Panggung Arwah

“Apalagi pementasan ini hanya diselenggarakan setahun sekali. Jadi, memang sebuah pentas akbar yang dinanti-nantikan dan tidak bisa main-main saat melakoninya, karena penontonnya selain mahasiswa di sini, kita akan undang para UKM teater di seluruh kampus yang ada di Bandung.”

“Wah, ngeri juga, tuh,” timpal Sinta.

“Justru ini akan jadi tantangan buat kita, karena nanti akan disaksikan orang-orang penting dari dunia teater.”

- Iklan -

Aku sebagai ketua angkatan menjelaskan tentang pementasan Drama Angkatan 17. Semuanya terlihat antusias mendengar penjelasanku. Kecuali satu mahasiswa perempuan yang berdiri di belakang. Gadis berbaju putih membawa tas kecil itu tampak tertunduk menekur, hingga rambut panjang hitamnya yang lurus terjuntai menutupi wajah.

“Gimana, Bunga?” tanyaku yang tiba-tiba membuat Sinta menyikut lengan gadis di sebelahnya.

Bunga mengangkat wajah ke arah Sinta dengan tatapan penuh tanya. Sinta segera memberi kode dengan dagunya yang mengarah ke depan. Bunga pun memahami maksud Sinta dan balik bertanya padaku.

- Iklan -

“I-iya Sam? Maksudnya apa, ya?”

“Kamu nanya pertanyaanku barusan atau enggak tahu aku nanya apaan?” “Nanya, Sam …”

“Kamu siap enggak jadi pemeran utama di pentas Drama Angkatan 17?”

- Iklan -

Gadis cantik itu sedikit gelagapan, untung Sinta dan Utep mengapitnya. “Bilang siap,” bisik keduanya kepada Bunga.

“Siap, Sam,” jawab Bunga cepat tanpa berpikir panjang.

“Nah, oke. Kalau gitu, mulai besok kita semua fokus ke persiapan pementasan Drama Angkatan,” tegasku.

“Kok, saya dan yang lainnya enggak ditanyain, Sam? Kenapa Bunga doang yang ditanya kesiapannya?” protes Fira lantang.

“Karena….. aku yakin, kamu sangat siap dan tidak perlu diragukan lagi, Fir,” jawabku dengan senyum menawan. Membuat Fira semakin bersemangat. “Huuu      , dasar si bawel,” desis Sinta.

“Emang dia mah…. ”

“Eh, pokoknya kalian berdua tanggung jawab, ya,” Bunga ikut berbisik. “Tanggung jawab apa?” tanya Fira dan Sinta berbarengan.

“Itu yang aku jawab siap, siap apaan?” “Huuu, makanya dengerin,” protes Sinta “Jangan baca komik terus,” tambah Fira.

***

Rapat pementasan dimulai, para panitia dan para pemain telah kupanggil menuju gedung D. Mereka terlihat penuh semangat. Terkecuali Bunga, yang sejak di kelas sudah mengatakan malas untuk kumpul di gedung D.

Pembahasan secara teknis dan pelaksanaan untuk hari-H sudah kusampaikan. Pun dengan setiap divisi yang sudah kuatur susunannya telah kusampaikan beserta tugasnya masing-masing. Namun ada satu hal yang mengundang perhatianku dari tadi.

“Ah, sial. Lagi-lagi Bunga. Cewe cantik yang terkadang aneh itu, sekarang kurasakan keanehan yang ada dalam dirinya. Kenapa tatapan matanya kosong?” gumamku dalam hati.

Rasa penasaranku memuncak di benak. Apa yang terjadi sebenarnya pada diri Bunga. “Bung , Bunga?” tanyaku membuat beberapa pasang mata menyorotnya.

Tak ada jawaban yang berarti, kedua pasang bola matanya menatap kain selendang merah yang ada di lemari kaca.

“Hey, Bunga.” bisik Sinta persis di telinga kanan nya.

“Eh, iya kenapa Sin?” jawabanya sedikit teriak dengan perasaan kaget. “Yeeee, tuh ditanya Sam.” timpal Fira.

“Oh iya, kenapa Sam?” Bunga kembali menanya.

“Enggak, jangan melamun ya. Agar apa yang saya sampaikan dapat dicerna baik-baik. Biar ada progres untuk pementasan ini juga.” jawabku dengan penyampaian yang tegas. “Baik Sam, maaf ya.” balas Bunga penuh rasa malu dan penyesalan.

Semuanya beres dan bergegas ke luar ruangan. Sinta dan Fira pergi membeli make-up karakter untuk keperluan pementasan, sedang Bunga masih di dalam ruangan.

“Wah, bagus juga nih selendang. Lumayan juga buat nanti pentas, jadi aku enggak usah beli lagi.” Tanpa sepengetahuan siapapun, Bunga mengambil selendang merah itu dan memasukannya ke dalam tas kecilnya.

***

Jadwal latihan bergulir setiap harinya. Menjadi aktor utama, merupakan hal baru bagi Bunga. Sempat ada keraguan dalam diriku. Mengapa aku menaruh beban yang cukup berat kepada orang yang aku sendiri tak tau jam terbangnya.

Mengingat Bunga adalah mahasiswa pindahan yang belum lama masuk kampus ini. Namun bagaimanapun semuanya harus berjalan dengan baik. Dan terbukti, selama setengah bulan ini menjalani latihan, Bunga mampu menarik perhatianku dan banyak  orang. Ia begitu mendalami perannya sebagai tokoh Nina.

Aku menyukai kinerjanya yang sesuai ekspektasiku. Sebagai sutradara pementasan, bukan kali pertama aku menjalaninya. Jadi, kalaupun ada orang baru yang belum kuketahui bakat sebelumnya.

Setidaknya aku sudah paham medan pementasan. Walaupun pada pementasan kali ini berbeda dengan pementasan-pementasan sebelumnya. Sungguh sangat spesial, seringkali kutemukan hal-hal yang aneh tanpa sepengetahuan kawanku yang lainnya. Tak jarang kupergoki Bunga berdiam diri di pojok belakang Aula setelah beres latihan.

“Bung, lagi ngapain di sini sendirian? Katanya mau pulang, lagian udah malem juga ini, udah gih sana pulang,” perintahku mengisyaratkan untuk keluar dari ruang belakang Aula.

“Hehe … Bunga lagi asyik aja di sini sekalian ngemil, bentar lagi juga kesana kok,” jawabnya dengan suara datar yang konsisten.

“Oh ngemil, bagi dong kalo ngemil, sendirian aja nih,” rayuku meminta cemilan. “Boleh, nih, kalo mau,” menyodorkan sebuah kantong pelastik berwarna hitam.

“Hah? Apaan ini? Ka-kamu makan kembang melati Bung?” tanyaku penuh gemetar. “Iya, enak kok,” jawabnya polos.

“Ah, yasudah kita pulang, yuk? Temen-temen udah nungguin kamu, tuh,” ajakanku disertai tengkuk yang merinding sejak bunga menawarkan sekantong plastik kembang melati.

“Tunggu sebentar,” tangannya meraih sisir dan mengurai rambutnya yang panjang depan cermin kecil yang terpasang di dinding.

Entah mengapa, keanehan diri Bunga pada saat itu semakin kental kurasakan. Uraian rambutnya yang panjang membuat tengkukku semakin berdiri. Rasa pusing menyambar kepalaku. Mual, rasanya ingin sekali muntah.

Saking tak kuasa menahan, akupun berlari pergi meninggalkan Bunga seorang diri di ruang itu dan kembali menghampiri kawan-kawanku yang sedari tadi sedang asyik ngopi dan ngobrol santai.

“Kenapa bang lari-lari? Kaya yang dikerjar setan aja, haha” tanya Hadyan.

“Husss kalo ngomong, kebiasaan lu ndut,” bantah Utep. “Bunga kemana bang? Masih di belakang?” tanya Azis.

“Hm … Bunga bentar lagi kesini kok, dia lagi beresin handproof dan make-up nya dulu.”

“Lahhhh, kebiasaan emang tuh si Bunga. Tiap beres latihan, lama amat beres- beresnya,” gusar Fira.

“Aslinya Fir, ngapain sih dia? Gue juga kalo dandan enggak selama itu kali, ini cuman beres-beres aja, haduh lamanya minta ampun,” timpal Sinta.

“Ah sudahlah, palingan bentar lagi juga …” balas Azis yang suaranya terputus saat melihat seseorang yang datang dibalik ruang Aula.

“Nah kan tuh dia datang, sudah yuk, kita pulang,” seruan pulang dari Azis.

Dalam benakku terbesit banyak pertanyaan. Kejadian semacam ini berlanjut kualami tiap malam sehabis latihan.

Namun aku sadar, bahwa aku harus menyingkirkan banyak fenomena di luar nalar dan lebih memilih untuk tak menceritakan apa yang kualami setiap kali dipenghujung latihan kepada kawan-kawanku yang lain.

Karena kupikir, itu akan memperkeruh suasana dan bahkan bisa menghambat proses keberhasilan jalannya pementasan ini. Maka dengan itu, kupendam semua rasa takutku, kupendam cerita menyeramkan yang kualami tiap hari latihan.

Tak jarang terbawa mimpi, namun aku lebih mengabaikannya ketimbang harus menggubrisnya. Walaupun tetap saja ada satu hal yang tak bisa ku hilangkan. Sebuah selendang berwarna merah dalam mimpiku persis sama dengan selendang yang dipakai Bunga untuk latihan.

Teka-teki ini semakin menarik perhatianku. Hingga dipenghujung pekan menjelang pementasan, selendang yang digunakan Bunga tak luput dari pandanganku.

***

Malam gladi bersih pun tiba, tak terasa waktu begitu cepat berlalu seiringan dengan berbagai cerita yang tertuang di dalamnya. Namun semuanya tak berhenti begitu saja. Di tengah asyiknya menyaksikan setiap adegan.

Tiba-tiba Bunga tergeletak pingsan di atas panggung. Sontak semuanya panik dan mencoba membangunkannya. Namun tak ada tanggapan sedikitpun darinya. Suasana menegang dan kacau.

Malam gladi yang seharusnya berjalan dengan baik, malah tak karuan. Akhirnya aku pun memutuskan untuk menyudahi gladi dan mengantarkan pulang Bunga sampai ke rumahnya. Harapanku semoga Bunga dapat tampil maksimal esok hari.

Malam berlalu, pagi yang cerah menyambut hari yang spesial. Para panitia menyiapkan seluruhnya. Menjelang siang, aku tak melihat batang hidung Bunga, rasa cemas menyelimutiku.

Hingga menjelang sore pun aku tak melihat dirinya. Sedang para tamu undangan dan penonton sudah mulai berhamburan memasuki Aula. Tepat pada pukul 19.00 WIB pementasan akan dimulai, namun lagi-lagi bunga tak terlihat kehadirannya. Waktu sudah menunjukkan pukul 18.35 WIB.

Pikirku saat itu menggantikan dirinya dengan pemain cadangan. Walaupun ku tahu resikonya, namun peran sebagai Nina harus ada dalam panggung, mengingat Tokoh Nina adalah tokoh utama dalam pementasan kali ini.

“Del, kamu main ya, ganti Bunga sebagai Nina,” suruhku pada Deli sebagai tokoh pengganti yang sejak awal sudah dicadangkan olehku.

“Tapi bang…. ” Deli menyanggah.

“Ah sudah lah, pokoknya kamu ganti dia, enggak ada waktu lagi Del, sekarang pake kostum dan make-up nya.” ucapku memotong sanggahannya.

“Oke deh, bang,” jawabnya langsung menuju pinggir panggung belakang tirai. Tak lama kemudian Deli menghampiriku kembali.

“Bang, Bunga ada tuh di pinggir wing sudah siap, sudah pake kostum sama make-up

juga,” ucapnya memberi info.

“Oh gitu, hufffffttt… Syukurlah kalo gitu, thanks Del,” ucapku lega.

“Oke bang.” mengacungkan jempol tangan kanannya.

- Iklan -

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU