“Aku takut anak kita mati dalam perang, Mas. Carilah nama yang lain!”
“Pahlawan itu tidak disiapkan untuk perang, Dik. Pahlawan itu menjaga semesta. Agar damai jadi milik semua.”
“Begitukah?”
“Percayalah, aku ayahnya.”
Maka sejak hari itu untuk pertama kalinya darahku mengalir di tubuh Pahlawan. Dia menghisap dengan kuat dan dalam. Dia kekar dan besar. Tapi wajahnya jauh dari garang. Wajahnya lembut dan tenang.
Pahlawan terus tumbuh besar. Seluruh hidup kami untuk Pahlawan. Setiap suamiku pulang dari laut, bergegas dia menemui Pahlawan. Seperti hari ini.
“Assalamualakaikum Jenderal Ahmad Yani. Apa yang hendak kau laporkan sore ini?” “Siap, Presiden Sukarno. Aku tadi ditunjuk membaca puisi, menjadi imam sholat Duhur,
dan tujuh kali anak panahku tepat sasaran”
“Wow itu luar biasa. Lalu apa rencanamu sekarang, jenderal?” “Mengaji di musholla”
“Laksanakan!” “Siap. Laksanakan!”
Seperti biasa, aku terkekeh mendengar obrolan ayah dan anak itu. “Sudah-sudah. Ayo sana, cepat mandi!”
“Siap, Bu” teriak Pahlawan sambil berlari ke belakang.
***
Malam itu tidak banyak bintang di langit. Tapi sempurnanya sinar rembulan membuat kami bertiga tergoda merebahkan tubuh di beranda. Sementara punggung kami menghirup dingin ubin, tiga pasang mata kami menikmati hangat bulan jingga.
“Pak?” “Ehmm”
“Apakah setiap malam, Jenderal Ahmad Yani sempat tidur malam menikmati bulan?” “Ehmm, mungkin dalam satu malam beliau pernah melakukannya. Namun bapak yakin,
seorang patriot seperti beliau pasti tidak pernah berhenti memikirkan keselamatan negerinya.”
“Meskipun malam waktunya tidur?”
“Ya, meskipun malam sebelum beliau tidur.”
Pahlawan terdiam. Aku menoleh padanya. Sempat kutangkap kilatan matanya seperti sedang mengirim pesan pada rembulan.
“Pak?” “Ehmm …”
“Aku ingin jadi jenderal. Agar bisa jadi pahlawan.”
Aku tersenyum. Suamiku tertawa kecil. Lalu digenggamnya kedua bahu putra satu- satunya itu.
“Nak, tidak harus jadi jenderal untuk menjadi pahlawan. Setiap kau melihat suatu keadaan yang buruk, dan kau kerahkan seluruh yang kau punya untuk menjadikannya lebih baik, …”
“Sesungguhnya kau telah menjadi pahlawan, seperti nama yang kami berikan padamu.”
Kulirik suamiku. Dia tampak puas dengan kalimatnya yang kulanjutkan. Kami bertiga melempar senyum pada rembulan.
***
Siang yang terik adalah anugerah bagi kami ibu-ibu kampung nelayan. Inilah saat terbaik bagi kami menjemur ikan. Tepat di bawah terik matahari yang menyengat kami membariskan ikan-ikan yang telah bersih disayat.
“Buu!”
“Eh, Pahlawan. Sudah pulang, Nak?” “Ibu disuruh bu guru ke sekolah besok.” “Iyakah?”
Seketika napasku kembali teratur mendengar jawaban bu guru. “Pahlawan anak ramah. Suka membantu tanpa diminta. Bahkan …” “Bahkan apa, Bu?”
“Bahkan tak ada yang berpikir untuk apa melakukan hal-hal yang tampak kecil seperti yang dilakukan Pahlawan. Merapikan sepatu di depan pintu perpustakaan, menurunkan bendera di tiang ketika turun hujan, mematikan kipas angin kelas ketika semua pulang,…..”
“Masya Allah … Alhamdulillah” aku tersenyum senang. Sejuk rasanya mendengar pengakuan bu guru.
“Pekan depan ada lomba panahan tingkat SD dibalai kota. Pahlawan terpilih mewakili desa. Sampaikan ke bapak untuk terus melatih ya?”
“Baik…Insya Allah, Bu”
Bergegas kupulang ke rumah. Kusampaikan semua pada sang ayah. Dua pasang mata kami berbinar cerah.
***
Pagi ini lebih hangat dari biasanya. Seolah doa kami untuk kemenangan Pahlawan disimpan rapat rembulan dan diterbitkan mentari pagi ini.
Suamiku tak melaut hari ini. Kami begitu percaya diri Pahlawan akan membawa piala dengan tawa siang nanti. Dan seperti janjinya tadi malam, suami berencana menemaniku ke pasar. Membeli jajanan kesukaan Pahlawan. Untuk merayakan kemenangannya dan delapan tahun usianya.
Baru saja suami menyalakan mesin motornya, seorang datang tergopoh-gopoh.
“Samin? Kenapa dia?” tanya suamiku heran begitu melihat penjaga kantin sekolah itu berlari mendekat.
“Pak, Bu, disuruh ke sekolah sekarang. Cepat!”
Aku dan suami berpandangan tak mengerti. Apakah Pahlawan menang? Secepat ini? Bukankah dia baru berangkat dua jam yang lalu? Mengapa Samin sampai datang berlari dengan wajah kusut berpeluh-peluh?
***
Tak biasanya, begitu ramai orang di sekolah. Anak-anak, guru, orangtua tumpah ruah. Bukankah seharusnya sekolah sepi karena semua anak pergi menonton pertandingan panahan di kota?
Seperti yang diminta Samin, kami menuju ruang guru. Semua mata menatap kami iba.
Tapi mengapa? Ada apa sebenarnya?
Di balik pintu, Bu Guru menyambut kami dengan wajah sedih. Kepalanya menunduk dalam.
“Apakah Pahlawan kalah lomba panahan?” tanya suamiku perlahan. “Buat kami, kalah menang, dia tetap Pahlawan” kataku menegaskan.
Bu Guru menggelang. Perlahan kepalanya menegak dan jelas terlihat matanya memar bengkak. Dengan patah-patah bu guru berkata …
“Tadi pagi…saat saya berangkat ke sekolah. Seorang remaja berambut kumal dan berkalung rantai besar menghadang saya di ujung jalan. Dia menarik tas dan tangan saya. Lalu….dia meninju mata saya. Seketika saya menjerit minta tolong. Saat itu….seorang anak datang. Dengan kuat dia mendorong remaja itu hingga jatuh. Dia menyuruh saya pergi menjauh.”
Aku dan suami saling menatap tak mengerti. Ibu guru berusaha berbicara sambil terisak lagi. “Ketika saya menjauh pergi, saya tidak tahu lagi apa yang terjadi. Hingga saya mendengar jeritan dan saya memutuskan kembali. Anak itu…anak itu sudah terkapar tak bergerak lagi. Sebuah belati tepat menusuk hati anak tadi.”
Tubuhku mulai bergetar. “Pahlawan? Dimana anakku pahlawan?” “Warga segera melarikannya ke rumah sakit. Tapi, terlambat …”
Bu Guru menenggelamkan wajahnya. Seakan tak mampu lagi berkata-kata.
Suami memelukku kencang. Tak satupun kata dia ucapkan. Aku hanya merasakan tubuhnya pun ikut terguncang. Dan air mata kami,…bertemu pedih.
“Bu guru? Anak itu? Pahlawan, a…anak kami?” suamiku mencoba mengatur nafasnya.
Makin kuat tanganku diremasnya.
Ibu guru mengangguk. Seketika tubuhku ambruk.
***
Dua tahun setelah Pahlawan dimakamkan, aku melahirkan. Suamiku memberi nama putra kedua kami, Pejuang.
“Din, aku lelah hidup seperti ini. Setiap hari aku harus berpura-pura bahagia demi kebahagiaan semua orang.”
Aku menunduk. Dina, sahabatku, menyimak dalam diam semua perkataanku.
Ya, aku adalah gadis berusia dua puluh lima tahun. Pekerjaanku sebagai kasir, membuatku sibuk dan tidak terlalu memikirkan untuk berumah tangga. Namun, bukan berarti aku tidak memiliki kekasih. Adam Wibowo, lelaki jangkung dengan kulit sawo matang, sudah membersamaiku selama hampir dua tahun ini.
Ayah dan ibuku selalu mendesak agar kami cepat menikah. Namun, sepertinya Mas Adam masih enggan untuk berkomitmen. Setiap kali aku tanya kapan dia mau melamarku, dia selalu bilang belum siap. Alasan klise seperti belum punya pekerjaan tetap atau masih mengumpulkan uang, selalu dia kemukakan.
Sudah sering aku yakinkan, kalau menikah itu membuka pintu keberkahan dan rezeki. Namun, semua alibiku selalu dia mentahkan. Entahlah, aku terkadang juga lelah menghadapinya.
Hingga pada suatu hari, tiba-tiba saja supervisor dari tempatku bekerja, berani melamar tanpa sepengetahuanku. Aku merasa kaget dan syok, tetapi tidak dengan kedua orang tuaku.
Mereka terlihat sangat bahagia. Tanpa persetujuanku, Bapak menerima dan memutuskan tanggal pernikahan secara sepihak.
Aku menangis, marah, kecewa, bahkan ingin rasanya memberontak dan pergi saja. Namun, bagaimana nanti nasib kedua orang tuaku. Semua persiapan pernikahan sudah tertata dengan rapi. Bahkan undangan pun sudah disebar. Haruskah aku menghilang begitu saja?
“Mengapa Bapak tidak memberitahu Murni, kalau ada yang melamar?” tanyaku dengan berurai air mata.
“Bapak lelah dengan pertanyaan para tetangga, Nduk. Bapak juga bosan dengan pandangan saudara, yang seolah bilang kamu akan menjadi perawan tua. Maafkan atas kelancangan Bapak, Nduk, tapi Bapak yakin Nak Bima itu pria bertanggung jawab,” ujar Bapak dengan mata berkaca-kaca.
Ah, ingin rasanya aku menenggelamkan diri ke dasar lautan saja. Biar aku bisa menikmati hidupku dengan bebas dan lepas. Namun, semua sepertinya hanya mimpi. Kini pesta pernikahan sudah ada di depan mataku.
“Murni tidak mencintai Mas Bima, Pak. Murni sudah punya Mas Adam,” ucapku sambil terisak.
“Pria yang baik tidak akan mengajak wanitanya berpacaran. Pria yang bertanggung jawab tidak akan membiarkan orang yang dicintainya berlumur dosa. Adam memang kamu cintai, tapi dia tidak mau bertanggung jawab pada dosamu. Nak Bima tidak kamu cintai, tapi dia berusaha ingin mengajakmu menuju surga-Nya. Cinta bisa tumbuh karena biasa, Nduk,” ucap Bapak panjang lebar.
Sungguh, menjalani hidup dengan pria yang tidak kucintai tak pernah terpikirkan olehku. Anganku semenjak dulu adalah hidup bersama pria yang aku cintai dan yang mencintaiku.
“Apakah Bima memperlakukanmu dengan buruk?” tanya Dina.
Aku menatap sahabatku itu. Semenjak sekolah menengah pertama, hanya Dinalah yang mengerti diriku. Apa pun masalah yang menimpaku, selalu Dina yang nomor satu aku beritahu. Bahkan kedua orang tuaku pun jarang tahu tentang masalahku.
“Mas Bima baik sekali, tapi aku tertekan saat bersamanya, Din. Ada rasa bersalah dalam hatiku saat membersamainya. Dan yang lebih parah lagi, bayangan Mas Adam selalu melintas di pikiran.” Aku berkata seraya menunduk. Ada air mata yang berusaha kutahan. Malu rasanya terlihat lemah di depan Dina.
“Bima mungkin tidak sebaik Adam, tapi Bima pria bertanggung jawab. Bukalah hatimu, jangan terlalu mengingat Adam. Agar ada celah untuk cintanya Bima,” ucap Dina, seraya mengelus pundakku.
Aku mendesah, serasa beban yang aku tanggung terlampau berat. Sungguh, berpura-pura bahagia itu tidak mudah. Meskipun lebih sulit untuk berpura-pura langsing.
***
“Sarapan dulu, Dek, biar perutmu tidak sakit,” ujar Mas Bima. Meskipun aku belum bisa melayani sepenuhnya, tapi sikap Mas Bima tetap lembut dan perhatian.
Mas Bima tidak pernah lelah untuk mengingatkanku makan. Bahkan terkadang saat istirahat, dia selalu menyempatkan diri untuk mengajakku makan siang. Entah mengapa hatiku belum bisa menerima semua ini. Bahkan, terkadang aku sangat benci saat melihat sosoknya tidur di tempat tidur yang sama denganku. Ajari aku mencintaimu, Mas, biar hatiku ini bisa terbuka untukmu.
Pagi ini entah mengapa aku menggigil kedinginan. Badanku panas, tapi berkeringat banyak sekali. Mungkinkah penyakit lamaku kambuh lagi?
Dulu, saat aku masih sekolah menengah atas, pernah di vonis terkena typus. Penyakit yang bersumber dari virus ini, bisa saja menyerang di saat kekebalan tubuh menurun. Atau kala kelelahan yang sangat menerpa badanku. Namun, sepertinya sudah lama aku tidak merasakan sakit seperti ini.
Penghasilan Urip dari mengamen lumayan sejak pagi. Sarapan ia hanya membeli dua potong tahu isi dan segelas teh hangat. Urip bertahan sampai siang. Keluar dari gedung kosong Urip langsung bekerja memasuki pasar. Urip mengamen dari satu kios ke kios lainnya. Seluruh pasar ia kelilingi.
Setelah dari pasar baru Urip menuju rumah penduduk di belakang pasar. Urip berkeliling tanpa lelah. Urip ingin memiliki uang lebih untuk membeli keinginan hatinya sejak seminggu lalu. Urip masih terkenang pembicaraannya dengan Abah Mahmud Minggu lalu.
“Buku Belajar Elektronik itu berapa, Abah?” tanya Urip maju mundur. Abah Mahmud seperti tidak mendengar suaranya. Abah Mahmud sibuk di dalam lapaknya.
Urip ingin mengulangi pertanyaannya kembali. Tetapi ia urungkan. Urip merasa pemilik lapak itu sedang tidak enak hati. Terlihat dari sikapnya seakan tidak merasa dirinya ada. Urip bertahan untuk menunggu. Boleh jadi pemilik lapak ini mengenal wajahnya atau tidak asing dengan dirinya.
Tentu saja, Urip sering lalu-lalang melewati lapak Abah Mahmud. Urip menumbuhkan keberaniannya kembali. Selama ia tidak mencuri tidak perlu ada yang ia takutkan. Urip mengatur napas untuk mengeluarkan suara kembali.
“Abah Mahmud, bera…”
“Apa kau mau beli? Kau ada uang rupanya? Selain itu, untuk apa perlunya kau dengan buku, heh! Kau salah satu pengamen dari kelompokmu itu, kan? Sudah sana pergi! Kau membuang waktuku percuma saja.” potong Abah Mahmud ketus.
Urip tergagap mundur. Urip tidak memperkirakan menerima perlakuan kasar seperti itu. Urip berusaha menguasai diri. Bisa jadi, Abah Mahmud pernah kecewa dengan salah satu teman pengamen dari kelompoknya atau ada dari mereka yang menyenggol buku-buku yang menggantung saat lewat.
Lapak ini memang penuh sesak buku. Dari dalam sampai pinggir aspal penuh dengan buku. Bahkan di luar sini buku tersusun sangat tinggi. Urip memilih mengalah. Urip tidak ingin mencari masalah dengan Abah Mahmud. Sebab Urip sangat menyukai buku-buku bekas yang bertumpuk-tumpuk itu.
“Saya akan mengumpulkan uang lebih dahulu, Abah. Sebab itu saya ingin tahu harganya. Bolehkah saya tahu harganya, Abah?” Urip tetap bersikap sopan. Tiba-tiba Abah Mahmud mengangkat dagunya. Tegas Abah Mahmud menatap dirinya.
Urip tidak gentar. Prinsipnya tetap sama, selama ia tidak mencuri atau berbuat tidak baik, tidak perlu takut akan hal apa pun. Urip tetap berdiri di tempatnya. Kali ini Urip dengan gagah melihat ke arah Abah Mahmud. Cukup lama Abah Mahmud mengamati dirinya.
“Tujuh belas ribu saja untukmu. Apa kau bisa mencarinya?” ujar Abah Mahmud sinis.
“Terima kasih Abah. Minggu depan saya akan beli buku itu. Tolong simpan untuk saya. Buku itu untuk saya Abah.” jawab Urip penuh percaya diri.
Abah Mahmud tidak mengubris. Dia kembali sibuk dengan kertas-kertas di mejanya. Urip tetap meninggalkan kesan sopan pada Abah Mahmud. Urip tetap mohon izin sebelum meninggalkan lapak itu. Urip berjalan cepat bersama segenap keinginannya untuk membeli buku bekas itu.
Urip mengintai kembali Suasana lapak itu. Kini lapak itu sudah benar-benar terbuka dan siap menunggu pembeli. Lapak itu memang buka pagi dan sore hari. Siang hari lapak itu tutup sampai jam tiga sore. Sebentar lagi saja. Urip bersabar menahan kakinya untuk segera melangkah.
Lapak itu seperti kios-kios sejajarnya dibangun secara serampangan. Mereka membangun tepat di pinggir rel kereta api. Bangunan liar sebenarnya. Lapak itu unik sendiri karena kios-kios di kanan kirinya lebih cenderung berjualan makanan dan kios grosiran. Bahkan di ujung lapak itu ada kios tambal ban yang kadang cukup ramai juga.
Urip menunggu sampai lapak itu sepi pembeli. Sepasang remaja tampak serius berbicara dengan Abah Mahmud. Urip tidak ingin ada orang lain melihat dia diperlakukan kurang sopan oleh Abah Mahmud. Tidak lama sepasang remaja itu pergi. Urip segera menyelesaikan misinya.
“Abah Mahmud, saya mau mengambil buku Belajar Elektronika. Pesanan saya seminggu lalu. Bukunya masih ada, Abah?” Urip membuka suara begitu berada di tengah lapak itu.
Abah Mahmud menoleh terkejut. Ruang dalam lapaknya cenderung gelap. Perlu beberapa detik ia mengenali suara dari orang yang berdiri di tengah lapaknya. Melihat kaos yang orang itu kenakan Abah Mahmud langsung sadar. Anak jalanan itu lagi. Abah Mahmud menoleh ke sudut lapaknya. Buku itu masih tergantung rapi di dalam plastik berdebu.
“Kau sudah punya uang?” tanya Abah Mahmud curiga.
Urip merogoh kedua saku celananya. Cekatan Urip menyusun rapi uang-uang miliknya. Urip juga merogoh saku celana bagian belakang. Sengaja Urip simpang uang kertas berjumlah genap di saku celana belakang. Uang itu terkumpul sesuai jumlah yang dikatakan Abah Mahmud Minggu lalu.
“Uangnya Abah.” Urip menyodorkan kumpulan uangnya dengan sopan.
Abah Mahmud menarik buku yang tergantung itu dengan pengait miliknya. Buku itu ia raih dengan tangan kiri. Setelah pengait itu ia kembalikan ke tempatnya Abah Mahmud memberikan buku itu di depan Urip. Sikap Abah Mahmud menunjukkan rasa tak suka.
“Uangnya Abah,” ujar Urip kembali. Abah Mahmud menerima tanpa menghitung terlebih dahulu. Bahkan Abah Mahmud tidak melihat sama sekali pada pembelinya.
“Terima kasih, Abah.” ucap Urip penuh rasa gembira. Sejenak Abah Mahmud tercenung di tempatnya. Abah Mahmud sadar akan sikapnya. Tetapi bocah ini tetap sopan.
“Mau kamu apakan buku itu?” tanya Abah Mahmud penasaran.
“Radio teman saya rusak. Dia sangat sedih. Saya ingin membantunya.” Senyum Urip.
Abah Mahmud terkesiap. Abah Mahmud masih tidak percaya dengan apa yang ia dengar barusan. Sejenak ia mengamati anak jalanan itu. Umurnya paling sekitar empat belas tahun. Penampilannya cukup bersih walau baju yang ia kenakan selalu itu-itu saja.
Abah Mahmud kenal kelompok anak jalanan ini, posturnya ceking. Satu yang unik dari anak jalanan ini. Matanya bercahaya dan tampak kecerdasan di sana. Abah Mahmud menghela napas berat. Abah Mahmud kenyang dengan segala masalah sosial di depan hidungnya.
“Apa kau bisa membaca?” Suara Abah Mahmud mengurungkan langkah Urip. Mau tidak mau Urip membalikkan badan melihat pada Abah Mahmud.
“Bang Jampang mengajari kami membaca.” jawab Urip bungah.
“Jampang! Maksud kau, Jampang penghuni gerbong rusak di ujung sana?” suara Abah Mahmud sedikit bergetar.
“Betul Abah. Bang Jampang menempa kami dengan keras. Sore pulang dari mengamen kami harus segera mandi bersih. Setelah itu kami wajib memasuki rumahnya di dalam gerbong rusak itu. Kami diminta duduk melingkar. Bang Jampang dengan keras mengajari kami membaca. Bang Jampang ingin kami bisa membaca. Bang Jampang tidak ingin kami buta huruf. Bang Jampang benar-benar mendidik kami dengan keras Abah.” ungkap Urip tegas bernada bangga.
Abah Mahmud lama terdiam. Berita itu sudah menjadi cerita dari mulut ke mulut perihal Jampang. Pria bertato sebesar raksasa itu sangat ditakuti orang-orang sepasar. Sekitar pasar, rumah-rumah kumuh di samping rel kereta api, sampai perbatasan kampung sebelah, keamanan sangat terjamin sejak ada Jampang yang mengaturnya.
Jarang terjadi pencopetan. Pertikaian di warung remang-remang. Tidak pernah orang kuat menindas orang lemah selama ada Jampang. Siapa sangka di balik itu semua, Jampang memiliki keluhuran budi untuk mengajari anak-anak jalanan yang datang entah dari mana saja. Bukan itu saja, setiap ada orang yang kemalingan apa saja, begitu melapor pada Jampang, tidak perlu lama, barang hilang itu segera kembali. Jampang sangat terkenal. Abah Mahmud tahu sekali itu.
“Sayang Bang Jampang sudah Almarhum, Bah. Keadaan berubah total sejak Bang Jampang tidak ada. Tetapi saya bangga, karena kami bisa membaca karena Bang Jampang. Saya tidak mungkin lupa untuk semua nasihat Bang Jampang selama mendidik kami. Saya ingin meneruskan sikap Bang Jampang, menolong sesama teman sebisa mungkin. Saya membeli buku ini untuk menolong teman saya yang sangat sedih radio kesayangannya rusak. Saya ingin belajar dari buku ini, Abah.” Urip tersenyum pada Abah Mahmud.
Abah Mahmud tersenyum haru setelahnya. Bola mata bocah ini benar-benar berbeda. Abah Mahmud melihat kecerdasan di dalamnya. Cerita hidup menyebabkan anak ini hidup di jalanan. Abah Mahmud menyakini, andai saja anak ini sekolah dengan baik, niscaya masa depannya pasti sangat baik. Tulisan tangan menjadikan anak ini hidup di jalanan.
Abah Mahmud bergerak menuju buku-buku bacaan bekas miliknya. Abah Mahmud mengambilnya setumpuk secara cepat. Urip memperhatikan tindakan Abah Mahmud heran.
“Bawalah buku ini, baca bersama teman-temanmu.” Senyum Abah Mahmud.
Urip pulang dengan gembira ke rumah perkumpulan mereka. Gedung kosong yang tidak selesai dibangun karena sengketa yang tidak jelas. Banyak tuna wisma berkumpul di sana. Nyaris seluruh lantai gedung kosong itu di tempati orang-orang dari berbagai penjuru.
Urip bersama kelompoknya ikut menempati di sana. Tidak ada yang bertanggung jawab di gedung kosong itu. Aturan tidak tertulis adalah, setiap saat mereka harus cepat meninggalkan gedung kosong itu apabila ada satpol PP datang secara tiba-tiba. Sesama penghuni biasanya saling info untuk hal-hal penting seperti itu.
Urip membawa buku setumpuk. Malam hampir menjelang. Di tempat mereka hanya ada satu bola lampu menyala hasil dari rakitan Urip mengambil saluran dari lampu penerangan jalan. Urip dengan kepintarannya menarik arus listrik untuk menerangi bedeng- bedeng mereka. Urip memperlajarinya dari buku. Urip di sambut beberapa anak yang sudah sampai di tempat perkumpulan mereka.
“Kamu bawa apa?” tanya salah satunya.
“Buku bacaaan. Ayo, kita kembali seperti masa-masa bersama Bang Jampang. Kita membaca buku. Kebetulan Lapak Abah Mahmud memberikan setumpuk buku ini secara gratis. Ayo, semua harus membaca!” ajak Urip tegas. Dia teringat cara-cara Bang Jampang.
Semuanya berlari mendekati Urip. Mengambil tumpukan buku dari tangannya. Mereka begitu senang menerima buku itu. Saling berebut mencari buku sesuai kesenangan masing-masing. Buku itu cukup banyak. Semua anak yang ikut berkumpul kebagian buku untuk dibaca. Urip terharu menyaksikan teman-temannya masih sangat mencintai buku. Buku Belajar Elektronika sudah ia pegang sejak tadi. Lelahnya terbayar dari antusias kelompoknya.
Suasana beruabah hening. Abak-anak mencari tempat masing-masing untuk membaca. Urip membiarkan teman-temannya asyik dengan buku hasil pinjaman dari Abah Mahmud. Urip ingin segera mandi lalu membaca buku yang ada di tangannya untuk memperbaiki radio milik Harso sahabat baiknya.
Sampai tengah malam Urip mengotak-atik radio itu dengan tekun. Berulang kali Urip membaca buku yang terbuka secara cermat. Malam sudah tinggi. Teman-teman Urip sudah tidur bersusun. Urip masih berusaha memperbaiki radio milik Harso. Di tengah keseriusan Urip membaca bukunya, dari kejauhan Urip mendengar suara-suara cukup ramai.
“Satpol PP, Satpol PP! Satpol PP!!” teriak orang-orang dari ujung gedung. Tidak butuh waktu lama suara gaduh itu kian merebak ke mana-mana. Seluruh gedung panik!
Urip terkejut mendengar kegaduhan itu. Sepontan beberapa teman Urip terbangun merasakan kegaduhan itu. Urip berlari ke depan lorong, satu kompi berseragam ada di sana.
“Satpol PP!” teriak mereka berbarengan. Urip ikut mengggerakkan teman-temannya.
Seketika semuanya berhamburan mencari jalan keselamatan. Saling membangunkan yang lain, lalu bersama-sama mencari jalan untuk melarikan diri. Teriakan satu sama lain saling mengingatkan, gaduh! Urip tercengang lama! Radio Harso masih terbuka. Buku-buku pinjaman dari Abah Mahmud berhamburan di mana-mana. Seseorang menarik paksa tangannya. Urip terhuyung. Urip terus memikirkan radio Harso dan buku-buku pinjaman itu!
“1926, 1927, 1933, 1936, 1945‟ tulis Ustaz Diki di papan tulis dengan spidol markernya yang telah didesain untuk menuliskan kaligrafi. Ditulisnya angka-angka itu besar-besar berurutan ke bawah.
Para santri masih terdiam memperhatikan. Tidak biasanya selepas mengucap salam dan Tawasul Ustaz Diki bersikap seperti ini. Biasanya ia akan mulai pembicaraan dengan pembukaan hamdalah, sholawat dan tanya kabar sebagaimana yang sudah menjadi protokoler resmi, layaknya pengajian-pengajian ustaz-ustaz kesohor di majelis pengajian besar.
“1926 adalah tahun lahirnya?” teriak Ustaz Diki menggantung menunggu jawaban. “NU” sorak beberapa santri.
“1927?” tanya Ustaz Diki memancing.
“Persebayaaa” jawab seluruh santri bersamaan. Menciptakan gaung di ruangan. “1933 mulailah lahir Persib yang menjadi cikal bakal munculnya Bobotoh. Lalu 1936 lahirlah?” ucapan Ustaz Diki kembali menggantung. “Persija” sambut anak didiknya mulai antusias menyimak.
“Iya. The Jack Mania mulai lahir. Baru pada tahun 1945 Indonesia merdeka” tambahnya.
“Itu artinya” jelas Ustaz Diki dengan sebentar menghela nafas.
“Persebaya yang mempergunakan logo khas warna hijau adalah terinspirasi dari bendera Nahdlatul Ulama yang terlebih dahulu dideklarasikan oleh Hadlratusy Syaikh KH. Hasyim Asy‟ari bersama para kiai lainnya. Lahirnya Persebaya sebagai tim sepak bola yang dikelola secara mandiri memotivasi daerah lainnya melakukan langkah yang sama. Selang beberapa tahun selanjutnya lahir Persib, Persija dan banyak klub sepak bola di daerah-daerah di penjuru bumi Nusantara.
Hingga puncaknya, bangsa Indonesia menyadari bahwa mereka belum memiliki Indonesia sepenuhnya. Mereka perlu membebaskan diri dari imperialisme penjajah. Tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Waktu itu hanya Negara Mesir yang baru mengakuinya. Bahkan Belanda pun masih berani kembali ke Indonesia dengan tujuan secara terang-terangan hendak menjajah, bahkan dengan agresi militernya. Karena keadaan ini KH. Hasyim Asy‟ari kemudian mengeluarkan fatwa kewajiban ikut andil berjihad bagi laki-laki muslim yang berada dalam jarak 80 km dari Jombang. Sejak keluarnya fatwa itu pada 22 Oktober 1945 para santri berdatangan ke Jombang dan melakukan gerilya perlawanan terhadap tentara Belanda yang diakhiri dengan takluknya tentara Belanda oleh pejuang Indonesia pada 10 November 1945 yang kemudian diperingati sebagai hari pahlawan” jelas beliau panjang lebar.
“Fakta-fakta semacam ini harus dipelajari dan wajib diketahui oleh para santri. Kemerdekaan Indonesia tidak didapatkan dengan gratis, maka pertahankan dan manfaatkanlah. Jangan bermalas-malasan dan terbuai dengan keadaan. Tetaplah belajar dan berusaha, serta buatlah bangga bangsa kita” seru Ustaz Diki memotivasi.
Beliau menyampaikan ketidaksetujuannya dengan rencana bapak menteri pendidikan yang hendak menghapuskan mata pelajaran sejarah dari kurikulum pendidikan Indonesia. Ustaz Diki menangkal bahwa pelajaran sejarah hanya akan mengingatkan generasi muda hari ini kepada pengalaman-pengalaman kelam di masa silam. Menurutnya, justru dari sejarah kita belajar untuk berubah, agar tidak lagi terjatuh ke dalam kesalahan yang sama.
Hari itu para santri tidak ada kegiatan maknani kitabnya. Mereka mendapatkan materi pengenalan sejarah yang sangat berguna. Tidak ada yang mengantuk seperti biasanya. Semua antusias mendengarkan penjelasan yang tidak ditemui di antara lembar demi lembar kitab kuning.
“Kalau hidup hanya sekadar hidup, kera di rimba juga hidup. Kalau kerja hanya sekadar kerja, kerbau di sawah juga bekerja. Yang membedakan adalah, manusia memiliki tujuan dan cita-cita” Ustaz Diki berkata-kata dengan mengutip ungkapan Buya Hamka.
“Ingatlah, innal fataa man yaqulu ha anaa dzaa, laysal fataa man yaqulu kaana abii. Sesungguhnya pemuda sejati adalah mereka yang mengatakan „inilah diriku‟, bukan yang membanggakan orang tuanya” ucapnya kembali dengan menyitir moto yang sering didendangkan anggota organisasi bahasa Arab di pesantren.
Ustaz Diki pun menutup jam pelajaran siang itu dengan bacaan Doa Kafaratul Majlis dan salam, lalu meninggalkan kelas.
***
Raut bahagia ternampak pada wajah ustaz-ustaz senior Al-Hijrah. Mereka berhasil menyelesaikan studi sarjananya. Kuliah empat tahun dengan dosen yang usianya terpaut jauh lebih muda. Ustaz Soleh dan anaknya, Ustaz Anas tampak bersua foto bersama. Keduanya diwisuda dalam satu angkatan. Ustaz Diki tampak paling muda di antaranya.
Meski rata-rata sudah melampui setengah abad, para ustaz Al-Hijrah ini mau saja berkuliah, karena memang dawuh guru secara langsung. Mbah Yai Ahmad selaku pengasuh mengharapkan agar seluruh pengajar di Al-Hijrah adalah bergelar strata satu.
“Baru terasa dawuh Yai sekarang ini. Coba awak dewe gak kuliah, gak bakalan ikut haul di Singapura” ucap Ustaz Kafi yang usianya sudah kepala enam. Beliau mengenang bahwa akhir-akhir ini pemerintah Singapura mengeluarkan kebijakan baru tentang masuknya orang Indonesia ke negaranya. Hanya warga yang sudah bergelar strata satu yang boleh ikut haul di sana.
“Beliau mendirikan sekolah tinggi juga bukan tanpa alasan. Melainkan bentuk welas beliau agar kita-kita nggak hanya belajar ilmu agama tok. Supoyo gak ketinggalan zaman” kata Ustaz yang sejak kecil memang hanya sekolah di madrasah. Beliau menyadari benar bahwa dengan kuliah menjadi terbuka cakrawala baru yang tidak dipelajari di bangku pesantren.
“Agenda upacara ini tak lain adalah sebagai upaya syukur kita akan kemerdekaan yang berhasil diraih oleh para pahlawan pendahulu kita. Marilah kita wujudkan syukur itu dengan lebih rajin belajar, meningkatkan kualitas taraf manusia, agar memiliki jiwa merdeka” lantang Ustaz Kafi ketika didaulat menjadi inspiktur dalam upacara kemerdekaan. Meski baru kali ini menjadi kembali mengikuti upacara setelah puluhan tak lamanya, pidatonya mendapat sambut pekikan merdeka penuh antusias dari para santri yang berupacara mengenakan jubah seragam sehari-hari mereka.
***
Sudah hampir delapan puluh persen santri Pondok Pesantren Al-Hijrah kembali ke asrama. Setelah menjalani proses karantina dan dinyatakan negatif dari paparan virus, para santri diperkenankan masuk ke pesantren dan kembali menempati kamarnya, setelah ditinggal setahun lamanya. Apabila kedapatan kembali sakit atau sedang dalam kondisi sedang tidak fit, maka para santri diharuskan isolasi mandiri di gedung terpisah.
Pandemi virus ini mengubah segalanya. Tradisi makan senampan empat orang kini tak lagi dijalankan. Makan dalam satu nampan merupakan langkah menyamarkan kesedihan kondisi ekonomi. Dengan makan bersama, setidaknya masih ada teman yang tetap mau bersedekah tatkala kita sedang tak berpunya.
Kini masing-masing santri diwajibkan makan dengan piring pribadi. Tampak seperti keegoisan diri memang, tapi setidaknya ini adalah upaya agar tetap sehat dan kuat menghadapi pandemi yang tak kunjung minggat. Santri tidak boleh terlalu banyak beraktivitas yang melelahkan dan beristirahat secukupnya. Selain iman, imun juga harus tetap terjaga.
Yang masih tetap bertahan adalah kegiatan sholat berjamaah di masjid yang sekarang hanya diikuti oleh santri saja. Tidak ada keramaian anak-anak kecil warga sekitar pesantren seperti tahun sebelum-sebelumnya. Yang diperkenankan masuk ke
dalam area pesantren hanyalah para santri dan para asatid yang telah mendapatkan vaksin tahap kedua.
Santri ibarat satu keluarga dengan pesantren sebagai bahtera besar yang menampungnya.
Andre termasuk santri yang diuntungkan dengan adanya corona. Setidaknya setelah lima tahun di pesantren, tahun ini ia merasakan persamaan nasib sebagaimana santri lainnya. Ia termasuk santri luar provinsi yang memang jarang disambangi keluarga. Kini semua santri sama-sama tidak boleh sama sekali bertemu dengan orang tua. Kehidupannya berlangsung di lingkungan pesantren itu-itu saja.
Yang dikecewakannya adalah kenyataan bahwa sandal swallownya tetap hilang juga. Ia sudah sangat dekat dengan sandalnya. Sudah setahun lamanya sandal itu menemaninya di rumah. Ia memilih tidak berangkat ke pesantren karena pemberitaan media yang sedemikian mencekamnya menginformasikan corona. Sandalnya telah diukir dengan gambar sosok Naruto dengan harapan mampu dengan mudah mendeteksinya. Tapi ternyata trik ini masih tak berguna.
***
“Jajannya dikurangi dulu mas yaa. Mungkin baru bulan depan ayah baru akan ngirim. Nunggu ayamnya laku terjual” kata Ibu Adam di telepon.
“Nggeh, Buk” ucap Adam pasrah. Baru saja ia hendak mengabarkan kondisi keuangannya yang sudah agak kritis di rumah, namun berbalas informasi dari ibunya yang tidak mendukung. Ia harus menghemat sekuat tenaga. Pengeluaran tetap berjalan sebagaimana mestinya, tapi masukan sama sekali tak ada.
Pandemi ini mengajarkan untuk menjadi santri sejati. Tidak ada kesempatan untuk ke mana-mana. Pos-pos strategis dijaga oleh security yang hanya diperbolehkan dilewati oleh mereka yang memiliki kebutuhan mendesak dan mendapatkan tugas langsung dari pondok.
Tidak ada lagi kongkow santri keluar dari area pesantren. Tidak juga aktivitas orang yang dapat berziarah ke makam seperti biasanya. Kegiatan manaqiban juga tak semeriah dulu lagi. Setidaknya ini menjadi kesempatan bagi santri untuk lebih dekat dengan santri lainnya. Kekeluargaan dan kebersamaan mereka lebih terpupuk sebab pandemi.
“Ingat rek, nelayan yang hebat tidak terlahir dari lautan tenang, melainkan dia yang mampu menaklukan ombak besar di tengah lautan. Anggaplah ini ujian agar menjadi lebih hebat. Saya yakin kelak, dari balik sarung buluk yang kalian pakai itu, akan lahir generasi terbaik negeri ini” ucap Hadi dengan penuh semangat menirukan kata-kata Ustaz Diki di kelas.
Di pesantren, kita jumpai kehidupan berjalan sebagaimana mestinya. Duka dan cita tetap ada. Keduanya hal wajar yang dialami manusia. Tapi, saling tolong menolong dan bahu membahu menjadi tradisi yang tak bisa dibuang di sana. Perbedaan tak menjadi alasan untuk bisa berjalan beriringan bersama. Di sana ajaran Al-Qur’an dan hadits berusaha ditegakkan setegak-tegaknya. Juga nilai-nilai Pancasila.
Pipinya basah, luruh oleh air mata. Ainun tak tahan melepas kepergian Fikar. Namun apa boleh diucap, sudah demikianlah keputusan kekasihnya, mappetuada1sudah dilakukan, iktikad sudah dimantapkan, dan layar sudah dibentangkan. Fikar berjanji akan segera pulang lalu mengawininya. Orang-orang di bibir pantai melambaikan tangan, menjadi saksi atas janji seorang pria yang ingin mengawini kekasihnya. Dalam budaya Bugis-Makassar, siri jika janji yang demikian sakralnya dilanggar. Lebih baik mati daripada harus menanggung tulah tujuh turunan.
***
Tiga hari yang lalu, rumah panggung Ainun disesaki oleh keluarga besar Fikar, dua keluarga saling berhadap-hadapan, masing-masing diwakili oleh tetua: ritual mappetuada. Perbincangan alot perihal doi panai2belum menemukan titik temu. Keluarga mempelai perempuan mempersyaratkan doi panai sebesar seratus juta, ditambah lima karung gabah serta lima belas gram emas 24 karat. Kepala Fikar jadi meradang. Keluarga mempelai pria, yang diwakili oleh Ambo Icong, menunjukkan kepiawaian dirinya bersilat kata. Dia sudah paham bagaimana cara bernegosiasi dalam urusun seperti ini. Jam terbangnya menjamin itu semua.
“Begini Daeng! Harga yang dipatok barusan itu, jujur saja, sangat berat untuk kami,” kata Ambo Icong diplomatis, “perkawinan kan bentuk ibadah. Alangkah baiknya jika kita tidak saling mempersulit dalam ibadah. Lebih cepat lebih baik. Betul begitu, Daeng?”
“Iya memang betul. Kalau begitu, kita kembalikan saja kepada keluarga mempelai pria.
Kira-kira baiknya berapa?” kata perwakilan mempelai perempuan.
“Begini saja. Biar gampang. Uang panainya lima puluh juta, ditambah lima karung gabah serta satu set perhiasan emas,” tawar Ambo Icong.
“Tambah sedikitlah. Biar sama-sama enak, jadi tujuh puluh lima juta. Setuju?” “Baiklah kalau begitu, setuju.”
“Alhamdulillah,” kata semua orang serempak. Ketegangan oleh masing-masing orang akhirnya mencair. Mereka semua tidak mau apa yang dialami oleh sebagian orang terjadi juga di sini. Sebulan yang lalu di kampung sebelah, perkawinan batal karena tidak ada kesepakatan jumlah doi panai.
Setelah itu barulah masuk ke pembahasan teknis, mulai dari pesta yang dilaksanakan di mana, kapan, dan oleh keluarga siapa, tentu saja dengan tanggungan biaya masing-masing, hingga ke tanggal akad dan warna baju bodo yang akan dipakai oleh pengantin perempuan. Semuanya berjalan lancar dalam diskusi ringan dengan kopi hitam di tangan kanan dan kretek di tangan kiri.
1 Acara ritual untuk mengumumkan kabar baik dari kedua pasangan, mulai kesepakatan harga mahar, tanggal berlangsungnya pernikahan, dan keperluan pernikahan lainnya. 2 Uang belanja dan perhiasan yang diberikan oleh mempelai pria untuk mempelai wanita sebagai penghormatan.
Semua orang hari itu bernapas lega, kecuali Fikar. Baginya tujuh puluh lima juta itu masih angka yang besar, tetapi ia yakin cintanya masih jauh lebih besar. Maka ia kuatkan tekadnya, sebagai pria tulen, ia harus merantau dan bekerja keras untuk mengumpulkan doi panai. Ia tidak sabar untuk segera mengawini kekasihnya, Ainun. Demikianlah, kini ia dilepas oleh warga di bibir pantai, menyaksikan pertaruhan cinta anak suku Makassar, samudra kan ditaklukkan, badai kan diterjal, dan apapun itu yang akan menghalangi dua insan untuk saling mencinta, kan dilalui.
***
Gadis itu masih saja berdiri di sana, di atas bukit karang, dari pagi hingga senja mengintip di peraduan. Para nelayan sudah kembali dengan hasil buruannya, barulah gadis itu pulang ke rumahnya untuk besok kembali melakukan ritual yang sama, menunggu kekasihnya, berulang-ulang. Sejak kepergian Fikar tiga bulan yang lalu, Ainun tak pernah bosan menanti di atas batu karang sebagaimana air laut tak pernah bosan dengan garam.
Semua orang sudah maklum dengan gadis penunggu karang sepanjang hari. Itu adalah penantian yang panjang dan masa-masa yang krisis. Satu-satunya orang yang keberatan dengan Ainun tentu saja ayahnya sendiri. Sebagaimana kesepakatan ketika akad mappetuada beberapa bulan yang lalu, tenggak waktu Fikar untuk mengumpulkan doa panai kini sudah habis. Dan otomatis, ikatan kesakralan kedua keluarga mempelai terputus secara adat. Pihak perempuan sudah berhak untuk menerima lamaran pejantan yang lain. Tiga bulan penantian telah berlalu dan lamaran silih berganti berdatangan. Namun Ainun masih bersikukuh dengan cintanya.
“Tiga bulan kau menunggu dalam kesia-siaan. Kuburlah cintamu dan terimalah lamaran Pudding,” bujuk Ayahnya.
“Tidak, bapak!”
“Ia keturunan terakhir Sultan Hasanuddin. Mentereng harta benda, tinggi pangkat dan jabatan. Ia bisa membayar maharmu dua kali lipat. Jangan bodoh, Ainun!” bentak Ayahnya dengan intonasi tinggi.
“Sadar, bapak. Sadar! Ia bahkan lebih tua darimu.”
Keluarga Ainun hampir dibuat putus asa oleh kekeraskepalaannya. Ia akan terus menunggu pujaan hatinya betapapun para pria datang silih berganti menawarkan cinta yang lain. Ia akan menunggu tiga bulan, sepuluh bulan, sepuluh tahun, bahkan sampai kapanpun. Baginya, hukum adat lebih kerdil jika dibanding dengan cintanya, dan mungkin jauh lebih besar dari adat nenek moyangnya sendiri.
Berbulan-bulan telah berlalu. Air laut masih sama asingnya dan para nelayan yang dihantui penyakit reumatik di masa tua masih berlayar dengan perahu pinisi. Semuanya masih tetap sama sebagaimana cintanya. Tidak ada yang berubah. Hingga berhari-hari kemudian dalam penantiannya yang sepi di atas bukit karang, ia memperolah kesadaran spiritual, bahwa betapa berdosa dirinya, membuat orang tuanya apalagi ayahnya menderita dalam harapan memperoleh cucu yang sangat diidam-idamkannya. Hal yang paling mengganggu pikirannya adalah ketidakpastian cintanya.
Yang lebih membuatnya menderita adalah ketika suatu malam di saat ia sedang beristirahat di dalam kamarnya, ia mendengar ayahnya sedang bercakap-cakap dengan seorang tamu. Dan ia segera tahu bahwa seseorang datang melamarnya, untuk kesekian kalinya. Setelah tamu itu pergi, orang tuanya datang menemui dirinya yang masih terjaga.
“Mungkin ini lamaran yang ke sepuluh untukmu dan alangkah bodohnya jika kau menolaknya. Dia Puang Syarifulloh, kiai kondang di negeri ini.”
“Bapak, jangan tega! Kumohon, ia sudah punya dua istri dan lima orang anak.”
“Doraka3! Kau sudah menolak orang kaya dan kini kau menolak kiai,” ayahnya geram, “apa sesungguhnya maumu?”
“Aku hanya mau kawin dengan orang yang kucinta.”
Ainun menutup perdebatan malam itu yang jika dilanjutkan akan terjadi peperangan yang dapat membuat tetangga-tetangga kaget terheran-heran. Puncak penderitaannya terjadi di minggu pertama bulan ke sepuluh penantiannya, bukannya mendapat mahar, ia malah mendapat kabar, kalau kekasihnya sekarat digempur corona yang sedang melanda negeri seberang. Desas-desus yang lain mengatakan kekasihnya sudah mati dilahap badai, atau kekasihnya sudah kawin dengan gadis lain di negeri seberang. Di tengah-tengah semrawutnya berita itu, Ainun berusaha menyikapinya dengan ketenangan yang luar biasa, meskipun ia tahu sesungguhnya jiwanya sedang rapuh dalam penantian yang tak bertepi.
Ia jadi lebih sering melamun kalau tidak terlihat murung. Ia tidak bisa hidup tanpa cinta. Maka perlahan-lahan kewarasannya mulai minggat. Tiap kali ia menunggu di atas bukit karang dan melihat seorang lelaki nelayan yang baru pulang dari perburuan, ia akan berteriak-teriak kegirangan dan menyangka bahwa nelayan itu adalah kekasihnya yang telah pulang. Ia kemudian akan mengejar-ngejar nelayan itu yang ketakutan dan entah mendapat kekuatan dari mana ia akan berlari secepat embusan angin, melabrak semak-semak atau jatuh ke parit.
Semakin lama bukan hanya nelayan yang jadi korbannya, semua pria yang ia temui di sepanjang jalan akan dianggapnya sebagai kekasihnya. Maka semua pria akan ia kejar hingga mereka terjatuh ke parit atau masuk ke dalam semak-semak saking ketakutannya. Kewarasannya betul-betul telah minggat. Ia tidak kuat menanggung cinta yang demikian dahsyatnya.
Atas keributan itu, warga termasuk keluarganya mengambil inisiatif setelah melalui musyawarah yang panjang untuk mengurungnya di sebuah gudang tua yang dulu dipakai untuk menaruh gabah. Akhirnya semua orang terutama nelayan bisa hidup kembali dengan damai. Tidak ada lagi yang peduli dengannya, tidak ayahnya, tidak keluarganya. Satu-satunya yang peduli adalah aku, pindu’nya4. Alasan kenapa ia masih hidup hingga beberapa minggu kemudian, karena aku yang sering membawakannya makanan melalui lubang jendela dan kadang-kadang mengelap tubuhnya atau mengganti pakainnya, tentunya tanpa sepengetahuan orang-orang. Ia terlihat kacau menyisakan bekas-bekas kecantikannya yang dulu. Selain aku,
3 Durhaka 4 (pindua) sepupu dua kali atau sepupu jauh.
Bone, FAJARPENDIDIKAN.co.id- Darma Wanita Persatuan (DWP) IAIN Bone menggelar peringatan maulid Nabi Muhammad SAW di Aula Utama IAIN Bone, Kamis (4/11/2021).
Ketua DWP IAIN Bone, Rosbiah A Nuzul dalam sambutannya mengatakan, bahwa memperingati maulid Nabi Muhammad SAW adalah salah satu momen untuk kita selalu bergembira.
“Melalui momen maulid ini marilah kita untuk saling memuliakan, saling memanusiakan tanpa membeda-bedakan dengan yang lain,”ungkapnya
Hadir dalam Acara ini, Rektor IAIN Bone, Wakil Rektor 2 dan 3, Kabiro AUAK, para Dekan, para Kabag, Kasubbag, Dosen, Pegawai, dan para anggota Darmawanita. Adapun pembawa hikmah Maulid Nabi Muhammad SAW adalah Prof Sarjan.
Kegiatan ini dimeriahkan oleh penampilan dari TK Al Nisa IAIN Bone, Lantunan sholawat Oleh anggota Darma Wanita IAIN Bone, serta Qasidah Rebana Oleh Mahasiswa anggota Lembaga Kajian Al-Qur’an IAIN Bone.
“Ting Tong..”, bunyi notifikasi pesan whatsapp dari nomor tak dikenal masuk. Rina pun segera membuka pesan tersebut.
Barang sudah tersedia.. Bisa diambil kapan?
Sambil berpikir untuk membalas pesan, Rina pun mengetikkan
Jam 5 sore di taman Cattleya..
Selang 1 menit kemudian, orang tersebut membalas
Oke…
Rina pun mengendap-endap keluar dari kamar dan masuk ke garasi untuk mengeluarkan sepeda. Sambil memapah sepeda perlahan-lahan, Rina pun akhirnya berhasil keluar dari rumah tanpa sepengetahuan orang-orang. Setelah berjalan sekitar 20 langkah menjauhi rumah, akhirnya Rina pun naik ke sepeda dan bergegas menuju taman cattleya. Setelah mengayuh sekitar 20 menit, akhirnya Ia pun sampai di taman tersebut. Rina pun menghentikan kayuhannya dan merabah kantong saku celananya untuk melihat jam. Saat membuka hp, muncul pesan masuk dari nomor tak dikenal.
Saya tinggalkan barang di balik koran yang ada di bangku taman urutan pertama.. Silahkan ambil di situ..
Rina pun langsung mengarahkan dirinya menuju bangku pertama yang terletak dekat jalan masuk taman. Sambil melihat ke sekiling untuk memastikan tak ada satu pun orang, ia pun mengangkat koran tersebut dan menemukan sebuah kotak kecil dibungkus plastik kresek hitam. Rina langsung merobek bungkus plastik tersebut dan membuka kotak tersebut.
Rina pun kemudian memasukkan botol obat tersebut ke saku celananya dan buru-buru meninggalkan bangku taman tersebut. Ia mengayunkan pedal sepedanya untuk pulang. Tak lama kemudian, Rina sudah berada di depan rumahnya, dengan perlahan-lahan, ia membuka pagar rumah agar tidak menimbulkan suara, lalu pergi ke garasi untuk mengembalikan sepeda. Baru saja ia mengira aksi kucing-kucingannya berhasil, tiba-tiba ia dikejutkan oleh kehadiran ibunya yang sedang berada di garasi.
” Eh Ibu… ngapain di garasi?”, tanya Rina pada ibunya. ” Habis dari mana kamu?”, tanya balik ibunya pada Rina. “Oh.. ini bu, tadi cuman iseng sepedaan aja
..”, jawab Rina gugup.
“Oh gitu, ya sudah, lain kali kalau mau keluar izin ya”, jawab ibu.
Rina pun buru-buru kembali ke kamar tidurnya dan mengunci pintu kamarnya rapat- rapat. Ia sangat lega karena ibu tidak mencurigai dia sama sekali. Dengan segera ia mengeluarkan botol yang berada di kantong sakunya, dan menaruhnya ke dalam saku ransel kuliahnya. Ia juga memasukkan beberapa pasang baju serta celana dompet dan juga buku catatan. Setelah selesai mengemasi barang-barang yang ia perlukan. Ia menutup lampu kamar dan langsung bergegas naik ke kasur untuk tidur.
Keesokan harinya, Rina bangun lebih awal dari biasanya. Ia langsung bergegas untuk mandi dan mengganti bajunya. Kemudian, ia keluar dari kamar sambil menggendong ransel yang telah ia persiapkan dari semalam, berjalan menuju ke meja makan. Di atas meja makan, terdapat notes kecil dari ibu untuknya
Rin, ibu udah buatin nasi goreng dimakan ya, ibu mau ke pengadilan
“Lagi-lagi ibu ngurusin orang itu”, batinnya dalam hati sambil meremas notes yang baru saja ia baca dalam genggaman tangannya. Padahal, ia berniat untuk mengobrol dengan ibu sejenak sebelum pergi. Rina yang merasa sangat kecewa saat itu, buru-buru ia memesan taksi online menuju ke stasiun kereta. Kali ini ia benar-benar pergi dengan perasaan kecewa. Ia pun membulatkan tekadnya untuk menjalankan misi rahasianya.
Setelah sampai di stasiun kereta, Rina buru-buru menukarkan tiket yang telah dipesannya jauh-jauh hari dan masuk ke dalam kereta. Selama perjalanan, Rina duduk terdiam sambil menangis dan merenungi permasalahan yang menimpanya. Semua bermula dari malam dimana ayahnya tiba-tiba terkena serangan jantung. Ia ingat betul, saat sedang makan malam, tiba-tiba ayahnya mendapat kabar bahwa uang investasinya dibawa lari oleh penipu.
Padahal uang investasi itu merupakan uang yang telah ayahnya kumpulkan selama berpuluh-puluh tahun menjadi pegawai kantoran, agar dapat menyekolahkan Rina sebagai sarjana kedokteran. Ayahnya langsung dilarikan ke rumah sakit, namun sayangnya Tuhan berkehendak lain, nyawa ayahnya tak tertolong. Kepergian ayah merubah banyak sekali kehidupan Rina dan ibunya. Rina yang saat itu masih duduk di bangku kelas 11, terpaksa harus mencari uang tambahan sebagai pelayan cafe untuk membayar uang sekolah, karena kala itu Rina menempuh pendidikan di sekolah swasta yang cukup elit. Ibunya pun juga terpaksa mencari penghasilan tambahan dengan berjualan kue kering dan menjadi guru les privat, karena penghasilannya sebagai guru sekolah dasar, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Akibat dari kesibukan mereka mencari penghasilan tambahan, Rina dan Ibu jarang sekali berkomunikasi satu sama lain. Hingga suatu ketika, saat Rina sedang berada di kelas 12, Ibu tiba-tiba membawa seorang laki-laki ke rumah, Ibu bilang Ia akan menikah dengan laki- laki tersebut. Awalnya Rina tidak setuju, hanya saja Ia tidak ingin Ibunya merasa kesepian, sehingga Ia menyetujui pernikahan Ibunya. Laki-laki yang menjadi ayah tiri Rina merupakan seorang bupati.
Setelah pernikahan Ibunya dengan Ayah tirinya, perekonomian keluarga Rina membaik. Rina tidak perlu lagi bekerja paruh waktu dan Ibunya pun juga tidak perlu lagi berjualan kue kering. Namun siapa sangka, kondisi yang dialaminya hanya bersifat sementara, Ayah tirinya tiba-tiba terlibat dalam kasus korupsi, karena menggelapkan anggaran daerah. Sehingga beberapa aset seperti rumah dan mobil disita. Ayah tirinya pun juga terlilit utang dana kampanye. Rina yang saat itu mengurungkan niatnya untuk masuk ke salah satu universitas kedokteran swasta, karena terkendala biaya.
Namun, cita-citanya untuk menjadi dokter belum sirna, setelah mencari informasi biaya perkuliahan yang murah, Rina pun memutuskan untuk mencoba seleksi masuk perguruan tinggi negeri. Hampir setiap hari ia belajar mati-matian untuk ujian masuk tersebut, ditambah lagi ia juga harus kembali bekerja lagi untuk membantu keuangan keluarganya. Seperti kata pepatah hasil tidak akan mengkhianati usaha, Rina pun akhirnya lulus seleksi masuk perguruan tinggi negeri, namun Ia tidak diterima di jurusan kedokteran, melainkan jurusan Ilmu Komputer. Rasanya sedih sekali, karena menjadi dokter adalah impiannya sejak kecil. Karena terhalang biaya, Rina pun terpaksa melanjutkan perkuliahannya di jurusan ilmu komputer.
Selama berkuliah Rina benar-benar mengalami kesulitan. Dunia perkuliahan tidak semudah yang ia bayangkan. Tugas-tugas yang selalu menumpuk tiap minggu, dan Rina sendiri kesulitan untuk memahami bahasa pemrograman, karena sebenarnya Ia belum pernah belajar bahasa pemrograman secara khusus, ditambah lagi, jurusan yang Ia masukin bukan minatnya.
Di awal semester, Rina mengulang banyak sekali mata kuliah. Kesulitan yang dialaminya tidak pernah Ia ceritakan pada siapapun termasuk ibunya, karena Ia tidak ingin membebani ibunya, bahkan di sela-sela kesulitannya, Ia masih menyempatkan dirinya untuk bekerja paruh waktu untuk memenuhi biaya hidup perkuliahannya selama di Bandung. Setelah berkuliah selama 1 tahun, Ia dinyatakan drop out dari jurusannya karena IPKnya selama 2 semester sangat rendah dan jumlah SKS lulus yang diperolehnya sangat sedikit.
Ia merasa sangat hancur, tidak bisa berkata apa-apa. Merasa gagal menjadi seorang anak yang berbakti pada ibunya. Ia bahkan tidak memberitahu ibunya mengenai drop out yang dialaminya. Selama libur kenaikan semester ia benar-benar hanya mengurung diri di kamar selama berjam-jam. Apabila Rina ditanya mengenai perkuliahannya, Ia selalu berbohong mengatakan bahwa perkuliahannya sangat lancar. Ia tidak sanggup memberitahu kebenaran yang sesungguhnya kepada Ibu.
Selama liburan, ia terbesit pikiran, akankah lebih baik ia mengakhiri semua masalah ini, apakah lebih baik Ia pergi agar tidak menjadi beban bagi ibunya. Saat sedang membuka internet, tanpa sengaja ia melihat artikel mengenai pelarangan obat tidur Nembutal di Perancis, karena obat tidur ini sering digunakan sebagai obat bunuh diri. Dari situ, terlintas dipikiran Rina untuk merencanakan bunuh diri. Ia berencana untuk melakukannya setelah masa liburan perkuliahan berakhir. Setelah itu, ia memesan obat tersebut melalui website illegal. Ia juga mencari tempat yang tepat untuk bunuh diri. Ia akhirnya memutuskan untuk memesan hotel murah kecil yang sepi dekat kampusnya, sehingga tidak akan ada satupun orang yang dapat mencegahnya.
Setelah tiba di Bandung, Rina langsung memesan ojek dari stasiun kereta menuju motel tersebut. Sesampainya di hotel, ia langsung check in ke kamar dan mengunci pintu kamar tersebut dengan rapat. Ia langsung mengeluarkan pulpen dan mulai menulis surat untuk ibunya sambil menangis. Setelah selesai menuliskan surat, ia pun langsung mengeluarkan botol obat tersebut, dan mengeluarkan setengah isi botol pil tersebut dan meminumnya. Saat meneguk obat-obatan tersebut, pandangan disekitarnya perlahan mulai redup.
Itu adalah kata-kata yang selalu terbenak dalam hatiku saat ada guru yang mengajar, atau lewat di jalanan. Aku langsung mengutarakan pandang menuju tanah, sembari menunduk dan bergumam “guru itu pembohong”.
Tiap kali melihat ada guru yang berbicara di depan anggota kelasnya atau di depan pengurus- pengurus rayonku, aku hanya melihat so’ serius padahal hati dan pikiranku melayang kemana-mana, mandilah, habis maghrib makan di dapurlah, bahkan antri di kantor administrasipun kupikirkan kala itu, dan sama sekali tidak mendengarkanya. Memang metafisikku seperti orang yang sangat haus akan apa yang ia ucapkan, tapi sebenarnya metafikiranku berlari sekuat tenaga mengejar arah yang akan kutuju selepas waktu itu. Sembari bergumam dalam hati, “halah, Cuma membual”.
Tetap dalam garis lurus yang sama. Tiap kali ada guru yang menyuruh untuk melakukan sesuatu, meminta sesuatu, dan lebih akrab mereka sebut sebagai “minta tolong”, itu hanyalah bualan biasa yang sering kali ku dengar ditiap hari waktu, jam, menit, bahkan detik. Mereka memaksa untuk terus belajar, bahkan sampai marah-marah didepan kelasnya. Dan saat itu juga aku kembali bergumam dengan apik, tersembunyi didalam sanubari, tak terlihat walau wajahku sebenarnya sangat-sangat menerima hal itu. Ya, tidak salah lagi, “guru itu keras kepala”.
–@–
Perkenalkan, Namaku Angkasa. Dulu aku dikenal sebagai orang yang paling tledor, jarang mandi, malas-malasan saat ku masih bersekolah disebuah pesantren. Tapi, aku adalah orang yang sangat bersemangat untuk menuntut ilmu sampai-sampai mandipun kulupakan.
Durasi waktunya di mulai dari terbitnya matahari dari timur, sampai terbenamnya ia dibarat. Sebelum tidur rasanya gatal membungkus ragaku sembari tertawa licik dibelahan pori-pori tubuh. Mungkin mereka waktu itu sedang berpesta ria merayakan kemenangan atas perjuangan mereka seharian penuh menggodaku untuk tidak mandi.
Darul hijrah. Itu asramaku. Setiap saat aku mendengar singa mengaum, timah besi dan baja saling berbenturan diantara dua kelopak tangan pengurus asramaku. Kami berlarian ketakutan. Takut kalau-kalau terlambat, maka kamar kami akan berubah menjadi samudera luas yang membentang. Bahkan kalau diizinkan Menteri Perikanan, lumba-lmba bisa bermain-main dikamarku.
Belum halnya dengan pembelajaran bahasa, pelajaran pagi, pelajaran sore, belajar malam, pramuka hari kamis siang, latihan pidato kamis pagi, malam, ahad malam, ditambah lagi dengan tidur jam sepuluh, bangunnya jam tiga subuh. kalau dipikir-pikir memang berat,
bahkan Dilan pun tak kuat untuk memikulnya. Sepertinya hal yang sama juga dirasakan oleh Ironman jika tahu beratnya nilai sebuah pendidikan.
Aku mengenal sebuah mantra ajaib yang telah memeluk erat jiwaku sampai hari ini, “MANJADDA WAJADA”. Kata-kata itu dikenalkan pertama kali oleh guruku. Pak Ali Namanya. Beliau seorang yang sangat aktif dan kusegani, aku turuti apa yang selalu ia katakan. Belajar, berusaha, bekerja keras. Hingga sampailah aku pada suatu masa yang mana telah memalingkan ku seratus delapan puluh derajat kebawah tanah dari yang sebelumnya tinggi di pucuk angkasa terjun bebas tanpa alat bantu jatuh didasar jurang.
–@–
Pagi dini hari. Sinar Mentari menyemburat dibalik pentelasi ruangan. Teriknya menelisik diantara jendela kelas yang terbuka. Tapi untungnya mendung datang. Dan memayungi seisi kota.
Teman-temanku terlihat cemas. Disampingku, Vio, terlihat wajahnya pucat, giginya bergetar. Bahkan Angga, yang duduk dimeja paling pertama mondar-mandir izin masuk keluar ruangan kelas, ke tolilet alasannya. Guruku, duduk didepan. Wajahnya menggambarkan panglima perang Uhud dari sisi kafir yang garang. Matanya melototi mata kami. Padahal kala itu kelas- kelas lain tengan bergembira. Aku yang duduk di samping jendela melirik kekelas lain, mereka tertawa. Tapi ada juga kelas lain yang bernasib sama seperti kelasku, tepat berseberangan dari kelasku Rhobitoh lantai tiga.
Padahal kalau kau tahu, waktu itu adalah waktu untuk pembagian rapot santri-santri sepesantren.
Aku hanya terdiam, aku tak perlu takut karena aku sudah bersusah payah belajar. Aku yakin nilaiku tinggi. Mungkin penyebab marahnya guruku adalah nilai-nilai teman-teman yang jarang belajar.
Hinga akhirnya tibalah saat dimana guruku angkat bicara. “KENAPA NILAI-NILAI KALIAN RENDAH!”.
Aku terlonjak kaget. Guruku berteriak keras sekali. Ini kali pertama bagiku melihatnya sangat- sanga marah.
“SAYA SUDAH BILANG BELAJAR SUNGGUH-SUNGGUH”.
Beliau Kembali menimpali kemarahannya.
Kami hanya tertunduk. Tak berani melihat wajahnya. Aku yang dari tadi tenang-tenang saja pun mulai di gemaluti rasa takut. Apalagi Ketika rapot mulai dibagikan dan kami mengambil satu-persatu kedepan. Absen pertama maju, kedua, ketiga, dan sampailah aku dinomor ke tujuh belas.
“Angkasa”.
Aku maju, tanganku bergetar menyambut secarik kertas yang berbalut amplop besar berwarna cokelat itu. Aku Kembali ketempat duduk, dan tidak berani membukanya. Entah mengapa.
Dan tibalah saat dimana guruku menyuruh kami untuk membuka amplop itu.
Satu persatu mulai terlihat ekspresinya. Ada yang gembira, diam saja mematung tanpa kata tanpa gerak seperti halnya arca-arca di patung Borobudur, sampai ada yang menangis berderai air mata.
Aku masih tenang-tenang saja sambil melihat remeh mereka yang telah membuka. Aku yakin nilaiku pasti besar dan tidak akan ada yang bisa menyaingi nilaiku.
Perlahan-lahan kuangkat secarik kertas itu, dan….
Seakan detik berhenti, gejolak eforia yang tadi menyelimuti jiwaku hilang tanpa arah tanpa alamat. Keringat dingin bercucuran dari pelipisku. Ada sebuah getaran aneh yang menari-nari di dalam fikiranku, “tidak mungkin, tidak mungkin….”.
“Rinto, Bapak mau mandi. Kenapa kamu lama sekali?” “Sabar, Pak! Sebentar lagi selesai.”
Aku terpaku menatap cermin di dinding kamar mandi. Kupikir tampangku tidak terlalu jelek, bahkan cukup maskulin untuk seorang pemuda lima belas tahun. Badanku juga tidak terlalu kurus, lumayan berisi. Meski begitu, aku kerap menjadi bahan celaan di sekolah. Teman-temanku akan langsung menyambutku dengan gelar “Rinto si gigi kuning” saat masuk kelas.
Aku menyeringai lebar, membiarkan deretan gigiku yang kuning kusam terpampang jelas. Semuanya bermula tiga tahun lalu. Kala itu, aku termakan rayuan teman-temanku untuk merokok bareng. Lima batang sehari, bahkan terkadang lebih. Kami biasanya pesta rokok saat jam kosong, makan di kantin, main gim, jalan-jalan, nyaris seharian penuh. Hingga tanpa kusadari, gigiku yang dahulu putih bersih menjadi sekuning ini.
Jika waktu bisa diulang, aku pasti akan menolak ajakan temanku untuk merokok. Aku ingin menjadi Rinto yang lebih baik. Tapi bagaimana caranya? Perawatan gigi jelek seperti ini pastinya sangat mahal, dan itupun belum tentu berhasil. Ayahku hanya buruh pabrik dan ibuku tukang cuci baju. Aku punya seorang kakak pengangguran yang sama candunya dengan rokok. Tiada seorangpun di keluargaku yang sanggup membayar perawatan gigi mahal. Seandainya ada cara instan untuk membersihkan gigi menyeramkan ini.
“RINTO!!!”
“Iya, Pak!” Aku bergegas membuka pintu kamar mandi.
“Dasar lelet! Bapak sudah hampir terlambat ini,” omel ayahku yang kugubris seadanya.
Aku berlari menuju kamar dan mengunci pintu rapat-rapat. Sekali lagi, kupandangi gigiku yang sangat menjijikan. Aku tampak seperti seekor monster jika tersenyum. Mana mungkin ada yang mau berteman denganku. Kondisi ini membuatku putus asa. Rasanya ingin mati saja.
Kendati demikian, aku tetap berangkat ke sekolah. Kutabiri mulutku dengan masker agar gigiku tidak terlihat saat bicara. Aku berpamitan dengan Ibu dan segera hengkang dari rumah. Tatkala menyusuri jalan, aku mendapati seorang pedagang kaki lima di trotoar. Setahuku, jalanan ini dikenal sepi karena jauh dari pemukiman penduduk. Lantas, mengapa pegadang itu memilih menjajakan barangnya di sini?
“Dek, mau beli?” ujarnya melabai-lambai. “Kemari, kemari. Kakek menjual barang- barang bagus.”
Seolah terhipnotis, aku bergerak menghampiri pedagang tersebut. Ternyata kakek ini tidak menjual makanan, melainkan perabot kebersihan. Ada sabun, pembersih kloset, penggosok punggung, bahkan sikat gigi. Mataku bergeming menatap sikat gigi itu. Gagangnya terbuat dari kayu dengan ukiran rumit.
“Sikat giginya unik, Kek,” ujarku.
“Bukan cuma unik, sikat gigi ini sudah terbukti mampu mengobati berbagai macam penyakit mulut,” timpal sang kakek membuatku terbeliak.
“Yang betul, Kek? Kalau gigi kuning bisa putih lagi, tidak?” tanyaku penasaran.
“Mau sekuning apapun gigimu, pasti akan kinclong kalau digosok pakai sikat ini.
Dijamin!”
Awalnya aku ragu-ragu. Hampir semua jenis sikat gigi pernah kubeli, tetapi tiada satupun yang berhasil menyingkirkan noda kuning menyebalkan ini. Aku yakin kalau yang dikatakan kakek itu hanya bualan. Namun, aku sudah kelewat putus asa. Hanya cara instan yang kuinginkan untuk mengembalikan gigi putihku. Pada akhirnya, kutebus sikat gigi tersebut dengan uang sepuluh ribu.
“Ingat! Jika mau berhasil, jangan pinjamkan sikat gigi itu kepada orang lain.”
“I-iya, Kek. P-paham,” sahutku gemetar melihat mata sang kakek yang mencalang seram. “Kalau ada apa-apa, datanglah ke sini lagi untuk menemuiku.”
Entah mengapa, semenjak berlalu dari pedagang tersebut, sebiji harapan mulai bertunas di hatiku. Sikat gigi konyol yang semula kuanggap candaan, seketika jadi satu-satunya benda yang kudambakan. Saking senangnya, aku sampai tidak bisa berkonsentrasi di sekolah.
Sesampainya di rumah, aku bersicepat ke kamar mandi sambil menggenggam sikat gigi itu. Baru menginjak keramik, tiba-tiba perutku mulas. Ini pasti karena aku lupa buang hajat tadi pagi. Alhasil, aku pun beringsut ke toilet dan mengabaikan sikat gigiku.
Pikiranku berseliweran kemana-mana ketika buang hajat karena begitu penasaran dengan sikat gigi itu. Apa yang dikatakan pedagang itu sungguhan? Apakah sikat gigi itu bisa mengobati segala penyakit mulut? Apakah gigiku akan putih kembali? Cukup! Selepas sakit perutku hilang, aku langsung membanting pintu demi mencapai kamar mandi secepatnya.
Tatkala hatiku kian girang, yang kudapati justru pemandangan buruk-nista. Aku melihat kakakku tengah asyik menggosok gigi dengan sikat gigi milikku. Parahnya lagi, aku telah membiarkannya melanggar pantangan yang diucapkan si kakek pedagang.
“Kak, itu sikat gigiku! Jangan dipakai!” geramku murka.
Seolah tak bersalah, ia menyahut tanpa beban: “Oh, oke. kukira Ibu membelikanku sikat gigi baru. Mending kamu beli yang baru saja sana!”
“Tidak mau!” tandasku.
“Ya sudah,” ujarnya lalu berkumur-kumur. “Nih, aku kembalikan.” Ia menyerahkan sikat gigi yang sudah belumur ludah itu kepadaku.
Aku benar-benar muak. Kubanting sikat gigi itu ke lantai sampai patah. Hingga matipun, aku takkan pernah sudi menggunakan barang yang sama dengan kakakku. Dia memang orang yang sangat menyebalkan. Kuharap kakakku mati saja!
Saking jengkelnya, aku sampai tertidur kelelahan. Sebuah tepukan kecil membangunkanku beberapa jam kemudian. Rupanya itu adalah Kakak yang menatapku dengan semringah.
“Ada apa?” ketusku.
“Rinto, lihat ini!” Ia menunjuk giginya sambil tersenyum lebar.
“M-mustahil!” Aku tercenung menyaksikan deretan gigi seputih susu yang begitu elok. “Sikat gigimu ajaib, To! Gara-gara sikat gigi itu, gigiku jadi sebagus ini.”
Rasa kagum seketika menjadi murka manakala aku sadar bahwa yang seharusnya mendapatkan gigi seputih itu adalah diriku. Aku yang membeli sikat gigi itu dan sekarang
gigiku masih kuning menjijikan. Tapi kakakku yang hanya tidur di rumah, justru memiliki sesuatu yang amat kuinginkan.
“Dasar jahat! Kakak jahat!” Aku mencekik lehernya seperti orang kerasukan.
“Rinto! Rinto! Lepaskan!” Aku melihat kelebatan tangan yang menghantam kepalaku. “Aduhh!” ringisku kesakitan sambil memegangi ubun-ubun.
“Kamu sudah gila, ya? Dasar adik durhaka! Sudahlah, aku mau pergi.”
Tubuhku bergetar menahan emosi. Aku membenci kakakku. Sangat benci! Kelakuannya bagaikan monster. Sekalian saja wujudnya berubah jadi monster. Kuharap aku tak pernah melihatnya lagi.
Sesaat kupikir keberuntungan kakakku sudah ludes, ternyata aku salah. Saat makan malam, ia memberitahu kami kalau sudah punya pekerjaan. Ada seorang bos perusahaan yang menawari kakakku lowongan kerja karena terpesona akan senyumannya. Ayah dan Ibu sontak kegirangan dan membanding-bandingkanku dengannya. Hal itu membuatku dongkol setengah mati. Mungkin lebih baik jika aku tidak punya keluarga saja.
Di sisi lain, ada pula gelagat aneh yang kutangkap. Kakakku menggeleng tatkala ditawari makan. Awalnya, ia beralasan bahwa perutnya kenyang, tetapi hal yang sama kembali terulang besok. Kakakku lagi-lagi mengabaikan makanan yang tersedia di meja. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengannya. Selama sarapan, ia hanya sibuk mematut gigi di depan cermin kecil.
“Aryo, nasinya dimakan,” tegur ibuku kemudian.
“Makannya nanti saja, Bu. Aryo mau berangkat kerja dulu.” Kakak langsung beringsut meninggalkan kami.
Aku yang merasa curiga dengan kejadian tersebut memutuskan untuk mencari si kakek pedagang yang menjual sikat gigi. Sayangnya, kakek itu sudah tidak ada. Jalan itu sepi, seolah tak pernah ada manusia yang sudi melintasinya.
Hari-hariku berjalan seperti biasa. Entah mengapa, sekarang aku tidak terlalu mempermasalahkan gigi kuningku. Aku jauh lebih mengkhawatirkan kakakku yang mulai berubah. Hampir seminggu aku tak pernah melihatnya makan. Kini, badannya bangsai dengan kulit sepucat orang mati. Ayah sampai marah karena Kakak melempar piring yang disodorkan ibuku.
“Gigi ini lebih berharga dari nyawaku! Aku tidak mau gigiku rusak!” Itulah yang ia teriakkan saat Ayah berusaha menyendokkan nasi ke mulutnya tadi malam.
Aku yang semula membenci kakakku, perlahan-lahan mulai mengasihaninya. Aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padanya. Sejauh yang bisa kupikirkan, mungkin sikat gigi misterius itulah dalang di balik semua ini. Namun, aku tidak bisa melakukan apapun.
Dua hari selepas ribut dengan Ayah, kakakku memberitahu bahwa ia hendak merenovasi kamarnya. Jadi, kami diminta untuk tidur sekamar. Sejujurnya aku kesal, tetapi juga lega. Setidaknya aku bisa mengawasi kakakku dari dekat.
Malam itu, kami hanya berbaring tanpa bicara sepatah katapun. Meski tidur di ranjang yang berbeda, aku masih bisa mengintip apa yang dilakukannya. Ia asyik memuji-muji giginya di depan cermin. Kukira aku salah lihat, tetapi selepas kupicingkan mata, ternyata
memang benar. Selain tubuhnya yang kian kurus, geligi kakakku juga tampak meruncing. Alih-alih indah, gigi itu justru terlihat sangat mengerikan.
“Apa lihat-lihat?” Suara kakak membuat jantungku jumpalitan. “A-anu, t-tidak apa-apa,” kataku pucat.
“Halah! Pasti kamu iri melihat gigiku, ‘kan? Coba lihat!” Ia duduk dan menyeringai ke arahku. Aku sontak bergidik ngeri. Kakakku terlihat persis seperti monster. “Cantik, ‘kan? Gigiku cantik. ‘kan?” ujarnya terkesan memaksa.
“T-terserah!” kataku sambil menarik selimut dan membelakanginya.
Tatkala jam dinding berdentang dua belas kali, aku terbangun dari tidur. Telingaku bisa mendengar bunyi “kretek!” bertalu-talu, seolah ada gerombolan tikus yang berlomba menggaruk dinding. Tanganku spontak bergerak menyalakan lampu untuk memeriksa asal suara tersebut. Bukan tikus yang kudapati, tetapi fakta yang mengejutkan. Kakakku hilang dari tempat tidur.
“A-apa itu?” Aku merasakan ada sesuatu yang bergerak di bawah ranjangnya.
Enggan mengambil risiko, aku bergegas memberitahu orangtuaku tentang semua ini. Mereka pun menyambangi kamar kami. Ayah perlahan tengkurap agar bisa mengintip kolong ranjang kakakku. Namun, tiba-tiba sepasang tangan kurus menjulur keluar dan menyeret Ayah ke dalam sana. Aku dan Ibu seketika menjerit ketakutan.
BRUAK!!!
Ranjang itu terpental ke atas, memperlihatkan seekor makhluk bergigi tajam tengah asyik menggerogoti leher Ayah. Aku menarik lengan Ibu meninggalkan kamar tersebut. Kami segera menghubungi polisi untuk meminta bantuan.
Aku tidak mungkin salah lihat! Monster yang menggigit leher Ayah itu adalah kakakku sendiri. Penampilannya benar-benar berubah. Saking kurusnya, benjolan tulang belakang Kakak sampai menyembul keluar. Selain itu, tangan dan kakinya bengkok seperti unta.
“Rinto! Rinto!” pekik Ibu ketakutan. Ternyata Kakak berusaha mengejar kami dengan merayap di dinding. Lidahnya menjulur ganas.
Aku yang kelewat panik akhirnya kabur meninggalkan ibuku. Situasinya sangat mencekam. Tak terasa, mataku sudah kuyup akan air mata. Orangtuaku lenyap dalam satu malam dan otakku masih belum mampu mencernanya.
Aku hanya berlari sekuat tenaga demi menyelamatkan diri. Ketika melintasi jalanan sepi yang biasa kulalui, aku pun teringat dengan kakek penjual sikat gigi misterius. Pasti dialah dalang di balik semua ini! Sikat gigi itu telah mengubah kakakku menjadi monster.
Seakan telah ditakdirkan, aku tiba-tiba berpapasan dengannya, si kakek yang kucari-cari selama ini. Bedanya, kini mata pedagang itu jadi sepekat jelaga. Aku sempat ketakutan, tetapi kupaksakan diri untuk menghadangnya.
“Kakakku berubah jadi monster gara-gara sikat gigimu. Tolong kembalikan ia seperti semula,” pintaku.
“Pencuri tidak pantas dikasihani,” ujarnya. “Apanya yang pencuri? Kakakku bukan pencuri!”
“Dia telah memakai sikat gigimu tanpa izin. Kakakmu pantas menjadi monster.”
“Tidak!” bantahku bersikeras. “Aku sudah memaafkannya. Sikat gigi itu sudah tidak penting lagi.”
“Tapi kamu sendiri membenci kakakmu, bukan? Kamu ingin dia menjadi mosnter dan sudah aku kabulkan.”
“Tidak! Tidak mungkin! Aku tidak mau seperti ini!”
Kehabisan akal, aku nekat menyerang kakek itu agar mau membantuku. Kuhamburkan dagangannya ke jalan sambil mencengkram bajunya. Alih-alih merasa terancam, ia justru terbahak nyaring.
“Kakakmu sudah datang.”
Aku sontak mengintip ke belakang dan mendapati monster itu tengah bersiap menerkamku. Ini pasti hanya mimpi. Semua ini tidak mungkin terjadi! Monster itu hanyalah imajinasiku. Semua yang terjadi hari ini pasti tidak nyata.
“Tidak ada yang instan di dunia ini, Rinto. Setiap pilihan yang kamu ambil punya risiko masing-masing. Kamulah yang bertanggung jawab atas konsekuensinya. Berpikirlah dengan bijak sebelum bertindak. Waktu yang telah berlalu takkan bisa terulang lagi.” Kakek itu berbicara seiring dekatnya langkah sang monster ke arahku.
Aku tersungkur saking pasrahnya. Tungkai lututku terlalu lemas untuk lari. Seandainya dulu aku tidak merokok, mungkin semua ini takkan pernah terjadi. Seandainya aku tidak mencari cara instan untuk membersihkan gigiku, mungkin keluargaku masih baik-baik saja. Seandainya aku tidak berharap kakakku menjadi monster, mungkin saat ini kami masih bisa bermaafan. Sayang, semuanya terlambat. Aku membuat keputusan yang salah.
Sang monster menerkam leherku begitu ganasnya. Aku bisa merasakan geliginya yang seruncing kail merobek kulitku. Selepas itu, semuanya gelap. Aku tak kuasa merasakan apa- apa.
“Halo, permisi!”
“Hah!” Mataku terbuka. Seorang gadis berdiri tepat di depanku. “Kakek jualan alat kebersihan, ya?” ucapnya.
Aku sontak memandangi sekitar. Tidak salah lagi! Aku berada di tempat yang sama persis dengan si kakek saat berjualan. Aku juga melihat kedua tanganku yang kusam dan berkeriput. Dengan napas memburu, kuraba wajahku yang ternyata sudah berkerut layaknya seorang lansia.
“Jangan!” pekikku mengusir. “Pergi dari sini! Jangan membeli barang-barang ini!” Anehnya, mulutku hanya diam, seolah menentang perintahku.
“Wah, ada sabun unik. Kebetulan badan saya sering gatal-gatal.”
Saat itu, barulah mulutku berucap dengan sendirinya: “Bukan cuma unik, sabun ini sudah terbukti mampu mengobati berbagai macam penyakit kulit. Adek mau beli?” Aku tersenyum lebar.
Tahun ini, Pak Haji Sodrun akan menunaikan ibadah haji lagi. Sebenarnya ini bukan berita baru di dukuh karangrejo, karena Pak Haji Sodrun sebenarnya sudah menunaikan empat kali naik haji secara berturu-turut, sehingga sekarang adalah ibadah haji yang ke lima kalinya. Pak Haji Sodrun adalah salah satu orang terkaya di Desa Karangrejo, sebuah desa yang sebenarnya subur, tetapi sebagian besar warganya hidup dengan menjadi buruh yang miskin, karena mereka harus menanam apa yang tidak mereka miliki, dan memanen apa yang tidak bakal mereka nikmati.
Tanah yang luas puluhan hektar di Desa Karangrejo hanya dimiliki oleh segelintir orang saja, dan salah satunya adalah Pak Haji Sodrun. Semua orang takut dengan Pak Haji Sodrun. Luas tanah Pak Haji Sodrun sama luasnya dengan tanah bengkok desa. Seandainya Pak Haji Sodrun menjadi kepala desa, Maka Pak Haji Sodrun akan mendapat tanah bengkok desa yang luasnya berhektar-hektar dan otomatis menjadi tuan tanah dengan lahan terluas di desa itu.
Sebenarnya Pak Haji Sodrun bukanlah orang yang taat beribadah. Sholat jamaah di masjid pun jarang kelihatan, paling datang ke masjid kalau Sholat Jumat dan Id saja datang ke masjid. Kalau ada hajatan atau syukuran di rumah warga, Haji Sodrun selalu menolak untuk membaca doa, apalagi untuk mengisi Khutbah Jumat atau Sholat Id, jelas Pak Haji Sodrun akan menolaknya mentah-mentah.
Pernah suatu ketika, pada suatu jamuan syukuran kelahiran anak salah satu warga Desa Karangrejo, Pak Mujib yang biasanya membaca doa dengan fasih tiba-tiba pulang karena dijemput istrinya karena ada tamu yang datang dan sedang menunggu di rumah. Pembawa acara pun tiba- tiba meminta Pak Haji Sodrun untuk membaca doa penutup.
“Pak Haji Sodrun, mohon maaf Pak, karena Pak Mujib tiba-tiba pulang ada tamu, saya minta kepada Pak Haji Sodrun untuk membacakan doa penutup” pinta pembaca acara kepada Pak Haji Sodrun.
Karena diminta di depan umum, Pak Haji Sodrun pun gengsi dan sungkan untuk menolak, karena Pak Lurah dan Pak Carik juga hadir. Sebenarnya Pak Haji Sodrun bingung mau membaca doa apa, tiba-tiba dia teringat samar-samar suatu doa yang pernah dingatnya sewaktu kecil selalu didengarnya ketika Makan bersama teman-temannya dahulu. Maka dia pun mulai membaca doa tersebut.
“Allahuuma bariklana fiima…, allahuuma fiima…”Pak Haji Sodrun pun tidak tahu terusan doa itu dan kemudian bergumam membaca sesuatu yang tidak jelas, tetapi yang jelas bukan terusan dari doa itu. Serentak para hadirin pun saling memandang satu sama lain dengan tersenyum- senyum, bahkan ada yang tertawa cekikikan, bahkan Sarwan, salah seorang hadirin tertawa dengan keras, karena mendengar doa makan yang harusnya doa penutup acara yang dibaca dengan tidak lancar, bahkan jelas bahwa ternyata Pak Haji Sodrun tidak hapal doa tersebut. Dengan wajah memerah, Pak Haji Sodrun ijin ke belakang. Pak Haji Sodrun kemudian langsung pulang lewat jalan belakang rumah tanpa sepatah kata pun ketika disapa oleh pemilik rumah.
Esok harinya, Sarwan, orang yang tertawa dengan keras tiba-tiba dipecat tanpa alasan yang jelas oleh Pak Jawal, majikannya, yang masih saudara Pak Haji Sodrun. Sejak hari itu, semua orang semakin takut membicarakan kejadian yang menimpa Pak Haji Sodrun tersebut di depan umum, terlebih bagi warga yang bekerja padanya.
Pada tahun ini, untuk merayakan keberangkatan ke tanah suci yang ke lima, Pak Haji Sodrun akan menyembelih seekor sapi dan dua ekor kambing untuk hidangan pada pengajian besar-besaran yang diadakannya dan mengundang semua warga desa; acara pengajian tersebut digelar tiga hari sebelum keberangkatannya ke Embarkasi Haji Donohudan Boyolali. Bahkan, hampir setiap malam rumah Pak Haji Sodrun ramai dikunjungi oleh tokoh masyarakat dan rekan- rekan bisnisnya sekedar untuk berbincang. Setiap hari pelayan di rumah Pak Haji Sodrun menyembelih paling tidak dua ekor ayam kampung untuk hidangan tamu-tamu istimewa majikannya.
Setiap tahun menunaikan haji, Pak Haji Sodrun selalu mengadakan pengajian besar- besaran. Bahkan pada tahun lalu Pak Haji Sodrun mengundang seorang da’i terkenal dari Kota Solo untuk mengisi acara pengajian. Belum cukup dengan pengajian, Pak Haji Sodrun juga mengundang sebuah grup rebana yang terkenal untuk tampil menghibur masyarakat dan membuat panggung yang meriah.
Bahkan sepulang dari naik haji pun acara makan-makan di rumah Pak Haji Sodrun juga dilakukan selama tujuh hari. Siapapun boleh datang ke rumah Pak Haji Sodrun dan Makan sepuasnya karena hidangan selalu datang jika yang disajikan sudah habis. Tetapi tidak semua masyarakat berani datang ke rumah Pak Haji Sodrun. Hanya mereka yang akrab dan merasa punya hubungan baik sajalah yang datang ke rumah Haji Sodrun. Sedang masyarakat yang miskin, yang merasa tidak memilki Pakaian yang layak untuk bertamu ke rumah Pak Haji Sodrun dan juga merasa tidak pantas duduk di ruang tamu Pak haji yang lampunya saja dari luar negeri, tidak ada yang berani datang.
Dulu pernah ada salah seorang buruhnya yang datang berkunjung ke rumah Pak Haji Sodrun sepulang dari naik haji. Tetapi pada saat yang sama Pak Camat juga datang berkunjung. Ketika Pak camat sedang berbincang dengan Pak Haji Sodrun, tiba-tiba Rozaq, salah satu buruhnya datang ke rumah dengan mengucapkan salam. Pada saat itu Rozaq mengenakan pakaian terbaik milikinya, tetapi saja harganya tidak lebih dari harga peci Pak Haji Sodrun. Ketika melihat siapa yang datang, Pak Haji Sodrun pun langsung bermuka masam, bahkan bersalaman dengannya saja tidak sudi.