PKI: Asal-usul, Pemilu, Pemberontakan, Tokoh, Gerakan 30 September

 Partai Komunis Indonesia atau PKI adalah sebuah partai politik yang dibentuk pada 23 Mei 1914 dan dibubarkan pada 12 Maret 1966.  PKI pernah menjadi salah satu partai terbesar di Indonesia sebelum akhirnya dilarang dan dibubarkan. 

PKI menjadi salah satu partai tertua dan terbesar di Indonesia. Pria dengan nama pendek Henk Sneevliet merupakan Ketua Serikat Buruh Kereta Api Belanda atau Nederlandse Vereniging van Spoor en Tramweg Personeel (NVSTP). Ruth T. McVey dalam bukunya The Rise of Indonesian Communism menggambarkan Sneevliet sebagai seorang propagandis berbakat dan penuh semangat.

Dalam catatan sejarah, PKI menjadi salah satu partai tertua dan terbesar di Indonesia. Bahkan keberadaan PKI saat itu menjadi partai yang diikuti banyak orang dari berbagai kalangan mulai dari intelektual, buruh, hingga petani.

Sejarah awal mula berdirinya PKI

Peristiwa G30S/PKI adalah sejarah kelam bangsa Indonesia yang tidak boleh terulang.
Peristiwa G30S/PKI adalah sejarah kelam bangsa Indonesia yang tidak boleh terulang. FOTO: INT

Pada 9 Mei 1914 Henk Sneevliet mendirikan Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda. Keanggotaan awal ISDV pada dasarnya terdiri atas 85 anggota dari dua partai sosialis Belanda, yaitu SDAP (Partai Buruh Sosial Demokratis) dan SDP (Partai Sosial Demokratis), yang aktif di Hindia Belanda.

- Iklan -

Setahun kemudian anggotanya bertambah menjadi 134 orang. Pada tahun-tahun awal pendiriannya ISDV membatasi aktivitasnya pada diskusi teori masalah kolonial. Gerakan ISDV tidak berkembang karena tidak mengakar dalam masyarakat Indonesia.

Masa-masa itu pulang beberapa anggota ISDV juga merupakan anggota Sarekat Islam (SI) yang popularitas sedang melejit. Salah satunya, Semaoen yang pada 1914, SI Surabaya yang dipimpin H.O.S. Tjokroaminoto. Tjokroaminoto merupakan guru politik Semaoen.

Semaoen kemudian memimpin SI Semarang dan mengorganisir pemogokan buruh. Ia juga menyatakan sikap perlawanan terbuka secara politik terhadap pemerintah kolonial Belanda. Sneevliet sendiri kemudian diusir dari Hindia Belanda oleh pemerintah kolonial Belanda.

- Iklan -

ISDV kemudian bersalin nama menjadi Partai Komunis Indonesia pada Mei 1920 di Semarang. Semaoen dan Darsono berperan dalam pendirian tersebut. Semaoen terpilih sebagai Ketua, Darsono Wakil Ketua, Piet Bergsma sebagai Sekretaris, dan H.W. Dekker sebagai Bendahara. Adolf Baars, J. Stam, Dengah, C. Kraan, dan Soegono menjadi komisaris partai.

Baca Juga:  6 Contoh Negara Maju yang Sering Menjadi Kiblat di Dunia

Harry A. Poeze dalam bukunya Tan Malaka : pergulatan menuju republik 1897-1925 menyebutkan Tan Malaka sempat mengusulkan nama Partai Nasional Revolusioner Indonesia.

Menurut Malaka, memakai nama komunis akan membawa kerugian taktis karena bisa muncul dugaan partai itu adalah alat Rusia. Namun usul tersebut ditolak Semaoen. Tan Malaka sempat pula menggantikan Semaoen sebagai ketua PKI pada 1921.

- Iklan -

PKI sempat melancarkan pemberontakan pada pemerintah kolonial Belanda pada 1926, tapi berhasil dipadamkan. Tokoh dan ribuan anggota PKI dibuang ke Boven Digul.

Tujuan PKI

Adapun tujuan utama PKI adalah untuk menantang imperialisme dan kapitalisme pemerintah Belanda dengan membangun serikat pekerja dan untuk mempromosikan pentingnya kesadaran politik di antara para petani.

Tokoh-tokoh PKI

– Henk Sneevliet
– Musso
– Dipa Nusantara Aidit
– Amir Syarifuddin
– Semaun
– Njoto
– Oetomo Ramelan
– Abdul Latief Hendraningrat
– Alimin Prawirodirdjo
– Darsono
– Misbach

Pemberontakan Madiun 1948

Pemberontakan Madium
Pemberontakan Madium. FOTO: Int

Pada 18 September 1948, terjadi pemberontakan PKI Madiun bertujuan menggulingkan pemerintahan yang sah yakni Republik Indonesia dan mengganti landasan negara. Gerakan ini diketuai oleh Amir Sjarifuddin dan Muso.

Tak hanya berusaha menggulingkan pemerintahan Indonesia, pemberontakan PKI di Madiun juga bertujuan membentuk negara Republik Indonesia Soviet, mengganti dasar negara Pancasila dengan Komunisme, dan mengajak petani dan buruh untuk melakukan pemberontakan.

Untuk menghentikan pemberontakan PKI Madiun, pemerintah melakukan beberapa cara untuk mengakhiri pemberontakan, di antaranya:

1. Soekarno memperlihatkan pengaruhnya dengan meminta rakyat memilih Soekarno-Hatta atau Muso-Amir.

2. Panglima Besar Sudirman memerintahkan Kolonel Gatot Subroto di Jawa Tengah dan Kolonel Sungkono di Jawa Timur untuk menjalankan operasi penumpasan dibantu para santri.

Kemudian pada 20 September 1948 dilakukan operasi penumpasan yang dipimpin oleh Kolonel A.H. Nasution. Dalam operasi ini, Musso, Amir dan para tokoh komunis lainnya ditemukan dan dijatuhi hukuman mati.

Baca Juga:  Temukan Pohon yang Hasilkan Ulat Cikal Bakal Kupu-kupu

Gerakan 30 September

7 Jendral yang jadi korban dalan G30S PKI. FOTO: INT
7 Jendral yang jadi korban dalan G30S PKI. FOTO: INT

Gerakan 30 September atau G30S PKI merupakan gerakan yang dipimpin oleh DN Aidit untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Sukarno dan mengubah Indonesia menjadi negara komunis.

Peristiwa kelam dalam sejarah Indonesia ini terjadi pada 1 Oktober 1965 dini hari, saat Letkol Untung yang merupakan anggota Cakrabirawa (pasukan pengawal Istana) memimpin pasukan yang dianggap loyal pada PKI.

Gerakan ini mengincar perwira tinggi TNI AD Indonesia. Tiga dari enam orang yang menjadi target langsung dibunuh di kediamannya. Sedangkan lainnya diculik dan dibawa menuju Lubang Buaya.

Adapun keenam perwira tinggi TNI Angkatan Darat yang menjadi korban G30 S PKI adalah Letnan Jenderal Anumerta Ahmad Yani, Mayor Jenderal Raden Soeprapto, Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Haryono, Mayor Jenderal Siswondo Parman, Brigadir Jenderal Donald Isaac Panjaitan dan Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo.

Diabadikan dalam Film Propaganda

Pada tahun 1984, film dokudrama propaganda tentang peristiwa ini yang berjudul Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI dirilis. Film ini diproduksi oleh Pusat Produksi Film Negara yang saat itu dimpimpin Brigjen G. Dwipayana yang juga staf kepresidenan Soeharto dan menelan biaya Rp 800 juta.

Mengingat latar belakang produksinya, banyak yang menduga bahwa film tersebut ditujukan sebagai propaganda politik. Apalagi di era Presiden Soeharto, film tersebut menjadi tontonan wajib anak sekolah yang selalu ditayangkan di TVRI tiap tanggal 30 September malam.

Sejak Presiden Soeharto lengser pada tahun 1998, film garapan Arifin C. Noer tersebut berhenti ditayangkan oleh TVRI. Hal ini terjadi setelah desakan masyarakat yang menganggap film tersebut tidak sesuai dengan kejadian sebenarnya.

- Iklan -

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU