Beranda blog Halaman 2594

Triangle Love

0

Anita meletakkan sebuah pulpen di meja Aldo yang terletak di tepat di sampingnya sambil menyungginkan senyum lebarnya

“Ini”

Aldo hanya mendengus menatap gadis yang berada di sampingnya. Setiap hari gadis itu selalu meletakan pulpen di mejanya saat dia sedang menulis dan guru sedang menjelaskan, dia langsung mengarahkan pandangannya kedepan karna malas melihat gadis yang ada di sampingnya.

**

“Hei lo ga capek apa ya? Letakin pulpen di mejanya Aldo?” ujar Gadis cantik dengan potongan sebahu menatap ke arah Anita, tidak habis pikir dengan kelakuan Sahabatnya.

“Tenang aja Sal, gue bisa beli lagi kok,” ucap Anita menatap Salsa dengan polos.

“Aduh terserah elo lah,” ujar Salsa capek sendiri memikirkan kelakuan temannya yang sudah di luar nalar itu.

Anita menyukai Aldo sejak masih kelas 1 SMA, otaknya ga pinter-pinter amat tapi dia berusaha keras untuk mengejar Aldo untuk masuk kelas 2 MIA 1 dan akhirnya berhasil, walau Aldo belum juga menunjukkan bahwa dia menyukai Anita.

Meskipun Anita sudah mengungkapkannya berkali-kali baik di depan umum yang akhirnya para guru dan siswa di kelas tau kalau dia tergila-gila dengan Aldo atau melalui ponsel pintarnya yang sepertinya hanya ponselnya saja yang pintar, Anita sendiri tidak pintar sama sekali.

Drama Keluarga Cela-cela

0

Di sebuah rumah… Plak

Seorang gadis manis berusia 15 tahun itu terdiam saat mendapat tamparan yang lumayan keras dari ayahnya.

“Tina, sudah berapa kali ayah katakan? Jangan pernah mencuri rambutan saat pemiliknya masih ada!” Tegas ayah pada anak yang bernama Tina.

Tina menatap ayahnya polos.

“Berarti kalo orangnya gak ada boleh dong, Yah?”

Ayah Tina tersenyum manis saat mendengar pertanyaan Tina “Nah ini baru anak Ayah.”

Ucap ayah Tina sambil membusungkan dadanya dengan bangga. Tidak lupa hidung yang di kembang-kempiskan layaknya kingkong sesak nafas.

“Maaf ya, sayang. Tadi ayah mukulnya kekencengan, soalnya tahi lalat kamu bikin salah paham terus sih.” Permohonan maaf yang terucap diiringi garukan kepala seolah memiliki kutu yang bertimbun banyaknya.

“Gak papa Yah. Yang penting habis ini Ayah temenin Tina cari bekicot di got nya Pak Anas, ya!” Balas Tina dengan raut seolah minta dibacakan Ayat Kursi.

“Iya, sayang.” Sambil mengelus kepala Tina dengan lembut. Tak lupa secuil emas yang ia korek melalui hidungnya ikut tersangkut di rambut Tina.

“Hehehe, Ayah memang pahlawan kepagian yang datangnya kesiangan” Setelah berucap ngawur, Tina pun bergegas pergi menyeberangi sungai godaan untuk menuju alam mimpi.

Selamanya!

Sore harinya…

“Ayah! Yuhu~ anakmu yang cantik bahenol dan malehoi ini ingin menagih janji yang telah kau ucapkan pagi tadi. Dengan saksi, secuil emas yang kau korek dari hidungmu yang pesek dan berbulu” Teriak Tina kencang. Ayah Tina yang diteriaki hanya bisa mengucap istighfar, sambil mengumpulkan batu untuk ditimpuk ke kepala segi empat anaknya. Loh?

“Hoam~” Ayah Tina yang baru bangun menguap sambil merentangkan tangan dengan lebar. Tanpa menyadari bulu ketiaknya yang berkibar seperti bendera kebangsaan.

“Ayah, tak kah kau sadari? Bahwa ketiak mu sungguh memancarkan aroma kematian?” Tanya Tina sambil mengipas-ngipas ketiak ayahnya. Berharap, aroma kematian tak lagi masuk ke penciumannya.

“Masa, sih?” Ayah Tina balas bertanya sambil mengendus-endus ketiaknya yang memiliki bulu lebat. Maklum, mantan model shampoo Piten, dengan logo ‘ rambut hitam, sehitam ketekmu’.

“Huek~ bau apa ini?” Dengan gaya seperti orang muntah. Ternyata beneran muntah, dahlah.

“Bau tanah! Ya bau keteklah ayahku yang ganteng, kalodiliatdariMonas.” Balas Tina lagi, dengan kalimat terakhir di dalam hatinya.

Kemudian ia melanjutkan.

Tuhan Mati di Kamar Zamroni

0

Usia Tuhan tidak panjang lagi. Setidaknya itu yang aku yakini malam ini. Wanita yang kini berdiri di depanku dengan jarak selebar dua langkah kaki itu menjadi sangat pendiam. Aku mencoba meraba gurat perasaan di balik kaos merah ketatnya.

Kepalanya adalah benang kusut yang gagal aku pintal. Kendati begitu, aku merencanakan malam ini demi jiwaku yang sehat. Jadi aku menunggu sampai kapanpun dia siap.

Di balik punggung yang tertutup rambut panjang itu, aku melamuni satu nyawa yang sudah terbang ke ‘Arsy. Bertemu malaikat penjaga yang suci dan besar. Jarak pundak dengan telinga malaikat itu setara perjalanan burung terbang selama 700 tahun.

Dalam hati aku mengeja doa, semoga nyawa itu tidak tersesat sebab jagad terlalu luas sampai tidak masuk akal. Dan satu lagi yang tidak masuk akal adalah sikap Tuhan terhadapku.

Istriku yang begitu kusayangi dicabut nyawanya tiga bulan lalu. Aku pernah berkata jika rela menanggung sakit sakaratul mautnya. Entah dulu aku melakukan kebaikan apa sehingga Tuhan memutuskan akulah pasangannya.

Setiap hari napasku menghembus rasa syukur sembari mengamatinya. Sepanjang hidupnya bersamaku, tak pernah dia berbicara dengan nada yang lebih tinggi dari suaraku.

Pernah satu waktu saat hujan turun deras, aku pulang dari mengisi pengajian di salah satu rumah warga dengan pakaian sedikit basah dan kaki yang meninggalkan jejak coklat di lantai. Istriku melihatnya dan buru-buru melepas jilbab.

Wangi rambutnya menguar menabrak wajahku. Kain itu lantas di taruh di depanku. Aku disuruh menginjaknya khawatir terpeleset karena kakiku penuh sisa air dan debu. Senyumku terbit. Senyumnya menyusul. Aku dekatkan badanku lalu kukecup keningnya. Alisnya bertemu di antara mata sejuk miliknya. Kecupku turun ke bibir.

Aku kenal istriku lima tahun lalu. Saat itu ada acara khataman Al-Qur’an untuk syukuran rumah baru salah satu kolega. Aku memang cukup tersohor di masyarakat. Meskipun usiaku masih muda, aku keturunan kyai ternama di kota. Dia menunduk di samping ibunya. Membawa kitab kecil sampul hijau. Bacaannya lancar dan fasih.

Sampai sekarang aku masih ingat jelas suara merdunya atas kalam Tuhan itu. Demi aku berhari-hari memikirkan dia, kudatangi rumah orang tuanya. Memberi tahu maksud baikku untuk sempurnakan ibadah. Orang tuanya tak ada keraguan menerima, pun dia. Mendapat mantu seorang ustadz masih bisa jadi suatu kebanggaan ternyata.

Takdir

0

Aku terlahir dari keluarga yang biasa saja. Sudah mampu bersekolah di jenjang SMK pun aku sudah merasa sangat bahagia. Padahal, sedari kecil impianku menjadi dokter sangat kuat. Namun, aku tidak ingin orang tuaku terbebani biaya sekolah yang mungkin nanti harus ditanggung untuk meraih impian itu.

Belum lagi banyak yang berkata bahwa menjadi dokter bukan hanya butuh kepintaran otak saja, tapi juga butuh dana yang sangat besar. Mendengar perkataan itu, aku sudah tidak ingin meraihnya lagi, bahkan untuk memikirkannya pun aku sudah tidak sanggup.

Aku paham betul bagaimana kondisi keluarga. Itulah mengapa aku lebih memilih bersekolah di SMK, dengan harapan bisa langsung bekerja setelah lulus nanti. Di satu sisi, harapanku untuk mengejar cita dan impian sangat besar. Namun, aku harus mengikuti alur kehidupan ini dengan terus bersemangat dan yakin bahwa di depan nanti akan ada jalan yang terbaik untuk ku tapaki.

“Nak.. sebelum berangkat sarapan dulu ya.” “Iya bu.”

Aku Viona, saat ini aku bersekolah di salah satu SMK Negeri di kota ku. Memang sejak SD aku mendapat peringkat bagus di sekolah. Juara 1, 2, dan 3 selalu ku dapatkan. Nilaiku tidak pernah buruk karena aku tidak ingin mengecewakan orang tuaku yang hanya memiliki anak semata wayang, yaitu aku.

Aku termasuk anak yang aktif di organisasi, aku suka bergaul. Itulah mengapa temanku banyak, bahkan mungkin bukan hanya teman seangkatan saja tapi dari kakak kelas maupun adik kelas.

Tidak terasa hampir 3 tahun sudah aku bersekolah disini. Sebentar lagi kelulusan tiba. Semua ujian nasional dan sekolah sudah kami lewati, hanya tinggal menunggu pengumuman kelulusan saja.

Teman-temanku yang lain sudah bersiap merancang perencanaan mereka kedepannya. Banyak sekali yang ingin kuliah, namun tidak dengan aku. Bukan tidak ingin seperti mereka hanya saja aku sadar bagaimana kondisi keuangan keluarga kami. Ayah dan ibu yang sudah sangat banting tulang demi menyekolahkan aku.

“Saatnya aku menghasilkan uang, aku tidak ingin selalu meminta.” Kataku dalam hati.

***

Pada hari yang cerah, gadis mungil cantik menghampiriku. Ada senyum di sudut bibirnya. Dia memang selalu begitu, ramah dan periang. Gadis itu bernama Rizka. Dia adalah teman sebangku yang sangat baik dan menyayangiku.

Berbeda denganku yang hanya orang biasa. Rizka adalah salah satu anak terpandang di kota ini. Ayahnya seorang pejabat, ibu-nya seorang pengusaha butik terkenal. Entah mengapa dia berbeda dari kebanyakan orang diluaran sana. Dia tidak pernah sedikitpun malu berteman denganku.

Claire and The Great Enchanter

0

Claire Chant, seorang anak dari pembantu di rumah bangsawan terkaya, tak pernah terlintas dipikirannya bahwa tempat yang ia tinggali sekarang sungguh membedakan kedudukan seseorang. Sampai ia sendiri menyaksikan, salah satu bangsawan―yang bagi Claire sangat sombong―telah membunuh orang tuanya tepat di hadapannya.

Pagi itu saat kabut membungkus langit, mimpi buruk―tentang kejadian sang bangsawan membunuh orang tua Claire―datang kembali. Lantas ia terburu-buru bangun dari tempat tidurnya, meminum segelas air putih.

Sambil tergesah-gesah, keringat berkucuran, nafas berderu ia menyiapkan barang yang perlu dibawa pergi, termasuk beberapa shiling hasilnya menabung―dan menemukannya di jalan. Ia mengikat rambutnya, menyelempangkan tasnya dan mengenakan jubah berkerudung. Merangkul Celeng, kucing kesayangannya yang sedang asyik tidur di karpet lusuh.

“Aku akan meninggalkan rumah ini, atau mimpi buruk itu akan terus menghantuiku.” Gumam Claire.

Ia berlari meninggalkan rumah di mana ia dibesakan, tanpa menoleh sedikit pun. Baginya kenangan adalah untuk disimpan dalam ruang kosong hati seseorang meskipun akan terlupakan, tapi tidak untuk diingat.

Claire berjalan cepat―hampir berlari―sambil menunduk menarik kerudung untuk menutupi kepalanya, berjalan meninggalkan rumah itu. Ia bersumpah dalam hatinya tidak akan kembali ke rumahnya walau untuk berteduh apalagi mengenang semuanya.

Celeng hanya diam dalam pelukan Claire, mereka seperti sahabat sejati, mengerti satu sama lain walau tak pernah bisa memahami bahasa masing-masing. Celeng tahu Claire hanya butuh ketenangan untuk merelakan semuanya, tapi merelakan bukanlah sesuatu yang mudah.

Tanpa disadari Claire terlalu jauh meninggalkan rumahnya, ia masuk wilayah perbatasan yang tidak diperbolehkan untuk dimasukin siapa pun. Akan tetapi, langkah Claire yang membawanya hingga ia terhenti di sebuah istana yang sudah sangat tak terawat dan kotor sekali, seperti angker.

Tiba-tiba suara langkah kaki samar-samar terdengar. Sorot lampu terlihat mengarah ke kanan dan kiri, seperti mencari sesuatu. Mungkin itu adalah pengawal yang sedang berpatroli di wilayah terlarang. Karena Claire takut ketahuan oleh pengawal tersebut, mau tak mau Claire memutuskan untuk bersembunyi sementara di istana itu sampai para pengawal pergi.

Bersama TPAKD Sulsel, KPPN Bahas KUR dan Umi

0

Bone, FAJARPENDIDIKAN.co.id- Mengangkat tema “Percepatan akses keuangan daerah dalam mendukung percepatan ekonomi di Sulawei Selatan”, Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD) Provinsi Sulawesi Selatan menggelar rapat koordinasi TPAKD Kabupaten Bone, Soppeng, Wajo dan Sinjai di Hotel Helios, Bone, Kamis (4/11) hingga Jumat (5/11/2021).

Rapat koordinasi yang dibuka langsung oleh Bupati Bone Andi Fahsar M Padjalangi dihadiri oleh anggota Tim TPKAD Pemprov Provinsi Sulawesi Selatan serta Tim TPKAD Bone, Soppeng, Wajo, dan Sinjai (BOSOWASI).

Kepala Biro Ekonomi dan Pembangunan Provinsi Sulawesi Selatan, Since Erna Lamba pada kesempatan tersebut menyampaikan tentang evaluasi program kerja LJK dalam mendukung program kerja TPKAD dan Potensi Komoditas pada 4 kabupaten diatas.

Pemberian bantuan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Pembiayaan Ultra Mikro secara simbolis oleh Bupati Bone didampingi Pimpinan Bank Penyalur menjadi acara lanjutan dalam kegiatan ini yang diharapkan para penerima kredit program ini dapat benar-benar memaksimalkan dana yang ada untuk mendukung permodalan pada usaha masin-masing.

KPPN Watampone yang diwakili oleh Fungsional PTPN Fahrul Aprianto sebagai perwakilan dari Direktorat Jenderal Perbendaharaan menyampaikan secara detail tentang progress penyaluran data KUR dan UMi pada Provinsi Sulawesi Selatan khususnya pada wilayah BOSOWASI.

Ia menyampaikan, sampai dengan periode oktober 2021 KUR wilayah Provinsi Sulsel telah salur sebesar Rp. 12,16 Trilyun untuk 355.376 debitur. Kabupaten Bone menempati posisi kedua dibawah kota makassar untuk realisasi penyaluran KUR sebesar Rp.1,15 Trilyun untuk 30.511 debitur disusul Kabupaten Wajo pada posisi ketiga sebesar Rp. 921,6 Milyar untuk 26.357 debitur.

Kabupaten Sinjai pada posisi delapan sebesar Rp. 502,78 Milyar untuk 13.743 debitur serta Kabupaten Soppeng pada posisi sebelas sebesar Rp. 439,76 Milyar untuk 13.271 debitur yang terbagi kedalam beberapa sektor dimana sektor pertanian, perburuan dan kehutanan menjadi yang terbesar dalam menyerap KUR.

Realisasi pembiayaan UMi sampai dengan periode akhir Oktober 2021 untuk Provinsi Sulawesi Selatan sebesar Rp. 458,2 Milyar untuk 127.847 debitur. Kabupaten Bone sebesar Rp.32,1 M untuk 9.266 debitur, Kabupaten Soppeng sebesar Rp. 11,53 Milyar untuk 3.098 debitur, Kabupaten Wajo sebesar Rp. 15,68 Milyar untuk 3.399 debitur serta Kabupaten Sinjai untuk 7,5 Milyar untuk 1.993 debitur.

Pembiayaan Ultra Mikro sendiri merupakan program dana bergulir pemerintah yang menyediakan fasilitas pembiayaan bagi usaha ultra mikro yang belum dapat mengakses program pembiayaan dari perbankan yang secara total sampai dengan 2021 telah disalurkan sebesar Rp.10 Triliun, yang terbaru pedoman penyaluran kredit program ultra mikro diatur secara detail dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK.193/PMK.05/2020 tentang Pembiayaan Ultra Mikro.

“Diharapkan dengan program-program pemerintah dalam mendukung UMKM terutama dalam masa pemulihan ekonomi nasional yang menawarkan kemudahan serta bunga yang rendah mampu dimamfaatkan secara maksimal oleh para pelaku UMKM sehingga mampu meningkatkan usaha yang ada serta tidak lagi terjerat dalam praktik-praktik rentenir maupun pinjaman-pinjaman online yang belakangan sangat meresahkan dikalangan masyarakat,”ungkapnya

Reporter: Abustan

Sonorous

0

Sore yang tentram di hari Sabtu yang tampaknya akan lebih seru jika punya seseorang untuk diajak jalan-jalan. Namun kenyataan, Diomira lebih senang menghabiskan malam Minggu bersama laptop kesayangannya.

Sudah tiga jam lamanya ia berbaring di ranjang dengan berbagai camilan untuk menemani acara menonton dramanya. Bagi Diomira yang suka rebahan, ini adalah surga baginya. Dia akan selalu mengingat malam Minggu yang tentram ini.

Tentram? Ya. Semua orang di rumahnya sedang pergi ke kondangan anak Bu RT yang sangat dikagumi gadis-gadis kampung. Semua orang di kampung ini berbondong-bondong datang ke balai desa untuk merayakan pernikahan primadona itu.

Diomira dengar, balai desa menjadi sangat mewah, sangat bercahaya, dan menawan di malam hari nanti. Kata ibunya juga, mereka memesan makanan dari restoran mewah di kota.

Tapi Diomira tidak akan tergoda. Sebagai gadis yang suka menyendiri, ia lebih memilih bosan di rumah dari pada harus berbincang-bincang dengan orang lain di tengah pernikahan.

Sangat berbeda dengan kakak perempuannya yang sejak satu Minggu yang lalu bersemangat sekali mendatangi pernikahan yang sedang berlangsung itu walaupun kakaknya itu mengakui bahwa ia patah hati karena laki-laki idamannya sudah menikah terlebih dahulu. Menyedihkan.

Kembali lagi kepada Diomira. Tangannya merogoh-rogoh toples kesayangan ibunya. Ah, ia tidak sadar bahwa makanannya sudah habis. Padahal tadi ia sudah menyiapkan tiga toples dan dua minuman soda yang mungkin bisa menemani acara menontonnya.

Namun ternyata kurang baginya yang hobi makan. Tak ada pilihan lain, Diomira harus bangun dari kasur untuk pertama kalinya. Namun, baru saja akan berdiri, pintu terbuka dengan keras.

“DIO!”

Diomira terlonjak kaget saat seseorang menggebrak pintu kamarnya dengan tidak santai. Masih dengan keterkejutannya, Diomira mendongak dengan kesal kepada orang yang baru saja masuk. Ia mengenalnya. Iya, sangat mengenalnya hingga ia ingin menabok wajahnya.

“ENGGAK SOPAN MASUK KAMAR CEWEK! KELUAR!” Teriak Diomira hingga orang di hadapannya itu  merasa seperti di terpa angin. Bukan  hanya orang itu, mungkin rumah ini akan hancur.

“Gawat darurat, Di. Ah, enggak. Ini lebih ke aneh. Benar-benar aneh.”

Diomira menepis tubuh laki-laki di depannya itu dengan kasar. “Apanya yang aneh?” Tanya Diomira sambil berjalan menuju dapur.

“Tamu-tamu undangan di balai desa jadi aneh. Mereka… jadi linglung. Waktu aku panggil, mereka sama sekali enggak dengar. Mereka tuli!”

Diomira melirik laki-laki di sebelahnya dengan sinis. “Bukannya kamu yang aneh? Datang-datang ke rumahku, enggak pakai ketuk pintu, langsung masuk ke kamarku. Dan sekarang kamu ngelantur?” Diomira menggeleng-geleng prihatin.

“Ini beneran, Di. Kalau enggak percaya, ayo, kita ke balas desa.”

Memesona

0

“Tehh Milaaa! Kami mau baca bukuu!”

Sedari tadi, jari-jariku mencoba menyeimbangi imaji yang memberontak ingin dituangkan dalam untaian kata. Paduan suara anak-anak itu membuatku berhenti sejenak, segera membuka gerbang rumah. Ahh, imaji liar ini bisa menunggu kapan saja. Tetapi anak- anak yang sedang bertumbuh kembang itu lebih penting.

Segera aku persilakan mereka duduk di mana saja, dalam teras rumah. Ayah membantu dengan membawakan kotak-kotak besar berisi penuh buku. Wajah anak-anak itu sumringah, tak sabar bagai hidangan enak di saji depannya.

Dengan tertib mereka memilih buku. Sementara anak-anak yang hanya bisa melihat huruf-huruf tanpa tahu artinya, dengan binar polos itu menuntutku untuk melakukan seperti biasanya.

Hari ini aku sudah siapkan, sebuah cerita tentang perahu yang berbalik menjadi gunung besar dan desa yang tenggelam akibat kesombongan. Anak-anak penuh semangat itu mendengarkan dengan seksama.

Aku tersenyum lega ketika selesai bertutur dan mendapat tawa dan tepukan mereka. Tapi yang lebih ku harap, adalah mereka dapat memetik buahnya dengan baik dan melestarikan cerita Indonesia itu.

Dahulu ada seorang wanita yang bukan pendongeng tapi suka bercerita di setiap malamku. Ia pernah berkata; bahwa para pendongeng adalah pecinta negeri sejati. Pedulinya membuat negeri mereka abadi. Menurutku, para pendongeng itu juga dicintai oleh negerinya.

***

“Kalau caranya seperti itu, apa bisa mereka mengerti?” tanyaku penasaran. “Tesampaikan atau tidak, teruslah dengan jalanmu. Teruntuk yang kamu tuju, jangan

berharap dibalas. Tapi lakukan karena kamu tulus. Cinta itu tidak bisa diukur dengan satuan manapun. Ia hanya bisa dibagi dan dirasa. Membagikannya indah. Dirasanya bahagia,” Ia menjawab disertai senyum miliknya yang paling indah.

***

Sebuah Dongeng Perpisahan

0

Dehaman berkali-kali salah satu orang di meja makan dengan empat kursi itu membuat tiga orang lainnya menatap penuh tanda tanya. Mamanya mendekatkan gelas berisi air ke arah anak perempuannya, khawatir jika ada tulang ikan yang menyangkut di tenggorokan anaknya.

“Kesangkut gajah tenggorokan lo?”

Yang ditanya menatap sebal pada Ian, kakak laki-lakinya, yang berada di seberang meja. Pelan ia meletakkan kotak beludru berukuran kecil di depan piring makannya, menunggu reaksi dari tiga orang lainnya. Hasilnya, Ian tersedak dan mama yang langsung memeluknya. Papanya belum bereaksi apapun, tersenyum pun tidak.

“Lo dilamar Nathaniel?” tanya Ian.

Brisia mengangguk mantap diiringi dengan senyum yang tak terbendung. “Kemarin malam pas lagi dinner. I didn’t expect that!” Tatapannya beralih pada papanya. “Pah, kata Niel kalo gada halangan, dia mau lamaran resmi bareng keluarganya minggu depan.”

Papanya hanya mengangguk-angguk kecil. “Adek udah lakuin syarat Papa?” Dahi Brisia berkerut, firasatnya tak enak. “Nathaniel harus melakukan serangkaian tes. Itu syarat dari Papah, nggak bisa diganggu gugat.”

“Niel sehat, Pah.” ucap Brisia meyakinkan.

“Kamu bisa jamin? Kalo yakin, seberapa besar rasa yakin itu?”

Brisia menatap nanar papanya yang undur diri dari meja makan, enggan untuk bedebat dengan dirinya. Mamanya menyusul tak berselang berapa detik. Pandangan Brisia memanas, setetes air sudah siap meluncur dari pelupuk matanya.

“Papa nggak mau punya cucu penyakitan, ya, Kak?”

Ian mengusap pelan puncak kepala adiknya seraya memberikan tatapan menenangkan. “Jangan ngomong gitu. Setiap ayah di luar sana pasti pengen yang terbaik buat anaknya, pun dengan papa.”

Brisia menyingkirkan tangan Ian, menolak untuk kembali diusap. Kemudian ucapan yang paling Ian hindari jika berbicara dengan adiknya, pagi itu keluar begitu saja. Kata-kata yang sudah lama Ian tak dengar. Di mana setiap mengatakannya, Brisia akan meneteskan air mata.

“Lo nggak akan tahu rasanya, Kak. Lo normal dan lo bebas sama siapa pun.”

*****

Sudah tiga hari sepasang anak dan ayah itu tak berbicara. Tiga hari itu pula Brisia memilih absen dari meja makan dan lebih memilih menyantap makanannya di kamar. Setiap kali melihat papanya, entah kenapa kaki Brisia langsung mengambil arah sebaliknya dari tujuan semula.

Namun siang itu, saat melihat papanya tengah bersantai dengan laptop di pangkuan, Brisia memberanikan diri berjalan melewati papanya tanpa sepatah kata pun. Hanya dirinya dan Tuhan yang tahu seberapa cepat jantungnya berdetak kala itu. Dalam hati Brisia memasukkan daftar mendiamkan papanya adalah hal yang harus ia hindari.

“Ke luar ke mana, Dek?”

Gapaian tangan pada gagang pintu itu terhenti ketika suara papanya menginterupsi. “Ke tempat bunda Niel. Adek berangkat, ya, Pah.”

“Bisa ditunda, kan? Papa mau bicara sebentar.” Mendengar tak ada jawaban, papanya mengalihkan pandangannya pada putrinya yang masih terdiam di dekat pintu, lau memindahkan laptop ke sisi sofa panjang yang kosong. “Brisia Adrian?”

Damn. Tak ada bantahan yang bisa dilakukan jika orang tua sudah memanggil anaknya dengan nama lengkap. Brisia berjalan mendekat, mengambil duduk di depan papanya. Ia tahu papanya pasti akan berbicara serius sekarang, tanpa mama dan Ian. Hanya mereka berdua.

“Lamarannya jadi?”

“Nggak tahu,” jawab Brisia pelan.

“ Maaf ya …” Brisia menatap papanya. “Papah nggak pernah tahu kalo Papah nurunin penyakit sampai Adek lahir. Dua tahun pertama sejak kamu lahir, mamah kamu sadar pertumbuhan kamu cenderung lambat dan nggak terlalu aktif. Pas itu Papah biasa aja, nggak terlalu nganggep hal itu serius dan memaklumi kamu.

“Suatu hari, Adek nggak mau makan sama sekali dan badan Adek juga memucat. Kamu nggak tahu sekaget dan sebingung apa kita semua pas dokter bilang, kamu yang masih kecil, mengidap thalasemia minor. Papah lebih ngerasa hancur, kalau ternyata Papah yang nurunin ke kamu. Orang tua Papah, salah satunya, pasti pengidap thalasemia.”

Papanya menghela nafas pelan. “Andai Papa dan mama melakukan pemeriksaan sebelum menikah, setidaknya kami berdua tahu konsekuensi ke depannya bagaimana. Nggak bakal terkaget-kaget kaya orang linglung. Bersyukur Papa bukan pengidap yang varian mayor, bisa jadi bolak-balik ruma sakit kamu setiap bulan.” kekehnya di akhir.

Brisia diam. Hal ini lebih rumit dari yang ia pikirkan. Ia butuh Nathaniel di sampingnya sekarang, setidaknya akan sedikit tenang berada di pelukan kekasihnya itu.

“Ingat, ya, apa pun yang ada dalam diri calon orang tua, mempengaruhi kondisi calon anak di masa depan. Papa nggak benci atau ngak suka sama Nathaniel. Dia anak baik ”

ucap papanya diiringi senyum yang tulus.

Brisia tersenyum. Papanya benar. Orang tua mana yang akan tega melihat anaknya merasakan sakit padahal sudah mengetahui keadaan yang sebenarnya. Brisia beranjak dari duduknya, mencium pipi papanya, dan tetap pergi ke rumah bunda Nathaniel seperti rencana awal. Dalam langkah ragunya, ia tersadar, ini sama saja seperti kisah cinta anak bungsu keluarga Adrian sedang berada di ujung tanduk.

*****

Rintik Hujan Penyesalan

0

Malam menyelimuti seluruh Kota Baya di mana waktu tepat menunjukkan pukul 12 malam.

Di mana semua orang telah terbawa ke dalam mimpi masing-masing. Namun, tidak dengan seorang laki laki yang sedang memeluk lututnya di u kasur king size tersebut. Ia sedang menangis karena masih tak percaya dengan apa yang terjadi 12 jam yang lalu.

Flashback

Di sebuah taman dekat Kota Baya, Terlihat keluarga yang sedang berbahagia di salah satu gazebo di taman tersebut. Di sana terlihat sepasang orang tua dan empat anak lelaki di sisi nya. Mereka sedang merayakan hari ulang tahun anak bungsu mereka yaitu Rio. Ia sangat senang terhadap keluarganya tersebut.

“Selamat uang tahun Rio!!” kata salah satu seorang lelaki di samping kirinya

“Iya! Selamat ulang tahun juga adik kelinciku tersayang!!” kata salah seorang laki di samping kanannya yang disebut “Kakak”

“Terimakasih Kak! Oiya, Kak Andra juga gak ngasih aku ucapan ulang tahun nih?” kata Rio sambil memajukan bibirnya sehingga terlihat menggemaskan di hadapan keluarganya itu.

“Hahahaha, kamu kenapa lucu sekali sih? Iya iya. Selamat ulang tahun adikku yang paling imut.” kata Andra dan memeluk adik kecilnya.

“Aduh anak-anak papa ini semuanya lucu-lucu. Selamat ulang tahun sayang, semoga kamu bisa terus bahagia seperti ini ya.” kata sang papa sambil mengukirkan senyuman paling tulus untuk keluarganya itu.

“Iya sayang, Rio sudah jadi anak besar. Sudah sepuluh tahun lho, kamu nanti harus menurut ke semua Kakakmu ya.” Mama tersenyum dan sedikit terharu melihat anak anaknya sudah mulai menginjak usia remaja dan dewasa semua.

Mereka merupakan keluarga yang paling di hormati di Kota Baya. Karena mereka memiliki perusahaan yang sukses, Yaitu PT. Star. Perusahaan itu dikelola oleh papanya sejak 10 tahun lalu. Lalu ia bertemu istrinya atau mama dari keempat anak lelaki mereka.

Mama mereka merupakan orang yang terkenal di Kota Baya, Indonesia. Karena Ia adalah model yang paling sering naik daun di masa-masa itu. Jadi tidak ada yang tidak mengenali dari keluarga Galaxan ini. Mereka baru pindah ke tanah asal Mamanya pada tahun ini. Semua berjalan lancar, namun.

“Papa, Mama. Aku dan kakak boleh main bola dulu ya? Biar gak bosen disini. Boleh kan?” Rio merajuk kepada orang tuanya untuk bermain bola di taman tersebut.

“Boleh kok, tapi jangan jauh jauh ya. Mengerti?” kata Papanya sekedar mengingatkan. “Okie dokie. Yuk kak, Kita main.” kata Rio sambil menarik ketiga kakaknya itu.

Mereka berempat mulai bermain bersama. Sang kakak suka menjahili sang adik sehingga mereka mulai melemparkan bolanya ke yang lain yang tidak dapat ditangkap oleh adiknya itu.

“Kak itu Ambil!” kata anak kedua atau biasa dipanggil Niko.

“Ah! Ayo Dimas! Cepet ambilkan.” kata Andra ke pada adik ketiga itu. “Loh? Kok gitu sih! Mana bola ku!” seru Rio tak terima dijahilin seperti itu.

“Ambil dong! Hahahaha! Kak Niko ambil!” seru Dimas kepada kakak keduanya itu.

*Hup*

Bola tidak dapat tertangkap oleh Niko, namun bola itu menuju jalan raya yang berada di belakang Niko. Mereka semua terdiam selama beberapa detik, namun sang bungsu dengan segera menuju ke jalan raya untuk mengambil bola tersebut.