Beranda blog Halaman 2599

Adakah Maaf untuk Bapak?

0

Bus yang agak longgar penumpang ini melaju membawaku menembus jalanan kota. Belum begitu banyak juga kendaraan hilir mudik menyaingi kami. Di beberapa ruas jalan terlihat para petugas kebersihan yang, menurut prediksiku, jauh sebelum matahari merambati ufuk telah lebih dahulu menjamah tiap sudut kota. Tadi, tepat pukul enam aku meninggalkan kantor usai semalaman mencumbu rupa-rupa pekerjaan yang tak ada habisnya.

Ini hari Sabtu. Orang-orang tidak banyak keluar di waktu sepagi ini. Cukuplah mereka bertarung di sepanjang Senin hingga Jumat dengan sesamanya di jalan-jalan, kantor, pasar- pasar, di dalam kendaraan umum, dan bahkan bersaing menghidu udara.

Aku memilih duduk persis di samping jendela, melesakkan oksigen kuat-kuat ke dalam paru-paruku, tanpa perlu bersaing. Pertukaran gas berlangsung kurang dari sekedipan mata, tetapi dengan penuh penghayatan aku membiarkan karbondioksida mengalir sesaat demi sesaat keluar dari rongga hidungku.

Aku amat menyukai hari libur. Bukan hanya tersebab akan menceraikan lembar- lembar bisu pekerjaan yang menekan kepalaku lima hari dalam seminggu, siang ditambah malam. Atau keluar dari kungkungan sangkar persegi raksasa yang kau tidak akan terbebas darinya sebelum memenuhi seluruh permintaan tuannya. Melainkan, karena matahari menjadi mahluk paling ramah sejagat raya jika hari libur bertandang.

Sang surya, dengan kegagahan yang tak pernah berkurang menjadi demikian lembut menyapa penduduk bumi di hari libur. Aku merentangkan tangan, membiarkan matahari yang menerobos sayup lewat jendela bus memamah pori-pori kulitku.

Tiba-tiba berkelebat sebaris pertanyaan di benakku seperti running text di salah satu tikungan yang kami lewati beberapa saat yang lalu, “Sudah cukup bahagiakah diriku?” Aku tercenung, menggerak-gerakkan bola mata sambil mengaduk-aduk isi kepala untuk mencari jawaban.

Bayangan keluarga kecilku timbul di permukaan udara bak layar tembus pandang. Aku menjatuhkan pandangan tepat di gambar transparan itu. Ya, aku punya matahari di rumahku. Istriku, Ratih, yang kuambil perjanjian maha dahsyat atasnya di hadapan ayahnya tujuh tahun silam.

Tak berselang lama, sekitar setahun kemudian, matahari itu melahirkan rembulan pertama untukku, lalu yang kedua dan ketiga. Tiga rembulan itu, anak-anak yang selalu memendarkan berkas-berkas cahaya kebahagiaan di rumah sederhana kami.

Kecuali, bahwa aku memiliki seonggok kenangan suram di waktu silam saat aku seharusnya diguyuri oleh warna-warni keceriaan masa kanak-kanak. Di sepersekian detik berikutnya, aku seolah terlempar dari dunia haru biru penuh tawa ke dalam kubangan sesak sekaligus dendam menjelaga pada sekelumit sosok yang tiba-tiba mengambil alih paksa hati dan pikiranku saat itu juga: bapak.

Sepeda lungsuran tua itu kukayuh sekuat tenaga di atas jalan berkerikil dengan aspal yang sudah bolong sana-sini. Deretan pohon mulai berlarian ke belakang saat pedal sepeda kukayuh secara membabi buta. Kawananku mulai mengecil oleh jarak, jauh tertinggal belasan meter dan semakin jauh.

Mungkin mereka mengira aku kesetanan, kesambet penunggu kebun pisang tempat kami bermain sesaat tadi karena melarikan sepeda macam tak ada hari esok. Aku tidak peduli. Aku hanya ingin cepat tiba di rumah. Memastikan ibuku baik-baik saja.

Ingatan-ingatan itu terus berkelindan, berputar seperti gulungan film, lalu dengan seenaknya menayangkan bagian yang paling meremas perasaan. Tiba-tiba aku merasa amat asing di dalam bus kota ini, aku disergap kesedihan yang entah, kesedihan yang perlahan mulai mengiris dan menyajikan potongan-potongan hatiku yang luka bertahun-tahun.

Kucoba mengalihkan perhatian dengan menyapukan pandangan ke penumpang-penumpang lainnya di bus itu, demi tidak membiarkan satu keping memori hadir tanpa aba-aba di hadapanku.

Terlambat. Aku menemukan rumah tidak dalam kondisi baik-baik saja. Tetangga mulai berduyun-duyun memenuhi jalan masuk rumah yang dipagari anyaman bambu. Terlambat sekian waktu, yang entahlah hanya Tuhan yang tahu. Tetapi Tuhan tidak menolong ibuku saat itu. Aku menyalahkan diriku, selain menyalahkan Tuhan, karena terlalu senang bisa pergi menikmati waktu bersama kawan – hal yang jarang bisa kulakukan – dan sejenak melupakan kepenatan rumah. Ibuku meninggal dengan kondisi menyayat hati, kata orang-orang.

Kata mereka pula, ini musibah yang tak pernah disengaja. Tapi kesedihan telah lebih dulu mencengkramku bak ikan yang pupus harapan karena terperangkap jaring nelayan. Mereka menghalauku dari melihat jasad ibu untuk terakhir kalinya.

Daun Mati Gantung Diri

0

“…Kalau nanti anak kita bertanya, di mana Ayah ketika kitab suci kita dinistakan?‟
maka dengan bangga kita akan berkata, “Nak, Ayah ada di antara barisan orang-orang yang berdemo di Ibu Kota supaya si penista kitab suci segera diadili”

Sepertinya Khoir sangat bahagia karena serentet tulisan motivasi yang dikirimkannya ke berbagai grup dan personal di Whatsapp akan membantu umat Islam untuk sadar akan kemuliaan unsur-unsur sakral dalam agama terutama kitab suci.

Agar bergerak jangan mau ditunjuk-tunjuk oleh pihak-pihak yang menjadi musuh dalam selimut mengangkat pemimpin beriman dan amanah serta tentu saja agar pemerintah segera mengadili si penista agama.

Khoir sangat bergairah dalam perkara ini, dadanya bergelora dan telah menemukan celah untuk melampiaskan kekesalannya kepada orang yang telah semena-mena dalam ucap dan tindakan.

“Abi, Rohim nanti diajak ke Jakarta juga?” seru istrinya dari dapur ketika anaknya yang baru berusia dua setengah tahun itu merengek ingin jajan.

Dari ruang tamu, di atas sofa depan televisi yang menayangkan berita mengenai akan diadakannya demo damai di Ibu Kota. Sambil menelan roti yang di dorong seteguk kopi Khoir berkata, “Kita ajak, Mi. Biar Rohim tahu bahwa umat Islam itu besar. Biar Rohim tahu agama yang dibelanya itu patut dibela,” istrinya manggut-manggut sambil menggendong Rohim untuk mengajaknya ke warung.

Khoir kembali mengunyah sisa roti lalu didorongnya dengan seteguk kopi lagi, lagi dan lagi hingga habis. Rupanya ia dirasuki ide untuk segera berkemas mempersiapkan bekal nanti ke Ibu Kota.

Di sana pasti penuh sesak, jalanan akan disemuti ratusan ribu manusia dari berbagai harakah dan organisasi. Suaranya sangat diperlukan untuk bertakbir, menyambut lantang dari setiap orasi menyebutkan nama si penista kitab suci agar pemerintah segera mengadilinya dan itu pasti tak kecil dan sedikit energi yang dikeluarkan.

Tenggorokannya akan sakit dan mungkin akan mengalami serak beberapa hari setelahnya. Maka untuk mengantisipasi itu, Khoir mempersiapkan semuanya dimulai dari makanan dan minuman kecil sekadar pengganjal perut hingga obat-obatan herbal sebagai penyangga kesehatan.

Tentu saja Ibu Kota bukan gunung berhutan yang untuk mendakinya perlu stok makanan yang banyak. Ibu Kota segala ada, dari makanan ringan hingga berat, yang penting ada uang. Maka Khoir mengecek isi dompet elektroniknya dan mencocokkannya dengan estimasi biaya yang mesti dikeluarkannya.

Telepon pintarnya bergetar serta mengeluarkan nada dering berbau positif. Dilihatnya kontak si penelepon, oh rupanya kolega di Jakarta. Mulutnya memeras disertai kerut dahi yang berlipat-lipat banyaknya.
“Ya, halo,” ucapnya.
“Mas Khoir, bagaimana dengan pemesanan baju saya?” kata si penelepon.
“Maaf, ini terakhir kalinya kita berinteraksi. Nampaknya urusan kita sudah selesai sampai di sini,”
“Lalu, bagaimana dengan bisnis jangka panjang yang sempat kita rencanakan bulan lalu?” protes orang di seberang sana dengan logat seperti di iklan layanan yang menjargonkan cintailah produk-produk Indonesia itu.
“Maaf, sepertinya saya tidak bisa melanjutkan,” lalu telepon ditutup.

Khoir menyandarkan punggungnya di badan sofa yang empuk dan melepaskan napas panjang seolah mengalirkan air bah yang lama terbendung. Kini ia lega, seorang musuh dalam selimut telah tersingkir dari kehidupannya.

Ia kembali mengambil telepon pintar itu, mencari kontak si penelepon tadi dan memasukkannya dalam daftar kontak yang diblokir. Lalu dibukanya aplikasi Whatsapp Bisnis dan diketahui ratusan orang telah mengirimkan pesan orderan pakaian yang menjadi bisnisnya.

“Tanpa aseng asing pun bisnisku bisa lancar” gumamnya, sembari membalas satu persatu pemesan yang antre untuk mendapatkan produknya. Namun di antara pesan yang hampir paling akhir, ia tak mendapati format pemesanan yang biasa diiklankan di pasar maya yang menjadi tempatnya berdagang.

Pesan itu berbunyi, “Khoir, aku menanggung malu mengirim pesan ini. Tapi apa daya, bapak ibuku kedinginan karena rumahnya ambruk oleh pergeseran tanah setelah diguyur hujan lebat disertai angin kencang sehari dua malam. Untuk itu, barangkali kau ada lebih uang. Kaupun tahu, berapa gajiku minggu depan karena kita sempat bekerja di kantor yang sama. Iya, memang gajiku cair minggu depan, hanya hitungan hari tapi ini mendesak. Ibu dan bapakku tak punya tempat selain di tempat yang hancur itu.”

Khoir termenung sejenak lalu membalas, “Darma kawanku, aku belum cek rekeningku. Kemarin lusa ada pemotretan produk baru semuanya habis 49 juta. Tampaknya belum ada pemasukan lagi. Tapi kalau ada, aku minta foto-foto atau video kejadian pergeseran tanah dan hancurnya rumah orang tua kamu. Aku sudah dengar di berita tentang pergeseran tanah di wilayah karst Citatah. Ada banyak rumah yang hancur. Tapi tak kusangka orang tuamu menjadi korban juga. Barangkali aku bisa menggalang dana di Instagram. Mungkin tak banyak, tapi semoga bisa membantu. Maklum, pengikutnya baru tiga puluh ribu-an lebih,”

“Tapi kau bisa memberiku pinjaman?” balas Darma
“Aku tak janji,”

Dan itu komunikasi terakhir mereka. Sepasang kawan itu tak pernah lagi bertemu, tak lagi berinteraksi.

***

Gadis di Kursi Roda

0

Namaku Aurel. Biasa dipanggil Arel. Aku hanya seorang gadis remaja kecil kelas tujuh di SMP paling favorit di kotaku. Warga sekolah mengenalku sebagai anak serba bisa, pintar dan multi talenta. Hobiku mengoleksi piala, piagam dan medali.

Aku menyukai semuanya. Semuanya ingin aku coba. Tingkat penasaranku selevel dengan kanker stadium empat. Alhamdulillah sekali, orang tuaku mendukung sepenuhnya. Aku anak semata wayang yang diberi kebebasan oleh orang tuaku untuk kegiatan apapun yang aku ikuti. Asalkan semuanya bermanfaat.

Hari ini Etek Jum satu-satunya pembantu rumah tangga di rumahku sedang libur. Anaknya sedang sakit di kampung. Papa belum pulang, masih di kantor. Mama pun begitu. Saat ini aku sendiri saja di rumahku yang besar ini sepi.

Tiba-tiba aku teringat dengan teman-teman sekolahku. Mereka sedang apa ya? Ah, ini hari Rabu. Aku lirik jam dinding, pukul sembilan seperempat. Tepatnya sembilan lebih tiga belas menit. Pasti teman-temanku sedang berolah raga.

Mereka pasti tengah berlarian di lapangan hijau di samping sekolah. Tertawa, kejar-kejaran, bercanda. Ah, sedangkan aku duduk di kursi roda. Satu kaki sudah tak ada. Setelah diamputasi beberapa hari yang lalu dan masih harus dikontrol lagi.

Kecelakaan yang aku alami sekitar dua bulan yang lalu telah memisahkan kaki dari ragaku ini. Mama melarang aku mengendarai motor matic. Tapi aku bersikeras mencoba. Akhirnya aku menabrak pohon di pinggir lapangan dekat masjid. Salahku juga.

Satu kaki harus kurelakan diamputasi dokter. Namun aku masih bersyukur pada Tuhan. Aku masih diberikan kesempatan memiliki satu kaki lagi. Setidaknya aku masih diberi umur untuk melanjutkan kehidupan. Alhamdulillah Wa Syukurillah.

Aku keluar dari kamar. Kedua tangan ini memutar roda samping kursi rodaku. Rasanya sudah lama aku tidak keluar kamar sendirian seperti ini. Biasanya aku dibantu oleh etek Jum, papa atau mama. Perlahan kugerakkan roda

kursi dengan kedua tangan. Kursi roda menuju ruang foyer. Belum pernah aku sampai ke ruangan ini selama aku berada di kursi roda ini. Ruang foyer adalah sekat antara ruang tamu dan ruang keluarga di rumahku.

Di ruang inilah tempat piala, piagam dan medali tersusun rapi. Sudah sebulan aku berada di kursi ini dan sekarang aku sudah cukup lihai bergerak kemanapun dengan alat transportasiku ini.

Aku melihat dengan takzim deretan piala-piala itu. Aku coba menghitungya. Mmhh… banyak sekali. Piagam-piagam juga terpajang di dinding berjejer hampir sampai ke plafon rumah.

Medali juga begitu, bergelantungan di lemari pajang khusus yang dibelikan ayah untuk itu. Mataku tertuju pada satu trofi yang bertuliskan “Juara 1 Lomba Sepatu Roda Tingkat Nasional”.

Kala itu aku memakai sepatu roda warna pink yang dibelikan mama. Aku sangat mengenang sekali momen itu. Setelah melewati batas garis finish dan aku yakin aku yang pertama, langsung aku berlari menuju mama yang sedang menonton anakya di barisan bangku penonton. Terima kasih ma, atas sepatu roda keberuntungan pemberianmu ini.

Aku lirik kursi roda. Kakiku hanya satu. Dan memang tinggal satu. Apa mungkin aku bisa memakai sapatu roda warna pink ini kembali? Mataku perih. Kugigit bibir menahan tangis. Aku tak ingin mengeluarkan air mata. Tak bisa. Butiran bening dari kelopak mata bawahku keluar juga. Air mataku mengalir begitu saja.

Aku beralih ke medali di sebelahnya. Kugeser perlahan kursi roda tanda aku mendekat. Kepala aku dekatkan ke medali emas itu. Tertulis “ Juara 1 Kejuaraan Kyiurigi Taekwondo dalam POPDA Sumatera Barat.

Waktu itu, master Jaka Suparyada mengalungkan medali ini di leherku. Aku berdiri membungkuk di atas podium berangka satu. Aku ciumi medali ini tanda aku bangga dan terharu bahagia.

Ketika Pelita Satu – satunya Redup

0

Bumi Panrita Kitta sebuah sebutan daerah yang terletak di Provinsi Sulawesi-Selatan tepatnya di Kabupaten Sinjai, kaya akan cerita sejarah dan kemajuan teknologi serta pelbagai penghargaan yang diraihnya saat ini.

Jauh sebelum kota ini merasakan namnaya kemajuan teknologi, Aryatama biasa si sapa arya salahsatu Mahasiswa Perguruan tinggi Muhammadiyah yang ada disinjai kini mengakui kemajuan yang betul dirasakannya, ia masih mengingat kejadian yang dialaminya sejak berusia 11 tahun.

Kala itu duduk di bangku kelas lima sekolah dasar tepatnya SD Neg 84. Mangarobombang Sinjai, arya tiga bersaudara memiliki dua adik kembar tapi memiliki wajah dengan paras yang berbeda, namanya Rini dan Rani satu sekolah dengan arya hanya saja mereka masih duduk di bangku sekolah dasar kelas tiga.

“Aryaa… Aryaa.. Aryaa.. woe Otonni tette siagani eddi..? laoni cemme gatti matu denasi mu upacara sekolah.! ” (aryaa.. Aryaa.. aryaa.. hei bangunn ini sudah jam berapa.? Nanti kamu tidak ikut upacara sekolah !) teriak ibu arya dengan sedikit keras menggunakan bahasa bugis sinjai untuk memangunkan arya.

“Iya bu.. aku sudah bangun nih” sembari arya bangun sambil mengucek matanya yang masih karuan.

Karena sudah kesiangan arya bergegas turun dari rumah kayunya untuk segera mandi ke sumur yang lokasinya tidak jauh dari rumahnya. Ember kecil yang iya tenteng berisi dengan alat mandi seperti sabun mandi, pasta gigi dan handuk yang wajib iya bawa saat mandi. Sesampainya kembali di rumah, arya begegas memakai seragamnya yang rapih dan wangi.

“Bu… seragam sekolah arya di simpan dimana..”? ujar arya yang sudah khawatir akan dirinya terlambat untuk ikut upacara hari senin.

“Ibu simpan di lemari paling atas tempat biasa menyimpan pakaian,

tadi malam ibu mau bilang kalau pakaian mu sudah ibu setrika dengan setrika arang yang tidak kalah dengan setrika listrik lainnya dan sedikit pewangi pakaian tapi kamu sudah keburu tidur, jadi ibu tidak tega membangunkanmu”.

Ohh iya… Makasihh ya bu.. ! sahut arya segera mengenakan pakaiannya

“Jangan lupa sarapan pagi yaa…! ibu sudah siapkan dimeja makan nasi goreng kesukaan mu ”

“Iyee bu..( jawab arya dengan bahasa yang santun) ”

Karena ini musimnya panen padi. Ayah dan Ibu arya harus bangun pagi di banding hari-hari sebelumnya. jika ia bangun di hari biasanya rutinitasnya hanya

mempersiapkan sarapan pagi anaknya, sekarang harus pandai membagi waktunya juga untuk ke sawah memanen padi. Kedua orang tua arya hanya bekerja sebagai petani, Sawah yang dikelolanya tidak begitu luas, hasil panennya hanya beberapa gabah saja jika di bagi dengan keluarga dekatnya tidak cukup untuk persediaan selama satu tahun. Jalan satu satunya yang harus di pilih iyalah menjadi buruh tani.

Matahari mulai beranjak tinggi memancarkan cahayanya di pelosok Bumi Panrita Kitta (Kota Sinjai) seakan menebarkan cahaya kehidupan yang damai dan tentram, sedang arya masih di perjalanan menuju sekolahnya yang jaraknya tidak begitu jauh dari rumahnya, hanya butuh waktu kurang lebih 20 menit untuk sampai, karena arya merasa dirinya terlambat jika mengikuti jalarn raya, ia memilih jalan pintas dengan lewat sawah yang lebih dekat disbanding lewat jalan raya, dugaannya betul tiba di sekolah dengan waktu yang sedikit terlambat.

peserta upacara sudah mulai berkumpul di lapangan, masing- masing ketua kelas menyiapkan barisannya, arya sedikit beruntung karena pintu gerbang yang di jaga oleh satpam sekolah sesaat setelah di lauluinya langsung di tutup dengan rapat.

“Upacara hari senin tanggal 07 maret tahun 2011 segera di mulai…!” Ucap protokol upacara menandakan bahwa upacara akan segera dimulai.

Tak mau ketinggalan karena arya yang memiliki postur yang lebih pendek dibanding teman sebayanya mau tidak mau harus mengambil barisan paling depan supaya terlihat.

Prosesi upacara berjalan lancar seperti biasanya, beberapa peserta upacara tumbang karena panasnya terik matahari, adapun yang pingsan karena belum sarapan pagi.

“Syukur Alhamdulillah..ibuku tadi pagi ibuku menyiapkan nasi goreng kesukaan ku jadi semangatku mengikuti upacara lebih tinggi” Gumam arya dalam hatinya sambil mengusap keringat yang menetes di mukanya.

“karena ini bulan di mana kelas enamnya akan menghadapi ujian nasional maka kami harap anak-anaku sekalian mengurangi waktu bermainnya dan lebih memfokuskan dirinya dirumah masing-masing saja. Sambutan kepala sekolah dalam memberikan arahan untuk murid kelas enam yang sebentar lagi menghadapi ujian nasional ”

tidak hanya untuk yang menghadapi ujian nasional namun seluruh murid yang ada terkhusus arya yang masih di bangku kelas lima sekolah dasar.

“Pembina upacara, meninggalkan lapangan upacara…!” Seru protokol bahwa upacara akan segera berakhir.

“Peserta upacara di bubarkan”, ada yang lari ke kantin untuk membeli air minum untuk melepaskan dahaganya ada pula yang bergegas ke kelasnya masing-masing untuk mengerjakan tugas yang belum terselesaikan. Arya yang berasal dari kelurga sederhana hanya membawa uang jajan sebesar seribu rupiah niatnya untuk jajan kalau ia haus

sepulang sekolah. Sesekali ia menyisipkannya uang jajannya dalam tabungannya. Ia sadar dari kelurga tidak berada maka ibunya tiap hari menyipakan nasi goreng sebelum berangkat tak lupa ibunya sisipkan sebotol air minum jika ia haus, begitu pula dengan adiknya yang kembar Rini dan Rani yang masih berpikir polos, arya sebagai anak tertua dan beda dua tahun dari adiknya sudah memiliki pikiran dewasa dan tahu akan kebutuhannya, sesekali uang jajannya di alihkan untuk kedua adiknya.

Arya begitu semangat dalam mengikuti pelajaran hampir semua yang di sampaikan oleh gurunya ia cermati tak lupa di catat dalam buku catatannya. Salah satu mata pelajaran yang di ikutinya saat itu mata pelajaran Bahasa Daerah ( mata pelajaran dengan bahasa bugis yang wajib di dapat ketika masih sekolah dasar) salah satu mata pelajaran yang di gemari arya, mengapa tidak bahasa sehari-harinya saja dirumah bahasa daerah kecintaanya dengan bahasanya iya memegang teguh petuah yang pernah dibacanya bahakn di jadikan pesan dalam kehidupannya yang berbunyi :

“Lele bulu tellele abiasang

Lele mua abiasange abiasang tofa palelei”

Berarti : “Gunung bisa pindah tempat tapi kebiasaan tidak, kebiasaan bisa berubah hanya dengan kebiasaan pula, jika orang terbiasa malas maka akan susah untuk merubahnya.” kebiasaan orang sejak kecil akan terbawa-bawa ketika sudah beranjak dewasa

Ibu arya selalu menanamkan nilai dan norma etika yang baik terhadap anak-anaknya supaya kelak memiliki budi pekerti dan sopan santun dalam beretika.

Gemuruh adzan zuhur mulai terdengar, tidak lama lagi murid sekolah dasar akan pulang.

“Pulang sekolah kamu mau lewat jalur mana ya ryaa…!” Sapa Ikki tidak lain sepupu arya yang satu kelas dengannya.

“ menurut aku kita lewat jalan raya aja yah sebab panas begini kalau lewat jalan pintas kita tidak bisa berteduh karna yang di lalaui sawah lapang beda hal nya dengan lewat jalan raya kita bisa bernaun dengan rimbunnya pohon magga dan beberapa pohon lainnya” sahut arya sambil memasukkan bukunya kedalam tas.

“ Baiklah aku mengikut saja mana yang menurut kamu baik arya..” “Oke ki..” balas arya.

Arya dan Ikki sudah terbiasa kesekolah dengan jalan kaki begitu dengan pulang, semenjak sepeda ontel milik ayah arya rusak dan tidak bisa di pakai lagi ia memilih jalan kaki bersama teman-temannya, kalau ia beruntung sesekali ada pengendara motor berbelas kasihan memberikan tebengannya kalau lagi kosong.

Jalan yang penuh kerikil dan lubang dengan luas hampir setara dengan kubangan kerbau akibat tragedi banjir bandang tahun 2006 lalu yang memprok-porandakan seluruh akses jalan di sinjai termasuk jalan yang hampir tiap hari dilalui arya ketika kesekolah.

Sesampai dirumah ia melepas seargamnya dan tak langsung pergi ke dapur untuk mengambil nasi. Karna ia bisa sekolah dari ternak sapi yang di pelihara ayahnya kemudian di jual kepada pedangang.

Ia harus memberikan minum sapinya sebab ayahnya yang tiap hari memberikan pakan dan minum kini harus berbagi pekerjaan dengan arya, karena ayah dan ibunya tidak pulang kerumah di kala siang hari. sawah yang di tempati untuk memanen padi lumayan jauh jadi hanya membawa bekal secukupnya untuk makan siangnya.

Ember tempat bekas cat ia isi air dengan secukupnya agar ia bisa angkat untuk beri minum sapi. Selepes itu barulah ia kembali kerumah untuk membuka lemari makanannya karna perutnya sudah tidak kuat lagi menahan laparnya, di benaknya makanan yang tersedia adalah ikan bandeng kuah dengan tumis bawang, salah satu makanan favoritnya yang sering di sediakan ibunya dikala pulang dari sekolah, karna ibunya ke sawah dan tidak sempat membuatnya yang ada hanya garam dan minyak kelapa saja yang tersedia di atas meja makan.

Arya adalah orang yang sabar dan tidak banyak bicara apa yang ada di depannya ia sudah bersyukur, bagi orang lain makan dengan garam dicampur minyak kelapa adalah makanan yang sering di konsumsi masyarakat Indonesia pada masa penjajahan jepang tapi baginya suatu kesyukuran karena hidup di zaman ini kita sudah terbelenggu dari masa penjajahan.

Sore yang asri nan ramai suara-suara mesin penggiling padi silih berganti berbunyi, kuda-kuda berlalu lalang membawa padi hasil gilingan padi, aroma ilalang terus merambat terbawa oleh angina darat. Waktu beranjak petang ibu dan ayah arya pulang dari sawah dengan pakaian yang lusuh dilengkapi dengan caping yang terbuat dari daun aren.

Emma.. mahennni kale lisu lo ( ibu, kok pulangnya petang) teriak arya pada ibunya yang sedang membersihkan badannya di gentong kecil berisi air”

Iya afa mabela lalengge, elo toi di pappura assakunge magatti (ibu pulangnya malam karena rutenya agak jauh lagi pula pekerjaan ini mau ibu selesaikan secepatnya) ” Balas ibu Arya sambil bergegas kerumhanya

“Oow iya ibu ..” pinta arya dengan rasa gembira melihat ibunya pulang “sudah sana nyalakan pelitanya ini sudah magrib lo”

karena arya tidak memiliki biaya untuk memasang listrik dirumahnya ia masih menggunakan pelita dari minyak tanah untuk menerangi isi rumahnya, sebenarnya ia pernah menyambung listrik dengan tetangganya tapi karena merasa tidak enak sehingga ia lebih memilih untuk memakai pelita saja.

“ Siap ibu..! arya sudah tanya Rini sama Rani duluan untuk menyalakan pelitanya ” Malam hadir dengan susana yang tenang di dalam rumah. Arya bersama adiknya mulai memeriksa tugas yang di berikan oleh gurunya untuk diselesaikan malam itu juga.

Karna sudah terbiasa belajar di malam hari dengan lampu penerangan dari pelita itu sama sekali tidak mengganggu semangatnya dalam membaca walaupu sesekali alis dan rambutnya jadi korban ketika berhadapan dengan pelita itu. Sebelum mereka mengakhiri malamnya dengan tidur bersama sesekali arya, ibu, ayah, dan kedua adiknya bersua bersama di ruang keluarga yang tidak begitu sempit.

“ Nak belajarlah yang rajin, kejarlah mimpimu kelak mjadi orang yang sukses , jangan seperti ayah ibumu yang hanya bekerja sebagai buruh tani tanpa ada tanggungan di hari tua. Pesan ayah arya untuk menyemangati adik-adiknya supaya rajin belajar dan menjadi orang sukses ”

“ Iyee saya janji akan jadi orang yang sukses dan membahagiakan ibu dan ayah. Sahut arya dengan sedikit terharu mendengar pesan kedua orang tuanya ” mereka tak bisa lama-lama untuk menghabiskan malamnya dengan berbagi cerita, sebab pelita yang ia isi dengan minyak tanah harus ia gunakan dengan irit dan sesuai kebutuhannya saja, harga minyak tanah kala itu 5000rupiah/liter sudah sangat mahal bagi keluarga arya untuk membelinya jadi hanya menggunakan minyak tanah seperlunya saja.

Malam itu tiba-tiba ibu arya terbangun dari tidurnya ia merasa kelelahan dan tak sanggup menahan sakitnya, karna ayah arya tidak mau terjadi apa apa dengan ibunya iya segera menghubungi ambulance terdekat untuk membawa ibunya ke rumah sakit. Arya bersama adiknya tertidur pulas dalam rumah sehingga iya tidak diberi tahu hal itu. “Nak ibumu semalam masuk rumah sakit, kami tidak sempat membangunkan

mu karna kau tertidur pulas, ucap nenek arya saat melihat arya sudah terbangun dari tdrnya ”

“sekarang keadaan ibu bagaimana nek, apakah baik-baik saja ? balas arya dengan wajah sedikit murung”

“Ibumu sudah ditangani oleh dokter nak jadi gak usah khwatir” “Alhamdulillah nek kalau begitu”

Pagi itu tiba-tiba ayah arya pulang dengan wajah yang putus asa serta air mata yang terus berlinang.

“ Nak kamu yang sabar, ayah tadi dapat kabar dari dokter bahwa tadi pagi ibumu telah menghembuskan nafas terakhirnya” ungkap ayah arya.

Sontak tiba-tiba seluruh isi rumah dalam keadaan histeris dimana arya tak kuasa menahan air matanya mendengar kabar kepulangan ibunya, arya tak tau harus bagaimana lagi karena satu satunya orang yang selalu memberinnya semangat dan menerangi hari-harinya dalam kehidupan nya padam dalam usia yang dini. Hanya ada satu jalan agar arya tak menjadi anak yang putus asa di usia dini yaitu semangat optimisme dan terus berdoa kepada yang kuasa.

Habis terang terang terbitlah gelap, badai pasti berlalu begitupun dengan roda terus berputar kadang di atas kadang di bawah seperti itulah kehidupan.

Penulis : Awaluddin

 

 

Aku Ingin Kalian Percaya Bahwa Aku Bisa

0

Sore ini aku menikmati hujan yang turun dengan secangkir teh hangat, ingatanku kembali pada masa dimana aku berjuang untuk kuliah di negara Eropa. Pada saat aku kecil hampir semua kelakuanku benar-benar tidak dinilai oleh orang tuaku.

Mereka sudah mengatur semuanya dengan baik dari mulai kegiatan, teman hingga pendidikanku semua mereka yang mengaturnya. Hingga suatu saat aku dan orang tuaku berbeda pendapat tentang perguruan tinggiku, yang mana aku ingin kuliah di Turki tetapi orang tuaku ingin aku tetap didalam negeri ini.

“mah, pah selama ini kalian yang mengatur pendidikanku, kalian menyekolahkanku dimana saja pasti aku terima, sekali ini saja aku berpendapat tentang pendidikanku.”

Aku berhasil membuat mereka tercengah dengan pembicaraanku, yang mana mereka selalu menganggapku anak yang pendiam dan tidak pernah membantah atas kemauan mereka.

Pada saat alarm tidur malam berbunyi mamaku masuk kekamarku. “Rinh…” panggil mamaku, itulah namaku.

“Kenapa kamu tiba-tiba ingin menempuh pendidikan di Turki?” tanya mama sembari mendekati dan duduk di kursi belajarku.

Aku terdiam dan berfikir apa alasanku kuliah di negara eropa?

“Aku penasaran dengan sejarah islam disana” ujarku tetapi itu bukan alasan utamaku, mamaku menatapku heran karena aku tidak pernah seperti ini, tanpa mengucapkan apapun mamaku pergi dari kamarku, kupikir orang tuaku akan mengizinkanku kuliah di Turki, dan ternyata pendapatku kurang kuat, akhirnya pun mereka tetap mendaftarkanku di perguruan tinggi negeri ini lebih tepatnya di Universitas Negeri Malang, akupun menyetujui mereka untuk kuliah di UM.

Pada waktu kuliah aku diam-diam mengumpulkan uang biar bisa kuliah di Turki dengan mengumpulkan uang entah itu aku kerja setelah kuliah, menitipkan jualan makanan di kantin kampus, mengikuti lomba-lomba yang berhadiahkan uang, karena kuliah di turki jalur berkas membutuhkan banyak biaya, pasti kalian berpikir kenapa tidak menunggu pendaftaran beasiswa? Karena aku ingin membuktikan bahwa aku bisa cari uang sendiri, bisa keterima kuliah di Turki.

Hingga pada 3 September 2021 aku dapat email yang menyatakan bahwa aku keterima di salah satu universitas di Turki yaitu Istanbul University, setelah dapat kabar dari itu aku minta izin ke orangtuaku untuk kuliah diTurki, dan akhirnya pertama kalinya mereka menerima permintaanku dengan satu pertanyaan yang sama seperti dulu mamaku tanyakan

“kenapa kamu benar-benar ingin sekolah di negara Turki” tanya papaku dengan nada yang lembut, tetapi entah kenapa aku meneteskan air mata

“Mah,pah pernah gak mama, papa berpikir apa yang aku inginkan?, pernah gak kalian bertanya kepadaku tentang teman-temanku, pernah gak bertanya bagaimana sekolah hari ini?

Hingga pada suatu ketika aku dibilang manja kalian gak taukan?” ujarku dengan mata yang sembab

“oke alasanku kuliah di Turki alasan agama karena aku penasaran akan sejarah agama islam, perjuangan islam di negara turki, kalau alasan pribadi karena aku ingin membuktikan ke temanku bahwa aku bisa, aku bukan anak yang manja, aku juga bisa mandiri dan alasanku yang terakhir karena aku ingin merasakan hidup tanpa harta dari kalian.” Aku berhasil membuat mereka hanya terdiam

“mah…. pah    ” panggilku

“Boleh kan aku kuliah di Turki?” tanyaku mematangkan keputusan mereka

“ Nak, kita minta maaf ya.. karena kita terlalu sibuk hingga kita lupa denganmu, kita juga selalu menuntu kamu untuk selalu bisa dalam semua bidang, maafkan mama dan papa ya” ujar papa dengan mata yang tersedih

Tanpa terduga mereka meminta maaf denganku, akupun meneteskan air mata dan berterima kasih kepada mereka karena membolehkanku kuliah di Turki.

“Kamu bisa daftar jalur berkas di Turki dapat uang dari mana?” tanya papaku tiba-tiba

“Aku kerja mah,pah karena cara ini yang bisa membuat kalian bisa percaya bahwa aku bisa” ujarku

Pada 10 September 2021 jam 04,00 WIB jadwal penerbanganku sih jam 05.00 WIB aku diantarkan orangtuaku kebandar udara internasional Adi Sumarmo pergi ke bandar udara internasional Soekarno-Hatta berkumpul dengan rombongan mahasiswa yang akan kuliah di Turki juga

“Nak, hati-hati disana jangan lupa sholat tepat waktu, tilawah, nanti kalau memang uangmu habis bilang sama mama dan papa, jangan kerja fokus sama kuliah saja, kerja biar kita” ujar papa sambil memelukku

“Iya pah, I love you dad” air mataku menetes

“Ih kenapa coba nangis?” tanya mama ku dengan memelukku

“Gak papa, terharu aja selama 17 tahun aku baru merasakan rasanya di peluk orang tua” air mataku serasa tidak bisa berhenti merekapun memelukku bersamaan.

“ Dah sama masuk pesawat, nanti kalau ketinggalan kamu lanjut kuliah di UM lho.”

Canda mamaku agar aku tidak menangis lagi

“iya mah, aku masuk pesawat ya, bye mah” sambil menuju pesawat

Aku lupa pamitan dengan mereka, seketika akupun balik dan mencium tangan dan pipi mereka pertama kali

“Assalamu’alaikum mah, pah” kali ini aku benar-benar meninggalkan mereka sambil melambaikan tangan ke mereka

“Waalaikumsalam” jawab mereka bersama dengan melambaikan tangan juga

Jam 06.25 aku sampai bandar udara internasional Soekarno-Hatta, aku bertemu teman- teman baru, yang mana nanti sebagian dari kita juga berpisah di Turki karena kita keterima di universitas yang berbeda-beda, karena jam keberangkatan ke Turki jam 07.00 WIB kita memanfaatkan waktu kita untuk saling mengenal satu dengan yang lain.

Jam 07.00 kita berangkat ke negara Turki karena jakarta ke istanbul memakan waktu cukup lama yaitu 12 jam 10 menit aku memanfaatkan dengan mendengarkan lagu-lagu Turki, Sholat dan juga makan siang, nah kita sampai Turki sekitar jam 19.10 WIB atau jam 15.10 UTC. sebelum kita berpisah ke kota masing-masing, 3 hari kita jalan-jalan keliling turki, setelah itu kita sudah bisa memulai kursus bahasa turki.

“Rinh   ” panggil dari temanku berhasil membuatku tersadar dari lamunanku

“Kenapa?” tanyaku, kita mahasiswa dari indonesia dijadikan 1 kosan agar mudah komunikasinya

“Sudah mau maghrib, masuk kamar pintunya ditutup.” Ujar temanku “Siap bos.” Sambil meranjak dari tempat duduk dan menutup pintu kosan

TAMAT

Kampung Pendiam

0

Dari jauh sudah terlihat pasar kampung Waringin ramai seperti biasanya. Sekitar jam enam pagi, hiruk pikuk penjual dengan senyum ramah yang dipaksakan, menawarkan dagangannya dengan gegap gempita. Termasuk Kang Jumadi, penjual jamu yang selalu membawa kabar baik buat orang-orang yang sedang kurang sehat.

Mungkin sedang kena asam urat, lutut linu-linu, pinggang kena encok bahkan sedang sakit lambung, tapi masih juga ke pasar untuk bekerja. Penyakit orang kampung selalu ada saja. Namun Kang Jumadi tetap optimis bahwa jualannya selalu ramai dalam situasi apapun. Tapi beberapa bulan terakhir, dagangannya terus menurun.

Pembelinya hanya beberapa orang dari kampung lain yang putus asa dengan kondisinya yang sudah berkali-kali ke dokter tapi tak kunjung ada perubahan kesehatan lebih baik.

“Ayo Bapak Ibu, yang sedang linu, kepala pusing, vertigo, segera minum jamu ini! Dijamin pasti lenyap seketika sakit-sakit Anda. Jangan tunda lagi, murah meriah. Daripada berobat ke dokter yang mahal dan antrinya naudzubillah!” celoteh Kang Jumadi bersemangat.

Semua mata memandang sinis dengan raut wajah meremehkan. Tapi mereka cepat-cepat berlalu dari lapaknya tanpa komentar, tanpa ada suara-suara protes. Mereka semua diam. Padahal mereka bisa saja protes bahwa tidak semua dokter mahal. Toh pergi ke Puskesmas juga gratis.

Peluh di wajah lelaki kekar itu terus berleleran karena panas mencengkeram pasar siang itu. Hanya ada tenda kecil yang menaunginya, membuat wajahnya mengkilap. Seharian hanya ada seorang ibu yang membeli jamu sari rapet.

“Biar suaminya senang ya, Bu?” goda lelaki itu sambil tersenyum dengan tatapan tajam. Perempuan itu hanya mengangguk malu-malu tanpa suara, dan segera berlalu setelah membayarnya.

“Sarmun! Lama-lama aku stress sama kampung ini. Kalau pendapatan kita terus menurun, kita tak bisa makan, tak bisa bayar kontrakan,” bisik Kang Jumadi kepada Sarmun asistennya yang berperawakan tinggi kurus itu. Matanya melotot menatap wajah Sarmun yang kebingungan.

“Lha mau bagaimana lagi, Kang? Kampung ini sepertinya sudah jarang orang sakit. Apa kita harus pindah dan cari pasar lain?” jawab Sarmun dengan wajah serius. Peluhnya juga menitik satu-satu di dahi, lalu turun ke sebelah pipinya.

“Pindah gundulmu! Wong kontrakan masih belum dibayar lunas!” Lelaki kurus yang dipanggil Sarmun itu melengos, berpikir keras apa yang menyebabkan kampung Waringin ini menjadi adem ayem tanpa basa basi. Benar-benar memuakkan menurut mereka.

Sampai siang ini, ada satu lagi seorang ibu yang berusia sekitar 50 tahun yang membeli jamu masuk angin. Aneh, padahal musim kemarau seperti saat ini biasanya banyak pelanggan mencari Kang Jumadi untuk mencari obat-obatan.

Ada yang sakit batuk, koreng, gatal-gatal karena nyamuk yang merajalela akibat sungai-sungai yang kering dan air yang tak mengalir, juga berbagai penyakit “orang tua” lainnya. Tapi kenapa musim kali ini sangat sepi orang-orang mencari jamu kepadanya? Benar-benar membuat Kang Jumadi kalang kabut kliyengan.

Akhirnya mereka membereskan lapaknya, menuju ke sebuah warung nasi di sudut pasar, yang bersebelahan dengan gundukan sampah dan banyak lalat. Entah mengapa semua orang yang masuk ke warung itu seolah tak menghiraukan bau sampah yang menusuk indera penciuman mereka. Entah mungkin hidung mereka sudah baal.

“Lha ini dia Kang Jumadi! Piye Kang, pendapatmu sama film yang akan tayang itu? Yang tidak sesuai dengan norma agama. Kan nggak bener itu! Harus di boikot! Tidak boleh tayang!” Tiba-tiba Joni yang sedang duduk di warung itu langsung nyerocos menyambut kedatangan Kang Jumadi dan Sarmun. Lelaki yang badannya bau keringat itu lalu duduk di samping Joni, laki-laki tinggi besar beralis tebal.

Kang Jumadi mengerutkan dahinya sedikit bingung. Lalu akhirnya mengangguk-angguk diikuti Sarmun, setelah mendengar judul film yang dimaksud Joni, seorang aktivis yang wara wiri di beberapa kantor pemerintah.

Kadang ke kantor Kecamatan, kantor Dinas, kantor partai. Entah ada saja yang diurusnya, termasuk surat-menyurat yang harus diantarkan. Profesid Joni adalah semacam kurir dari kantor ke kantor. Paling sering dia menganggap dirinya sendiri sebagai penyambung lidah rakyat. Kadang juga sebagai makelar surat-surat penting di kampungnya, semacam Akta kelahiran, Kartu Keluarga atau membayar PBB dan lainnya.

“Harus kita boikot Kang Jumadi!” Joni mengulangi lagi kata-katanya.

“Iya harus dilarang! Merusak moral masyarakat!” tambah Kang Jumadi sambil makan gorengan di piring saji yang sudah dingin itu. Sayang makan siang kali ini tak ditemani segelas kopi panas karena keuangannya menipis.

Hanya air putih segelas. Sarmun hanya kebagian makanan menu sederhana, sepiring nasi sayur asem dengan lauk tempe goreng dan rempeyek kacang saja. Mereka bertiga ramai membicarakan film yang mereka anggap tak pantas itu.

“Bu Lasinah! Piye kalau menurut sampeyan?” tanya Joni bertanya kepada pemilik warung itu. Perempuan setengah baya itu hanya tersenyum tipis.

“Lha kok senyum-senyum saja. Gimana menurut sampeyan? Harusnya dilarang toh?” Dia menoleh ke perempuan itu sambil menyalakan korek apinya untuk merokok.

Lha wong saya ndak tahu filmnya, kok ditanya.” Jawab Bu Lasinah sambil tersenyum menoleh ke anaknya. “Tanya ke Bagas saja!”

Bagas, anaknya Bu Lasinah yang masih libur kuliah itu, terlihat sedang membantu membuat es the sama sekali tidak menoleh pada mereka pengunjung warung. Dia hanya tersenyum.

“Piye, Gas? Ayo kita ramai-ramai memboikot film itu!”

Bagas masih tersenyum tak menanggapi suara bersemangat Joni, membuatnya sedikit jengkel karena tak ada komentar sama sekali.

“Kamu kok diam saja? Ini lama-lama jadi kampung bisu!” seru Joni agak emosi.

Keningnya yang mengkilap karena keringat, tambah mengerut seperti kulit jeruk.

“Ya nggak apa-apa, yang penting bukan kampung ribut!” jawab Bagas enteng.

“Kamu kok begitu? Tidak ada kepedulian sama sekali ke masyarakat, sama negara kita! Kamu itu beneran mahasiswa, kan? Mahasiswa kok adem ayem begitu, tak ada protes-protesnya sama pemerintah!”

“Protes itu ya harus cerdas, Kang. Harus tahu apa yang mau di protes. Bukan protes sembarangan!” jawab Bagas tegas, lalu melengos pergi ke ruang belakang entah mengambil apa. Tak menghiraukan lagi celoteh Joni.

“Ya begini ini orang kurang update. Cuek dengan situasi dan kondisi yang sedang ramai dibicarakan orang.” Joni masih bergumam sambil menikmati asap rokoknya lalu menyeruput kopi hitamnya. Kang Jumadi dan Sarmun masih mengangguk-angguk, entah apa yang mereka pikirkan.

Sementara Bu Lasinah tetap tak bersuara. Padahal Bu Lasinah hanya pura-pura tak tahu tentang film yang dimaksud Joni.

Bu Lasinah masuk ke dalam dengan bersungut-sungut menemui Bagas. “Sst, dikira aku tak paham berita. Padahal aku malas membahas.” Suaranya pelan berbisik ke telinga Bagas dengan nada mencemooh kepada tiga orang lelaki itu.

Bu Lasinah kembali muncul ke depan warung.

“Tapi kampung ini kok semakin sehat ya, Jon? Sudah jarang orang sakit disini.” Kang Jumadi mulai curhat dengan tatapan heran kepada Joni.

“Masa?” tanyanya tak percaya.

“Buktinya, semakin lama jamuku semakin tak laku. Sepi.” Jelas Jumadi.

Tapi ternyata Joni sedang malas membahas jamu, malah kembali membahas boikot film. “Bu, Bagas ndak ikut demo toh?” tanya Joni pada perempuan pemilik warung itu. “Hari ini kan masih ramai mahasiswa demo di depan gedung Dewan?”

“Saya tidak tahu. Mungkin yang kuliah jurusan Sosial Politik saja yang ikut demo.” jawab Bu Lasinah singkat.

“Wah, padahal ini perjuangan lho. Mahasiswa membuktikan kalau demo itu membela rakyat kecil. Bagas jurusan apa kuliahnya?”

“Seni rupa, Kang!”

“Lha itu dia! Harusnya kan dia paham masalah seni, masalah film-film yang harus di boikot itu! Jangan diam saja, rakyat harus tahu mana film yang pantas, mana yang tidak pantas toh? Masa anak muda cuma diam saja? Cuek saja? Harus bergerak, dong!” Joni masih nyerocos tanpa jeda. Sementara kepala Sarmun mulai berdenyut-denyut mendengarkan celoteh Joni tanpa henti. Membuat irama jantungnya ikut berdetak lebih cepat dan tak beraturan padahal sudah selesai makan siang. Peluh di dahinya mulai bermunculan lagi.

Sudah sekitar satu jam mereka nongkrong di warung itu. Kang Jumadi mulai menggaruk- garuk kepalanya yang tidak gatal, dan Sarmun mulai menggaruk punggungnya yang mulai berkeringat. Hawa panas yang ganas memasuki warung yang tanpa kipas angin itu. Sebenarnya, Bagas yang berada di ruang tengah, hatinya ikut membara mendengar omongan Joni yang pedas dan tanpa etika, tapi dia menahan hatinya untuk tak emosi.

Jam di tangan Bagas sudah menunjuk pukul dua siang. “Mas Jon, Kang Jumadi, kalau mau memboikot film, boleh saja, memangnya sudah nonton filmnya di bioskop? Lha wong filmnya saja masih akan di putar dua bulan lagi. Nonton dulu, baru protes. Kalau filmnya memang jelek, baru pantas protes. Sudah, saya mau ke mushola dulu. Mau Ashar.” Jelas Bagas panjang lebar. Dia malas menggubris lelaki itu dan melenggang santai menuju Mushola dekat warung. Mereka tak tahu bahwa anak seni rupa mengekspresikan protesnya dengan cara berkarya, melukis misalnya.

Tiga lelaki itu saling pandang. Wajah mereka merah padam bercampur malu. Seketika mereka sadar, bahwa mereka terlalu banyak bicara. Bertolak belakang dengan kampung ini yang pendiam. Bu Lasinah menahan senyum.

Tiba-tiba Kang Jumadi tahu alasan mengapa kampung ini menjadi lebih sehat dan jarang sekali orang membeli jamunya. Dia langsung mengusap wajah dengan dua telapak tangannya. Mulutnya mengguman tak jelas, tapi kemudian kepalanya mengangguk-angguk. Sesaat kemudian kepalanya berdenyut parah, dia langsung mencari-cari obat sakit kepala.

Penulis : Aulia Manaf

Sadar

0

Namaku Sonya, tapi aku biasa dipanggil Miss Cemas julukan yang orang – orang berikan kepadaku bukan tanpa alasan pastinya. Aku punya dua anak yang masih balita dan seorang suami yang baik.

Tidak ada yang salah semestinya dengan kehidupanku tapi hal ini terjadi tak terasa sudah satu tahun lamanya. Semenjak aku memutuskan untuk keluar dari pekerjaanku yang menurut kepala bagianku aku cukup berkinerja baik dan ketika dipromosikan aku malah memilih keluar dengan pertimbangan hamil anak ketiga.

Ada sedikit penyesalan namun tak banyak karena aku terbiasa keluar masuk pekerjaan dan keluar dari pekerjaan justru saat sedang naik jabatan. Aneh.

Kehidupanku menjadi Ibu Rumah Tangga yang menurutku sangat mudah ternyata tidak sesuai bayanganku sampai selang beberapa bulan mulailah banyak negara yang terjangkit pandemi yang membuat perasaanku campur aduk. Takut, cemas, sedih, gundah dan waspada yang bercampur aduk di dalam hati kecilku yang memaksa fisik dan pikiranku untuk menerima kenyataan pahit.

Aku seorang yang dikenal sangat aktif dan pekerja keras akhirnya memaksaku menjadi seorang ibu rumah tangga dirumah saja dan membatasi pergerakan sosialku. Awalnya aku menjalaninya dengan baik.

Sampai kudengar ada tetangga, saudara dan sahutan toa-toa masjid yang terdengar memberitakan korban-korban pandemi ini, suatu hal yang tidak ingin kudengar dan kuhindari sehingga membuatku sangat takut dan cemas.

Cemas ini bukan terhadap satu faktor saja tapi beberapa faktor yang menjanggal membuatku sangat memikirkan dan membuat pikiran-pikiran negatif. Aku pun terbelenggu. Tiap hari aku merasakan sakit badan entah pusing, sakit gigi, nyeri otot, sesak dada, asam lambung dan sebagainya.

Keluhan ini datang hampir tiap hari dan memaksaku datang ke dokter setiap tiga kali seminggu dengan dokter yang berbeda. Entah aku gila atau bagaimana semua hasil pemeriksaan yang aku jalani menunjukan kondisi yang normal bahkan cukup terkendali.

Beberapa dokter menyarankan aku untuk pergi ke psikiater atau terus berdoa mendekatkan diri pada Sang Pencipta mudah memang tapi menjadi sulit untuk dilakukan.

Dokter bilang aku terkena entah apa itu namanya Anxiety, Pannic Attack, Psikosomatis entahlah tapi sangat mengganggu. Bahkan terkadang aku mendiagnosis sendiri penyakit yang datang kepadaku dengan menjadikan Mbah Google sebagai bahan referensi karena rasa segan untuk pergi ke dokter yang sama dengan alasan yang berbeda. Setiap aku terbangun pagi penglihatanku terlihat samar dan aku tidak bisa membedakan apakah dunia nyata atau mimpi ketika terbangun.

Entah sudah biru atau merah tanganku yang selalu kucubit untuk membuatku tersadar. Suara kicau burung sangat menggangguku. Suara cicak di malam hari mengusikku.

Suara-suara yang terdengar berulang-ulang membuat otakku mengirim pesan ke seluruh bagian tubuhku dan tanpa sadar membuat aku terjaga sampai pagi. Aku jadi percaya akan mitos yang tidak pernah terbukti kebenarannya.

Saat pergi kesuatu tempat ramai aku merasa sebentar lagi akan pingsan atau pikiran- pikiran negatif lainnya yang aku buat dan menghantui diriku sendiri. Iya! Pikiran itu aku ciptakan sendiri untuk menakutiku sendiri? Bagaimana aku bisa menjalani hidup dan beraktifitas dengan normal selayaknya orang biasa.

Aku jadi iri dengan orang lain yang tidak memiliki apa-apa tapi mereka bahagia. Berbeda sekali dengan aku. Harusnya aku malah lebih bersyukur. Entah kerasukan apa diriku. Akupun berusaha membaca-baca doa yang aku hapal untuk meminta perlindungan. Aku tahu Tuhan tidak tidur.

Tiap malam datang aku selalu takut. Takut esok aku terbangun di tempat lain. Ya memang kuakui pandemi yang menghantui dan pekerjaan dirumah saja ini membuat pergerakanku terbatas dan mungkin kebosananku melambung tinggi menjadikanku takut mati.

Aku takut bertemu teman-teman karena aku yang mereka kenal dulu adalah SuperMom yang bisa menjalankan dua peran sebagai ibu dan wanita kariernya sukses. Aku terlalu sibuk memikirkan diri sendiri kesehatanku, kebahagiaanku, emosiku. Sampai aku lupa tugas utamaku.

Suatu ketika anakku menjadi anak yang sangat pembangkang suka berkata kasar ,suka memukul dan suka membanting barang. Aku dan suami tidak pernah mencontohkan. Awalnya emosiku meningkat dan semakin tidak karuan nya tubuh dan pikiran ini.

Sangat Kacau. Aku sering berpikir aku akan menjadi gila dan masuk pusat rehabilitasi. Sampai suatu hari si kecil menyadarkanku.

Ia jatuh dan terluka ketika ingin menggapai betisku ketika ia hendak belajar berjalan. Aku melamun, menangis tanpa suara. Aku perhatikan anak-anakku satu per satu. Anak-anak tanpa dosa yang kehilangan kasih sayang ibunya yang terlalu cemas memikirkan diri sendiri.

Sungguh aku sangat sibuk dan melewati masa masa keemasan anak-anakku. Aku merasa berdosa menelantarkan mereka. Segera aku terbangun dari lamunanku yang amat panjang dan terasa nyata. Aku peluk mereka dan minta maaf.

Sehingga akan tertanam dibenak mereka bahwa mereka dialiri kasih sayang tidak hanya ayah tapi ibu mereka dan aku tidak akan melewatkan kesempatan ini.

Penulis : Atika Ayuningtyas

 

“ ALANA “

0

Sepi, itulah yang ku rasakan saat ini aku merasa kesepian.Tidak banyak tau ” I like when i’m alone but not always“. Ponselku yang sedari tadi berdering namun tidak kuhiraukan, kubiarkan ia berdering tanpa berniat mengangkatnya.

Ku langkahkan kakiku tanpa arah dan tujuan. Mataku menangkap sesuatu yang menarik perhatianku.”Pantai” satu kata yang berhasil terucap dari bibirku.

Ku lirik jam tanganku jam menunjukan pukul 5.00 PM. Ku susuri bibir pantai yang sangat indah tanpa melihat orang-orang sekelilingku. ” Kheeemmm ternyata jalan sendiri jauh lebih menyenangkan” Ucapku.

Aku duduk tepat di bibir pantai, ku luruskan pandanganku melihat laut dengan tenangnya dan ombak yang tidak begitu kencang. “Sungguh, tidak ada seorangpun yang mampu mengerti perasaanku” lagi-lagi aku bergumam dalam hati.

Ponselku berdering untuk kesekian kalinya.

” Halo. Alana kamu Dimana? kenapa tiba-tiba menghilang dari kampus” ucap Selin. Teman dekatku selama diperkuliahan.

“Aku hanya pergi menenangkan diri. Hari ini Aku kembali patah dan runtuh Sel tidak usah khawatir ” ucapku.

” Al, aku tau saat ini kamu sedang dalam masalah yang mungkin tidak semua orang bisa mengerti apa yang kamu rasakan. Tapi tolong jangan merasa kamu seorang diri ”

Tanpa sadar ku matikan sambungan telponku dengan Selin.” Bullshit ” hanya itu yang mampu ku ucap. Sunset dengan pancaran sinarnya yang begitu indah mengenai wajahku. Sesekali ku ambil gambarnya untuk di jadikan kenangan.

” Hai?” Seseorang menepuk pundak ku dari belakang. Ku lihat sosok laki-laki yang tidak asing bagiku.

” Sendiri? ” Ucapnya dingin ” Eh iya sendiri ” ucapku.

” Kenapa? ada masalah lagi? ” Ucapnya sambil duduk di sebelahku .

Dafin, laki-laki setahun lebih tua denganku. Orang yang pernah begitu dekat lalu kemudian menjadi asing. Dan sekarang dipertemukan kembali tanpa adanya unsur kesengajaan.

” Tidak, aku hanya ingin menikmati sunset yang indah di pinggiran pantai seperti ini. Kurasa itu menyenangkan bukan? ” Jawabku sambil tersenyum.

” Kurasa itu bukan jawaban yang jujur Al, aku tau seseorang ketika jalan sendiri kemudian duduk dipinggiran pantai seperti ini. Ia pasti tidak merasa baik-baik saja” ucap Dafin.

” Sok tau ” jawabku sambil tertawa. Tentu yang dikatakan Dafin benar adanya.

Aku bergegas meninggalkan Dafin yang masih duduk dihamparan pasir putih.

” Maaf, maaf Al ” ucap Dafin dengan wajah menunduk.

” Kenapa minta maaf ? tidak ada yang salah dengan masa lalu kemarin.”

“Al, maaf karena aku memutuskan hubungan sepihak tanpa memberikanmu penjelasan waktu ” ucap Dafin lirih.

” Kamu tau saat itu aku tidak merasa sesak atau bahkan merasa sedih karena kamu memutuskan semuanya begitu saja. Tapi ada hal lain yang membuatku merasa benar-benar tidak ingin mengenal siapapun. Kau tidak tau itu bukan?”

Mataku yang sedari dari menahan air mata,kini terjun bebas di pipiku. Ku langkahkan kakiku meninggalkan Dafin yang masih setia duduk di hamparan pasir putih itu.

Sesekali ku seka air mataku yang sedari tadi terjun bebas. Ku lajukan motorku menuju arah pulang. Hujan seolah mengerti dengan perasaanku ia turun dengan derasnya saat hatiku benar- benar kacau.

Perlahan ku buka knop pintu rumahku dengan keadaan basah kuyup. Ku seka air mataku yang turun bersama hujan agar tidak seorangpun tau aku sedang menangis di tengah hujan.

” Papa,mama….Stoop… Alana capek melihat papa dan mama bertengkar saling mementingkan ego masing-masing. Alana capek dengan keadaan rumah yang penuh dengan keributan,” Teriakku pada mama dan papa saat melihat mereka saling beradu ego masing-masing.

Dadaku kembali sesak, mataku yang mulai memanas karena menahan tangis akhirnya kembali terjun bebas di pipiku kali ini tidak ku seka ku biarkan ia jatuh sederasnya.

Aku berlari menuju kamar. Ku hempaskan tubuhku di atas kasur kesayanganku. Ku tatap setiap sudut langit – langit kamarku. Aku kembali menangis sejadi-jadinya.

” Untuk pertama kalinya aku benci Sepi dan Sendiri.. ” ucapku lirih.

Ku raih ponselku yang semalaman tidak aku hiraukan. Kepalaku terasa berat akibat menangis semalaman. Ku putar lagu kesukaanku sebelum beranjak dari tempat tidurku .

Aku beranjak dari tempat tidurku. Ku susuri ruang tengah rumah berniat menemui mama dan papa. sedari pagi aku tidak melihat keberadaannya.

Ayah Berpulang Pasca 6.2 SR Mengguncang Mamuju

0

Suasana mencekam, gelap gulita, teriakan bersahut-sahutan.

“Abii…gempa, Abii gempa”, teriak tangis kakak pertama dan kedua. Kurang lebih seperti itu suasana hunian kami di BTN Axuri Jalan Dahlia VII Mamuju, saat gempa berkekuatan 6,2 SR mengguncang Kota Mamuju.

Dalam kondisi bangun tidur, kucoba merangkak keluar dari kamar tidur meraih dan memeluk 3 (tiga) orang anak kami yang berteriak histeris. “Tunduk nak, tunduk nak”, pintaku, “Allahu Akbar”.

Sambil memanggil ummi untuk segera keluar dari kamar, kucoba merangkak kembali menuju kamar mencari handphone untuk penerangan. Saat itu saya tidak bisa membayangkan kondisi rumah kami yang sangat berantakan.

Kucoba menyalakan senter handphone, nampak pecahan-pecahan kaca, tegel, lemari buku yang menumpahkan isinya, nasi sisa makanan semalam terhambur dari rice cooker. Kondisi tegel rumah kami terasa berombak, nampak pecah dimana-mana, plafon rumah pun mulai terlepas.

“Ayo kita keluar nak, ummi ayo kita keluar”. Sambil menggendong Hamnah (anak kami yang keempat). Aku pun mulai mencari kunci rumah, namun saya tidak lagi mendapatinya di tempat biasanya digantung.

“Ya Allah, dimana kuncinya?. Sambil berusaha keluar dari himpitan rak sepatu yang terjatuh, ingatanku tertuju pada kunci serep yang pernah aku simpan di belakang pintu kamar tidur.

Alhamdulillah, kami pun bergegas keluar rumah, dalam kondisi cemas, galau, memikirkan strategi yang terbaik untuk menyelamatkan diri. Pikiranku tertuju pada satu-satunya kendaraan kami sepeda motor matic mio pemberian Bapak Mertua.

Kucoba bangunkan motor tersebut dari kondisi jatuh akibat gempa. “Ya Allah kemana kami harus menyelamatkan istri dan anak-anak, kami harus membonceng enam orang (istri + 5 anak)”, tentu tidak akan muat.

Dalam keadaan seperti ini, datang salah seorang teman sejawat mengabarkan bahwa guncangan yang barusan terjadi betul-betul dahsyat, rumah beserta klinik berlantai 5 (lima) yang lokasinya tak jauh dari kediaman kami milik salah seorang dokter roboh, rata dengan tanah. Teman kami itu mengajak agar kami segera mengungsi mencari tempat yang lebih aman. Alhamdulillah saat itu, tetangga yang juga atasan kami di kampus menawarkan untuk menumpangi mobilnya (Semoga Allah membalas kebaikannya).

Asa Menggapai Bintang

0

Di antara sekian banyak guru yang pernah mengajarku, Pak Karjo adalah guru yang meninggalkan kesan sangat mendalam bagiku. Ketika itu beliau mengajar para siswa SD kelas IV. Orangnya rajin, rapi, berdisiplin, dan humoristis.

Beliau suka bermain sulap dengan memainkan gerakan ’ajaib’ yang mengesankan, jempolnya terlihat seolah-olah putus. Beliau juga bisa menggerak-gerakkan daun telinganya. Seluruh kelas dipenuhi gemuruh tawa dan tepuk tangan siswa bila Pak Karjo melakukan atraksinya yang mengagumkan itu.

Selingan atau intermeso seperti inilah yang disukai para siswa, termasuk aku, sehingga pelajaran tidak terasa membosankan. Tak mengherankan, bila para siswa selalu bergairah ketika diajar oleh Pak Karjo.

Suatu saat seorang siswa bernama Fendi – siswa yang sangat pendiam dan tak bisa bergaul akrab dengan teman-temannya – diminta untuk maju ke depan kelas untuk melakukan story-telling dengan tema bebas – sebuah mata pelajaran yang disukai banyak siswa.

Ketika nama Fendi disebutkan, terdengar celotehan ”pincang, pincang” dari sejumlah siswa. Pak Karjo sadar bahwa celotehan itu adalah pertanda meremehkan. Akan tetapi, beliau dengan wajah tersenyum memandang Fendi yang berjalan ke depan dengan langkah pincang.

Fendi menceritakan kisahnya membantu ibunya berjualan pisang goreng dengan suara terbata-bata dan bahasa yang tak teratur. Suatu saat, ketika membantu ibunya menjajakan pisang goreng, dirinya tertabrak sepeda motor yang ngebut. Petaka inilah yang membuatnya pincang.

Usai Fendi bercerita, tangan Pak Karjo mengusap pundak Fendi dan mengatakan, ”Nanti seusai bel pulang, kamu menghadap saya, ya?”

”Ya, Pak,” sahut Fendi dengan wajah menunduk dan hampir menangis.

Banyak siswa beranggapan bahwa Fendi akan menerima hukuman atau dampratan menjelang pulang sekolah. Akan tetapi, Pak Karjo bukanlah guru dengan karakter seperti itu.

Di kantor guru, Pak Karjo memberikan sehelai kertas catatan kepada Fendi untuk dibaca dan dipelajari di rumah. Aku mulanya tak tahu tentang hal itu. Selang dua bulan kemudian Fendi bercerita kepadaku kalau dia diberi catatan oleh Pak Karjo untuk dipelajari di rumah. Catatan itu berisi hal-hal penting yang akan diajarkan di kelas seminggu kemudian.

Pak Karjo percaya bahwa sesungguhnya tidak ada siswa yang bodoh; yang ada adalah siswa malas atau tak mampu mengatur waktu untuk belajar. Beliau lalu minta keterangan dari guru kelas I, II, dan III tentang perkembangan Fendi selama belajar di kelas-kelas tersebut.

Catatan guru kelas I mencantumkan, ”Fendi adalah siswa yang sangat cemerlang, cerdas dalam menjawab pertanyaan. Siswa ini sangat ceria dan pandai bergaul dengan teman- temannya. Pekerjaan rumah selalu dikerjakannya dengan rapi dan benar. Fendi patut menjadi siswa teladan di kelas.”

Sementara, guru kelas II memberikan catatan, ”Fendi adalah siswa yang sangat baik dan rajin, tetapi sejak ayahnya meninggal, dia berubah menjadi siswa yang bandel dan malas. Kadang-kadang dia tak mau berbicara sepatah kata pun, kadang-kadang dia membuat suasana kelas menjadi kacau. Fendi menjadi anak yang moody.”

Sedangkan guru kelas III memberikan masukan, ”Kematian ayah tercinta, membuat Fendi terpukul berat. Dia kehilangan pegangan hidup dan tokoh panutan. Kini ibunya yang menjadi tulang punggung bagi keluarga dengan berjualan pisang goreng. Sang ibu sudah tak sanggup lagi memberikan perhatian yang cukup bagi tumbuh kembang dan pendidikan anaknya. Itu sebabnya Fendi sering berpakaian lusuh, tidak mandi, acuh tak acuh, dan sering tertidur di dalam kelas. Sangat mengkhawatirkan. Bebannya semakin berat dengan kecelakaan yang membuatnya pincang.”

Sepasang mata Pak Karjo tampak berkaca-kaca seusai membaca ketiga catatan tersebut. Sejak awal beliau sudah yakin bahwa Fendi sebenarnya anak baik. Pak Karjo berjanji pada dirinya untuk mendidik Fendi lebih baik lagi. ”Aku harus bisa mendidiknya dengan baik!” bisik Pak Karjo dalam hati.

Sejak saat itu, menjelang pulang sekolah, Pak Karjo selalu memberikan catatan penting kepada Fendi untuk dibaca dan dipelajari dengan tekun di rumah.

Hal itu berlangsung selama kurang-lebih dua bulan. Kemajuan setahap demi setahap mulai tampak. Fendi mulai bisa menjawab pertanyaan dengan baik. Nilai-nilai ulangannya pun meningkat. Rasa percaya dirinya mulai pulih, dan tak ada lagi siswa yang suka mengejeknya.