Beranda blog Halaman 2598

Disini Jihad Akan Kutunaikan

0

 Jika dirasa telah cukup ilmu yang kau timba, pulanglah nak. Bantu bapakmu di sini.
Bukan karena bapak lelah tapi umur yang makin bertambah.
Apatah lagi penyakit ini. Mereka butuh kita, butuh orang yang lebih paham untuk menuntun kehidupan beragama agar lebih baik. Tau sendirilah kau seperti apa hidup di lokasi seperti ini. Ladang jihad mu ada di sini…

Malam telah larut. Tak ada keriuhan seumpama siang yang penuh vitalitas gerak manusia mencari kehidupan. Hanya gelap dan angin yang sesekali menggemerisik menyemilir. Temaram lampu berpendaran.

Lukman tengah membaca ulang nukilan surat dari bapak yang dikirim sebulan sebelum kematiannya. Surat yang memintanya pulang jika ilmu agama yang ditimbanya dirasa cukup. Pulang untuk menggantikan posisinya sebagai imam mesjid di emplashment (perkantoran dan perumahan karyawan yang berada di tengah areal) perkebunan kelapa sawit di pelosok tepi hutan.

Pergulatan batin antara cita-cita dan realita yang Lukman alami cukup menguras waktu dan energi. Beberapa kali harus konsultasi ke dosen yang telah menjadi orang tua angkat di kampusnya, sesepuh agama tempatnya biasa berkeluh- kesah, hingga teman-teman. Bukan ingin menolak keinginan orang tuanya tapi memperoleh masukan cara seperti apa agar bisa mewujudkan kedua amanah tersebut—cita-cita dan realita.

Oleh almamaternya, Lukman sudah ditawari untuk jadi dosen. Kapasitas dan kualifikasinya memenuhi syarat. Iapun berminat meneruskan pembelajarannya ke level yang lebih tinggi. Jihad melalui pendidikan, demikian ia meyakini. Namun surat dari bapak telah menyentak nuraninya.

Jihad dengan turun langsung membina umat dan memajukan agama juga sama pentingnya, apalagi orang tua yang meminta, demikian argumen dosen, sesepuh agama, dan teman yang dimintai pendapat. Maka, dengan keyakinan, tekad, dan nawaitu untuk berjihad, Lukman pun memenuhi keinginan bapak. Pulang ke ranah tempatnya dilahirkan.

Lukman sangat memahami kehidupan di perkebunan kelapa sawit karena ia lahir dan besar di situ. Dunia perkebunan yang keras, serba minimalis, sulitnya aksesibilitas karena masih berupa jalan tanah merah yang kering-berdebu-meranggas di musim kemarau dan becek berlumpur di musim hujan. Lokasi yang ada di pedalaman sehingga jauh dari infrastruktur peradaban modern terutama komunikasi.

Beberapa perusahaan perkebunan besar ada yang menjalin kerjasama dengan perusahaan seluler untuk membangun menara di lokasi namun tak sedikit juga perusahaan perkebunan yang hanya memanfaatkan sedikit signal yang melintasi area perusahaan. Situasi itu tergantung kondisi kantong perusahaan, dan Lukman marfhum, perusahaan perkebunan yang jadi ‘kampung halamannya’ tergolong hanya pemanfaat lintasan signal seluler.

Bapak adalah Imam mesjid utama dan satu-satunya yang ada di perusahaan. Ups, tunggu, jangan bayangkan mesjid utama adalah mesjid besar nan megah meski sudah berdinding tembok dengan ornamen menarik dan sound system lumayan mumpuni. Namun kondisinya cukup tua dengan biaya operasional bersumber dari donatur jemaah.

Beberapa perusahaan perkebunan skala besar memang memiliki mesjid megah—juga gereja dengan bea operasional yang ditanggung oleh perusahaan. Tapi mesjid di perusahaan tempat bapak mengabdi belum seperti itu. Dan situlah bapak mengajarkan membaca Al Quran, memimpin shalat berjamaah, berceramah, dan aktivitas rutin keberagamaan dengan bayaran gaji dari perusahaan.

Tak jauh dari lokasi mesjid juga berdiri gereja untuk ibadah umat Kristiani. Lukman mengenalnya dengan sebutan Pak Lamhot Pendeta. Mereka bertetangga baik dan saling menghargai-menghormati. Kondisi fisik gereja pun tak jauh berbeda. Seperti Bapak, Pak Lamhot Pendeta juga telah mendedikasikan umurnya untuk melayani umat di perusahaan perkebunan itu.

Sejarah memang telah menyebutkan bahwa pengelolaan perkebunan kelapa sawit berbasis perusahaan mulai muncul di Sumatera Utara (juga Aceh) pada tahun 1870an kemudian menyebar. Maka tak heran jika di perkebunan kelapa sawit, banyak orang Batak jadi pekerjanya mulai dari level tinggi hingga pekerja harian.

Semua pun marfhum bahwa religiusitas suku bangsa Batak adalah Kristen. Menjadi paradoks karena lokasi perkebunan umumnya berbatasan dengan masyarakat peladang di tepi-tepi hutan yang kebanyakan warganya adalah mayoritas muslim melayu Sumatera.

Lukman amat sangat marfhum bahwa tidak pernah ada pertentangan dalam bentuk apapun akibat perbedaan agama, meski ada juga satu-dua debat kusir soal aturan dan keseharian keberagamaan. Bapak dan Pak Lamhot Pendeta pernah saling tertawa ketika warga desa memprotes kenapa di gereja orang pada nyanyi-nyanyi.

Lalu soal diketemukannya sekumpulan botol bekas minuman keras di dekat halaman mesjid. Dengan tenang, Pak Lamhot Pendeta menjelaskan bahwa meminum minuman keras tidak ada dalam ajaran semua agama dan botol-botol ini adalah kebiasaan buruk. Penyelesaian dilakukan dengan janji untuk menasihati agar tidak berperilaku buruk di dekat pemukiman warga desa apalagi rumah ibadah.

Hal-hal ringan, ditanggapi dengan senyum bijak. Dan itu nyata terjadi di perusahaan perkebunan seperti yang Lukman alami sendiri di kehidupan masa kecilnya.

“Orang kebun memang identik dengan orang Batak dan Batak umumnya Kristen tapi jangan kau kira mereka semua Kristen yang saleh, ustad. Kalok ke tuak ya taat lah mereka tu”, gerutu Pak Lamhot Pendeta—menyebut bapak dengan ustad.

Kehidupan di masyarakat desa sekitar perusahaan, seperti yang Lukman saksikan sendiri pun, aturan keberagamaan juga longgar. Anak-anak gadis hanya berjilbab saat ke kota atau ada acara tertentu. Selebihnya ya bebas. Mesjid dan mushola ada beberapa tapi selalu lengang saat waktu shalat bahkan adzan pun jarang berkumandang. Mesjid hanya ramai saat shalat Jumat.

Bisa dipahami mengingat pola pertanian warga desa adalah petani peladang yang lokasinya bisa satu-dua hari jalan kaki. Kamis sore mereka pulang ke rumah dan jumat sore atau Sabtu kembali ke ladang. Demikian cara mereka menjalani hidup. Maka, di hari selain Kamis dan Jumat, desa hanya diisi kaum tua, remaja, dan anak-anak. Sungguh tantangan berat buat Lukman untuk mewujudkan jihadnya.

“Itulah umat kita di sini. Tugasmu kelak membantu mereka agar lebih baik”, jawab bapak. “Berat tugasmu tapi istiqomah lah. Niatkan dengan sungguh-sungguh karena untuk itu lah bapak mengirimmu ke pondok. Tak akan bapak lakukan jika bapak tak yakin denganmu”, lanjut bapak sambil menepuk bahu dan melempar senyum lembutnya.

Dan di sinilah ia sekarang. Sudah berbilang bulan ia memimpin mesjid, mengimami sholat, kadang mengumandangkan adzan, mengajarkan ngaji, ceramah, dan aktivitas rutin keagamaan lainnya. Kadang-kadang ia menyempatkan diri untuk bersilaturahmi ke mesjid atau mushola di desa yang berada di sekitar perusahaan untuk memberi ceramah dan nasehat-nasehat tentang perilaku beragama.

Memang bukan hal yang mudah dalam mengubah kebiasaan. Butuh waktu dan kesabaran. Dan laiknya kaum muda, Lukman pun sering tidak sabaran. Kadang- kadang muncul kegalauan tentang apa yang harus dilakukan, bagaimana bentuk masa depannya dan kapan proses ini selesai?

Terbersit rasa iri saat mendengar teman- teman semasa kuliah dulu ada yang telah wisuda master atau doktoral, menjadi penceramah kondang, dan cerita kesuksesan dari teman-temannya yang ditelpon- menelpon. Rasa jenuh mulai menggerogoti. Jihadnya seperti belum berbalas apalagi berwujud. Tetiba, ia merindukan kehidupan kampus.

Siang di suatu waktu. Menunggu waktu Dzuhur, Lukman membaca Al Quran sementara marbot tengah merapihkan peralatan setelah bersih-bersih. Matahari lumayan terik dan jam kantor masih berlaku. Satu dua kendaraan roda dua dan empat terdengar berseliweran. Biasanya para pekerja administrasi kantor kebun mengurus pekerjaannya. Rutinitas kehidupan dunia perkebunan pun berdetak seperti biasa.

Tapi tiba-tiba raungan mesin dan knalpot memekak. Tidak hanya satu tapi dua lima bahkan lebih dari puluhan sepeda motor berbondong-bondong memasuki area perkantoran perkebunan diiringi teriakan makian dan umpatan.

Puluhan orang turun sambil mengacungkan golok di depan pintu gerbang. Lainnya memutar-mutar gas. Mesin pun meraung-raung. Demo yang bakal rusuh, maklum pekerja kerah biru yang lebih banyak menggunakan otot untuk bekerja bercampur dengan warga desa yang biasa bekerja dengan golok atau parang.

Barisan sekuriti kewalahan menahan pintu gerbang. Dan ketika pintu jebol, para sekuriti pun berlarian tunggang langgang dikejar para pendemo. Puluhan motor lainnya masuk area perkantoran dengan suara memekakkan telinga bercampur jerit ketakutan karyawan perempuan. Golok dan potongan kayu diacung-acungkan sambil teriak meminta manajemen perusahaan keluar.

Manager kebun (ada yang menyebutnya Estate Manager ada juga Kepala Kebun) keluar kantor didampingi beberapa asistennya dan dikawal sekuriti. Ada dialog, debat, saling teriak, makian, dan bentakan.

Sepertinya tak ada kesepakatan karena manajer berserta rombongan tiba-tiba masuk ke dalam dan sekuriti menutup pintu utama kantor. Para pendemo marah dan mulai melempari kantor dengan beragam benda. Bakar. Hancurkan! Teriakan yang memekakkan.

Semua dirusak. Tetumbuhan di taman depan kantor, pos sekuriti, menara radio, kaca-kaca bertebaran, dan kursi, meja rebah berserakan. Beberapa kaca mobil yang terparkir dipecah dan sepeda motor ada yang dibakar.

Lewat pintu belakang, para karyawan berlarian keluar kantor. Pendemo makin beringas dan hal yang dikhawatirkan pun terjadi, saat mereka mulai memasuki area perumahan karyawan. Pos sekuriti kompleks perumahan mulai terbakar. Para ibu dan anak-anak yang tadi menonton dari kejauhan, berhamburan ke rumah masing-masing lalu mengunci pintu. Tangisan bercampur teriakan berkelindan dengan sirene yang meraung-raung.

PULANG

0

PULANG

“Ajeng….”
Kujeda bacaan Qur’anku karena aku seperti mendengar suara orang memanggilku. Suaranya halus seperti orang berbisik. Apakah itu hanya halusinasiku semata? Gubug ini berada di tengah hutan, jauh dari pemukiman warga. Artinya aku tak punya tetangga.

Orang yang melintas di sekitar pun jarang sekali, paling hanya pencari kayu bakar saja, itupun tidak tiap hari lewat.

“Ajeng….
Panggilan itu kembali terdengar. Kupastikan itu memang panggilan nyata, bukan halusinasiku saja. Segera kututup mushaf Qur’anku. Kuletakkan dengan hati-hati di atas sajadah. Pelan kubuka pintu yang reot dan bolong di sana-sini.

Seorang wanita lima puluhan masuk terburu-buru setelah menengok ke kanan kiri, memastikan tak ada orang yang melihat.

“Uwak.” ucapku sembari meraih tangannya untuk kucium. Tapi tangan kanannya membawa sebuah bungkusan plastik. “Uwak kok tahu Ajeng di sini?”
“Ada yang bilang sama Uwak. Orang tuamu mana?” tanya wanita itu, yang kupanggil dengan Uwak Rum. Dia adalah sepupu ibuku.
“Pergi, Wak. Sudah tiga hari belum pulang.” jawabku lirih. “Kemana?” Aku menggeleng lemah.
“Ada makanan?” Kembali kugelengkan kepala.
“Keterlaluan orang tuamu. Anak perawan dibiarkan sendirian di tengah hutan. Tidak takut diapa-apakan orang apa dimangsa binatang!” runtuk Uwak Rum. “Nggak dikasih makan, lagi!”
Nggak apa-apa, Wak. Ajeng tidak takut.”
“Andaikan Wak nggak takut sama tetangga, kamu sudah kubawa pulang, Jeng.”

Aku terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Sudah dua minggu lebih aku dibawa orang tuaku ke gubug ini. Kami tinggal di gubug ini, tanpa aku bisa protes sama sekali. Mulanya memang takut, tinggal di tengah hutan tanpa tetangga, tanpa listrik. Gelap dan sepi.

Apalagi jika orangtuaku pergi entah kemana, katanya mencari nafkah, tapi mereka jarang pulang dengan membawa uang atau makanan untukku. Aku sudah terbiasa sendiri, sepi, dan lapar. Aku nyaris benar-benar puasa tanpa sedikitpun makanan yang mampir ke lambungku. Hanya air putih yang kuambil di mata air dekat gubug sebagai pembuka puasaku. Kadang aku beruntung mendapatkan makanan dari pencari kayu bakar.

“Ini buat buka. Jangan langsung dihabiskan, ya. Simpan buat sahur nanti. Jaga-jaga kalau ayahmu pulang tidak bawa makanan.”

Uwak Rum menyerahkan bungkusan plastik itu padaku. Sebungkus makanan dan seplastik teh hangat. Kuterima dengan berlinang air mata. Air mata haru, karena Uwak begitu menyayangiku meski Ibu membencinya.

“Terima kasih, Uwak.”
“Uwak langsung pulang, sudah mulai gelap. Hati-hati ya, Ajeng? Insyaallah Uwak akan membawamu pulang. Doakan ya, Nduk?”

Uwak merengkuh tubuhku, mencium keningku dalam-dalam. Kurasakan keningku basah dan hangat. Uwak pasti menangis. Setelahnya ia melepaskan pelukannya dan langsung keluar. Uwak tak ingin aku melihatnya menangis. Kulihat dia bergegas berjalan pulang hingga punggungnya tak lagi nampak.

Entah sekarang jam berapa, tak ada penunjuk waktu di sini. Yang kutahu hari sudah gelap. Tetapi belum waktunya bagiku menyalakan pelita yang kubuat sendiri dari percobaanku di kelas. Sebuah botol kecil diisi minyak goreng. Tutupnya dilubangi kecil untuk memasukkan kain yang dipilin sebagai sumbunya. Aku harus menghemat karena minyak yang tersisa tinggal sedikit.

Oh ya, namaku Ajeng. Jangan tanya nama panjangku karena aku tak hafal. Nama pemberian dari Kakek ini terlalu panjang disematkan padaku, jadi repot, terkadang ada satu kata yang hilang, terbolak-balik urutannya, atau salah lafal.

Tapi aku tak mau ambil pusing, cukup panggil aku Ajeng. Tapi jangan coba-coba panggil aku Ajeng di hadapan Kakek, atau kalian akan merasakan kemarahan Kakek. Lantas apa panggilan untukku? Diajeng! Harus begitu, kata Kakek Diajeng adalah nama penghormatan sebagai cucu seorang tokoh seperti beliau.

Siapa yang tak kenal Kakek? Tinggal sebut nama beliau, Juragan Wardi, di hadapan pedagang sayur, maka pedagang sayur itu akan berkeringat dingin, dan bisa jadi kalian tidak perlu membayar. Sebut nama Kakek di hadapan preman pasar, pasti preman tersebut akan mencium tanganmu. Jika sedang berurusan dengan hukum atau birokrasi, sebut saja nama Kakek, bereslah urusanmu. Begitu yang dikatakan Ibu tentang Kakek.

Aku tidak tahu apa sebenarnya pangkat dan jabatan Kakek, tetapi semua orang takut dan hormat. Tak ada yang berani membantah beliau jika masih ingin hidup tenang. Apalagi orang kecil, pejabat desa, polisi, bahkan kiaipun tunduk pada Kakek. Mereka semua menunduk di hadapan Kakek. Mengangkat rahang atau sekedar meluruskan pandangan sudah dianggap suatu tantangan bagi Kakek.

Hanya aku satu-satunya anak yang berani menatap wajah Kakek. Tentu, aku adalah cucu kesayangannya, cucu satu-satunya dari anak perempuan satu-satunya. Meskipun kata Uwak Rum, sebenarnya Ibu memiliki 3 saudara kandung tapi semuanya sudah meninggal waktu kecil. Dan akibat informasi tersebut, Uwak Rum harus merelakan wajahnya terkena bogem mentah oleh tangan Kakek.

Sejak aku bayi, Kakek yang menentukan segala sesuatu tentangku. Dari pemberian nama, selamatan, sampai sekolah, semua Kakek yang menentukan. Kakek memonopoliku. Aku ingat, suatu ketika Kakek sakit dan harus opname di rumah sakit, Kakek menelpon guru kelasku, memintakan ijin untukku tidak masuk dengan alasan tidak ada yang mengantar.

“Apa tidak ada yang bisa mengantar, Pak? Ayahnya atau ibunya?” tanya Bu Indah, guruku.
“Kamu jangan mengatur saya!” teriak Kakek. “Kamu guru honorer, kan? Mau kamu kubilang sama Kepala Sekolahmu biar kamu dipecat?”

Dan tiga hari kemudian, setelah Kakek sembuh, aku kembali berangkat sekolah. Ternyata Bu Indah sudah tidak lagi mengajar di sekolahku. Suasana kelas sepi. Teman-teman semakin menjauhiku. Ya, siapa yang berani berteman denganku? Semua takut pada Kakekku. Bahkan Kepala Sekolah dan para gurupun tak ada yang berani menegurku jika aku membuat kesalahan, tidak mengerjakan PR, dan lain-lain. Pedagang di kantinpun ketakutan jika melihatku datang untuk jajan, karena mereka sudah diancam oleh Kakek. Kakek melarangku jajan di kantin karena tidak higienis, katanya. Kakek takut aku diracuni.

Hampir setiap saat aku bersama Kakek. Kakek suka mengajakku jalan-jalan melihat-lihat sawahnya yang puluhan hektar, mengajakku berperahu mengelilingi tambak udangnya, atau membawaku bertemu orang-orang yang tidak kukenal. Pembicaraan merekapun aku tak paham karena aku masih kecil.

Namun suatu hari, dua bulan yang lalu, Kakek sering gusar dan marah-marah. Orang- orang kepercayaan Kakek memberi laporan yang membuat Kakek murka.

“Mereka sudah berani melawan, Juragan.” kata seorang anak buah Kakek yang sempat kucuri dengar.
“Kurang ajar! Siapa yang berani berbuat demikian?” Kakek memukul meja dengan tangan kanannya. Suara meja berderak karena bergeser sekaligus suara benturan mata cincin Kakek yang besar itu beradu dengan meja kayu.
“Sebagian besar pedagang, Juragan.” “Bagaiman bisa? Siapa di belakang mereka?” “Belum tahu, Juragan!”
“Cari tahu!” “Baik, Juragan!”

Beberapa orang itu kemudian pergi. Kakek masih bersungut-sungut. Dia mondar-mandir saja sambil berpikir. Sesekali dia melontarkan kalimat makian. Tetapi aku tak tahu siapa yang dimakinya. Di saat seperti ini, aku tak berani mendekati Kakek.

Dia kelihatan sangat menyeramkan. Aku masih duduk di pojok ruangan tak berkutik. Hanya itu yang bisa kulakukan. Jika aku beranjak, pasti akan ada orang yang disalahkan dan dihukumnya.

Begitulah, sejak hari itu banyak laporan yang masuk ke telinga Kakek, di mana-mana ada “pemberontakan”. Bahkan mereka sudah menyewa banyak pengacara untuk melawan Kakek. Melawan Kakek untuk apa, aku tak tahu. Aku hanya gadis kecil berumur sebelas tahun yang tak mengerti urusan orang dewasa.

Yang jelas mulai hari itu Kakek seperti tak peduli padaku. Dia sibuk mengurusi masalahnya yang nampaknya sangat pelik. Ayah dan Ibu juga ikut sibuk mengurus masalah itu. Sering terdengar makian dari mulut mereka.

“Usir Juragan Wardi!!!” Teriakan-teriakan yang terdengar sore itu mengganggu tidur siangku.

“Lintah darat!” “Perampok!” “Penjahat!” “Serakah!”
“Iblis!” “Pemuja setan!”

Aku berlari keluar, ternyata di halaman sudah berkumpul sejumlah massa yang marah dan mulai mengamuk. Kulihat Kakek keluar diiringi para centheng menghadapi massa itu.

“Kalian orang miskin tidak tahu diuntung!” seru Kakek. “Harusnya kalian berterima kasih padaku, kalian masih boleh tinggal di rumah-rumah milikku. Masih bisa berdagang, bisa mengurus keperluan kalian.”
“Bersyukur apanya? Justru kami rugi dengan aturanmu!” seru seseorang. “Terus kamu mau apa?”
“Kami mau kamu mengembalikan milik kami!” “Ambil saja kalau kamu bisa.”
“Orang ini sombong sekali! Bakar!!!” Teriakan itu entah dari mana asalnya. “Kalian belum tahu kalau aku kebal dari api? Haha…”
“Cincin itu kan jimatmu? Mana, tunjukkan!”

Kakek terperanjat menyadari cincin pusaka miliknya ternyata sudah tak melingkar di jarinya. Lebih terkejut lagi ketika para centeng di belakangnya membawa banyak benda pusaka “kesaktian” milik Kakek, melemparkan di tengah halaman. Mereka berkhianat.

“Bakar!!!”

Masih ingat di benakku ketika tiba-tiba tubuh Kakek diguyur sebuah cairan dari jerigen yang dari baunya kutahu itu bensin. Sekejap kemudian, sebuah obor dengan api menyala dilempar ke tubuh Kakek. Aku memekik, kututup mataku. Tak kuasa aku menyaksikan pemandangan itu. Hingga aku merasa seseorang menyeretku.

“Ayo kita lari.”

Ayah menyeretku keluar dari pintu belakang. Di belakang rumah, Ibu sudah menunggu. “Apa yang terjadi, Yah? Mengapa mereka membakar Kakek?” tanyaku ketakutan. “Mereka marah sama Kakek. Kita harus menyelamatkan diri agar tidak ikut dibakar.”

Kami terus berlari secepat mungkin sebelum massa yang mengganas itu menyadari. Kami berlari hinga tiba di hutan, terus berjalan masuk ke dalam hutan. Beruntunglah ada sebuah gubug yang bisa digunakan untuk bersembunyi sementara.

***

Tengah malam kudengar pintu diketuk. Kubuka pelan-pelan. Ibu pulang sendiri. “Mana Ayah, Bu?”

“Kita pergi dari sini, sekarang.” perintah Ibu tanpa menjawab pertanyaanku. “Ayo!” Ibu menarik tanganku. Aku mengikuti saja langkah Ibu yang terburu-buru. Suasana di hutan ini sangat gelap, mataku perlu beradaptasi dulu sebelum melangkahkan kaki.

“Ayah mana, Bu?” Kuulang lagi pertanyaanku. “Ibu tidak tahu.” Jawabnya pendek.
“Kemarin kan Ibu pergi sama Ayah, sekarang Ibu pulang sendiri. Ayah mana? Dan kita mau kemana?”
“Sudahlah, diam saja. Ikut Ibu!”

Aku tak berkata-kata lagi. Begitu banyak pertanyaan di kepalaku tapi kusimpan saja. Ibu tak bisa diprotes, persis seperti Kakek. Sifat Ibu yang menurun dari Kakek. Cukup jauh kami berjalan di kegelapan malam. Dingin menembus tulang. Beberapa kali kakiku yang tak beralas menginjak sesuatu yang kasar dan agak tajam. Tapi aku memutuskan untuk diam, tak mengeluh, tak juga bertanya, mengikuti perintah Ibu. Hingga sebuah teriakan menghentikan langkahku.

“Berhenti! Angkat tangan!”

Tiga orang berseragam polisi berdiri beberapa meter di hadapan kami sambil menodongkan senjata. Ibu membalikkan badan dan berlari sambil menyeretku. Sialnya, kakiku tersandung sebuah akar pohon. Aku terjatuh yang otomatis membuat Ibu kehilangan keseimbangan dan ikut terjatuh. Para polisi itu dengan mudah menangkap Ibu, memasangkan borgol di tangannya. Ibu tak mengucapkan sepatah kata pun. Aku ikut naik mobil terbuka, duduk di sampingnya. Tetapi para polisi itu tidak memborgol tanganku.

Aku tak tahu apa yang terjadi. Yang kutahu, beberapa jam kemudian Uwak Rums datang menjemputku. Setelah berbicara dengan para polisi dan menandatangani surat-surat, aku dibawa Uwak Rum pulang ke rumahnya, yang hanya berjarak beberapa puluh meter dari bekas rumahku yang kini tinggal puing-puing. Dari berita di TV barulah kutahu, Ibu membun*h Ayah setelah mengetahui bahwa Ayah adalah dalang dari peristiwa pemberontakan yang berujung pembakaran itu.

***
Tamat

Stop Kekerasan pada Wanita

0

Shil, ikut aku,” ajaknya sembari menarik tanganku

“Eh, eh, lepas! Anda mau bawa saya ke mana?” protesku, berusaha melepaskan genggamannya.

“Hm!” ia hanya berdehem.

“Saya tanya, Anda mau bawa saya ke mana? Lepas! Tangan saya sakit, tau gak!” tuturku, dengan sedikit meninggikan suara sembari terus berusaha menarik tanganku.

Tapi apalah arti tenaga seorang wanita jika dibandingkan dengan tenaga seorang Hamdan Althaf.

“Hei, Nona!” membalikkan badannya.

“Jangan pernah meninggikan suaramu jika di hadapan ku. Ingat itu!” bentaknya dengan mengangkat jari telunjuknya kemudian diarahkannya kepadaku.

“Hei, tuan Hamdan Althaf!” kataku menekankan namanya.

“Tiap orang itu beda-beda. Jangan pernah menyamakan sosok ‘Arshila’ dengan para perempuan yang mendekatimu. Mungkin mereka senang diperlakukan seperti ini, tidak dengan saya!” lanjut ku.

“Sudah kubilang, jangan meninggikan suaramu!” bentaknya kembali, dengan melotot kan matanya.

Belum selesai pertengkaran diantara kami, tiba-tiba datang sosok wanita yang tak lain adalah teman dari Hamdan.

“Hamdaaannn” teriak wanita itu.

Sosok yang dipanggil pun sama sekali tak menghiraukan. Ia hanya fokus memperhatikan Arshila. Mata yang tadinya menandakan kemarahan, kini menatap gadis itu dengan begitu sayu nya. Inilah yang sering terjadi padanya.

Dimana hatinya penuh amarah, ia akan mencari sosok peneduh itu. Meskipun ia tau konsekuensi jika menemuinya dengan paksa.

“Hamdan.” ulangnya.

“Apa!” jawabnya dengan masih memperhatikan wajah Arshila.

Arshila yang sadar akan tatapan yang diarahkan kepadanya, membuatnya salah tingkah dan berusaha menolak temu pandang itu.

Hamdan yang melihat gerak-gerik Arshila, hanya menyeringai dan kemudian ia pun membalikkan badannya ke arah ‘Asha’, ya, itulah nama wanita yang meneriakkan nama Hamdan.

“Dan,” kembali ia menyebut nama lelaki yang menjadi incarannya.

“Apa?!” sahutnya.

“Aku mau ngomong sama kamu, ayo ikut aku,” “Ya tinggal ngomong aja disini. Apa susahnya?”

“Ya gak disini. Kamu gak liat ada orang ketiga?” tanpa ia sebut nama pun, Arshila yang sedari tadi hanya menyimak kini merasa tersinggung.

Ingin rasanya ia pergi, tetapi genggaman Hamdan masih begitu melekat pada tangannya yang tak bisa ia lepaskan.

Asha mungkin tidak menyadari hal itu, hingga entengnya menyebut kata ‘orang ketiga’

“Terus? Masalahnya dimana?” tanya Hamdan.

“Tolong lepaskan tangan saya,” bisik ku sedikit berjinjit.

Setelah mendengar kalimat itu, bukannya melepaskan justru ia semakin mempererat genggamannya yang membuat Arshila semakin kesakitan.

“Lepas!” mendengar kata itu, Asha langsung melihat ke arah tangan keduanya. Merasa kesal dengan tingkah Hamdan yang seolah acuh tak acuh akan kehadirannya dan malah asyik menggenggam tangan Arshila, “Hamdan! Kamu apa-apaan sih!” ujar Asha kesal.

“Why? Memangnya aku kenapa?” jawabnya enteng. Kesal dengan jawaban itu, Asha, mau tidak mau maju selangkah dan dengan sigapnya berusaha memisahkan tangan keduanya. “Asha! Pergi!” bentaknya dengan mendorong Asha.

Terkejut mendengar bentakan dan perlakuan kasar itu, nyalinya seketika menciut. Ia pun mundur secara perlahan. Kemudian melangkah pergi meninggalkan keduanya. “Jahat kamu, Hamdan!” hanya itu kalimat yang mampu ia ucapkan.

Bukan cuma Asha, Arshila juga terkejut dengan hal itu hingga ia terdiam beberapa saat. Rasanya hatinya begitu tersayat. Entah kenapa, tapi ia tidak menerima jika Hamdan membentak apalagi berlaku kasar kepada wanita.

“Dia seorang wanita, kenapa kamu berlaku kasar?” ucap Arshila tanpa sadar.
Hamdan yang mendengar kalimat itu langsung menoleh, dan mendapati sosok Arshila dengan pandangan kosong. Hingga beberapa detik air matanya luruh seketika.

Perlahan tubuhku menjadi lemah, penglihatan ku pun menjadi buram.

“Arshila…Shil..Shila, ka-kamu kenapa? Ayo bangun. Buka mata lebar mu itu. Hei, Shila.” hanya ini yang mampu aku dengar sebelum akhirnya semuanya menjadi gelap.

Mendapati Shila di pangkuannya yang semakin tak sadarkan diri, Hamdan otomatis langsung membopong tubuhnya.

“Shila, kamu harus bertahan. Maafkan aku,” ujar ku penuh penyesalan.

Janji Apoi

0

Asap mengepul di sudut gubuk Pajirah. Nenek tua berusia hampir satu abad yang kini mulai sulit mendengar, juga mempunyai masalah.. mata yang mulai rabun.

Meski demikian, ia masih kuat memikul kayu bahan bakar alternatif rumah tua ini. Beruntungnya perempuan dengan gulungan rambut yang kini memutih itu, tak hidup sendiri. Suara anak laki-laki berusia delapan tahun, yang kerap ia teriaki dengan panggilan Apoi masih setia menemani sang Nenek.

Hari ini, Pajirah terpaksa kembali mengusung kayu kering dari tumpukkannya ke pendapuran. Pasalnya, minyak tanah kini mulai langkah dengan harga yang melejit tinggi. Pajirah yang hanya seorang buruh harian di kebun getah milik tetangganya, tak sanggup jika harus merogoh kocek lebih dalam untuk membeli BBM.

“Nek, kenapa nggak pake minyak tanah, kalau habis sini Apoi yang beli?” ujar cucu satu-satunya Pajirah. Pajirah tersenyum, kemudian membelai pelan kepala Apoi.

“Tidak usah, kita punya banyak kayu bakar. Untuk apa kalau tidak dipakai?” Apoi mengangguk.
Kemudian meminta izin untuk bermain dengan teman-temannya.

Pajirah pun mengizinkan. Dengan sebuah kalimat sebelum Apoi keluar.
“Main sana, tapi ingat! Jangan berkelahi, apalagi dengan anak-anak juragan getah. Lebih baik kamu mengalah dan pulang, ada banyak hal baik lainnya menunggu daripada cari gara-gara,”

Apoi mengangguk, kemudian pergi ke alun-alun desa.

***

Bermain dengan teman sebaya di alun-alun menjadi kebiasaan anak-anak desa Matanglau. Apoi bersama beberapa temannya tengah mencari batu-batu pipih untuk bermain cak ingkling. Permainan tradisional melompat dengan satu kaki sedang satunya ditekuk, kemudian melemparkan batu yang mereka sebut batu uncak untuk menandakan kemajuan masing-masing pemain. Ini adalah salah satu permainan tradisional dihampir seluruh Indonesia tahun 90an.

“Yuk, hompimpa!” ujar salah satu teman Apoi.

Kelima anak-anak itu melakukan hompimpa untuk mengetahui siapa yang berjalan lebih dulu.

Hompimpaalaihumgambreng,”

Setelah medapat giliran permainan dimulai, dengan gelak tawa, drama kecurangan, jatuh, dengan kegembiraan yang tiada tara. Namun, disela-sela permainan tamu tak diundang pun datang.

Tiga remaja tanggung mendekati mereka. Mereka kerap menganggu anak-anak yang lebih kecil. Merebut mainan milik orang lain, meminta makanan secara paksa, dan banyak lagi. Tingkah mereka usil dan meresahkan anak-anak lainnya.

Imron ingin menghentikan permainan, dan mengajak teman-temannya lari sebelum mereka sampai dan mengacau. Tapi, Apoi menolak.

“Jangan, biar saja kita main. Toh kita gak ganggu mereka. Anggap saja mereka tidak ada, ayo main lagi!” Apoi meyakinkan teman-temannya.

Tiba giliran Apoi bermain. Dia melangkah menginjak satu demi satu garis berbentuk balok yg mereka ukir di tanah. Kemudian tiba di garis awal, Apoi melempar batu uncaknya. Setelah mendarat disalah satu kotak, remaja usil yang baru saja tiba itu meraih batu uncak Apoi.

Sontak kelima sekawan itu menghentikan permainan.

Apoi melirik beberapa temannya yang kini menciut. Dengan tegar Apoi mendekati Gian, salah satu remaja yang mengambil batunya.

“Kembalikan uncak saya!” pintanya pelan.
“Apa? Ini! Batu kecil ini? Ayo ambil kalau bisa!” Gian menaikkannya ke atas, seraya menginjit-injit.

Apoi berusaha meraihnya. Tentu saja tubuhnya yang kecil tak mampu mengambil batu dari tangan Gian. Sedang dua teman remaja itu terbahak. Keempat sahabat Apoi hanya mematung. Kesal karena ulah Gian yang membuat dirinya menjadi bahan olok-olok, Apoi mendorongnya hingga tersungkur.

Bukannya jera, Gian berdiri dengan tangan mengepal. Mukanya merah padam, batu yang sedari tadi ia pegang kini ia jadikan senjata.

Secepat kilat Gian memukul Apoi, membuat luka di pelipisnya anak yatim itu. Kemudian Apoi terduduk shock. Keempat teman Apoi mendekat dan membawa mundur Apoi. Mereka membimbing Apoi bangun, kemudian berusaha menjauh.

Akan tetapi, beberapa langkah mereka pergi. Gian berteriak-teriak seakan belum puas hanya membalas dengan pukulan yang membekas.

Ni Ketut Suryani, Wanita Perkasa dari Bali

0

Terik matahari yang panas membakar kulitnya. Wanita muda itu mengusap peluh yang menetes di wajahnya sembari terus berjalan, tak ingin menyia-nyiakan sedetik pun waktu yang ia miliki untuk beristirahat walau terlihat jelas ia sudah kelelahan.

Langkah demi langkah tetap ia jalani meski kakinya sudah lecet dan kulitnya mulai mengelupas. Apa boleh buat, masih ada banyak kain yang harus ia jual, hanya demi sesuap nasi untuk hari ini.

***

Namanya Ketut Suryani. Ia hanyalah gadis desa kelahiran tahun 1916 yang hidupnya bisa dibilang pas-pasan. Namun kehidupan yang masih cukup layak itu harus berhenti pada saat kedua orangtuanya meninggal.

Di usianya yang masih 6 tahun, sebagai anak bungsu Suryani terpaksa tinggal berpindah-pindah di rumah kakak-kakaknya yang sudah dewasa. Tak ada pilihan lain, ia tak punya keluarga lain yang bisa menampungnya dan para kakaknya pun tidak bisa menghidupinya untuk waktu yang lama di saat hidup mereka sendiri juga susah, mengingat pada tahun itu Indonesia masih menyandang status daerah yang dijajah.

Tak mau merepotkan kakaknya, Suryani melakukan apapun yang ia bisa untuk membantu meringankan pekerjaan rumah tangga mereka. Mulai dari menyapu, mencuci baju, bahkan hingga merawat keponakannya yang masih kecil, semua ia lakukan tanpa mengeluh. Namun, ia tak bisa terus begini.

Ia tak mau harus selalu bergantung pada kakak-kakaknya sampai entah kapan dan terlebih, Suryani benci hidup dengan belas kasihan orang lain seolah ia adalah manusia yang tak berdaya. Karena itu, ia memutuskan untuk mencari cara agar bisa bertahan hidup dengan kekuatannya sendiri.

Di usianya yang masih belia, ditambah dengan statusnya sebagai perempuan, tak banyak yang bisa dilakukan Suryani pada saat itu. Jadi, ia mempelajari berbagai keterampilan tangan yang biasa dilakukan perempuan seperti menjahit, menyulam, dan merajut. Setelahnya, hasil kerajinan yang telah ia buat akan ia jual.

Namun, itu masih tak cukup bagi Suryani. Baginya, selama masih ada hal yang masih bisa ia pelajari dan hal tersebut dapat berguna bagi hidupnya, ia pasti akan mempelajarinya, bahkan jika hal tersebut masih dianggap tak umum pada jamannya. Salah satunya adalah membaca.

***

“Ketut, cepat tidur!” seru kakak keduanya, Made. Di antara saudara-saudaranya yang lain, Suryani paling lama tinggal di rumahnya. Tapi sepertinya sampai kapanpun wanita itu takkan pernah terbiasa melihat cahaya lampu tempel yang mengintip dari celah pintu kamar adik kedelapannya hingga larut malam.

“Iya Mbok, sebentar!”

Tanpa basa-basi, Made segera membuka pintu kamar adiknya itu. Suryani yang tak mengira kakaknya akan masuk sontak buru-buru merapikan bukunya. Namun hal tersebut tak luput dari pandangan Made.

“…kau masih belajar membaca?” Wanita itu mengernyitkan dahinya.

Sadar bahwa takkan ada alasan yang bisa mengecoh kakaknya, Suryani hanya bisa mengangguk.

Made menghela napas kasar. “Sudah kubilang, kan? Kau itu perempuan, nggak perlu bisa baca atau apapun itu. Cukup ngurus rumah aja.”

“Tapi kalau aku bisa baca kan lebih banyak yang bisa kupelajari,” ujar Suryani.

“Ngapain? Memangnya kamu bisa jadi apa?” sindir Made. “Nggak usah gaya-gaya belajar baca tulis, toh kau cuma perempuan. Mending sekarang kau tidur, sudah malam. Mbok nggak suka liat kamu begadang terus.”

Setelah mengatakan itu, Made langsung keluar dari kamar Suryani. Ia tak habis pikir, mengapa adiknya itu begitu terobsesi dengan buku. Padahal itu takkan terlalu berpengaruh pada masa depannya, pikir Made.

Sebuah Pengakuan

0

Roni yang menggunakan kemeja biru lengan panjang, celana panjang hitam, dan membawa tas kerja terlihat panik memasuki rumah. Didorongnya pintu yang tidak terkunci dan berlari kecil mencari keberadaan Mbak Rani yang ternyata sedang berada di dapur.

Ketika melihat Mbak Rani, Roni langsung memeluknya sambil menangis. Mbak Rani heran dengan tingkah laku Roni. Tidak biasanya seperti ini. Apalagi sudah hampir tiga bulan mereka jarang berkabar. Roni memilih mengontrak dekat kantornya.

“Dik, ini ada apa?” tanya Mbak Rani dengan suara panik.

“Maafkan, saya Mbak. Saya kena masalah di kantor,” kata Roni. Mbak Rani langsung kaget.

“Masalah apa?” tanyanya dengan suara semakin panik. “Masalah utang, Mbak,” katanya dengan menangis.

Mbak Rani mulai menenangkan Roni. Dia berusaha untuk mengendalikan kepanikannya untuk mendengarkan cerita Roni terlebih dahulu. Roni lalu menceritakan masalahnya.

Ternyata Ibu Santi, bosnya Roni di perusahaan travel, sedang mengejar Roni. Rencananya sore ini mereka akan datang ke rumah untuk meminta pertanggungjawaban. Menurut pengakuan Roni, seminggu yang lalu dia kena hipnotis di halte bus Trans Jakarta sepulang kerja.

Tiba-tiba ada seorang laki-laki bersama seorang perempuan datang menepuk pundaknya dan menyapanya. Roni langsung mengobrol dengan kedua orang tersebut. Sampai akhirnya, Roni mengajak mereka ke sebuah ATM terdekat dan menarik sejumlah uang untuk mereka. Roni juga memberikan sejumlah uang yang ada di tasnya yang merupakan uang pelanggan kantor travel mereka.

Mbak Rani yang mendengar hal tersebut langsung syok. Dia tidak habis pikir penyebab Roni harus mengalami masalah nahas ini. Uang kantor sekitar 50 juta yang disebutkan Roni bukan uang yang sedikit.

“Mbak, bisa bantu Roni tidak membayarnya?” tanya Roni dengan wajah memelas.
“Dik, Mbak tidak punya duit segitu. Apalagi sekarang, Ayu lagi butuh banyak duit untuk masuk kuliah. Adik tahu sendiri kalau Mas Marwan lagi tidak ada kerjaan. Pekerjaannya tidak tetap sebagai broker tanah,” jelas Mbak Rani dengan nada sedikit tinggi.

Mbak Rani terus berpikir. Mungkin Mas Marwan bisa membantu mencarikan pinjaman uang atau Mas Marwan masih punya tabungan segitu. Namun, hal itu tidak mungkin karena saat pembayaran les bahasa Inggris Ayu, Mas Marwan harus menggadaikan gelang emas milik Mbak Rani.

Mbak Rani lalu menyuruh Roni untuk tenang. Dia mengajaknya ke ruang makan untuk minum dan duduk. Sejujurnya, Mbak Rani yang paling syok akan apa yang dialami adiknya.

“Mengapa Roni bisa punya utang sebanyak itu? Apakah benar dia kena hipnotis? Lalu, mengapa dia baru mengatakan sekarang?” guman Mbak Rani di dalam hatinya.

Roni yang telah meneguk air hangat terlihat belum tenang. Mbak Rani kemudian mencoba masuk ke kamar menemui Mas Marwan. Roni berharap Mas Marwan bisa menolongnya agar terbebas dari utang kantor. Tiba-tiba ponsel Roni berbunyi.

“Halo, Dimas. Jangan telepon sekarang. Saya lagi di rumah Mbak Rani. Orang kantor akan datang ke rumah sore ini. Semoga Mas Marwan bisa menolong masalah kita,” kata Roni. Tanpa berkata panjang lebar, Roni kemudian menutup ponselnya.

Akhirnya, Mbak Rani dan Mas Marwan keluar dari kamar. Roni segera menunduk ketika Mas Marwan menatapnya tajam seolah-olah ingin menerkamnya.

“Roni, apa yang kamu lakukan di kantor? Mengapa kamu terlilit utang?” tanya Mas Marwan dengan dingin.

Mendengar pertanyaan Mas Marwan membuat jantung Roni berdegup kencang. Mbak Rani hanya bisa diam.

“Sa…ya kena hipnotis seminggu yang lalu,” jawab Roni dengan kaku.
“Hipnotis? Gila kamu! Mana ada orang dihipnotis sadar jika terhipnotis?” tanya Mas Marwan dengan nada suara meninggi.

Insiden Subuh

0

LIMA TAHUN telah berlalu sejak aku tiba dari desa ke ibukota. Selama itu, aku sudah cukup namun tak satu pun darinya dapat membuatku terkesan. Jika diminta untuk mendefinisikan apa saja pengaruhnya, aku hanya bisa mengatakan bahwa ia membangkitkan kejengkelanku. Dan sejujurnya kuakui bahwa itu membuatku makin dan makin membenci orang lain.

Tapi, sebuah insiden telah menjadi sangat berarti buatku, membangkitkan kemarahanku.

Karena itu, sampai sekarang insiden itu tak pernah bisa kulupakan. Itu terjadi saat musim panas 2016. Angin utara yang kencang berhembus, tapi untuk berangkat ke sekolah yang jaraknya agak jauh dari tempat aku tinggal di kota, aku harus bangun dan berangkat subuh. Jalanan masih sepi. Di saat-saat seperti ini, betapa sulitnya menyewa sebuah angkot yang bisa membawaku ke Pintu Gerbang sekolah.

Tiba-tiba angin berhembus sangat kencang. Debu-debu beterbangan seperti tersapu. Dan pengemudi angkot pun mempercepat jalannya. Kami baru saja mendekati gerbang sekolah, ketika seorang penyeberang jalan tertabrak oleh angkot yang kami tumpangi. Dan jatuh. Dia seorang perempuan. Hampir semua rambutnya sudah memutih dan mengenakan pakaian compang camping.

Waktu itu ia baru saja melewati trotoar dan tanpa menoleh ke kanan dan ke kiri langsung menyeberang. Sialnya, itu tepat di depan kami. Meski pengemudi angkot sudah berusaha menghindar, jaket kumalnya yang tidak terkancing dan berkibar ditiup angin itu tersangkut di sebuah besi di sisi angkot. Untunglah pengemudi angkot menginjak rem dengan cepat, kalau tidak, dia pasti akan terjatuh dengan keras dan terluka parah.

Perempuan tua itu tergeletak di atas jalan dan pengemudi angkot berhenti. Aku tidak menyangka kalau ia terluka. Tapi seorang bapak yang kelihatan terburu-buru marah-marah dengan pengemudi angkot itu dengan mengatakan bahwa berhenti dan menolong perempuan tua itu akan membuatnya berada dalam masalah dan membuatku terlambat. Lagi pula, tak ada satu pun yang melihat kejadian itu.

“Semuanya baik-baik saja,” kata bapak itu. “Ayo jalan!” Namun, dia tak hirau. Mungkin dia tidak mendengarkan karena dia meletakkan kemudi, dan dengan santun membantu perempuan tua itu untuk berdiri. Sambil memapah perempuan tua itu dengan satu lengannya, dia bertanya:

“Anda baik-baik saja?” “Aku terluka.”


Aku melihat betapa pelannya dia terjatuh dan yakin kalau dia tidak mungkin terluka. Dia, dengan sangat menjijikkan, berpura-pura. Pengemudi angkot sudah membuat masalah dan kini, dia mendapatkannya. Dia harus mencari jalan keluarnya sendiri. Tapi pengemudi angkot itu tidak curiga sedikit pun saat perempuan tua itu mengatakan bahwa dia terluka.

Seakan tidak hirau, ia tetap memegang lengannya, memapah perempuan tua itu berjalan perlahan-lahan. Aku jadi heran. Ketika aku melihat ke depan, aku melihat sebuah kantor polisi. Namun karena angin bertiup kencang, tak seorang pun yang berada di luar. Pengemudi angkong menolong perempuan tua itu berjalan menuju gerbang.

Tiba-tiba aku merasakan keanehan. Tubuhnya yang berdebu, bergerak mundur, tampak lebih besar pada saat itu. Sebetulnya, semakin jauh dia berjalan semakin besar sosoknya, sampai-sampai aku harus mendongak ke arahnya.

Pada saat bersamaan, sosoknya yang berangsur angsur membesar itu menekanku sedemikian rupa, seakan ia ingin menyergap tubuh kecil di bawah balutan mantel kulit tebalku.

Aku Kehilangan Ibu

0

Pukul lima sore, aku mendapat telepon dari adikku yang ada di kampung, di sebuah kota kecil, Rembang, Jawa Tengah. Spontan aku menangis histeris sambil berteriak, menyesal kenapa tidak pulang dari kemarin. Aku terus saja menangis, menumpahkan rasa penyesalan yang tiada tara.

Telepon adikku tadi mengabarkan ibu baru saja meninggal dunia, yang sebelumnya sakit beberapa hari, di masa pandemi Covid-19. Terus-menerus sambil berkata,
“Maafin aku ibu….”, aku masih menangis, dan pada akhirnya aku sadar, semua akan kembali kepada Tuhan, tinggal menunggu giliran. Pasrah menerima takdir, harus kehilangan ibu tanpa bisa menyaksikan hembusan nafas terakhir beliau.

Andai waktu bisa diputar kembali, ingin rasanya dari kemarin nekat pulang, walaupun adikku melarang kami karena situasi di wilayahnya sedang mencekam, hampir setiap hari ada berita duka. Memang, keadaan di wilayah tempat tinggal ibu sedang zona merah. Rasa penyesalan itu masih selalu menghantui, namun suamiku, Bang Iful menyadarkanku untuk menerima takdir.

Adikku, Irsy menelepon, “Mbak Iin, kalau pulang sendiri ya mbak, besok saja naik bus, jangan ajak anak-anak”.

“Sekeluarga dik, ini mau berangkat, Bismillah semoga sehat semua”, aku tetap ingin pulang bersama suami dan anak-anak.

“Aku kasian sama keponakanku Naisa dan Abas, di sini zona merah, ibu juga kemarin- kemarin sakitnya seperti terpapar Covid-19, di sini mencekam situasinya, hampir setiap hari ada berita duka, bahkan di sekitar sini sehari lebih dari satu yang meninggal”, Irsy mencoba untuk memberi pemahaman kepadaku.

“Mohon dik, ijin, kami pulang sekeluarga, ingin melihat ibu di prosesi pemakaman, aku mohon…”, sambil terisak aku meminta adikku untuk memperbolehkan kami pulang sekeluarga.

“Ya sudah kalau memang yakin, semoga dalam lindunganNya, dan sehat semuanya”, akhirnya adikku Irsy memperbolehkan kami sekeluarga pulang.

***

Sambil berlinang air mata, bersiap-siap perjalanan dari Jakarta menuju ke kampung halaman, agar esok hari bisa ikut ke prosesi pemakaman ibu. Bersama keluarga kecilku (suami dan kedua buah hatiku), pukul 20.30 berangkat, menggunakan mobil roda empat, kijang lama yang kita punya.

Mbak wis tekan ngendi?”, tanya adik kandungku, Eny yang di Depok. Dia perjanan dari Depok dengan suaminya.

“Tol Cipali dik, kamu sudah sampai mana?”, aku balik bertanya. “Sama mbak, hati-hati di jalan ya…”.

“Iya dik, hati-hati juga…”, aku mengakhiri telepon dari adikku.

***

Di dalam mobil, aku kembali teringat ke masa-masa dulu, saat aku, kakak, dan keempat

adikku masih masa anak-anak. Hidup di kampung, yang tidak punya sawah, tidak punya sapi seperti tetangga lain pada umumnya. Ibuku adalah ibu yang sangat hebat, sangat luar biasa bagiku. Mengurus keenam anak dengan baik, dengan mengajarkan pengalaman hidup untuk mandiri sebagai salah satu bekal di masa depan.

Dari kecil, kelas 1 Sekolah Dasar, aku sudah diajarkan ibuku untuk mencari uang. Setiap fajar, pukul lima pagi, aku harus ke pasar untuk membeli jajanan ke agen. Jajanan dari pasar, dan juga yang dibuat oleh ibuku sendiri, aku bawa ke lapak jualan ibu yang ada di sekolah itu. Aku membantu ibuku berjualan jajanan di sekolah, setiap sebelum masuk jam pertama, saat istirahat, dan saat jam pulang sekolah, aku pasti menuju tempat ibuku berjualan, membantu ibuku melayani anak-anak SD yang pada jajan.

Sepulang dari berjualan di sekolahan, kegiatan rutin ibu adalah mengambil air dari sumur umum, yang diangkut dengan sebuah kelenting, gerabah seperti kendi berukuran besar tanpa cerat, tempat membawa air dari sumur dengan cara digendong menggunakan selendang. Jarak sumur menuju rumah sekitar seribu langkah kaki. Betapa kuat raga ibu, sampai di umur lebih dari 40 tahun hal tersebut masih menjadi pekerjaan rutin ibu.

Sewaktu aku masih kecil, sekitar kelas 1 SD, aku pun sudah mulai dilatih menggendong air dalam kelenting dengan ukuran kecil, sehingga bebannya tidak terlalu berat. Aku pun sudah diajari untuk menyeterika pakaian, dengan menggunakan alat seterika manual yang diisi dengan arang kayu. Aku pun sudah belajar mencuci piring, dan mencuci pakaian.

Setiap pagi sebelum Subuh, sekitar jam tiga pagi, aku pun ikut di dapur membantu ibu memasak bubur kacang hijau, bakwan sayur, peyek, dan sebagainya, untuk dijual. Dari kecil, aku sudah dididik ibu menjadi anak yang tidak manja, karena memang kami merupakan keluarga yang sangat sederhana.

Banyak orang memanggil ibu dengan sebutan “Mbak Mun”. Bagiku, ibu adalah wanita yang terampil, ibu menerima panggilan foto pengantin, dan juga banyak orang yang datang ke rumah. Waktu itu, belum banyak seperti sekarang, ibuku sudah jadi tukang foto yang sekarang lebih terkenal dengan sebutan fotografer. Masih menggunakan kamera manual, yang harus mengatur diafragma, jarak, bayangan, dan lain sebagainya, dan kalau mau mencetak harus ke kota. Hasil dari pemotretan ibu pun sangat bagus, sehingga banyak langganan.

Ibu juga menerima jasa pembayaran pajak, balik nama motor dan mobil, dan lain sebagainya, sampai pernah sampai ke Kota Semarang pun sudah biasa. Memang menurutku, ibuku adalah wanita hebat, wanita yang seharusnya menjadi seorang guru, tapi waktu kelas dua Pendidikan Guru Agama Islam, ibu keluar sekolah karena tidak betah tinggal di rumah saudara. Maka dari itu, ibu pandai berbahasa Indonesia dengan lancar, dan berwawasan luas, walau tinggal di kampung.

Pernah juga kutemukan buku berukuran kecil, tulisan tangan ibu berisi lagu-lagu, yang ditulis ketika ibu masih belia. Lagu-lagu dari penyanyi yang disukainya. Ada Titik Sandora, Lilis Suryani, Erni Djohan, dan masih banyak lagi. Bahkan lagu yang dipopulerkan oleh Erni Djohan yang berjudul “Teluk Bayur” pun hafal. Aku masih punya video ibu duet bersamaku menyanyikannya enam bulan yang lalu.

***

Enam jam perjalanan, kita sampai di Semarang, dan aku pun tersadar aku tadi mengingat masa lalu, mengingat kembali seorang ibu yang luar biasa bagiku. Itulah sebabnya, mengapa aku sangat kehilangan yang sangat mendalam.

Pukul tujuh pagi kami tiba di rumah ibu. Di depan rumah sudah banyak para saudara dan tetangga, yang akan mengikuti proses pemakaman ibu. Aku turun terlebih dahulu, dengan langkah yang gontai, aku coba kuat. Bersimpuh di dekat jenazah ibu yang sudah dikerandakan. Aku terisak-isak, sambil berdoa buat ibu. Aku masih sangat merasa bersalah, tidak pulang ketika sakit, dan tidak melihat hembusan nafas terakhir ibu.

“Sudah mbak, ikhlasin, jangan terus menangis, doakan ibu, yang tabah ya…”, adik bungsuku menasihatiku.

“Ya nduk”, jawabku sambil masih terisak.

Prosesi pemakaman dilaksanakan jam 09.00, kami enam bersaudara ikut semua ke makam, penghormatan terakhir buat ibu. Begitu banyak yang ikut ke makam, menyaksikan proses pemakaman, walaupun masih dalam keadaan zona merah.

Dengan perasaan sedih yang sangat mendalam, ketika di makam sudah sepi, kami berenam berdoa bersama untuk almarhumah ibu. Ibu yang sangat kami sayangi, yang mengajarkan ilmu kehidupan yang atas RidhoNya, kami berenam menjadi orang yang mandiri. Kami pun selalu mengingat pesan ibu untuk selalu menjalankan perintahNya.

Selesai doa bersama, kami pulang ke rumah ibu, dan kumpul dengan saudara. Tak ada canda tawa seperti biasanya, namun kali ini semua merasakan kehilangan seorang ibu. Ibu yang berjuang, melawan sakit diabetes selama sepuluh tahun lebih. Menjadi pelajaran bagi kami dari kuatnya dan kesabaran yang dimiliki oleh ibu. Semuanya akan menjadi kenangan indah bagi kami.

***

“Selamat Jalan Ibu…”.

 

Sebuah karya berjudul ‘AKU KEHILANGAN IBU’ oleh Iin Noor Rhosidah

Cerita Indah di Sabtu Itu

0

Hai! Nama ku adalah Kabiyana Puspita yang akrab disapa Abi oleh Keluarga, saudara, maupun teman-teman ku. Aku, adalah seorang siswi yang kini menduduki bangku kelas 3 SMA Harapan yang letaknya di Kota Bekasi.

Ngomong-ngomong, hari ini aku sangat bahagia loh! Gimana engga!? Para Guru di sekolahku yang tiba-tiba saja mengadakan rapat dadakan, dan juga tidak adanya Guru piket yang memasuki kelas ku. Tetapi, tetap saja! Sang ketua kelasku yang bernama Jeya itu sangat rese karena mengunci pintu kelas dan menyembunyikan kunci itu, dari anak-anak kelas ku.

Sumpah! Ingin sekali rasanya aku mencaci maki nya esok hari, karena tadi aku tidak sempat bertemu dengannya, dan juga Jeya mempunyai alasan tidak menjaga kelas karena harus rapat dengan anggota OSIS lainnya di sekolah ku. Emang aku dan teman sekelas ku yang lain, adalah anak kecil yang harus dijaga?!

Kini aku bersama sahabat ku yang bernama Jihan. Sedang berjalan pulang, setelah melewatkan drama pulang sekolah tadi. Jihan yang tidak ada berhenti nya mengoceh tentang drama di sekolah tadi, membuat ku semakin pusing. “Bisa diem ga si?” Tanyaku yang sudah pusing dengan omongan Jihan.

Jihan hanya terkikik dan langsung diam setelah aku menegur dan sedikit membantak nya. “Emmm, btw Bi. Besok kan sabtu ya? Nah kata Mamah gue bakal ada psikolog gratis gitu dari sekolah. Dan kata Mamah gue tadi pagi, orang tua wajib dateng tau!” Jihan sangat antusias menyampaikan hal yang dikatakan oleh Mamah nya tadi pagi.

“Ah, gue mau banget besok ajak Bunda sama Ayah kesana. Tapi, apa boleh buat? Bunda gue sibuk banget sama toko kue nya. Sedangkan Ayah gue lagi berjuang gitu buat menangin proyek yang lagi viral di kelas itu, loh!” Jihan yang mendengar kan penuturan ku, seraya menarik diriku ke dalam pelukan hangat nya. Kini Jihan menepuk pundak ku seraya berkata “Sabar ya, Abi ku sayang.” Aku sudah sangat hafal gerak-gerik tubuh Jihan, yang selalu menyemangati diriku.

“Abiiii gue gatau rasanya gimana jadi lo, tapi gue tau hal itu berat banget buat lo! Apalagi lo anak satu-satunya yang ditinggal dari kecil karena kesibukan orang tua lo! Inget ya, Bi. Mamah gue itu, Mamah lo Juga. Jadi besok sabtu, Mamah gue bakalan dateng buat kita berdua!” Jihan lalu menggandeng tangan ku dan mengajak ku untuk pulang ke arah rumah nya.

  • ••

Malam harinya, ketika aku dan kedua orang tua ku yang kini sedang menikmati acara makan malam bersama, harus terpaksa berhenti karena notifikasi ponsel milik ayah ku sedari tadi berbunyi tanpa berhenti. “Bisa ga, kalo makan sama keluarga di silent dulu? Sebentar aja, Mas.” Bunda ku kini sudah jera dengan notifikasi itu. Ayah ku langsung menuruti perkataan Bunda ku.

“Abi. Cepat makannya ya, Nak. Habis ini ada beberapa hal yang harus di bicarakan.” Aku menoleh ke arah Bunda, lalu mengangguk menuruti perintah yang beliau katakan. Tak berselang lama, aku kini selesai memakan hidangan malam ini, dan beranjak ke arah ruang keluarga. Jujur saja, aku sangat deg deg an untuk mendengarkan perkataan yang akan di ucapkan oleh Bunda maupun Ayah ku nanti.

“Mulai aja sekarang.” Kata Bunda ku yang berjalan beriringan bersama dengan Ayah ku. “Baiklah, here we go again.” Lontarku dalam hati. “Karena Ayah harus menangin proyek baru yang di Bandung, dan Bunda kamu yang harus mengurus cabang toko kue nya di kota yang sama seperti Ayah, maka kami berdua akan pergi sekitar seminggu. Kamu gapapa kan?” Tanya Ayah yang enggan duduk di kursi sofa bersama ku. Aku menangis dalam diam. Aku bingung harus menjawab apa.

“Ayah kamu itu nanya, Kabinaya Puspita. Bukan lagi ngedongeng.” Bunda mengeluarkan nada yang sangat jutek membuat ku diam dan tidak bisa berkutik. Aku menarik nafas dalam-dalam agar tidak menangis, tetapi tidak bisa! Air mata ku terus saja berkumpul di kantung mata ku.

“Kenapa harus nanya sama saya? Kalian setial hari juga ga pernah nanya atau ambil keputusan tanpa sepengetahuan saya, bukan?” Aku bersumpah di dalam batin ku, bahwa aku adalah anak yang sangat tidak tahu diri.

“Maksud kamu apa?” Tanya Ayah ku dengan nada tinggi. “Ayah. Besok pagi, tepat nya hari sabtu seluruh orang tua wali murid SMA HARAPAN disuruh mengikuti bimbingan psikolog. Ah tapi aku sadar diri, kalian sibuk dengan dunia kalian masing-masing, jadi silahkan saja. Aku tidak peduli. Aku ke kamar atas duluan. Maaf aku kurang ajar, tapi aku cape.

Selamat malam, semoga mimpi indah.” Aku yang tak tahan untuk menetaskan air mata sedari aku berbicara kepada kedua orang tua ku. Kini menangis sekencang-kencangnya di kamar milik ku. Tak peduli jika kedua orang tua ku mendengar suara tangisan putri nya ini atau tidak. Aku hanya butuh waktu untuk menangis. “Abi,lo udah jadi anak yang durhaka mulai detik ini.” Kini, aku kembali menangis dengan suara.

••

Pagi harinya, aku bersama Jihan bergegas untuk mengisi formulir pendaftaran yang akan mengikuti tes mental di akhir acara nanti. Untuk informasi saja, Tes mental di lakukan di ruang yang sangat tertutup karena kebijakan dari pihak sekolah yang sangat menghargai masalah pribadi para siswa dan siswi nya. Dengan senyuman yang kini aku tampilkan kepada dunia, aku menandatangani formulir itu tanpa persetujuan kedua orang tua ku.

“Yakin, gamau hubungin Ayah sama Bunda lo lagi? Kan mereka harus tau, Abi.” Aku hanya tersenyum lalu menggeleng dengan pertanyaan Jihan. Kini aku dan Jihan mengumpulkan formulir itu lalu mencari tempat duduk sembari menikmati acara ini.

“Eh! Ada neng Abi yang geulis kaya artis luaran, ini! Kumaha damang, Bi?” Aku menoleh lalu tersenyum kearah seseorang yang menyapa ku. Itu adalah Haidar. Teman seangkatan ku, yang kini telah kembali dari kota kelahirannya, yaitu Bandung. “Sehat, Dar. Kapan balik?” Tanya ku yang membuat Haidar kini duduk di sebelah ku. “Malem tadi.

Tadinya juga aing teu nyaho ada beginian tau, Bi. Cape juga perjalanan nya lama, tapi karena kata Bitzar ada Jihan yauda kesini. Eh Jihan nya Idar pinjem dulu ya, Bi. Nanti dibalikin hehehe makasih, Abi!” Kata Haidar lalu menarik Jihan yang membuat Jihan meronta-ronta ingin memaki ku karena aku menertawakan nya.

Tak berselang lama Jihan dan Haidar pergi. Kini, aku melihat Biztar yang memberikan informasi kepada Haidar tadi, tengah menghampiri ku dengan beberapa kertas formulir di kedua tangannya. “Abi. Yang ke ruang psikolog lo duluan. Soalnya paling deket sama ruangan nya, cuma lo doang.” Kata Bitzar yang membuat aku mengangguk menuruti apa katanya, dan mengikuti dirinya sedari belakang.

  • ••

Sunyi, sepi, tenang, damai, tidak banyak orang, dan juga suhu udara yang normal membuat diriku sedikit gugup untuk menceritakan apa masalah ku kepada Psikolog nanti. “Santai aja ya, Bi. Jangan dibawa tegang karena psikolog nya baik baik semua.

Gue awasin lo dari belakang ya. Semangat Abi! Jangan lupa atur pernafasan nya.” Kata-kata Bitzar barusan, membuat ku kini mengangguk semangat dan tersenyum. Kini, sudah saatnya aku masuk kedalam ruangan yang aku nantikan sedari tadi malam.

“Kabinaya Puspita ya? Langsung duduk aja ya.” Aku terdiam. Jujur saja, aku terkejut karena sang psikolog itu menebak tepat namaku. Tanpa aku sadari, dirinya terkekeh lalu menarik tangan ku untuk duduk di depan nya. “Jangan tegang.

Nama saya Hazel, kamu bisa panggil saya Ka Hazel karena umur kita ga beda jauh. Atur pernafasan kamu, lalu ceritakan ya.” Kata kak Hazel yang baru saja memperkenalkan dirinya. Aku mengangguk kembali lalu menarik nafas dan mulai menceritakan masalah ku padanya.

“Bunda dan Ayah ku itu workaholic, Ka. Aku gatau lagi harus ngomong apa sama mereka. Aku lebih baik tinggal sama nenek karena kalau begini terus, aku bisa gila ka. Aku cuma mau, seengaknya setiap hari libur mereka tuh ada di rumah.

Bunda punya banyak pegawai, dan Ayah bisa ngerjain pekerjaan nya dirumah bukan? Aku capek kak. Capek banget. Sehari libur ga bikin keluarga ku kehabisan banyak uang. Ka, apa aku harus sakit biar mereka peduli ya?” Air mata ku kini mengalir deras tanpa aba-aba dan Ka Hazel memeluk ku erat. Aku tahu, disana terdapat Bitzar yang masih diam menunggu aku keluar dari dalam ruangan dan mendengarkan keluh kesah ku.

“Hei, Jangan pernah Abi ngelakuin hal yang ngebuat Abi bakal benci diri sendiri di suatu hari nanti, ya? Abi itu adalah salah satu ciptaan Tuhan yang ngebuat Kaka bahkan orang-orang yang mengenal mu bangga, karena kamu udah mau bertahan, sampai detik ini.” Ka Hazel membuat ku terisak sekarang. Tak berselang lama ka Hazel mengatakan itu.

“Sekarang, coba Abi pikirkan apa yang akan terjadi sewaktu Abi sakit? Abi. Tuhan itu ga tidur. Tuhan itu bakal ngebantu hamba nya untuk di buka kan pintu hatinya menjadi lebih baik lagi. Orang tua Abi, begini karena mereka baru sempat mengejar cita-cita nya sekarang.” Ka Hazel kini mengusap kedua pipiku dengan lembut.

Selembut Bunda di waktu dulu, ketika aku menangis. “Orang tua Abi itu, hanya lupa dengan cara bahagia dalam kesederhanaan. Bukan lupa bagaimana mereka mengurus anaknya ini. Abi, ga semua orang tau sumber kebahagiaan mereka dari mana, bukan? Dan Orang tua Abi, di sini ga tau kalo sumber kebahagiaan Mereka itu, adalah Abi. Anak nya sendiri.” Kata Kak Hazel kembali.

Tak berselang lama pula aku terisak karena kata-kata ka Hazel yang membuat ku menjadi berantakan. Entah itu senang maupun sedih. Kedua orang yang tanpa permisi masuk ke dalam ruangan konsultasi, lalu menarik ku ke dalam dekapan nya, sekencang mungkin. “Maafin Bunda, Nak. Maafin Bunda.” Itu, ialah sosok yang melahirkan, dan merawat ku hingga detik ini.

Dan juga sosok lelaki yang membuat ku mengenal apa itu dunia, ketika pertama kali aku dilahirkan ke dunia ini. Ayah ku, dan Bunda ku kini sudah datang ke acara yang sangat aku nantikan. “Bunda dan Ayah janji. Bakalan sempatin waktu buat Abi, dan kita liburan bareng. ” Kata Ayah membuat aku melihat mata nya dan berbinar.

Terimakasih ka Hazel. Terimakasih banyak.

 

Sebuah karya cerpen berjudul ‘CERITA INDAH DI SABTU INI’ oleh Talitha Azzahra.

Tamu yang Sebenarnya

0

Hari ini, sepulang sekolah terlihat Naya tersenyum kepada ibunya sambil memamerkan piala pertamanya. Naya menjuarai lomba cipta puisi. Lalu gadis kecil itu memberikan kertas berisi karyanya untuk ibunya. Puisi tersebut berjudul “Separuh Hidupku”.

Ibu membaca sampai selesai dan terharu dengan kalimat, “Ibu dan aku bagaikan atap dan tiang. Bila tiangnya roboh, aku ikut roboh. Engkau satu-satunya yang mampu menopang hidupku, sampai akhir hayatku..” Mungkin, juri yang menilai perlombaan Naya seorang ibu juga. Maka dari itu puisi ciptaan anaknya menang, bisa saja hati juri tersebut tersentuh saat membaca keseluruhan puisi ciptaan Naya. Itulah yang ada dipikiran Ibu.

“Terimakasih ya sudah memberikan kejutan untuk ibu. Bagi ibu, Naya merupakan titipan paling berharga. Kami sudah mencintai Naya sebelum Naya hadir di dunia..” Ibu dan Naya pun berpelukkan. Tak terasa air mata ibu menetes, buru-buru ia mengusapnya sebelum Naya mengetahui.

***

Pagi pun tiba, ibu bersiap untuk berangkat kerja, Naya ke sekolah menaiki sepedanya. Ibu tidak sempat antar jemput Naya karena jam kerjanya lebih awal dari jam sekolah Naya. Jadi, ibu harus berangkat lebih dulu. Ohiya, saat ini Naya duduk di bangku kelas 6 SD.

Disela-sela kesibukan di kantor, telepon ibu berdering. Ada panggilan dari suaminya. “Ayah, ibu lagi sibuk. Nanti ayah telepon lagi aja.” ucap ibu.

“Gamau dengar kabar gembira nih?” “Kabar gembira apa?”

“Besok ayah pulang. Maaf kasih taunya mendadak, karena baru sempat kabarin.”

Senyum ibu mengembang sempurna. Setelah mengakhiri telepon, beliau melanjutkan pekerjaannya. Sebelum pulang, ibu membeli beberapa bahan makanan dan keperluan dapur lainnya. Lalu, Ibu segera pulang ke rumah.

“Ibu kok baru pulang? Dari mana aja?” Tanya Naya, terlihat ia sedang makan cemilan. “Mampir ke supermarket tadi. Bakal ada tamu jauh datang kesini besok.” Jelas ibu.

Naya terkejut, ia segera menghampiri ibunya sambil membantu membawa belanjaan.

“Tamu jauh siapa? Tumben. Selama Naya pulang sekolah, enggak ada tamu yang datang. Ada sih, tapi kan jarang banget.” Ibu tidak menjawab pertanyaan Naya, ia sibuk menaruh belanjaan diatas meja.

“Sudah-sudah, sekarang bantuin beres-beres rumah!”

Naya melalukan perintah ibunya. Padahal, ia masih ingin menghabiskan cemilan tadi.

***
Hari esok pun tiba