMA “ panik Metta
“terlambat sayang” ucap Mama Cintya yang sedang membakar foto mama metta dengan korek api
“JANGGAAN” teriak Metta sembari berusaha memberontak
“ hnbmhhmnhbnh” papa Metta tersadar dan melihat kejadian mama Cintya membakar foto istri pertamanya itu
“ eh papa sudah bangun!!‟ semua menoleh ke arah sumber suara
“PAPAA” ucap tak berdaya Metta
“ kasian banget si kamu mas, makanya kalau pilih istri itu yang bener” ucap cintya yang sedang membukakan kain yang ada di mulut Eko
“ KURANG AJAR KALIAN BERDUA” bentak Eko megan dan mamanya hanya tertawa
“papa-papa lo itu bener bener orang paling bodoh yang pernh gue temuin dengan mudahnya lo percaya gue daripada anak lo” ucap Megan sambil menjambak kebelakang rambut Eko
“ dan anak lo ckckck miris” ucap Megan yang hendak menyiapkan

Pisau untuk menyayat leher papa tirinya metta yang melihat apa yang akan dilakukan saudara tirinya itu pun berteriak
“ JANGANNN” teriak metta yang membuat Megan menoleh kepadanya
“ JANGAN SAKITIN PAPA LAKUIN ITU KE AKU SAJA AKU TIDAK MAU PAPA KENAPA NAPA” Megan yang mendengar itu pun bersmirk
“oke oke “

DI SISI LAIN

Abas yang mendengar kabar buruk tersebut pun segera kembali ke jakarta Abas sudah menduga ini akan terjadi jadi ia menyiapkan gelang khusus yang berisi fitur alak lacak dan perekam suara Abas khawatir karena Metta tidak menggangkat telepon darinya dan tidak membalas chat nya alhasil ia memeriksa gelang khusus yang abas berikan kepada Metta sebelum ia ke luar kota, saat itu Abas mendengar jeritan Metta dan erangan kesakitan .

Skip

Akhirnya Metta berhasil ditemukan berkat alat pelacak yang diberikan Abas dan bantuan polisi , Metta dan papanya ditemukan dalam kondisi tubuh lebam dan tudak sadarkan diri sementara Megan dan mama Cintya sudah di tangkap polisi.

sebuah karya cerpen berjudul ‘Metta’ oleh Kirana Briliani yang diperlombakan dalam lomba menulis cerpen fajar pendidikan

Getaran Suara Adzan

0

Aku ragu dalam dekapan jemari kelabu. Abu – abuku penuh peluh. Dia yang ku ceritakan dalam kisah ini menaruh ragu dan menyusup dalam hati. Apalah aku jika dibandingkan dengan wanita – wanitanya itu?

Aku hanya wanita biasa dengan tinggi yang tak semampai dan tak begitu cantik pula. Bermimpi mencintai seorang pangeran jawa, ia bernama Aldeon. Aku menyebutnya pangeran jawa karena ia tampan dengan kulit sawo matangnya itu. Ia manis dengan perawakannya yang lebih diatasku. Dan ia menarik dengan suara adzannya yang terkenal dengan kemerduannya itu.

Ia istimewa dengan rindang pepohonan yang meneduhkanku. Bohong kalau aku tak merasa terpana. Walau hanya sebatas telfon saja aku sudah merasa mencintanya.

Ah, pangeran jawa adalah julukanku untuknya. Tentu saja itu adalah julukan diam – diam tanpa diketahuinya. Bisa habis rasa maluku kalau dia sampai tau jika aku mencintainya. Mungkin aku bisa menceritakan kisah singkat ini, tanpa sepengetahuan pangeran jawa tentunya.

Tanggal 6 September 2019,

Aku scroll WA grup kampus, katanya hari ini adalah hari pertama fakultas mengadakan malam keakraban. Aku deg – degan, aku takut kalo dikira anak udik. Walaupun nyatanya aku berasal dari udik.

Aku masuk kedalam Gedung Hotel bersama temanku yang bernama Prasetyo, dia biasa aku panggil Pras. Biar lebih singkat saja, hehe. Aku dan Pras memasuki Gedung Hotel itu yang di kanan kiri pintu masuknya terdapat patung ayam jago dengan ukuran remaja berumur lima belas tahun. Pras dan Aku berpakaian batik dan bawahan berwarna hitam. Bisa dibilang, pakaian kita cocok, seperti halnya sepasang kekasih.

Aku melangkahkan kaki kedalam lift untuk bisa ke lantai yang dituju. Kating mengatakan bahwa aku harus ke lantai lima. Lantai yang cukup tinggi untuk ditempuh dengan menaiki tangga manual.

“Pras, nanti kamu duduk sama siapa? Duduknya sama aku aja yah? Biar aku gak sendirian.”

“Iya, aku duduk sama kamu. Emangnya mau duduk sama siapa lagi?” “Ya mana tau kalo kamu mau duduk sama yang lain.”

“Ngga, aku mau duduk sama kamu. Tapi kalo kamu duduk sama yang lain yo mending aku sama yang lain juga.” Sahut Pras. Aku termangu mendengar ucapannya itu. Ia mengucapkan itu tanpa beban sedangkan aku  menanyakan pertanyaan itu dengan penuh kekhawatiran.

Setelah sampai di lantai lima, aku menuju loket pendaftaran untuk mendapatkan absensi dan sebuah kaos almet. Kaos itu berwarna navy dengan ukuran L yang tentunya masih kebesaran dibadanku.

“Cha, kamu pilih tempat duduk dulu yah. Nanti aku nyusul. Kayaknya aku masih lama ini antri pendaftarannya.” Ucap pras sembri menengok antrian yang begitu Panjang.

Aku yang berdiri disampingnya sembari menunggu Pras untuk bisa mengambil kaos almet itu.

“Ya udah. Tapi beneran nyusul yah? Biar aku ga sendirian nanti.”

Pras menganggukkan kepala dengan yakin, setelah itu aku melesat menuju pintu megah yang tingginya hampir menyamai Gerbang Rumah Nenekku. Karena pintu terbuka, kulihat sejenak isi didalamnya. Sudah banyak orang ternyata. Dengan segera aku memilih tempat duduk ditengah yang letaknya berada dibelakang nomor tiga.

Aku duduk menghela nafas pelan, dengan harapan semoga Pras menepati ucapannya.

Ting!

Ponselku berbunyi, notifikasi WA dari Pras muncul di layar handphoneku.

“Ada dimana Cha? “tanya Pras
“Aku ada di bangku nomor 3 dari belakang”, balasku
“Oke, Cha. Tunggu yaa” balas Pras padaku

Setelah itu tak ada balasan chat lagi darinya. Aku celingukan melihat sekitar, ingin mencari perawakan Pras. Aha! Aku menemukannya. Dia mendekat ke arahku.

“Hai cha. Aku sama kamu lagi kan?” Sahut Pras dengan tawa kecilnya itu. Entah ia menertawakan apa.
“Pras lama banget sih ngambil kaos almetnya. Kan Chacha nungguin. Lama banget loh.
Hampir lima belas menit.”
“Sabar Cha, kan tadi ke toilet dulu. Trus kudu antri dari belakang lagi deh.” “Harusnya ke toiletnya ditunda, Pras. Biar Chacha gak nunggu lama.”
“Iya – iya. Maaf yah Chacha.” Aku diam tak menanggapi ucapan Pras karena tiba – tiba Kating berkata bahwa aku harus duduk didepan. Kursi depan tak ada yang mengisi dan kursi belakang sudah penuh. Jadi mau tak mau aku harus pindah ke belakang. Acara makrab hampir dimulai. Satu persatu kursi telah terisi penuh.

“Hai, boleh ga aku duduk disini?”

Aku menoleh ke samping, ada seorang wanita berkulit sawo matang, dengan wajah manis berdiri sembari tersenyum. Aku membalas senyumannya. “Boleh”

“Hai nama aku geta. Nama kamu siapa?”
“Ah, Geta. Nama aku Chacha. Dan ini temen aku namanya Pras.”

Sahutku sembari mengenalkan Pras padanya. Aku berbincang dengannya sebentar dan fokus lagi ke depan karena acara sudah dimulai.

assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh. Perkenankanlah saya Shepia Wahyuni sebagai MC dalam Acara Makrab Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Tangerang. Sebelumnya, saya ucapkan selamat memasuki dunia baru dan hari baru. Karena mulai besok kalian adalah mahasiswa…”

Sambutan MC terdengar menggema diseluruh Aula Hotel ini. Ia terlihat professional dan terlatih ditambah lagi dengan pathner MC – nya yang terlihat sepadan dengannya.

Acara makrab berhenti sewaktu adzan magrib berkumandang. Aku dan Pras menyegerakan sholat magrib. Aku berdiri dari kursi dan mengajak Pras untuk keluar dari Aula Hotel itu menuju lift yang berada tak jauh dari aula.

“Mas, tempat sholatnya ada dimana ya?” Tanyaku Ketika ada seorang berpakaian layaknya pegawai hotel itu.

“Aa dilantai dasar mbak.” “Oke mas, terima kasih ya.”

Aku dan Pras menuju lantai dasar. Setelah sampai disana, aku wudhu dan memandang ruangan musholla ini yang sudah dipenuhi dengan jamaah laki – laki serta perempuan. Ada beragam manusia disini. Mulai dari orang yang berparas manis, hingga orang yang berparas biasa – biasa saja. Mereka ada disini, bergantian memakai mukena untuk sholat. Jamaah yang ada didepan didominasi dengan jamaah laki – laki, eh ralat bukan didominasi tapi memanglah disitu adalah jamaah laki – laki semua.

Searah jarum jam 10, ada seorang laki – laki berperawakan tinggi dengan badan kekar dan berkulit sawo matang. Menutup telinga sebelahnya sembari menyenandungkan panggilan tuhan. Suara merdunya itu, mengingatkanku akan seseorang yang aku cintai dahulu. Aku mengira yang menyenandungkan panggilan tuhan adalah dia. Ternyata salah.

Itu adalah orang lain yang tak ku ketahui Namanya, saat itu. Aku terpana dalam lambaian asmara. Kata mereka, aku jatuh cinta pada pandang pertama. Apakah benar?

Ah, tidak mungkin. Mungkin saja aku terlalu berkhayal. Aku terlalu banyak mengelak hari ini. Lambaian asmara memanggilku kemari. Seolah memberitahuku bahwa dia adalah Aldeon. Seorang lelaki yang aku juluki Pangeran Jawa.

Ya, dia adalah Aldeon. Seorang lelaki yang kukira takkan bisa menggantikan lelaki yang aku cintai dahulu. Namun, aku salah. Dia, Aldeon adalah lelaki yang berhasil menjatuhkan hatiku sejatuh – jatuhnya. Dari pertemuan pertama yang tak dapat disangka itu, kami bertemu dan dipertemukan kembali dua tahun kemudoan di sebuah ruko yang sedang tutup karena hujan badai dengan disertai angin kencang. Suaranya sayup – sayup terdengar di telingaku.

“Mbak, maaf. Anak FHUMT ya?”

Aku menoleh ke arahnya sembari mengernyitkan dahi. Aku sungguh tak tahu dia siapa. Dia terlihat seperti orang yang sudah berumur. “iya. Tau dari mana?”

“Aku Aldeon.”

sebuah karya cerpen berjudul ‘Getaran Suara Adzan’ oleh Lindarica Novyanty yang diperlombakan dalam lomba menulis cerpen fajar pendidikan

Kotak Sedekah

1

Sudah seminggu Ayah sakit. Aku tak tahu apa penyakit Ayah, karena Ayah hanya meminum obat-obatan warung, tanpa mau diperiksa oleh dokter. Namun, Ayah kerap mengeluhkan kepalanya yang sakit. Tubuhnya juga sering demam, dan lemas. Selama sakit, Ayah juga tidak masuk kerja, dan selama itu pula, Ayah tidak mendapatkan penghasilan sebagai buruh harian.

Tubuhnya yang kurus makin terlihat seperti tengkorak hidup. Ayah selalu saja menolak untuk dibawa ke pelayanan kesehatan. Ia takut jika nanti hasilnya divonis terkena Covid. Kami pun tak bisa memaksanya.

“Sudahlah, Ayah tidak apa-apa, mungkin butuh istirahat,” sahut Ayah dengan lemas.

Kupandangi tubuh kurus Ayah yang terbaring lemah di ranjang besi. Ah, seandainya aku bisa berbuat lebih. Tetapi aku bisa apa, sekolah saja belum tamat SMA. Bahkan, yang lebih mengenaskan lagi, dagangan nasi uduk Ibu juga ikut sepi. Sudah berhari-hari kami makan dengan nasi uduk beserta lauk sisa jualan.

Sebagai anak sulung, aku sering menjadi tempat curahan hati Ibu. Aku tahu, di balik senyumnya yang dipaksakan, Ibu sebenarnya berusaha untuk tabah. Ia pandai menyembunyikan kesedihannya. Tetapi aku tahu persis, Ibu mulai cemas dengan pengeluaran yang semakin deras. Aku dan ketiga adikku sekolah semua. Meski kami hanya masuk beberapa hari saja untuk tatap muka, kami tetap membutuhkan kuota internet setiap kali ada pembelajaran daring di rumah. Belum lagi, ditambahi dengan kebutuhan belanja sehari-hari dan obat-obatan Ayah.

Suatu hari Ibu mengajakku ke kamar. Kuikuti Ibu, lalu ia mengambil sebuah kotak yang terbuat dari kayu. Benda itu terkunci oleh gembok kecil yang menggantung di luarnya. Ibu kemudian mengambil kuncinya, lalu membuka gembok itu, dan mengambil semua uang di dalamnya. Aku tahu, uang itu adalah hasil dari sedekah Ibu.

Setiap pagi, Ibu selalu menyisihkan hasil penjualannya. Kadang sepuluh ribu rupiah, namun seringnya lima ribu rupiah setiap pagi. Ibu berkata kepadaku, sedekah pagi akan didoakan oleh para malaikat, agar rezekinya senantiasa melimpah.

Nanti, setiap hari jumat, beberapa lembar uang itu akan dimasukkan ke dalam kotak infak masjid. Sedangkan sisanya, masih tetap berada di kotak tersebut. Biasanya uang-uang itu digunakan oleh Ibu untuk disumbangkan jika ada tetangga yang sakit atau meninggal. Tetapi kali ini isinya terpaksa diambil semua. Kuhitung jumlahnya sampai lima ratus ribu rupiah. Meski ini tidak sesuai dengan niat awal Ibu bersedekah, tapi mau bagaimana lagi. Hanya dengan uang itulah kami bisa makan beberapa hari. Untuk selanjutnya, kami tak tahu.

Namun, secara tiba-tiba terucap niat Ibu untuk meminjam uang dari keluarga sepupu Ayah. Mereka tinggal di kawasan Kemang-Jakarta Selatan.

“Jangan! Walaupun mereka baik, tetapi mana ada orang yang suka, kalau ada yang datang ke rumah untuk ngutang,” cegah Ayah, saat Ibu mengutarakan maksudnya.

“Terus mau dapat uang darimana lagi, Yah? Kakak kandungmu keadaannya sama seperti kita. Sudah pasti mereka akan menutup pintu. Belum kita bicara, mereka sudah mengeluh duluan,” jawab Ibu putus asa.

“Sabar saja, Bu. Kita pasti masih bisa makan. Mana tahu nasi udukmu besok laku semua.”

Mendengar ucapan Ayah, Ibu hanya menghela napas lemah. Sehari dua hari keadaan masih tetap sama. Nasi uduk lumayan laku, tapi ternyata tidak dapat menutupi kebutuhan sehari- hari yang semakin membengkak. Ibu juga tidak mampu lagi memasukkan uang ke kotak sedekahnya.

“Allah Mahatahu, Wit. Kita aja lagi susah makan, boro-boro untuk sedekah!” jawab Ibu, waktu aku bertanya mengapa Ibu tidak lagi memasukkan uang ke kotak sedekah.

Hampir dua minggu sudah, Ayah masih terbaring lemah. Demamnya sudah turun, tapi kondisinya masih lemas, dan katanya sering sakit kepala. Ibu mulai tidak sabar. Aku menyadari, pasti dalam keadaan seperti ini akan sulit untuk bisa menerima semuanya.

“Enggak ada jalan lain, Yah. Besok aku akan ke rumah Nino. Masa dipinjami uang sejuta enggak keluar. Bagi dia uang sejuta itu mungkin seperti seratus ribu, jadi pasti ada!” tukas Ibu yakin.

“Terserahmu, Bu, ” jawab Ayah pasrah. Lalu memalingkan wajahnya untuk menyembunyikan air mata.

Om Nino, ya, dia memang kaya raya. Selain sebagai pengusaha yang sukses, Om Nino juga seorang motivator bisnis ternama. Om Nino sangat ramah kepada kami, baik hati, serta tidak jumawa. Ia sama sekali tidak memicingkan mata meski kami miskin.

Tekad Ibu sudah bulat. Semalam Ibu sudah menelepon Om Nino. Ia mengutarakan niatnya untuk bertamu. Rupanya Om Nino menyambut Ibu dengan baik di telepon. Aku menemani Ibu ke rumah Om Nino, sebab aku tidak tega membiarkan Ibu ke rumah Om Nino sendirian.

Sesampainya di sana, Om Nino dan istrinya menyambut kami dengan tangan terbuka. Terlebih setelah tahu kalau Ayah sedang sakit, mereka tampak prihatin.

Rumah Om Nino bak istana. Mobilnya saja ada tiga yang berada di luar garasi, dan entah berapa banyak lagi kendaraannya yang lain di dalam garasi. Kami lalu diajak berbincang di tepian kolam renang, seraya menyantap makanan lezat berbahan keju yang sangat asing dengan lidahku. Istri Om Nino memanjakan lidah kami dengan aneka suguhan istimewa, yang tentunya tidak dapat aku temukan di kampungku.

Sambil memakan kudapan itu, Ibu memberanikan diri menyampaikan niatnya. Dengan ucapan terbata-bata, Ibu mengajukan pinjaman sebesar satu juta rupiah. Namun seketika, air muka Om Nino dan istrinya mulai berubah. Senyum perlahan menghilang dari wajah mereka. Om Nino dan istrinya saling pandang.

“Bagaimana, Dek Nino, dan Dek Inka, semoga tidak keberatan dengan pinjaman saya ini. Kalau saja Mas Wahyu sehat, saya sebetulnya enggak enak pinjam seperti ini,” ucap Ibu hati-hati.

“Kalau Mas Wahyu sehat, Mbak enggak akan main ke sini, kan?” sindir Om Nino, lantas ia tertawa terbahak-bahak.

Hatiku teriris saat mendengarnya. Sindiran pertama ini mengoyak citra diri Om Nino yang telah terbangun positif selama ini di mataku. Memang selama ini kami belum pernah datang ke rumah Om Nino. Setiap bertemu hanya pada kesempatan acara keluarga, pernikahan sanak famili.

Aku juga heran, Ayah selalu enggan jika diajak ke rumah Om Nino oleh Ibu. Sampai suatu hari ketika didesak, Ayah hanya berkata, “Enggak enak, Bu. Nanti dikira mau ngutang!”

Terbukti omongan Ayah benar. Kenyataannya, kami ke sini memang ingin pinjam uang.

“Sekarang memang lagi pada susah, Mbak Sri. Sebenarnya kami juga sedang susah, bisnis Mas Nino banyak yang pending, ada juga yang cancel. Di beberapa kota bahkan off sama sekali. Dua bulan lalu malah kami kena Covid sekeluarga. Tapi alhamdulillah semua bisa selamat. Semua memang terkena imbas pandemi,” jelas Tante Inka, panjang lebar.

“Itulah pentingnya investasi, Mbak. Tabungan!” sambar Om Nino cepat. “Di saat krisis begini, tabungan dan investasi bisa menyelamatkan perekonomian keluarga. Mbak ‘kan jualan, mestinya bisa menabung sehari lima puluh ribu, atau nanti dibelikan logam mulia untuk investasi, jadi bisa menutupi kebutuhan yang tak terduga begini. Kami juga hidup mengandalkan tabungan. Kalau tidak ada tabungan, susah, Mbak!”

Perkataan Om Nino tidak ada yang salah, tapi berhasil membuat hatiku sakit. Ayah benar, orang miskin akan sering sakit hati oleh omongan orang berada. Om Nino dan istrinya malah menasihati Ibu tentang pengelolaan keuangan. Padahal aku yakin manajemen keuangan Ibu pastilah manajemen yang terbaik.

Akan tetapi, untuk saat ini, bagaimana bisa menyisihkan uang sebesar lima puluh ribu, jika penghasilan orang tuaku hanya cukup untuk makan hari itu. Sekarang Om Nino dan istrinya memberikan ceramah yang beraroma menyalahkan. Ingin rasanya kutarik tangan Ibuku untuk keluar dari rumah ini sekarang juga.

Kulihat wajah Ibu memerah, tapi aku tahu ia sedang berusaha bersabar. Ibu hanya menganggukkan kepalanya dengan patuh setiap mendengar semua penjelasan dari Om Nino. Mungkin Ibu berharap, setelah ceramah panjang Om Nino berakhir, uang satu juta rupiah itu akan diberikan untuk Ibu.

Tetapi kenyataan tidak sesuai harapan. Istri Om Nino malah mengatakan bahwa mereka tidak memiliki uang sebesar itu untuk dipinjamkan.

Hatiku mencelos mendengarnya. Aku jadi berburuk sangka. Barangkali bukan tidak punya, tapi memang mereka tidak mau meminjamkan. Sampai akhirnya kami berpamitan pulang. Namun tiba-tiba, istri Om Nino menyorongkan uang seratus ribu rupiah kepada Ibu.

“Mbak, ini sedekah dari kami. Semoga Mas Wahyu cepat sembuh,” ucap Tante Inka. Kulihat mata Ibu berkaca-kaca, lantas memeluk Tante Inka dan mengucapkan terima kasih.

Kugandeng tangan Ibu, dan meninggalkan rumah megah itu. Kurekatkan pegangan tanganku, aku merasakan luka hati Ibu. Aku tetap bersyukur kami mendapatkan uang seratus ribu rupiah, itu bisa untuk makan beberapa hari. Barangkali kami memang serupa pengemis yang pantas menerima sedekah.

Sepertinya esok hari, pelan-pelan aku akan mengingatkan Ibu untuk kembali bersedekah di kotak itu. Kotak yang tetap membisu di saat menerima dan menyalurkannya kepada yang membutuhkannya lagi. Aku yakin, malaikat akan mendoakan kami setiap pagi. Walau rezeki yang kami dapat tidak harus berupa uang.

Sebuah karya cerpen berjudul ‘kotak Sedekah’ oleh Puput Sekar Kustanti yang diperlombakan dalam lomba menulis cerpen fajar pendidikan

BERANI BERMIMPI

0

Setiap orang mempunyai impian, entah itu mimpi yang besar atau mimpi yang biasa-biasa saja. Tapi, pada umumnya orang-orang banyak yang memiliki mimpi yang besar. Hal itu lah yang di alami semua orang. Termasuk diriku sendiri … Bayangkan; sakit mana yang belum pernah saya rasakan? Tentang keluarga? Tentang pertemanan? Tentang percintaan? Tentang jatuh dari kegagalan? Down dengan omongan orang lain? Kekecewaan? Bahkan pengkhianatan? Sampai-sampai mentalku dihajar! Habis-habisan.

Tapi, kekecewaan terbesar saya, ketika semua berakhir nestapa dengan kepergian orang tua .. And My biggest regret, when I failed to make my parents happy. Iya really don’t want to fail at what I did for my parents! Apa yang kita jalani saat ini, insyaallah semua akan mudah untuk di laksanakan. Apalagi di masa muda saat ini banyak lah mencari kegiatan yang bermanfaat untuk semua orang, dengan banyak kegiatan kita hanya membutuhkan skill yang kita miliki untuk masa depan nanti. I’ II prove it, with the dreams I’ve always wanted.

Saya, Fadia Hadifatuzzahra seorang pelajar yang kini memiliki mimpi yang tinggi. Tapi, rintangan yang selalu ada di setiap langkah … Yang namanya mimpi pasti banyak proses yang di lalui, entah omongan tetangga, mental yang menurun, banyak hinaan yang terdengar di telinga. Bahkan semua yang di lakukan sudah pasti salah di mata orang lain.

Tidak apa-apa, belum tentu salah di mata nya Allah … Selagi kita memiliki niat yang baik, yaitu hanya satu tujuannya, dengan membahagiakan kedua orang tua, dari berbagai sumber dan cara yang saya lakukan untuk bisa bangkit dan mengangkat derajat orang tua. Perlahan saya bangkit dari keterpurukan, melihat banyak info lomba yang tertera ingin mengikuti. Pikiran seakan tidak bisa untuk melakukannya. Ketika di coba dengan mengikuti pelatihan menulis, jujur awalnya ragu untuk memulai, dengan percaya diri, berdoa dan optimis, seiring berjalannya waktu.

Selalu sabar mengikuti ketentuan yang berlaku, menulis satu hari dua bab? Bayangkan; satu bab nya saja target sepuluh halaman, bagaimana nanti sampai ending nya? Tapi, saya tidak memikirkannya, deadline terngiang-ngiang di kepala. Setiap hari menulis sampai akhirnya ending sebuah cerita. Tidak menyangka selesai dalam sepuluh hari dengan jumlah seratus lima puluh lima halaman.

Meskipun tubuh semakin menurun karena tengah malah mengerjakan. Rasa terharu, senang, bahagia, apa yang saya impikan telah terwujud. Dengan meraih kategori peserta terbaik di angkatan menulis. Masih banyak lagi mimpi yang saya inginkan. Setelah buku solo saya terbit. Saya mengikuti lomba menulis puisi, cerpen. Yang saya bilang tapi, semakin mempunyai tekad yang kuat dan niat dalam melakukan sesuatu pasti dimudahkan. Di satu3 sisi melihat tingkat lomba nya saja sudah mengerikan.

Apalagi mengikuti lombanya. Tidak bisa saya bayangkan. Ketika terus mencoba sampai mendapatkan medali sebagai kategori penyair terpilih tingkat nasional yang di ikuti oleh 4.621 peserta. Hingga di percayai menjadi mentor pelatihan menulis. Dan di undang acara seminar Akbar Online maupun offline.

Betapa bangga nya orang tua saya, sampai mereka terharu dan memeluk saya dengan mengeluarkan air mata kebahagiaan. Sampai saat ini masih banyak impian yang kini muncul di pikiran saya. Dengan meraih Olimpiade ekonomi nasional dengan meraih medali perak. Masyaallah saya bersyukur atas apa yang saya miliki saat ini. Suatu bentuk doa dan support orang tua, keluarga besar, kawan-kawan, sahabat, dan guru-guru saya. Tanpa mereka saya tidak bisa untuk bangkit dari semuanya.

Hikmah yang dapat di ambil dari kisah nyata saya: “Jangan pernah takut mencoba, jangan pernah berubah pikiran yang negatif akan suatu hal. Ketika kita sudah merasakan apa yang selama ini kita takuti ternyata itu salah. Semua ada proses nya, selalu kuat menghadapi apa pun rintangannya. Karena orang tua adalah orang yang mendidik dan mengurus kita hingga kita dewasa, orang tua juga diartikan sebagai orang yang sudah hampir tidak berdaya dan berkelakuan seperti bayi karena usianya yang sudah tidak muda dan tubuhnya yang tidak mampu melakukan banyak aktivitas.

Tanpa kita sadari mimpi mereka tertunda karena adanya kita lahir ke dunia. Jangan menangisi orang tua karena kelakuan kalian yang seenaknya. Tapi, air mata yang keluar dari orang tua hanyalah terharu melihat anak yang ia didik berhasil sampai ke jenjang apa yang mereka inginkan. Kebahagiaan itu bisa di lakukan lewat berbagai cara. Hanya kita lah yang bisa mengelola nya dengan baik atau tidak. Thank you for your support my big family. I hope I can get through it. And my parents are always by my side.”

sebuah cerpen yang berjudul ‘BERANI BERMIMPI’ oleh Putri Tsaniaturrahmadani yang diperlombakan dalam lomba menulis cerpen fajar pendidikan

Disini Jihad Akan Kutunaikan

0

 Jika dirasa telah cukup ilmu yang kau timba, pulanglah nak. Bantu bapakmu di sini.
Bukan karena bapak lelah tapi umur yang makin bertambah.
Apatah lagi penyakit ini. Mereka butuh kita, butuh orang yang lebih paham untuk menuntun kehidupan beragama agar lebih baik. Tau sendirilah kau seperti apa hidup di lokasi seperti ini. Ladang jihad mu ada di sini…

Malam telah larut. Tak ada keriuhan seumpama siang yang penuh vitalitas gerak manusia mencari kehidupan. Hanya gelap dan angin yang sesekali menggemerisik menyemilir. Temaram lampu berpendaran.

Lukman tengah membaca ulang nukilan surat dari bapak yang dikirim sebulan sebelum kematiannya. Surat yang memintanya pulang jika ilmu agama yang ditimbanya dirasa cukup. Pulang untuk menggantikan posisinya sebagai imam mesjid di emplashment (perkantoran dan perumahan karyawan yang berada di tengah areal) perkebunan kelapa sawit di pelosok tepi hutan.

Pergulatan batin antara cita-cita dan realita yang Lukman alami cukup menguras waktu dan energi. Beberapa kali harus konsultasi ke dosen yang telah menjadi orang tua angkat di kampusnya, sesepuh agama tempatnya biasa berkeluh- kesah, hingga teman-teman. Bukan ingin menolak keinginan orang tuanya tapi memperoleh masukan cara seperti apa agar bisa mewujudkan kedua amanah tersebut—cita-cita dan realita.

Oleh almamaternya, Lukman sudah ditawari untuk jadi dosen. Kapasitas dan kualifikasinya memenuhi syarat. Iapun berminat meneruskan pembelajarannya ke level yang lebih tinggi. Jihad melalui pendidikan, demikian ia meyakini. Namun surat dari bapak telah menyentak nuraninya.

Jihad dengan turun langsung membina umat dan memajukan agama juga sama pentingnya, apalagi orang tua yang meminta, demikian argumen dosen, sesepuh agama, dan teman yang dimintai pendapat. Maka, dengan keyakinan, tekad, dan nawaitu untuk berjihad, Lukman pun memenuhi keinginan bapak. Pulang ke ranah tempatnya dilahirkan.

Lukman sangat memahami kehidupan di perkebunan kelapa sawit karena ia lahir dan besar di situ. Dunia perkebunan yang keras, serba minimalis, sulitnya aksesibilitas karena masih berupa jalan tanah merah yang kering-berdebu-meranggas di musim kemarau dan becek berlumpur di musim hujan. Lokasi yang ada di pedalaman sehingga jauh dari infrastruktur peradaban modern terutama komunikasi.

Beberapa perusahaan perkebunan besar ada yang menjalin kerjasama dengan perusahaan seluler untuk membangun menara di lokasi namun tak sedikit juga perusahaan perkebunan yang hanya memanfaatkan sedikit signal yang melintasi area perusahaan. Situasi itu tergantung kondisi kantong perusahaan, dan Lukman marfhum, perusahaan perkebunan yang jadi ‘kampung halamannya’ tergolong hanya pemanfaat lintasan signal seluler.

Bapak adalah Imam mesjid utama dan satu-satunya yang ada di perusahaan. Ups, tunggu, jangan bayangkan mesjid utama adalah mesjid besar nan megah meski sudah berdinding tembok dengan ornamen menarik dan sound system lumayan mumpuni. Namun kondisinya cukup tua dengan biaya operasional bersumber dari donatur jemaah.

Beberapa perusahaan perkebunan skala besar memang memiliki mesjid megah—juga gereja dengan bea operasional yang ditanggung oleh perusahaan. Tapi mesjid di perusahaan tempat bapak mengabdi belum seperti itu. Dan situlah bapak mengajarkan membaca Al Quran, memimpin shalat berjamaah, berceramah, dan aktivitas rutin keberagamaan dengan bayaran gaji dari perusahaan.

Tak jauh dari lokasi mesjid juga berdiri gereja untuk ibadah umat Kristiani. Lukman mengenalnya dengan sebutan Pak Lamhot Pendeta. Mereka bertetangga baik dan saling menghargai-menghormati. Kondisi fisik gereja pun tak jauh berbeda. Seperti Bapak, Pak Lamhot Pendeta juga telah mendedikasikan umurnya untuk melayani umat di perusahaan perkebunan itu.

Sejarah memang telah menyebutkan bahwa pengelolaan perkebunan kelapa sawit berbasis perusahaan mulai muncul di Sumatera Utara (juga Aceh) pada tahun 1870an kemudian menyebar. Maka tak heran jika di perkebunan kelapa sawit, banyak orang Batak jadi pekerjanya mulai dari level tinggi hingga pekerja harian.

Semua pun marfhum bahwa religiusitas suku bangsa Batak adalah Kristen. Menjadi paradoks karena lokasi perkebunan umumnya berbatasan dengan masyarakat peladang di tepi-tepi hutan yang kebanyakan warganya adalah mayoritas muslim melayu Sumatera.

Lukman amat sangat marfhum bahwa tidak pernah ada pertentangan dalam bentuk apapun akibat perbedaan agama, meski ada juga satu-dua debat kusir soal aturan dan keseharian keberagamaan. Bapak dan Pak Lamhot Pendeta pernah saling tertawa ketika warga desa memprotes kenapa di gereja orang pada nyanyi-nyanyi.

Lalu soal diketemukannya sekumpulan botol bekas minuman keras di dekat halaman mesjid. Dengan tenang, Pak Lamhot Pendeta menjelaskan bahwa meminum minuman keras tidak ada dalam ajaran semua agama dan botol-botol ini adalah kebiasaan buruk. Penyelesaian dilakukan dengan janji untuk menasihati agar tidak berperilaku buruk di dekat pemukiman warga desa apalagi rumah ibadah.

Hal-hal ringan, ditanggapi dengan senyum bijak. Dan itu nyata terjadi di perusahaan perkebunan seperti yang Lukman alami sendiri di kehidupan masa kecilnya.

“Orang kebun memang identik dengan orang Batak dan Batak umumnya Kristen tapi jangan kau kira mereka semua Kristen yang saleh, ustad. Kalok ke tuak ya taat lah mereka tu”, gerutu Pak Lamhot Pendeta—menyebut bapak dengan ustad.

Kehidupan di masyarakat desa sekitar perusahaan, seperti yang Lukman saksikan sendiri pun, aturan keberagamaan juga longgar. Anak-anak gadis hanya berjilbab saat ke kota atau ada acara tertentu. Selebihnya ya bebas. Mesjid dan mushola ada beberapa tapi selalu lengang saat waktu shalat bahkan adzan pun jarang berkumandang. Mesjid hanya ramai saat shalat Jumat.

Bisa dipahami mengingat pola pertanian warga desa adalah petani peladang yang lokasinya bisa satu-dua hari jalan kaki. Kamis sore mereka pulang ke rumah dan jumat sore atau Sabtu kembali ke ladang. Demikian cara mereka menjalani hidup. Maka, di hari selain Kamis dan Jumat, desa hanya diisi kaum tua, remaja, dan anak-anak. Sungguh tantangan berat buat Lukman untuk mewujudkan jihadnya.

“Itulah umat kita di sini. Tugasmu kelak membantu mereka agar lebih baik”, jawab bapak. “Berat tugasmu tapi istiqomah lah. Niatkan dengan sungguh-sungguh karena untuk itu lah bapak mengirimmu ke pondok. Tak akan bapak lakukan jika bapak tak yakin denganmu”, lanjut bapak sambil menepuk bahu dan melempar senyum lembutnya.

Dan di sinilah ia sekarang. Sudah berbilang bulan ia memimpin mesjid, mengimami sholat, kadang mengumandangkan adzan, mengajarkan ngaji, ceramah, dan aktivitas rutin keagamaan lainnya. Kadang-kadang ia menyempatkan diri untuk bersilaturahmi ke mesjid atau mushola di desa yang berada di sekitar perusahaan untuk memberi ceramah dan nasehat-nasehat tentang perilaku beragama.

Memang bukan hal yang mudah dalam mengubah kebiasaan. Butuh waktu dan kesabaran. Dan laiknya kaum muda, Lukman pun sering tidak sabaran. Kadang- kadang muncul kegalauan tentang apa yang harus dilakukan, bagaimana bentuk masa depannya dan kapan proses ini selesai?

Terbersit rasa iri saat mendengar teman- teman semasa kuliah dulu ada yang telah wisuda master atau doktoral, menjadi penceramah kondang, dan cerita kesuksesan dari teman-temannya yang ditelpon- menelpon. Rasa jenuh mulai menggerogoti. Jihadnya seperti belum berbalas apalagi berwujud. Tetiba, ia merindukan kehidupan kampus.

Siang di suatu waktu. Menunggu waktu Dzuhur, Lukman membaca Al Quran sementara marbot tengah merapihkan peralatan setelah bersih-bersih. Matahari lumayan terik dan jam kantor masih berlaku. Satu dua kendaraan roda dua dan empat terdengar berseliweran. Biasanya para pekerja administrasi kantor kebun mengurus pekerjaannya. Rutinitas kehidupan dunia perkebunan pun berdetak seperti biasa.

Tapi tiba-tiba raungan mesin dan knalpot memekak. Tidak hanya satu tapi dua lima bahkan lebih dari puluhan sepeda motor berbondong-bondong memasuki area perkantoran perkebunan diiringi teriakan makian dan umpatan.

Puluhan orang turun sambil mengacungkan golok di depan pintu gerbang. Lainnya memutar-mutar gas. Mesin pun meraung-raung. Demo yang bakal rusuh, maklum pekerja kerah biru yang lebih banyak menggunakan otot untuk bekerja bercampur dengan warga desa yang biasa bekerja dengan golok atau parang.

Barisan sekuriti kewalahan menahan pintu gerbang. Dan ketika pintu jebol, para sekuriti pun berlarian tunggang langgang dikejar para pendemo. Puluhan motor lainnya masuk area perkantoran dengan suara memekakkan telinga bercampur jerit ketakutan karyawan perempuan. Golok dan potongan kayu diacung-acungkan sambil teriak meminta manajemen perusahaan keluar.

Manager kebun (ada yang menyebutnya Estate Manager ada juga Kepala Kebun) keluar kantor didampingi beberapa asistennya dan dikawal sekuriti. Ada dialog, debat, saling teriak, makian, dan bentakan.

Sepertinya tak ada kesepakatan karena manajer berserta rombongan tiba-tiba masuk ke dalam dan sekuriti menutup pintu utama kantor. Para pendemo marah dan mulai melempari kantor dengan beragam benda. Bakar. Hancurkan! Teriakan yang memekakkan.

Semua dirusak. Tetumbuhan di taman depan kantor, pos sekuriti, menara radio, kaca-kaca bertebaran, dan kursi, meja rebah berserakan. Beberapa kaca mobil yang terparkir dipecah dan sepeda motor ada yang dibakar.

Lewat pintu belakang, para karyawan berlarian keluar kantor. Pendemo makin beringas dan hal yang dikhawatirkan pun terjadi, saat mereka mulai memasuki area perumahan karyawan. Pos sekuriti kompleks perumahan mulai terbakar. Para ibu dan anak-anak yang tadi menonton dari kejauhan, berhamburan ke rumah masing-masing lalu mengunci pintu. Tangisan bercampur teriakan berkelindan dengan sirene yang meraung-raung.

PULANG

0

PULANG

“Ajeng….”
Kujeda bacaan Qur’anku karena aku seperti mendengar suara orang memanggilku. Suaranya halus seperti orang berbisik. Apakah itu hanya halusinasiku semata? Gubug ini berada di tengah hutan, jauh dari pemukiman warga. Artinya aku tak punya tetangga.

Orang yang melintas di sekitar pun jarang sekali, paling hanya pencari kayu bakar saja, itupun tidak tiap hari lewat.

“Ajeng….
Panggilan itu kembali terdengar. Kupastikan itu memang panggilan nyata, bukan halusinasiku saja. Segera kututup mushaf Qur’anku. Kuletakkan dengan hati-hati di atas sajadah. Pelan kubuka pintu yang reot dan bolong di sana-sini.

Seorang wanita lima puluhan masuk terburu-buru setelah menengok ke kanan kiri, memastikan tak ada orang yang melihat.

“Uwak.” ucapku sembari meraih tangannya untuk kucium. Tapi tangan kanannya membawa sebuah bungkusan plastik. “Uwak kok tahu Ajeng di sini?”
“Ada yang bilang sama Uwak. Orang tuamu mana?” tanya wanita itu, yang kupanggil dengan Uwak Rum. Dia adalah sepupu ibuku.
“Pergi, Wak. Sudah tiga hari belum pulang.” jawabku lirih. “Kemana?” Aku menggeleng lemah.
“Ada makanan?” Kembali kugelengkan kepala.
“Keterlaluan orang tuamu. Anak perawan dibiarkan sendirian di tengah hutan. Tidak takut diapa-apakan orang apa dimangsa binatang!” runtuk Uwak Rum. “Nggak dikasih makan, lagi!”
Nggak apa-apa, Wak. Ajeng tidak takut.”
“Andaikan Wak nggak takut sama tetangga, kamu sudah kubawa pulang, Jeng.”

Aku terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Sudah dua minggu lebih aku dibawa orang tuaku ke gubug ini. Kami tinggal di gubug ini, tanpa aku bisa protes sama sekali. Mulanya memang takut, tinggal di tengah hutan tanpa tetangga, tanpa listrik. Gelap dan sepi.

Apalagi jika orangtuaku pergi entah kemana, katanya mencari nafkah, tapi mereka jarang pulang dengan membawa uang atau makanan untukku. Aku sudah terbiasa sendiri, sepi, dan lapar. Aku nyaris benar-benar puasa tanpa sedikitpun makanan yang mampir ke lambungku. Hanya air putih yang kuambil di mata air dekat gubug sebagai pembuka puasaku. Kadang aku beruntung mendapatkan makanan dari pencari kayu bakar.

“Ini buat buka. Jangan langsung dihabiskan, ya. Simpan buat sahur nanti. Jaga-jaga kalau ayahmu pulang tidak bawa makanan.”

Uwak Rum menyerahkan bungkusan plastik itu padaku. Sebungkus makanan dan seplastik teh hangat. Kuterima dengan berlinang air mata. Air mata haru, karena Uwak begitu menyayangiku meski Ibu membencinya.

“Terima kasih, Uwak.”
“Uwak langsung pulang, sudah mulai gelap. Hati-hati ya, Ajeng? Insyaallah Uwak akan membawamu pulang. Doakan ya, Nduk?”

Uwak merengkuh tubuhku, mencium keningku dalam-dalam. Kurasakan keningku basah dan hangat. Uwak pasti menangis. Setelahnya ia melepaskan pelukannya dan langsung keluar. Uwak tak ingin aku melihatnya menangis. Kulihat dia bergegas berjalan pulang hingga punggungnya tak lagi nampak.

Entah sekarang jam berapa, tak ada penunjuk waktu di sini. Yang kutahu hari sudah gelap. Tetapi belum waktunya bagiku menyalakan pelita yang kubuat sendiri dari percobaanku di kelas. Sebuah botol kecil diisi minyak goreng. Tutupnya dilubangi kecil untuk memasukkan kain yang dipilin sebagai sumbunya. Aku harus menghemat karena minyak yang tersisa tinggal sedikit.

Oh ya, namaku Ajeng. Jangan tanya nama panjangku karena aku tak hafal. Nama pemberian dari Kakek ini terlalu panjang disematkan padaku, jadi repot, terkadang ada satu kata yang hilang, terbolak-balik urutannya, atau salah lafal.

Tapi aku tak mau ambil pusing, cukup panggil aku Ajeng. Tapi jangan coba-coba panggil aku Ajeng di hadapan Kakek, atau kalian akan merasakan kemarahan Kakek. Lantas apa panggilan untukku? Diajeng! Harus begitu, kata Kakek Diajeng adalah nama penghormatan sebagai cucu seorang tokoh seperti beliau.

Siapa yang tak kenal Kakek? Tinggal sebut nama beliau, Juragan Wardi, di hadapan pedagang sayur, maka pedagang sayur itu akan berkeringat dingin, dan bisa jadi kalian tidak perlu membayar. Sebut nama Kakek di hadapan preman pasar, pasti preman tersebut akan mencium tanganmu. Jika sedang berurusan dengan hukum atau birokrasi, sebut saja nama Kakek, bereslah urusanmu. Begitu yang dikatakan Ibu tentang Kakek.

Aku tidak tahu apa sebenarnya pangkat dan jabatan Kakek, tetapi semua orang takut dan hormat. Tak ada yang berani membantah beliau jika masih ingin hidup tenang. Apalagi orang kecil, pejabat desa, polisi, bahkan kiaipun tunduk pada Kakek. Mereka semua menunduk di hadapan Kakek. Mengangkat rahang atau sekedar meluruskan pandangan sudah dianggap suatu tantangan bagi Kakek.

Hanya aku satu-satunya anak yang berani menatap wajah Kakek. Tentu, aku adalah cucu kesayangannya, cucu satu-satunya dari anak perempuan satu-satunya. Meskipun kata Uwak Rum, sebenarnya Ibu memiliki 3 saudara kandung tapi semuanya sudah meninggal waktu kecil. Dan akibat informasi tersebut, Uwak Rum harus merelakan wajahnya terkena bogem mentah oleh tangan Kakek.

Sejak aku bayi, Kakek yang menentukan segala sesuatu tentangku. Dari pemberian nama, selamatan, sampai sekolah, semua Kakek yang menentukan. Kakek memonopoliku. Aku ingat, suatu ketika Kakek sakit dan harus opname di rumah sakit, Kakek menelpon guru kelasku, memintakan ijin untukku tidak masuk dengan alasan tidak ada yang mengantar.

“Apa tidak ada yang bisa mengantar, Pak? Ayahnya atau ibunya?” tanya Bu Indah, guruku.
“Kamu jangan mengatur saya!” teriak Kakek. “Kamu guru honorer, kan? Mau kamu kubilang sama Kepala Sekolahmu biar kamu dipecat?”

Dan tiga hari kemudian, setelah Kakek sembuh, aku kembali berangkat sekolah. Ternyata Bu Indah sudah tidak lagi mengajar di sekolahku. Suasana kelas sepi. Teman-teman semakin menjauhiku. Ya, siapa yang berani berteman denganku? Semua takut pada Kakekku. Bahkan Kepala Sekolah dan para gurupun tak ada yang berani menegurku jika aku membuat kesalahan, tidak mengerjakan PR, dan lain-lain. Pedagang di kantinpun ketakutan jika melihatku datang untuk jajan, karena mereka sudah diancam oleh Kakek. Kakek melarangku jajan di kantin karena tidak higienis, katanya. Kakek takut aku diracuni.

Hampir setiap saat aku bersama Kakek. Kakek suka mengajakku jalan-jalan melihat-lihat sawahnya yang puluhan hektar, mengajakku berperahu mengelilingi tambak udangnya, atau membawaku bertemu orang-orang yang tidak kukenal. Pembicaraan merekapun aku tak paham karena aku masih kecil.

Namun suatu hari, dua bulan yang lalu, Kakek sering gusar dan marah-marah. Orang- orang kepercayaan Kakek memberi laporan yang membuat Kakek murka.

“Mereka sudah berani melawan, Juragan.” kata seorang anak buah Kakek yang sempat kucuri dengar.
“Kurang ajar! Siapa yang berani berbuat demikian?” Kakek memukul meja dengan tangan kanannya. Suara meja berderak karena bergeser sekaligus suara benturan mata cincin Kakek yang besar itu beradu dengan meja kayu.
“Sebagian besar pedagang, Juragan.” “Bagaiman bisa? Siapa di belakang mereka?” “Belum tahu, Juragan!”
“Cari tahu!” “Baik, Juragan!”

Beberapa orang itu kemudian pergi. Kakek masih bersungut-sungut. Dia mondar-mandir saja sambil berpikir. Sesekali dia melontarkan kalimat makian. Tetapi aku tak tahu siapa yang dimakinya. Di saat seperti ini, aku tak berani mendekati Kakek.

Dia kelihatan sangat menyeramkan. Aku masih duduk di pojok ruangan tak berkutik. Hanya itu yang bisa kulakukan. Jika aku beranjak, pasti akan ada orang yang disalahkan dan dihukumnya.

Begitulah, sejak hari itu banyak laporan yang masuk ke telinga Kakek, di mana-mana ada “pemberontakan”. Bahkan mereka sudah menyewa banyak pengacara untuk melawan Kakek. Melawan Kakek untuk apa, aku tak tahu. Aku hanya gadis kecil berumur sebelas tahun yang tak mengerti urusan orang dewasa.

Yang jelas mulai hari itu Kakek seperti tak peduli padaku. Dia sibuk mengurusi masalahnya yang nampaknya sangat pelik. Ayah dan Ibu juga ikut sibuk mengurus masalah itu. Sering terdengar makian dari mulut mereka.

“Usir Juragan Wardi!!!” Teriakan-teriakan yang terdengar sore itu mengganggu tidur siangku.

“Lintah darat!” “Perampok!” “Penjahat!” “Serakah!”
“Iblis!” “Pemuja setan!”

Aku berlari keluar, ternyata di halaman sudah berkumpul sejumlah massa yang marah dan mulai mengamuk. Kulihat Kakek keluar diiringi para centheng menghadapi massa itu.

“Kalian orang miskin tidak tahu diuntung!” seru Kakek. “Harusnya kalian berterima kasih padaku, kalian masih boleh tinggal di rumah-rumah milikku. Masih bisa berdagang, bisa mengurus keperluan kalian.”
“Bersyukur apanya? Justru kami rugi dengan aturanmu!” seru seseorang. “Terus kamu mau apa?”
“Kami mau kamu mengembalikan milik kami!” “Ambil saja kalau kamu bisa.”
“Orang ini sombong sekali! Bakar!!!” Teriakan itu entah dari mana asalnya. “Kalian belum tahu kalau aku kebal dari api? Haha…”
“Cincin itu kan jimatmu? Mana, tunjukkan!”

Kakek terperanjat menyadari cincin pusaka miliknya ternyata sudah tak melingkar di jarinya. Lebih terkejut lagi ketika para centeng di belakangnya membawa banyak benda pusaka “kesaktian” milik Kakek, melemparkan di tengah halaman. Mereka berkhianat.

“Bakar!!!”

Masih ingat di benakku ketika tiba-tiba tubuh Kakek diguyur sebuah cairan dari jerigen yang dari baunya kutahu itu bensin. Sekejap kemudian, sebuah obor dengan api menyala dilempar ke tubuh Kakek. Aku memekik, kututup mataku. Tak kuasa aku menyaksikan pemandangan itu. Hingga aku merasa seseorang menyeretku.

“Ayo kita lari.”

Ayah menyeretku keluar dari pintu belakang. Di belakang rumah, Ibu sudah menunggu. “Apa yang terjadi, Yah? Mengapa mereka membakar Kakek?” tanyaku ketakutan. “Mereka marah sama Kakek. Kita harus menyelamatkan diri agar tidak ikut dibakar.”

Kami terus berlari secepat mungkin sebelum massa yang mengganas itu menyadari. Kami berlari hinga tiba di hutan, terus berjalan masuk ke dalam hutan. Beruntunglah ada sebuah gubug yang bisa digunakan untuk bersembunyi sementara.

***

Tengah malam kudengar pintu diketuk. Kubuka pelan-pelan. Ibu pulang sendiri. “Mana Ayah, Bu?”

“Kita pergi dari sini, sekarang.” perintah Ibu tanpa menjawab pertanyaanku. “Ayo!” Ibu menarik tanganku. Aku mengikuti saja langkah Ibu yang terburu-buru. Suasana di hutan ini sangat gelap, mataku perlu beradaptasi dulu sebelum melangkahkan kaki.

“Ayah mana, Bu?” Kuulang lagi pertanyaanku. “Ibu tidak tahu.” Jawabnya pendek.
“Kemarin kan Ibu pergi sama Ayah, sekarang Ibu pulang sendiri. Ayah mana? Dan kita mau kemana?”
“Sudahlah, diam saja. Ikut Ibu!”

Aku tak berkata-kata lagi. Begitu banyak pertanyaan di kepalaku tapi kusimpan saja. Ibu tak bisa diprotes, persis seperti Kakek. Sifat Ibu yang menurun dari Kakek. Cukup jauh kami berjalan di kegelapan malam. Dingin menembus tulang. Beberapa kali kakiku yang tak beralas menginjak sesuatu yang kasar dan agak tajam. Tapi aku memutuskan untuk diam, tak mengeluh, tak juga bertanya, mengikuti perintah Ibu. Hingga sebuah teriakan menghentikan langkahku.

“Berhenti! Angkat tangan!”

Tiga orang berseragam polisi berdiri beberapa meter di hadapan kami sambil menodongkan senjata. Ibu membalikkan badan dan berlari sambil menyeretku. Sialnya, kakiku tersandung sebuah akar pohon. Aku terjatuh yang otomatis membuat Ibu kehilangan keseimbangan dan ikut terjatuh. Para polisi itu dengan mudah menangkap Ibu, memasangkan borgol di tangannya. Ibu tak mengucapkan sepatah kata pun. Aku ikut naik mobil terbuka, duduk di sampingnya. Tetapi para polisi itu tidak memborgol tanganku.

Aku tak tahu apa yang terjadi. Yang kutahu, beberapa jam kemudian Uwak Rums datang menjemputku. Setelah berbicara dengan para polisi dan menandatangani surat-surat, aku dibawa Uwak Rum pulang ke rumahnya, yang hanya berjarak beberapa puluh meter dari bekas rumahku yang kini tinggal puing-puing. Dari berita di TV barulah kutahu, Ibu membun*h Ayah setelah mengetahui bahwa Ayah adalah dalang dari peristiwa pemberontakan yang berujung pembakaran itu.

***
Tamat