Dinding Tirani

Desas-desus pemecatan pejabat pro rakyat terdengar dari mulut ke mulut. Bagai api yang menyala-nyala. Kini simbol raja tak lagi mengurung rakyatnya. Orator mulai turun bersamaan dengan massa yang tak percaya lagi pada raja.

Aku segera mempercepat langkah dan menuruni tangga kayu. Pikiranku berkecamuk, dadaku bergemuruh. Saatnya aku memulai kembali potongan pertama. Menceritakan semua dari awal.

Potongan Pertama

Terlahir di negeri yang terkurung memang membuatku agak buntu untuk membuka pikiran. Namun, nalar dan akal ini tidak akan buntu untuk melihat kejernihan. Aku akan memilih jalan diam untuk memperjuangkan hak rakyat.

- Iklan -

Maka, sore ini kebisingan kota membuatku melangkah mencari peraduan dan ilmu. Aku, Rish seorang pemuda dari pinggiran kota di sebuah negeri menentang kewenangan raja yang sudah terlalu lama tirani.

Saat ini, aku memasuki bangunan kuno di seberang jalan. Kota kami sedikit mendung akhir-akhir ini. Suasana sekitar pun lengang, hanya terdengar suara kereta kuda di luar.

“Rish, kapan kau akan menerbitkan karya mu?”

- Iklan -

“Sudah ku selesaikan, ini kuserahkan padamu.” Ucapku sembari mengeluarkan buku catatanku. Bangunan ini sekilas tidak seperti bangunan yang lain pada masanya. Di sinilah aku dan penulis lain saling bertukar pikiran, menghabiskan waktu, membicarakan hal mengenai pemikiran-pemikiran filsuf lain, dan mendapat berbagai sudut pandang sebagai penulis dan kritikus politik.

Sebenarnya, terkadang pertemuan ini menyenangkan. Namun ketika tiba di bagian tirani Sang Raja, sebagian berpikir untuk segera menentangnya dan sebagian yang lain termasuk aku, harus menyusun karya sebagai bentuk kritik atas berbagai masalah. Ya, Rish adalah seorang penulis dan kritikus. Golongan yang mengusahakan keadilan dan menentang negeri monarki yang semena-mena.

- Iklan -

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU