Jemaah Haji Glamor Berhias Emas, Sudah Jadi Tradisi Sulawesi Selatan Sejak 1970

Ketua Dharma Wanita Persatuan (DWP) Kantor Wilayah Kementerian Agama Sulsel, Heni Suwardani Khaeroni sangat terkesan dengan antusiasme warga Sulsel, terutama ketika melihat histeris keluarga penjemput dan tampilan busana jemaah haji perempuan yang baru turun dari Bus.

“Saya sangat terkesan dengan antusiasme warga Sulsel, khususnya suku Bugis Makassar dalam menunaikan Rukun Islam yang kelima ini. Semangat mereka dalam berhaji sulit dicari duanya di Indonesia. Dan tentu ini memberi dampak positif bagi semangat orang-orang Sulsel dalam membuka usaha,” tuturnya.

Mengenai penampilan sebagian jemaah haji perempuan yang terkesan glamor dengan busana blink-blink ketika tiba di Asrama Haji, Heni menyebut itu tidak masalah sepanjang tidak mengabaikan nilai-nilai kesopanan dan tidak menyalahi syariat agama.

- Iklan -

“Saya amati ini bagian dari kearifan lokal atau local wisdom orang Sulsel, bahkan ini sepertinya telah menjadi tradisi. Tentu ini ekspresi kebahagiaan dan kesyukuran mereka karena akan bersua kembali dengan sanak saudaranya yang ditinggalkan sebulan lebih,” sambung Heni.

Dianggap Memuliakan Haji

Tokoh agama Sulsel, Muammar Bakry mengatakan tidak ada permasalahan terkait pakaian glamor jemaah haji saat tiba kembali di Indonesia, khususnya Makassar. Ia menyebut ada sudut pandang agama tidak ada yang perlu dipermasalahkan.

“Itu kan tergantung pada budaya masyarakat. Islam itu hanya mengajarkan soal tutup aurat, bagaimana modelnya itu urusan orang,” ujarnya saat dihubungi melalui telepon.

- Iklan -
Baca Juga:  Ramadan, Hampir "Pergi"

Imam Besar Masjid Al Markaz Al Islami ini mengatakan penampilan glamor jemaah haji yang tiba di Makassar sudah menjadi tradisi. Ia mengaku dengan cara berpakaian seperti itu, jemaah haji menganggap memuliakan haji.

“Selama pakaian itu Islami dan menutup aurat, tidak memperlihatkan lekukan tubuhnya, itu silakan saja. Justru itu sebagai bentuk memuliakan haji,” sebutnya.

Terkait adanya pandangan tentang riya, Muammar mengatakan hal tersebut merupakan urusan Tuhan. Dia menegaskan tidak ada keharusan bagi seseorang mengurusi penampilan orang lain.

- Iklan -

“Kalau Riya itu urusan Tuhan, jangan kita urusi. Kadang-kadang orang kita itu mau urusi urusan orang lain misalnya menyumbang. Kenapa kita mau urusi hatinya orang. Mau Riya mau apa itu urusan Tuhan,” tegasnya.

Terjadi sejak Tahun 1970

Sementara itu, Budayawan Universitas Hasanuddin Makassar, Ilham Daeng Makkelo menjelaskan penampilan glamor jemaah haji usai pulang dari Tanah Suci sudah menjadi budaya atau tradisi di sejumlah daerah di Sulsel. Ketua Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Unhas ini menyebutkan daerah seperti Kabupaten Sidrap dan Pinrang.

“Kita bisa melihat bagaimana posisi orang-orang yang sudah berhaji di tengah-tengah masyarakat. Misalnya, di daerah Sidrap atau pinrang, orang yang sudah berhaji itu kemudian itu persis mengenakan pakaian pas baru pulang dari tanah suci,” sebutnya.

Baca Juga:  Puasa dan Gerbong

Berdasarkan historis, kata Ilham, tradisi itu muncul tahun 1950-an. Bahkan pada tahun 1970-an, orang yang sudah menunaikan ibadah haji disambut, diarak keliling kampung,” kata dia.

Ali menyebut dengan berpenampilan glamor tersebut, bisa menjadi kebanggaan bagi sebagian orang yang telah menyandang gelar Haji. Bahkan dengan berpenampilan glamor, dianggap stratafikasi sosial masyarakat.

“Naik haji bagi sebagian masyarakat Sulsel adalah sebuah kebanggaan yang besar, selain niat beribadahnya. Tetapi kebutuhan kehidupan sosial itu hampir sama pentingnya dengan nilai-nilai ibadahnya itu sendiri,” kata dia.

“Makanya kenapa kemudian pada saat pulang atau selesai berhaji, mereka ingin menampilkan simbol haji secara lebih menonjol, nyata, kliatan dan semarak. Karena berhaji itu kemudian menandai stratafikasi sosial masyarakat di Sulsel,” imbuhnya.

Berdasarkan sejarah masa lampau, masyarakat yang bisa berangkat haji merupakan seorang bangsawan. Sehingga dengan berangkat haji, jemaah haji bisa mendapatkan strata sosial di masyarakat, khususnya dianggap sebagai tokoh agama.

“Walaupun mereka bukan keturunan bangsawan, tetapi setelah berhaji itu menjadikan mereka memiliki kedudukan sosial yang berarti di tengah masyarakat,” sebutnya.

- Iklan -

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU