PULANG

PULANG

“Ajeng….”
Kujeda bacaan Qur’anku karena aku seperti mendengar suara orang memanggilku. Suaranya halus seperti orang berbisik. Apakah itu hanya halusinasiku semata? Gubug ini berada di tengah hutan, jauh dari pemukiman warga. Artinya aku tak punya tetangga.

Orang yang melintas di sekitar pun jarang sekali, paling hanya pencari kayu bakar saja, itupun tidak tiap hari lewat.

“Ajeng….
Panggilan itu kembali terdengar. Kupastikan itu memang panggilan nyata, bukan halusinasiku saja. Segera kututup mushaf Qur’anku. Kuletakkan dengan hati-hati di atas sajadah. Pelan kubuka pintu yang reot dan bolong di sana-sini.

- Iklan -

Seorang wanita lima puluhan masuk terburu-buru setelah menengok ke kanan kiri, memastikan tak ada orang yang melihat.

“Uwak.” ucapku sembari meraih tangannya untuk kucium. Tapi tangan kanannya membawa sebuah bungkusan plastik. “Uwak kok tahu Ajeng di sini?”
“Ada yang bilang sama Uwak. Orang tuamu mana?” tanya wanita itu, yang kupanggil dengan Uwak Rum. Dia adalah sepupu ibuku.
“Pergi, Wak. Sudah tiga hari belum pulang.” jawabku lirih. “Kemana?” Aku menggeleng lemah.
“Ada makanan?” Kembali kugelengkan kepala.
“Keterlaluan orang tuamu. Anak perawan dibiarkan sendirian di tengah hutan. Tidak takut diapa-apakan orang apa dimangsa binatang!” runtuk Uwak Rum. “Nggak dikasih makan, lagi!”
Nggak apa-apa, Wak. Ajeng tidak takut.”
“Andaikan Wak nggak takut sama tetangga, kamu sudah kubawa pulang, Jeng.”

Aku terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Sudah dua minggu lebih aku dibawa orang tuaku ke gubug ini. Kami tinggal di gubug ini, tanpa aku bisa protes sama sekali. Mulanya memang takut, tinggal di tengah hutan tanpa tetangga, tanpa listrik. Gelap dan sepi.

- Iklan -

Apalagi jika orangtuaku pergi entah kemana, katanya mencari nafkah, tapi mereka jarang pulang dengan membawa uang atau makanan untukku. Aku sudah terbiasa sendiri, sepi, dan lapar. Aku nyaris benar-benar puasa tanpa sedikitpun makanan yang mampir ke lambungku. Hanya air putih yang kuambil di mata air dekat gubug sebagai pembuka puasaku. Kadang aku beruntung mendapatkan makanan dari pencari kayu bakar.

“Ini buat buka. Jangan langsung dihabiskan, ya. Simpan buat sahur nanti. Jaga-jaga kalau ayahmu pulang tidak bawa makanan.”

Uwak Rum menyerahkan bungkusan plastik itu padaku. Sebungkus makanan dan seplastik teh hangat. Kuterima dengan berlinang air mata. Air mata haru, karena Uwak begitu menyayangiku meski Ibu membencinya.

- Iklan -

“Terima kasih, Uwak.”
“Uwak langsung pulang, sudah mulai gelap. Hati-hati ya, Ajeng? Insyaallah Uwak akan membawamu pulang. Doakan ya, Nduk?”

Uwak merengkuh tubuhku, mencium keningku dalam-dalam. Kurasakan keningku basah dan hangat. Uwak pasti menangis. Setelahnya ia melepaskan pelukannya dan langsung keluar. Uwak tak ingin aku melihatnya menangis. Kulihat dia bergegas berjalan pulang hingga punggungnya tak lagi nampak.

Entah sekarang jam berapa, tak ada penunjuk waktu di sini. Yang kutahu hari sudah gelap. Tetapi belum waktunya bagiku menyalakan pelita yang kubuat sendiri dari percobaanku di kelas. Sebuah botol kecil diisi minyak goreng. Tutupnya dilubangi kecil untuk memasukkan kain yang dipilin sebagai sumbunya. Aku harus menghemat karena minyak yang tersisa tinggal sedikit.

Oh ya, namaku Ajeng. Jangan tanya nama panjangku karena aku tak hafal. Nama pemberian dari Kakek ini terlalu panjang disematkan padaku, jadi repot, terkadang ada satu kata yang hilang, terbolak-balik urutannya, atau salah lafal.

Tapi aku tak mau ambil pusing, cukup panggil aku Ajeng. Tapi jangan coba-coba panggil aku Ajeng di hadapan Kakek, atau kalian akan merasakan kemarahan Kakek. Lantas apa panggilan untukku? Diajeng! Harus begitu, kata Kakek Diajeng adalah nama penghormatan sebagai cucu seorang tokoh seperti beliau.

Siapa yang tak kenal Kakek? Tinggal sebut nama beliau, Juragan Wardi, di hadapan pedagang sayur, maka pedagang sayur itu akan berkeringat dingin, dan bisa jadi kalian tidak perlu membayar. Sebut nama Kakek di hadapan preman pasar, pasti preman tersebut akan mencium tanganmu. Jika sedang berurusan dengan hukum atau birokrasi, sebut saja nama Kakek, bereslah urusanmu. Begitu yang dikatakan Ibu tentang Kakek.

Aku tidak tahu apa sebenarnya pangkat dan jabatan Kakek, tetapi semua orang takut dan hormat. Tak ada yang berani membantah beliau jika masih ingin hidup tenang. Apalagi orang kecil, pejabat desa, polisi, bahkan kiaipun tunduk pada Kakek. Mereka semua menunduk di hadapan Kakek. Mengangkat rahang atau sekedar meluruskan pandangan sudah dianggap suatu tantangan bagi Kakek.

Hanya aku satu-satunya anak yang berani menatap wajah Kakek. Tentu, aku adalah cucu kesayangannya, cucu satu-satunya dari anak perempuan satu-satunya. Meskipun kata Uwak Rum, sebenarnya Ibu memiliki 3 saudara kandung tapi semuanya sudah meninggal waktu kecil. Dan akibat informasi tersebut, Uwak Rum harus merelakan wajahnya terkena bogem mentah oleh tangan Kakek.

Sejak aku bayi, Kakek yang menentukan segala sesuatu tentangku. Dari pemberian nama, selamatan, sampai sekolah, semua Kakek yang menentukan. Kakek memonopoliku. Aku ingat, suatu ketika Kakek sakit dan harus opname di rumah sakit, Kakek menelpon guru kelasku, memintakan ijin untukku tidak masuk dengan alasan tidak ada yang mengantar.

“Apa tidak ada yang bisa mengantar, Pak? Ayahnya atau ibunya?” tanya Bu Indah, guruku.
“Kamu jangan mengatur saya!” teriak Kakek. “Kamu guru honorer, kan? Mau kamu kubilang sama Kepala Sekolahmu biar kamu dipecat?”

Dan tiga hari kemudian, setelah Kakek sembuh, aku kembali berangkat sekolah. Ternyata Bu Indah sudah tidak lagi mengajar di sekolahku. Suasana kelas sepi. Teman-teman semakin menjauhiku. Ya, siapa yang berani berteman denganku? Semua takut pada Kakekku. Bahkan Kepala Sekolah dan para gurupun tak ada yang berani menegurku jika aku membuat kesalahan, tidak mengerjakan PR, dan lain-lain. Pedagang di kantinpun ketakutan jika melihatku datang untuk jajan, karena mereka sudah diancam oleh Kakek. Kakek melarangku jajan di kantin karena tidak higienis, katanya. Kakek takut aku diracuni.

Hampir setiap saat aku bersama Kakek. Kakek suka mengajakku jalan-jalan melihat-lihat sawahnya yang puluhan hektar, mengajakku berperahu mengelilingi tambak udangnya, atau membawaku bertemu orang-orang yang tidak kukenal. Pembicaraan merekapun aku tak paham karena aku masih kecil.

Namun suatu hari, dua bulan yang lalu, Kakek sering gusar dan marah-marah. Orang- orang kepercayaan Kakek memberi laporan yang membuat Kakek murka.

“Mereka sudah berani melawan, Juragan.” kata seorang anak buah Kakek yang sempat kucuri dengar.
“Kurang ajar! Siapa yang berani berbuat demikian?” Kakek memukul meja dengan tangan kanannya. Suara meja berderak karena bergeser sekaligus suara benturan mata cincin Kakek yang besar itu beradu dengan meja kayu.
“Sebagian besar pedagang, Juragan.” “Bagaiman bisa? Siapa di belakang mereka?” “Belum tahu, Juragan!”
“Cari tahu!” “Baik, Juragan!”

Beberapa orang itu kemudian pergi. Kakek masih bersungut-sungut. Dia mondar-mandir saja sambil berpikir. Sesekali dia melontarkan kalimat makian. Tetapi aku tak tahu siapa yang dimakinya. Di saat seperti ini, aku tak berani mendekati Kakek.

Dia kelihatan sangat menyeramkan. Aku masih duduk di pojok ruangan tak berkutik. Hanya itu yang bisa kulakukan. Jika aku beranjak, pasti akan ada orang yang disalahkan dan dihukumnya.

Begitulah, sejak hari itu banyak laporan yang masuk ke telinga Kakek, di mana-mana ada “pemberontakan”. Bahkan mereka sudah menyewa banyak pengacara untuk melawan Kakek. Melawan Kakek untuk apa, aku tak tahu. Aku hanya gadis kecil berumur sebelas tahun yang tak mengerti urusan orang dewasa.

Yang jelas mulai hari itu Kakek seperti tak peduli padaku. Dia sibuk mengurusi masalahnya yang nampaknya sangat pelik. Ayah dan Ibu juga ikut sibuk mengurus masalah itu. Sering terdengar makian dari mulut mereka.

“Usir Juragan Wardi!!!” Teriakan-teriakan yang terdengar sore itu mengganggu tidur siangku.

“Lintah darat!” “Perampok!” “Penjahat!” “Serakah!”
“Iblis!” “Pemuja setan!”

Aku berlari keluar, ternyata di halaman sudah berkumpul sejumlah massa yang marah dan mulai mengamuk. Kulihat Kakek keluar diiringi para centheng menghadapi massa itu.

“Kalian orang miskin tidak tahu diuntung!” seru Kakek. “Harusnya kalian berterima kasih padaku, kalian masih boleh tinggal di rumah-rumah milikku. Masih bisa berdagang, bisa mengurus keperluan kalian.”
“Bersyukur apanya? Justru kami rugi dengan aturanmu!” seru seseorang. “Terus kamu mau apa?”
“Kami mau kamu mengembalikan milik kami!” “Ambil saja kalau kamu bisa.”
“Orang ini sombong sekali! Bakar!!!” Teriakan itu entah dari mana asalnya. “Kalian belum tahu kalau aku kebal dari api? Haha…”
“Cincin itu kan jimatmu? Mana, tunjukkan!”

Kakek terperanjat menyadari cincin pusaka miliknya ternyata sudah tak melingkar di jarinya. Lebih terkejut lagi ketika para centeng di belakangnya membawa banyak benda pusaka “kesaktian” milik Kakek, melemparkan di tengah halaman. Mereka berkhianat.

“Bakar!!!”

Masih ingat di benakku ketika tiba-tiba tubuh Kakek diguyur sebuah cairan dari jerigen yang dari baunya kutahu itu bensin. Sekejap kemudian, sebuah obor dengan api menyala dilempar ke tubuh Kakek. Aku memekik, kututup mataku. Tak kuasa aku menyaksikan pemandangan itu. Hingga aku merasa seseorang menyeretku.

“Ayo kita lari.”

Ayah menyeretku keluar dari pintu belakang. Di belakang rumah, Ibu sudah menunggu. “Apa yang terjadi, Yah? Mengapa mereka membakar Kakek?” tanyaku ketakutan. “Mereka marah sama Kakek. Kita harus menyelamatkan diri agar tidak ikut dibakar.”

Kami terus berlari secepat mungkin sebelum massa yang mengganas itu menyadari. Kami berlari hinga tiba di hutan, terus berjalan masuk ke dalam hutan. Beruntunglah ada sebuah gubug yang bisa digunakan untuk bersembunyi sementara.

***

Tengah malam kudengar pintu diketuk. Kubuka pelan-pelan. Ibu pulang sendiri. “Mana Ayah, Bu?”

“Kita pergi dari sini, sekarang.” perintah Ibu tanpa menjawab pertanyaanku. “Ayo!” Ibu menarik tanganku. Aku mengikuti saja langkah Ibu yang terburu-buru. Suasana di hutan ini sangat gelap, mataku perlu beradaptasi dulu sebelum melangkahkan kaki.

“Ayah mana, Bu?” Kuulang lagi pertanyaanku. “Ibu tidak tahu.” Jawabnya pendek.
“Kemarin kan Ibu pergi sama Ayah, sekarang Ibu pulang sendiri. Ayah mana? Dan kita mau kemana?”
“Sudahlah, diam saja. Ikut Ibu!”

Aku tak berkata-kata lagi. Begitu banyak pertanyaan di kepalaku tapi kusimpan saja. Ibu tak bisa diprotes, persis seperti Kakek. Sifat Ibu yang menurun dari Kakek. Cukup jauh kami berjalan di kegelapan malam. Dingin menembus tulang. Beberapa kali kakiku yang tak beralas menginjak sesuatu yang kasar dan agak tajam. Tapi aku memutuskan untuk diam, tak mengeluh, tak juga bertanya, mengikuti perintah Ibu. Hingga sebuah teriakan menghentikan langkahku.

“Berhenti! Angkat tangan!”

Tiga orang berseragam polisi berdiri beberapa meter di hadapan kami sambil menodongkan senjata. Ibu membalikkan badan dan berlari sambil menyeretku. Sialnya, kakiku tersandung sebuah akar pohon. Aku terjatuh yang otomatis membuat Ibu kehilangan keseimbangan dan ikut terjatuh. Para polisi itu dengan mudah menangkap Ibu, memasangkan borgol di tangannya. Ibu tak mengucapkan sepatah kata pun. Aku ikut naik mobil terbuka, duduk di sampingnya. Tetapi para polisi itu tidak memborgol tanganku.

Aku tak tahu apa yang terjadi. Yang kutahu, beberapa jam kemudian Uwak Rums datang menjemputku. Setelah berbicara dengan para polisi dan menandatangani surat-surat, aku dibawa Uwak Rum pulang ke rumahnya, yang hanya berjarak beberapa puluh meter dari bekas rumahku yang kini tinggal puing-puing. Dari berita di TV barulah kutahu, Ibu membun*h Ayah setelah mengetahui bahwa Ayah adalah dalang dari peristiwa pemberontakan yang berujung pembakaran itu.

***
Tamat

- Iklan -

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU