Beranda blog Halaman 2586

Anyer dan Pesan Singkat Ayah

0

“Aku tahu dirimu lelah. Kakimu mulai berjalan tanpa arah seakan semuanya baik-baik saja, padahal kau menyimpan luka di sana. Peluhmu tak terlihat kasat mata, keluhku tak pernah terucap melainkan melalui doa. Kau biarkan tubuhmu itu rapuh demi kebahagian yang terkasih”

***

Siang begitu terik menyengat kulit yang menjadi gelap, meringis keluh untuk sang pejuang, menetes keringat tak kunjung hilang.

Namun, sosok nan gagah berani siang malam menempuh arus yang membuat tubuhnya gontai menahan angin yang menghantam, tak ada jeda baginya menarik jaring mencari ikan, mendorong perahu yang koyah bergoyang.

***

Ayah… Siang itu Ayah masih tersenyum lirih ketika aku menyuguhi kopi hangat untuk melepas peluhnya. Tatapannya lekat seakan berkata bahwa dia bahagia dengan pekerjaannya, walaupun terasa berat.

“Ayah, Hana buatkan kopi untuk Ayah.” Pungkasku, yang sedikit berteriak mengalahkan suara derasnya ombak. “Terimakasih, Nak. Sudah sana kamu balik lagi ke rumah, belajar dan jagain adik baik-baik.” Sahutku, dengan tatapan tegas penuh kasih sayang. “Oke, Ayah.”

***

Aku berlari kecil, mengangkat langkahku melewati pasir pantai yang selalu ku temui setiap saat. Perlahan, tangan mungilku membuka pintu rumah yang sudah rapuh terlihat kumuh.

Di sana aku menatapi adikku yang sedang asik menikmati siaran TV anak-anak, sesekali tertawa melihat tingkah konyol karakternya.

Tak ada firasat apapun, tak ada dugaan apapun. Hanya TV yang siarannya bersemut abu, menandakan antina tak memiliki arah yang tentu. Adik menangis histeris ketika tahu hiburannya tak lagi dapat dinikmati.

Tiba-tiba ibu berteriak, meminta aku dan adik segera keluar. Seketikaa itu pula, Ibu memelukku. Ia hanya terdiam melihat sekelilingnya, matanya mencari keberadaan Ayah yang mungkin sudah berada di tengah laut sana.



***

Angin semakin kuat berhembus, awan semakin melekat gelap. Pikiranku hanya tentang Ayah, ku putuskan untuk melepaskan pelukan Ibu dan mencari Ayah agar segera meninggalkan laut lepas itu. Namun, guncangan yang berasal dari gempa bumi membuat tubuhku jatuh.

Begitupun Ibu dan Adikku, semua orang berlarian ricuh. Saling bertabrakan, saling mencari orang yang tersayang dan saling berlalu menyelamatkan diri. Tubuhku masih terkapar, menatap jauh laut yang berada di hadapanku. Air laut itu surut…Semakin surut!

“Hana…” Teriakan Ibu yang terdengar keras dengan sentuhan isak tangis, tak membuatku bangun dari sana menunggu kehadiran Ayah.

Masa Kecilku yang Terenggut

0

Di hari yang cerah, sepupuku mengejutkanku. Dia bernama Firzha, sepupuku merupakan anak yang sangat periang, sedangkan kepribadianku berbanding terbalik dengannya.

Firzha membawa sekantung plastik yang berisi jambu air sambil berkata, “Woy, ayo  ngerujak!”. Saat itu juga aku sedang bersama dengan teman-temanku, kami berkumpul di suatu pos ronda yang terletak di depan rumahku.

Ibuku mendengar ajakan Firzha, tanpa membuang-buang waktu, Ibuku langsung menuju ke dapur untuk mempersiapkan sambal rujak, yang nantinya akan kami nikmati bersama di pos ronda yang penuh kenangan itu.

Dahulu, aku hanyalah anak kecil biasa. Aku sering tertawa, bermain, dan belajar bersama dengan teman-teman yang lain. Namun, semenjak kejadian ini menimpaku, duniaku seakan-akan hancur perlahan.

Hari demi hari, bulan demi bulan, mulai muncul perubahan yang menonjol pada kepribadian dan sifat yang aku miliki, tawa berubah menjadi tangis, riang berubah menjadi sedih, acuh berubah menjadi cuek, semua berbanding terbalik dengan kepribadian asalku.

4 bulan yang lalu, tepatnya tanggal 20 Juni 2006, aku beserta siswa/i SDN Harapan Cinta 1 telah selesai melaksanakan Ujian Nasional (UN). 11 hari kemudian, kami akan mengadakan acara perpisahan.

Acara perpisahan dilengkapi dengan penampilan seni tari yang dibawakan langsung oleh para siswi SDN Harapan Cinta 1, salah satunya adalah aku. Dalam waktu 11 hari, aku selalu rutin mengikuti kegiatan latihan seni tari yang dilaksanakan setiap 3 hari sekali, para siswi berlatih di lapangan sekolah, kami berlatih sebaik mungkin.

Tidak terasa, hari ini adalah H-2 acara perpisahan. Aku selalu menceritakan pengalaman dan impianku kepada ayah dan Ibuku, dan saat itu, impian terbesarku adalah Ayah dan Ibuku dapat menikmati dan menonton pertunjukkan seni tari di acara perpisahanku.

Namun, impian tersebut tidak dapat terwujud. H-1 adalah hari terakhir untuk latihan, karena besoknya kami semua akan tampil di atas panggung untuk menunjukkan hasil dari latihan yang telah kami laksanakan selama kurang lebih 2 minggu.

Gadis Mochaccino

0

Malam ini aku melihatnya lagi, gadis dengan raut wajah yang selalu menampakkan kesenduan.

Dia selalu duduk di sana, pojok ruangan di dekat jendela kafe, dia juga selalu memandang jendela luar.

Setiap hari, datang pukul tujuh malam, memesan secangkir mochaccino, kemudian duduk di tempat “miliknya” dan memandang keluar.

Kegiatan itu ia lakukan hingga kafe ini tutup, yaitu pukul sepuluh malam. Aku tidak tahu siapa yang ia tunggu, mungkin seseorang yang sangat berharga untuknya, jika tidak mana mungkin ia akan melakukan hal itu setiap hari.

Hari itu adalah hari pertamaku bekerja di kafe ini, dan juga hari pertama aku bertemu dengan dia, si gadis mochaccino, begitu aku menjulukinya.

Awalnya kupikir ia adalah pengunjung biasa, atau mungkin hanya sekedar pelanggan yang singgah dan tidak akan datang lagi, namun ternyata aku salah, dia terus datang bahkan satu minggu, sepuluh hari, satu bulan, dan seterusnya.

Jadi aku beranggapan bahwa dia adalah pelanggan setia kafe ini. Setelah aku bertanya ke senior, ternyata senior bilang gadis itu rutin mengunjungi kafe ini selama tiga tahun di waktu yang sama, duduk di tempat yang sama, dan dengan raut muka yang sama. “wow, konsisten sekali” batinku.

“Silahkan kopinya.” pecahku sembari menyajikan mochaccino pesanannya di meja, dia menatapku dan senyum kecil tersungging di bibirnya.

Aku sempat terperanjat sepersekian detik, karena tidak biasanya dia menatap orang yang mengantarkan minumannya, dan bahkan TERSENYUM?!! Setelah sadar aku membalas senyumnya dan kembali ke meja bar, kurasakan jantungku berdebar. “Ada apa denganku?”

Suatu hari yang tak diduga, dan mungkin adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh si gadis mochaccino, hari ini orang yang ia tunggu –begitulah yang kupikirkan– datang menghampirinya dan duduk di depannya.

Gadis mochaccino terlihat gugup namun senang di saat yang sama. Aku tidak dapat mendengar apa yang mereka katakan karena aku berada di meja bar, lumayan jauh dari tempatnya, namun aku masih bisa melihat mereka dengan jelas.

Terlihat ia begitu gugup berbicara pada orang yang ia tunggu, namun orang yang ditunggu hanya menunjukkan ekspresi datar.

Sampai akhirnya orang yang ditunggu berdiri dan mengatakan sesuatu yang mengubah ekspresi gadis mochaccino menjadi suram lalu meninggalkan gadis mochaccino begitu saja. Selama beberapa menit gadis mochaccino terdiam hingga kemudian ia beranjak pergi.

Terhitung sudah tiga bulan sejak kejadian tak terduga itu, dan juga hari terakhir aku melihat gadis mochaccino. Dia tak lagi datang seperti biasanya setelah kejadian itu, “Apa pria itu menyuruhnya untuk tidak usah datang dan menunggunya lagi?” aku menggelengkan kepalaku, “ah, untuk apa aku peduli?”

Nyatanya aku memang peduli, tak jarang aku melihat pintu kafe setiap pintu itu didorong, memastikan apakah gadis mochaccino kali ini datang kembali, menikmati secangkir mochaccino kesukaannya dan duduk di tempatnya.

Namun selalu rasa kecewa yang kudapat karena dia tidak datang. Tanpa sadar aku selalu menunggu kehadirannya di kafe ini lagi.

Dia benar-benar lenyap dari dunia ini, atau duniaku. Gadis mochaccino, bahkan hingga tiga tahun berlalu dia tak datang lagi, “Sebenarnya ada di mana dirimu? Apakah kamu baik-baik saja?” Harusnya aku tidak seresah ini, tapi kenapa aku merasa begitu resah? Lagi aku bertanya pada diriku, “Sebenarnya ada apa denganku?”

Jika kau ditakdirkan untuk bersama dengan seseorang, sejauh apapun, selama apapun kau terpisahkan darinya, dengan ajaib alam akan menuntunmu kembali kepadanya, mempertemukan, serta menyatukan kalian kembali.

Aku membaca penggalan kata itu di suatu buku –yang aku lupa apa– Secara tidak sengaja aku kembali bertemu denganmu, apakah ini takdir atau hanya kebetulan semata? Kamu berdiri di seberang jalan, menunggu lampu hijau pejalan kaki menyala, haruskah aku mengabaikanmu atau haruskah aku menyapamu?

Mana yang baik yang harus kulakukan? Setelah berpikir secepat kilat dan melihat kembali beberapa tahun ke belakang, tentang bagaimana diriku menghabiskan hari tanpa hadirmu, akhirnya aku memutuskan untuk menyapamu.

3 2 1 lampu hijau pun menyala, semua orang langsung berjalan dengan tergesa-gesa, aku pun melakukan hal yang sama dengan pandangan mataku tak lepas darimu.

Ketika aku hendak mengeluarkan suara untuk menyapamu indra penglihatanku melihat seseorang yang tidak asing dan dia menggenggam erat tanganmu, dia, pria yang kamu tunggu dengan segenap hati, kalian berjalan bersama dengan tangan saling terjalin dan tawa yang sesekali hadir dalam percakapan kalian.

Aku terdiam melihat pemandangan yang baru saja kusaksikan, hingga suara lampu lalu lintas menyadarkanku untuk segera bergegas menyeberang.

Ternyata pertemuanku dengan gadis mochaccino bukanlah sebuah takdir, hah, dasar, bagaimana bisa aku dengan besar kepala mengira bahwa aku bertemu denganmu adalah takdir bahwa kita akan bersama.

Aku tertawa miris, bagaimana bisa aku dengan percaya diri ingin menyapamu yang bahkan mungkin kamu tidak akan mengenaliku, karena aku hanyalah sekelebat orang yang tidak sengaja hadir dalam hidupmu.

Aku hanyalah penonton dalam kisah cinta kalian berdua. Kata-kata tentang takdir itu ternyata berlaku untuknya dan untukmu, bukan untukku dan untukmu.

Penulis: Tiara Fanisa

Meninggalkan Adik

1

Malam itu, ibu hampir membunuh adik. Aku tak begitu tahu sebab persisnya dan bagaimana kejadiannya karena sedang bermain di ruang tengah ketika bapak dan ibu beradu mulut di dapur.

Aku hanya datang menengok sebentar. Sempat kudengar dari mulut bapak yang berulang-ulang mengatakan bahwa ibu hampir saja membunuh adik. Mereka terus beradu mulut dengan sengit. Tak peduli adik bayiku yang terus menangis di balai-balai dapur.

Pertengkaran itu disudahi dengan masuknya ibu ke kamar tidur depan sambil masih bersungut, “Kalau kau pikir aku mau membunuhnya, sudahlah tak usah dia tidur denganku.”

Kami tak jadi makan malam itu, padahal makanan sudah tersedia di atas meja. Tinggal dilahap. Adik bayiku pun tidur bersama bapak di kamar belakang, sementara aku bersama ibu di kamar depan.

Besoknya pagi-pagi buta, diam-diam ibu berkemas. Aku sempat terbangun mendengar ibu sibuk sekali di dalam kamar, tidak seperti biasanya. Biarpun begitu, karena melihat di luar masih gelap, aku kemudian tertidur kembali.

Di dalam tidur yang singkat itu, aku sempat bermimpi. Bersama anak-anak tetangga, kami mengejar beberapa ekor anak babi yang lepas dari kandang. Samar-samar kudengar ibu sempat membangunkanku, “Nela, bangun! Kau mau ikut ibu tidak?”

Bagiku, suara ibu waktu itu begitu mengganggu dan mengesalkan. Aku ingat, aku hanya melenguh pelan dan tidak bergerak. Aku masih ingin melanjutkan mimpi, penasaran akan nasib akhir anak-anak babi itu, apakah mereka tertangkap atau tidak.

Namun, ibu tak henti-hentinya membangunkanku di antara kesibukannya berkemas. “Kalau kau mau ikut, cepat bangun dan berkemas! Kita harus berangkat sebelum bapak dan adikmu bangun.”

Hanya kalimat itu yang sempat kudengar dari ibu. Aku tak ingat apa-apa lagi sampai cahaya matahari menerpa jendela dan  bapak masuk memanggilku segera bangun.
“Ibu tak ada di rumah,” kata bapak. “Kau jaga adikmu. Bapak mau pergi mencari ibu.”

***

Setengah jam kemudian, tampak ibu datang digiring bapak dari belakang. Rupanya ibu berencana pergi entah ke mana. Untungnya bapak bergerak cepat. Ibu tak jadi pergi, tetapi barang-barang yang sudah dikemasnya dalam tas kain tidak dikembalikan ke tempat semula.

Tas kain itu masih saja tergeletak di atas meja ruang tengah. Kupikir hari itu akan berjalan sebagaimana biasanya. Benar, nampaknya dari pagi hingga siang memang demikian. Kami sempat sarapan dan makan siang bersama.

Bapak dan ibu masih sesekali bicara saat perlu. Ibu masih sempat menyusui adik dan juga menyiapkan bubur sumsumnya. Namun, kira-kira pukul dua atau tiga sore, aku yang sedang bermain di halaman depan mendengar panggilan ibu.

Ia melambaikan tangan agar aku mendekat ke bawah jendela kamar tidur depan. Tepat di bawah jendela, ia menyodorkan tas kain yang sempat dikemasnya pagi tadi.
“Terima ini dan tunggu di situ. Ibu lewat pintu depan,” katanya lantas menutup kembali daun jendela.

Tak lama kemudian ibu muncul. “Kau mau ikut ibu atau tetap di sini?”

Bingung menjawab apa, ibu langsung menarik tanganku lalu kami keluar ke jalan besar. Aku ikut saja, bahkan tak sempat melepaskan piring tempurung kelapa yang sebelumnya kupakai bermain masak-masakan.

Aku menoleh kembali ke rumah. Tak tampak siapa-siapa. Tentu, adikku pasti sedang tidur di kamar belakang, sementara bapak ada di pekarangan samping, menggergaji dan mengetam beberapa potong kayu pesanan orang.

Karena ia berada di samping rumah bagian selatan, ia tak bisa melihat kami yang mengarah ke utara. Hari masih begitu terik., jalan besar sepi. Kami tak berpapasan dengan seorang pun hingga memasuki jalanan setapak yang di samping kiri-kanannya penuh semak belukar.

Kata ibu, kami pergi ke rumah sepupunya di kampung tetangga. Kampung itu biasanya ditempuh lewat jalan besar dengan bus, truk, bemo, pick up, atau sepeda motor, bahkan bisa berjalan kaki.

Akan tetapi, perjalanan aku dan ibu kali itu tidak melewati jalan besar seperti pada umumnya. Ibu malah memilihkan jalan baru lewat kebun dan ladang orang.

“Biar tidak ada orang kampung kita yang melihat,” katanya.

Kami menempuh perjalanan berkilo-kilo tanpa henti. Perjalanan kami pun tidak melulu jalanan datar. Karena kampung kami berada di daerah pesisir pantai, perjalanan kami keluar kampung selalu mendaki.

Jalan yang datar hanya ada beberapa meter kemudian kembali mendaki, mendaki, dan terus mendaki. Sepanjang jalan aku terus berlari demi mengimbangi langkah kaki ibu yang panjang.

Setiap kali aku berusaha mendahului agar bisa beristirahat sambil menunggu, ibu selalu sampai tepat aku baru mau berhenti. Sudah begitu, bukannya berhenti sejenak agar membiarkanku mengambil napas, ia malah terus mengayunkan langkah panjangnya.

Dengan demikian, mau tak mau aku harus kembali mengejar dan berusaha mendahului untuk kemudian didahului lagi. Berkali-kali seterusnya begitu hingga aku merasa letih sekali. Betapa sebuah kebahagiaan tak terkira seandainya kami berhenti sejenak dan kerongkonganku yang kering itu dibasahi seteguk air.

Begitu kubilang pada ibu tentang air, ia justru balik memelototkan matanya, membentak menyuruh diam dan mengancam akan meninggalkanku seorang diri.

Karena itu, meski napasku hampir habis, tinggal satu-satu, dan kerongkonganku seperti terbakar, kukuatkan diri terus berlari dan tak lagi mengeluh. Tak mau aku ditinggal ibu sendirian di tengah-tengah belantara ini.

Adik bayi yang masih delapan bulan saja hampir ia bunuh, apalagi meninggalkan seorang anak perempuan yang sebentar lagi masuk TK. Membayangkan sebentar lagi masuk TK, semangatku kembali hidup. Aku memang sering mencuri dengar pembicaraan bapak dan ibu serta tetangga-tetangga.

Kata mereka, tahun ini aku akan bersekolah. Senang sekali rasanya menjadi anak sekolah. Pikiran tentang sebentar lagi masuk TK inilah yang mendorongku penuh semangat terus berlari mengimbangi langkah panjang ibu.

Hari sudah mulai gelap ketika kami akhirnya keluar di jalan besar. Tampak rumah-rumah orang berjejer sepanjang jalan. Lampu-lampu rumah sudah mulai menyala, kecuali jalanan yang masih tetap gelap.

Rasanya aku ingin memasuki sembarang rumah dan meminta sedikit air. Kerongkonganku tak kuat lagi kutahan. Kuberanikan diri bicara pada ibu, mengutarakan niat meminta air.

”Tidak usah,” ia melarang. “Sebentar lagi kita tiba.”

Kalimat tentang sebentar lagi itu rasanya setahun. Perjalanan ternyata masih panjang. Masih berupa dakian yang tak berujung. Tak ada jalanan rata, apalagi jalanan menurun sejak kami keluar di jalan besar.

Rumah demi rumah kami lewati. Mungkin belasan atau puluhan. Sebagaimana perjalanan kami sebelum keluar di jalan besar, aku masih saja selalu tertinggal di belakang ibu. Tepat di bawah satu tanjakan yang sempat kukira kalau aku harus mendakinya sekali ini lagi maka aku akan mati, tiba-tiba ibu berhenti.

Ia berpaling ke arahku, menungguku yang sedang berlari mengejarnya dan segera menangkap pergelangan tanganku. Sejenak ia menunduk lalu menatap mukaku dalam gelap.

“Apapun yang mereka tanyakan, jangan kau beritahu!”

Aku tak menjawab, bahkan untuk mengangguk pun, aku tak sanggup. Ibu menarikku masuk ke sebuah gang di sebelah kiri tanjakan. Kira-kira sepuluh meter, kami berbelok ke kanan dan memasuki sebuah pekarangan. Ibu mengetuk pintu dan memberi salam.

“Tante Lisa,” sebuah sapaan datang dari seorang anak perempuan yang membuka daun pintu bagian atas. “Dengan Nela juga ternyata,” ia berseru kaget melihatku ketika membuka seluruh daun pintu.

Kami berdiri kaku di depan pintu yang sudah dibukakan. Pergelangan tanganku masih dipegang erat ibu, padahal aku ingin segera lepas dan meminta air.

Sepupu ibu yang kupanggil Om Tom muncul ketika mendengar siapa yang datang. Istrinya dan anak-anak mereka yang lain pun berdatangan. Mereka heran dan takjub mendengar sepanjang jalan dari rumah aku hanya berjalan kaki.

Segera salah satu anaknya mengajakku ke dapur dan memberi minum. Sambil meneguk air, aku sempat ingin mengatakan bahwa sepanjang jalan aku terus berlari tanpa henti, tapi segera kutahan karena mengingat pesan ibu.

Kami ikut makan malam bersama keluarga Om Tom. Sesudah itu, aku tidur bersama dua anak perempuannya.

Menjelang tidur, aku baru teringat akan mimpiku pagi harinya. Bersama beberapa anak-anak tetangga, kami mengejar anak-anak babi yang lepas dari kandang. Nyatanya, sepanjang sore ini aku berlari mengejar ibu yang diam-diam pergi dari rumah.

***

“Kuminta kau berterus terang. Sebenarnya kalian datang ke sini dalam rangka apa?” Om Tom bertanya pada pagi hari berikutnya ketika ibu baru saja pulang dari pancuran ikut membantu para keponakannya mengangkat air.

“Tidak dalam rangka tertentu,” ibu menjawab sambil menuangkan air dari ember yang dipikulnya ke dalam drum penampung. “Hanya ingin berkunjung.”

Aku mendengar percakapan itu, tapi terus sibuk memainkan karet-karet gelangku. “Bagaimana dengan Adibu?” Om Tom melanjutkan pertanyaannya.

“Baik-baik saja dengan bapaknya,” jawab ibu terus sibuk menata ember-ember kosong.

Aku tahu ibu berbohong, tapi aku diam. Apapun yang dikatakannya bukan urusanku selama aku baik-baik saja hingga nanti tiba pendaftaran masuk TK, aku akan ikut didaftarkan.

Aku kurang ingat berapa malam kami menginap di rumah Om Tom. Satu hal yang terekam jelas dalam kepalaku adalah aku tak punya pakaian ganti sendiri selama aku berada di rumah Om Tom sehingga aku harus menyesuaikan diri dengan pakaian para sepupu perempuanku yang kebesaran.

Suatu hari ketika bangun pagi-pagi, sepupu perempuanku yang tertua menyambutku dengan satu tas kecil yang tak sempat kutengok apa isinya. Ia berpesan, nanti gantian di hari libur sekolah, mereka yang akan mengunjungiku.

Sambil mengucek mata, aku melangkah ke ruang tamu. Di sana, duduk dua orang pemuda yang kukenal berasal dari kampung kami. Di bahu mereka masing-masing tersampir selendang bahan tenunan.

“Om mau ke kampung kalian,” kata Om Tom begitu ia muncul dari ruang tengah sambil berkemas. “Ini haef* dari sana. Ada berita duka. Bukan di rumah kalian tentunya, tapi kau dan ibumu sekalian ikut saja. Kita berangkat sama-sama.”

Meski agak berat hati karena sudah harus berpisah dengan keluarga Om Tom, terutama dua anak perempuannya yang di sela-sela waktu bermain, sering mengajakku belajar mengeja huruf dan berhitung, jauh di dalam hatiku ada juga rasa girang.

Sebentar lagi kami kembali ke rumah. Tak sabar aku ingin bertemu adik dan bapak yang entahlah sedang buat apa di sana. Aku mencoba mengingat-ingat wajah adik bayiku saat terakhir kulihat sebelum meninggalkan rumah, pagi itu ketika disuruh bapak menjaganya sementara bapak pergi mencari ibu.

Dalam perjalanan pulang pagi itu, kami lebih banyak diam. Tingkat kesulitannya tidak sepayah perjalanan datang. Selalu menurun. Aku pun tak harus selalu berlari karena sesekali Om Tom menggendongku di pundaknya.

Memasuki gerbang kampung yang ditandai tugu buatan para mahasiswa yang pernah datang melaksanakan KKN, aku meminta diturunkan agar bisa berlari sendiri menuju rumah. Jalanan menurun begitu apa susahnya. Sambil berlari aku membayangkan melihat bapak berdiri di depan rumah kami, menggendong adik, serta tersenyum gembira menanti kepulangan kami.

Harapanku yang menggebu buyar seketika melihat begitu banyak orang dewasa tampak sibuk persis di halaman rumah kami. Ada yang memotong beberapa tanaman di depan rumah, ada yang mendirikan pasak, sebagian lagi menebarkan terpal, dan sisanya mengatur kursi-kursi.

Dengan rasa ingin tahu dan kepala penuh tanya, aku terus mendekat. Seseorang di antara yang sibuk itu tiba-tiba melihatku. Seketika ia melepaskan pekerjaannya. Dengan sekali gerak, ia berlari datang ke arahku.

Belum sempat aku menyadari apa yang terjadi, ia sudah meraihku dan menggendong masuk ke dalam rumah. Dari bahu orang itu, kulihat jauh di belakang sana, Om Tom memapah ibu yang sudah histeris tak karuan. Di dalam rumah itulah baru aku tahu, adik bayiku sudah terbaring kaku di tempat tidur dan sementara ditangisi bapak dari pinggirannya.

Catatan:

*Haef dalam bahasa Dawan berarti kaki. Sebutan ini kerap ditujukan khusus kepada orang- orang yang diutus pergi menyampaikan kabar suka/duka kepada sanak saudara, handai tolan, dan kenalan di berbagai tempat yang jauh dengan berjalan kaki, menunggang kuda, atau mengendarai sepeda motor.

Sebuah karya cerpen berjudul ‘Meninggalkan Adik’ oleh Anacy Tnunay yang diperlombakan dalam lomba menulis cerpen fajar pendidikan.

Sadewo Sang Penari Kethek Ogleng

0

“Adik-adik, 30 menit lagi kita akan segera tampil. Tolong dipercepat ya persiapannya!” sahut Mas Indra.

Nggih, Mas!” ujar anak-anak kompak.

“Baik, kalau begitu Mas ingin koordinasi lagi dengan panitia yang lain dulu ya. Semangat!” balas Mas Indra dengan senyum cerahnya.

Suasana pagi di salah satu ruangan di kantor Bupati Pacitan terlihat sangat sibuk dan ramai. Penata rias masih sibuk merias seorang penari lagi. Sedangkan dua orang penari lainnya masih menunggu antrian untuk ditata busananya.

“Wo! Kenapa dari tadi kamu diam saja? Kamu sakit? Biasanya juga kamu kan pecicilan,” goda Ramadi sambil tertawa mengejek. Sadewo hanya melirik kesal ke arah temannya itu.

“Eh, maaf Wo, aku cuma bercanda. Tapi kamu beneran sakit ya? Mau aku bilangin ke Mas Indra?” tanya Ramadi sedikit panik.

“Tidak perlu, Di. Aku tidak apa-apa, hanya sedikit gugup. Ini pertama kalinya aku akan tampil di acara besar dan disaksikan oleh pejabat-pejabat daerah. Aku takut tidak bisa tampil dengan maksimal,” jelas Sadewo.

“Astaga! Jadi, karena itu? Tenanglah sobat, semuanya akan baik-baik saja. Sekarang coba kamu tarik napas panjang lalu buanglah secara perlahan, seperti ini haaahhh,” ucap Ramadi sambil memeragakan teknik pernapasan agar tubuh menjadi lebih relaks.

Sadewo pun mengikuti saran dari temannya tersebut.

“Bagaimana? Sudah jauh lebih relaks kan?” tanya Ramadi memastikan.

Iyo, matur suwun yo, Di,” ujar Sadewo. Ramadi membalas dengan senyum dan anggukan kepala.

“Dewo, bisa kita bicara sebentar?” Tiba-tiba Mas Indra datang lagi ke dalam ruangan dengan raut muka yang sedikit cemas.

 Bu Guru, Tolonglah

0

Suatu hari di sekolah, “Anak-anak, buat karangan berjudul ‘Masakan Ibuku.’ Silakan mulai sekarang,” kata Bu Pungki, guru kelas 4 SD.

Para siswa mulai menulis. Salah satu siswa, Rano, menulis seperti ini:

Ibu saya sopir ojek. Tiap hari Ibu pulang malam. Kata Ibu, di jalanan sering banyak masalah. Kadang motor mogok, kadang ban motor bocor. Pernah Ibu gak dapat uang sama sekali, karena motor rusak, dan Ibu harus dorong motor sampai rumah malam-malam. Saya kasihan sama Ibu.

Ibu sering kepanasan sampai kulitnya gosong. Setiap pulang dari ngojek, rambut Ibu berantakan habis pakai helm seharian, dan badan Ibu sangat bau keringat.

Ibu bangun pagi tiap subuh. Habis itu Ibu mencuci dan mandi, lalu berangkat ngojek.

Kalau pulang Ibu pasti sudah cape banget, mana sempat masak lagi?

Ibu pernah ditabrak angkot sampai jatuh, berdarah, dan motornya penyok. Yang menabrak kabur, tidak tanggung jawab. Berapa hari Ibu tidak bisa ngojek, dan kami tidak ada uang buat makan.

Pernah ada tamu datang cari Ibu sambil marah-marah. Orangnya besar dan mukanya serem. Saya takut sekali. Katanya Ibu sudah beberapa bulan tidak bayar motor. Dia mau tarik motor Ibu.

Ibu cuma bisa bilang, “Saya usahakan Pak, kasih saya waktu, ojek lagi sepi.”

Orangnya bilang “Ini peringatan terakhir, Bu. Kalau besok tidak ada uangnya, motor saya tarik!”

Ibu kalau narik sering pakai kacamata hitam dari pagi sampai malam. Saya heran, padahal kan kalau malam gelap sekali pakai kacamata begitu?

Sekian karangan saya tentang Ibu. Beberapa hari kemudian, Bu Pungki membacakan beberapa karangan, termasuk karangan Rano.

“Riri, karanganmu bagus sekali. Wah, Ibu jadi ngiler membaca tentang sayur lodeh masakan ibumu,” kata Bu Pungki tersenyum, memuji karangan seorang siswa.

“Nah, ini ada contoh karangan yang tidak menyimak penjelasan Ibu. Rano, Ibu minta kamu mengarang tentang masakan ibumu, kamu malah cerita motor mogok dan lain-lain, yang tidak ada hubungannya. Disuruh mengarang tentang masakan, kamu malah bilang mana sempat ibumu memasak?”

“Dan, bahasamu itu, aduh kok kacau balau begitu? Pakai bahasa Indonesia yang baik dan benar dong! Perbaiki karanganmu lain kali ya? Ini pelajaran bahasa Indonesia lho. Kalau nilainya merah, kamu tidak naik kelas! Mengerti, Rano?” kata Bu Pungki, tidak sambil tersenyum.

“Ya, Bu,” Rano menjawab pelan sambil menunduk. Minggu berikutnya, kembali di pelajaran bahasa Indonesia.

“Anak-anak, sekarang Ibu minta kalian buat karangan berjudul ‘Pekerjaan Ayahku.’ Silakan mulai sekarang,” kata Bu Pungki. Semua siswa mulai menulis, termasuk Rano.

Saya sudah lupa ayah saya. Ayah saya mati waktu saya masih kecil sekali. Ibu kawin lagi sama ayah tiri saya. Namanya Projo. Saya males panggil dia ayah.

Dia gak kerja. Tiap hari kerjanya cuma ngamuk-ngamuk dan minum arak. Saya heran kok Ibu mau ya sama dia?

Dia suka bentak-bentak dan kadang memukul Ibu, apalagi kalau habis mabuk. Dia juga sering memukul saya kalau Ibu sedang tidak ada. Ibu tidak tahu. Saya tidak pernah bilang pada Ibu, karena saya diancam gak boleh ngadu oleh ayah tiri. Setiap hari saya takut pulang ke rumah.

Saya susah belajar di rumah. Rapor saya banyak merahnya. Saya malu sering ditegur Bu Guru di kelas. Saya malu karena saya bodoh dan muka saya sering bonyok dipukul ayah tiri. Kalau Ibu dan teman-teman tanya kenapa bonyok, saya jawab saja habis jatuh.

Kalau Ibu pulang kemalaman, ayah tiri pasti marah-marah. Apalagi kalau Ibu pulang gak bawa uang. Kalau dimarahi dan dipukul, Ibu pasrah saja, tidak pernah melawan. Ibu selalu suruh saya cepat masuk kamar. Dia tidak mau saya lihat dia dipukuli.

Suatu hari Ibu pulang malam sekali, berkeringat habis mendorong motor mogok. Ayah tiri seperti biasa lagi mabuk.

“Mirah, dari mana aja lu? Lu bilang kagak dapet duit? Gue perlu duit besok pagi, tau? Goblok lu, seharian narik kagak dapet duit. Lu narik apa nyeleweng sama tukang ojek laki-laki? Udah dekil, bau lagi lu!” ayah tiri terus mengamuk dengan kacaunya.

“Abang apa gak liat motor mogok? Seharian saya narik sampe dekil, bau, keringetan dorong motor tengah malem, mana kepikiran mau nyeleweng? Abang sendiri ngapain aja seharian, bukannya cari kerja buat nafkahin keluarga?“ sahut Ibu, emosi karena lelah dan dituduh seenaknya.

Ayah tiri naik pitam, mengamuk semakin gila. Dia mulai memukuli Ibu. “Rano, cepetan masuk kamar!” teriak Ibu.

Saya masuk kamar sambil menangis. Saya ingin melawan ayah tiri, tapi tidak berani.

Saya dengar ayah tiri terus memukuli Ibu. Ibu seperti biasa diam saja, tidak pernah melawan.

Besoknya Ibu ngojek pakai kacamata hitam. Saya baru tahu, Ibu pakai kacamata supaya matanya yang bengkak gak kelihatan.

Saya benci ayah tiri saya. Saya anggap dia pengecut, beraninya cuma sama perempuan dan anak kecil. Waktu Ibu dimarah-marahin tukang tagih uang motor, dia gak berani belain Ibu, malah ngumpet di kamar.

“Goblok, lu, Mirah. Bayar dong motor. Kalo motor ditarik, nanti lu mau kasih gue duit dari mana?” katanya, menyalahkan Ibu dengan tidak tahu malu, waktu tukang tagih sudah pergi. Ibu diam saja. Saya tahu Ibu tidak mau bertengkar di depan saya.

Ini saja karangan saya tentang ayah. Saya berharap yang baca ini mau menolong saya dan Ibu. Sekian.

Beberapa hari kemudian, di ruang guru.

“Aduh, minta ampun ini murid saya yang namanya Rano. Disuruh bikin karangan tentang pekerjaan ayahnya malah ceritanya ngawur ke mana-mana dan penuh kekerasan. Heran saya, anak kelas 4 kok bisa membayangkan kekerasan seperti itu? Ngeri sekali.

Anak sekarang memang kebanyakan menonton tontonan dan main game yang tidak mendidik. Belum lagi bahasanya yang kasar begitu. Dari mana dia belajar kata-kata seperti itu? Bu Rida tahu kan, Rano Sumarno?” tanya Bu Pungki pada Bu Rida, guru kelas sebelah.

“Oh, saya sepertinya tahu, Rano Sumarno yang kurus, yang sangat pendiam dan pemalu itu?” sahut Bu Rida.

“Iya, Bu Rida, benar yang itu. Yang mukanya sering bengkak seperti habis dipukuli. Sepertinya dia itu kelihatannya saja pendiam, tapi sebenarnya nakal, suka berkelahi. Kayaknya kalau parah begini, terpaksa tidak saya naikkan ke kelas 5, Bu. Ya mau bagaimana lagi, sebenarnya ya kasihan. Kita kan sebagai guru tujuannya ingin menolong siswa, tapi kalau siswanya kebangetan, ya kita terpaksa tegain,” lanjut Bu Pungki.

Minggu berikutnya, Bu Pungki kembali menyuruh para siswa mengarang, “Anak-anak, sekarang Ibu minta kalian buat karangan berjudul ‘Keluargaku yang Bahagia.’ Silakan mulai.”

Semua siswa mulai menulis, termasuk Rano. Ibu sudah tidak tahan dengan kelakuan ayah tiri. Ibu bilang, mau pisah saja sama ayah tiri. Ibu bawa saya kabur ke rumah nenek saya. Dulu kami memang sering ke sana menengok Nenek dan Kakek. Kakek saya dulu tukang kayu waktu beliau masih hidup.

Ayah tiri tahu kami kabur ke mana, dan langsung menyusul. Dia datang ke rumah Nenek marah-marah, mulutnya bau arak.

“Mirah, pulang lu. Lu kira lu bisa kabur dari gua?” kata ayah tiri yang mabuk lebih berat dari biasanya.

“Mau apa? Sana pergi, tunggu aja panggilan dari pengadilan!” jawab Ibu. “Pengadilan taik kucing! Kalo lu gak pulang, awas lu!”

Ayah tiri mendekati dan mulai memukuli Ibu.

“Projo, berhenti pukulin Mirah!” jerit Nenek ketakutan.

Ayah tiri tidak peduli, semakin keras memukuli Ibu. Saya pikir Ibu pasti mati kalau tidak ditolong. Saya ambil kursi plastik, saya pukulkan sekuat tenaga ke punggung ayah tiri.

Ayah tiri berbalik menyerang saya. Dia ngamuk dan tonjok muka saya keras sekali sampai saya mental. Ayah tiri mendekat dan mencekik saya. Saya tidak bisa napas dan leher saya sakit sekali. Saya ingin menjerit tapi suara saya tidak keluar. Saya pikir saya pasti akan mati saat itu.

Waktu pandangan saya semakin gelap karena kehabisan napas, tahu-tahu saya rasakan cekikan ayah tiri  tiba-tiba lepas. Sayup-sayup saya mendengar jeritan Ibu dan teriakan ayah tiri.

Ayah tiri jatuh karena Ibu memukul belakang kepalanya dengan palu besar milik almarhum Kakek. Dia langsung tidak sadar karena Ibu keras sekali memukulnya. Waktu dia tidak bangun-bangun sampai lama, Ibu baru tahu dia ternyata sudah langsung mati. Ibu menjerit sejadi-jadinya. Ibu tidak pernah berniat bikin dia mati.

Sesudah itu Pak RT datang. Tetangga-tetangga Nenek juga pada datang menonton. Ibu dan Nenek menceritakan kejadiannya sambil menangis. Saya juga ditanya-tanya sama orang-orang. Saya ceritakan semuanya sambil menangis juga.

Semua orang tahu ayah tiri mulutnya bau arak dan lihat muka Ibu dan saya bonyok ditonjok. Mereka jadi tahu, Ibu hanya membela dirinya dan anaknya.

Ibu lalu memanggil saya.

“Rano, kamu baik-baik tinggal sama Nenek dulu ya. Ibu mau pergi, mungkin agak lama,” kata Ibu berlinang air mata.

Ibu ternyata pergi menyerahkan diri ke kantor polisi, diantar Pak RT.

Sekian cerita saya tentang keluarga saya. Habis ini saya tidak mau datang lagi ke sekolah. Saya malu sama teman-teman dan Bu Guru. Selamat tinggal semuanya. Beberapa hari kemudian, di ruang guru.

“Bu Pungki, saya dengar, Rano berhenti sekolah? Benar, ibunya membunuh ayah tirinya?” tanya Bu Rida.

“Iya, Bu Rida, saya juga kaget sekali mendengarnya. Terlalu sekali Rano itu. Kok dia tidak pernah kasih tahu saya, gurunya sendiri? Seharusnya dia cerita dong sama saya kalau ada masalah separah itu di rumah. Saya sebagai gurunya itu kan jadi orang tuanya selama dia di sekolah? Kalau saja dia cerita, saya pasti akan tolong dia, dan tidak akan begini kejadiannya,” kata Bu Pungki menghela napas.

Tangerang, Oktober 2021.

Penulis : Petrus Setiawan

 

Tetap Sahabat

0

Kisah ini terjadi saat aku masih sekolah menengah atas (SMA) di salah satu desaku. Aku punya teman yang bernama Ana dan Dewi, mereka sudah bersahabat dari sekolah dasar, Ana bersahabat dekat dengan Dewi.

Mereka bersahabat berawal dari ibunya Dewi yang bekerja menjadi asisten rumah tangga (ART) di rumahnya Ana waktu Ana masih kecil, ibunya Dewi selalu membawa Dewi saat bekerja dan mereka bermain bersama setiap hari, sejak itulah mereka dekat dan bersahabat sampai sekolah menengah atas (SMA).

Keluarga Dewi orang tidak mampu dan ibunya Ana memenuhi semua kebutuhan Dewi dari kebutuhan sekolah maupun kebutuhan sandang.

Hingga sampai akhirnya ibunya Ana meninggal dunia karena sakit dan ibunya Dewi berhenti bekerja di rumah Ana lagi.

Saat sekolah dasar mereka beda sekolah, Dewi negeri dan Ana swasta. Mereka banyak bermain pada waktu itu daripada sekarang.

Saat waktu sekolah menengah pertama (SMP) mereka satu sekolah dan satu kelas. Mereka selalu bersama dalam sekolah maupun di luar sekolah.

Saat Dewi tidak membawa uang saku Dewi selalu ditraktir Ana makan di kantin. Saat Dewi mendapat kiriman uang dari ayahnya yang merantau di luar kota Dewi yang menraktir Ana makan.

Katanya kalo punya sahabat tapi belum pernah punya masalah belum bisa disebut sahabat. Ya, Ana dan Dewi sering punya masalah dan berantem, dari masalah salah paham maupun masalah cowok.

Ana dan Dewi sering suka sama satu cowok, pernah waktu itu Ana dekat sama cowok sebut saja Angga dan Ana lagi punya masalah sama cowoknya.

Ana minta tolong sama Dewi buat bujuk cowoknya untuk baikan sama Ana tetapi kesempatan itu dibuat Dewi buat deketin cowok Ana, ternyata Dewi suka sama cowoknya Ana dan sering cemburu kalo Ana sering jalan pulang bareng sama Angga.

Ana pura – pura tidak tahu kalo sebenarnya Dewi diam – diam menjalin hubungan di belakangnya.

Dan suatu hari Ana sudah muak dengan kelakuan mereka yang menghianatinya, Ana marah banget sama mereka dan Ana bilang sama Dewi, “Maksud kamu apa wi deketin cowokku di belakangku?” Awalnya Dewi tidak mau mengaku hingga akhirnya si Angga ngomong, “Maaf an selama ini kita menjalin hubungan di belakang kamu.”

Begitu kecewanya Ana saat Angga sendiri yang jujur padanya. Ternyata jujur itu lebih menyakitkan dan lebih baik jujur walaupun menyakitkan daripada berbohong tapi mematikan.

Si Dewi pun dibuat gelisah karena harus memilih antara cowok yang hanya membuat dirinya sebagai pelampiasan atau Ana sahabatnya dari kecil. Akhirnya setelah dipikir matang-matang Dewi memilih persahabatannya daripada cowok yang membuat dirinya hanya sebagai pelampiasan.

Mereka berdua pun baikan dan meninggalkan Angga. Ana dan Dewi sering keluar bareng, mereka selalu bersama suka maupun duka. Saat SMA mereka masih satu sekolah tapi berbeda jurusan.

Angkatan mereka bulan depan mengadakan study tour ke Bali, kelas Dewi mengadakan membuat baju angkatan dan kebetulan Dewi mendapatkan kepercayaan untuk memegang uang kelas dan Dewi mencari sablon baju yang bagus.

Setiap Dewi ingin transfer Ana sering diajak transfer uang kelas ke toko sablon baju yang kebetulan toko salon tersebut berada di luar kota. Dewi belum tahu banyak tentang toko sablon tersebut, dia hanya tergiur lewat sosial media dan Dewi untuk pertama kalinya dikasih kepercayaan untuk mengurus semua ini.

Semua uang sudah di transfer dan tinggal menunggu jadi bajunya. Dan sampai hari yang dijanjikan barang belum dikirim. Dewi didesak teman – temannya dan berkata, “Wi, kapan bajunya datang kok sampai sekarang bajunya belum datang juga?” sahut teman – temannya.

Dewi bingung harus bilang apa kalau sebenarnya pihak sablon tidak bisa dihubungi padahal uang sudah ditransfer semua. Dewi hanya bisa curhat sama Ana, dia takut kalau teman – temannya punya pikiran yang tidak – tidak terhadap dirinya.

Dan suatu hari Ana mendengar kabar dari teman sekelasnya, “Eh Ana, katanya si Dewi korupsi uang kelas ya? Katanya uangnya tidak di transfer makanya barangnya belum datang” kata teman sekelas Anna, seketika Ana bilang, “Eh kata siapa? jangan buat gosip yang tidak benar kalo tidak ada buktinya.” Kata Ana, dan teman Ana seketika diam.

Pelipurlara

0

Kimy, nama yang identik dengan sifat ceria, lucu, bahagia, pokonya sifat-sifat yang menyenangkan. Itu yang pertama kali orang-orang bayangkan ketika mendengar nama “Kimy”.

Namun berbeda dengan Kimy yang satu ini, Kimy yang penuh dengan misteri. Hoodie hitam dan headphone menjadi barang yang selalu melekat pada Kimy. Orang-orang memanggilnya dengan sebutan Mysterious Girl.

Suasana kelas 2-3 pada pagi ini lebih ramai dari biasanya. Hampir semua anak-anak membicarakan apa yang akan mereka lakukan bersama keluarga atau teman, untuk liburan seusai pembagian nilai akhir semester ini.

Ada yang merencanakan untuk berkemah, mendaki, pergi ke pantai, atau pun pedesaan, bahkan ada yang ingin pergi ke taman hiburan.

Semua tampak senang kecuali Kimy. Ia hanya duduk di pojokan kelas sambil mendengarkan musik favoritnya, hal yang memang selalu Kimy lakukan selain belajar di kelas.

Tidak banyak kegiatan yang Kimy lakukan untuk liburan. Waktu liburan hanya Kimy habiskan di rumah, pergi ke toko buku, atau sekali-kali berjalan-jalan ke taman dekat rumah. Terlihat monoton memang.

Namun berbeda dengan liburan akhir tahun ini. Keluarga Kimy berencana untuk berlibur ke kampung halaman sang ayah, lengkap bersama ibu dan adik Kimy, Yuka. Kebetulan juga mereka sudah lama tidak berkunjung ke kampung halaman sang ayah, di Desa Banjar.

Setelah menyiapkan barang-barang yang harus dibawa, mereka langsung berangkat ke tempat tujuan. Selama perjalanan, Kimy asik dengan dunianya, yaitu mendengarkan musik dan menulis di buku hariannya.

Salah satu hobi Kimy yang lainnya, yaitu menulis buku harian. Banyak hal yang ditulis oleh Kimy dalam buku harian tersebut. Dari yang sederhana, hingga yang rumit.

Buku harian, menjadi salah satu barang bagi Kimy sebagai tempat curhatnya semenjak memasuki bangku SMA. Segala keluh kesah yang ia alami di sekolah, rumah, atau sekitarnya selalu ia curahkan dalam buku harian itu.

Kimy merasa lebih percaya menyimpan uneg-unegnya di buku harian. Ada trauma tersendiri ketika ia bercerita dengan orang lain, terutama kepada seorang teman, teman sekolah.

Terkadang Kimy bercerita juga dengan orang tuanya, namun tidak banyak yang ia ceritakan. Kimy memilih untuk menceritakan semuanya dalam buku harian.

Tak terasa Kimy dan sekeluarga telah sampai di Desa Banjar. Udara yang sejuk, pemandangan alam yang masih asri, dan juga rumah-rumah warganya yang masih sederhana adalah hal yang mereka rindukan dari kampung halaman.

Apalagi rumah nenek Kimy dekat dengan sawah dan kebun yang dikelola oleh sang nenek, sangatlah cocok untuk mengistirahatkan diri dari hiruk pikuk perkotaan.

Saat sampai di rumah nenek, mereka langsung disambut dengan senang oleh nenek. Maklum, nenek sangat rindu dengan anak dan cucu- cucunya.

Seperti biasa, Kimy hanya menyendiri saja, tidak ada kegiatan baru yang menarik hatinya. Setidaknya hingga ia bertemu dengan Farhan, seorang laki-laki yang berusia sama dengan Kimy. Entah apa yang mengawali pertemuan mereka. Seakan-akan pertemuan mereka terjadi begitu saja.

Setiap pagi, Farhan selalu melihat seorang gadis asing yang sedang asik menulis sambil mendengarkan musik di ayunan, dekat dengan kebun milik sang nenek.

Pada awalnya, Farhan tidak menggubrisnya, menganggap itu bukan hal yang aneh. Namun hari demi hari rasa penasaran Farhan bertambah. Kenapa gadis tersebut terlihat seperti kesepian, seakan-akan hanya ada dirinya sendiri di dunia ini.

Dengan keberanian, akhirnya Farhan mencoba untuk menyapa gadis asing itu. Tidak lah mudah bagi Farhan untuk menyapa Kimy. Apalagi dengan sifat Kimy yang penyendiri, membuat Farhan canggung bukan main.

Kimy yang sedang asik mendengarkan musik terkejut dengan kedatangan tiba-tiba Farhan. Kimy menanggapinya hanya dengan ekspresi datar, merasa aneh ada seorang remaja laki-laki yang menghampirinya tanpa sebab.

Tak lama, Kimy pun langsung pergi dari ayunan dan langsung masuk ke rumah nenek. Farhan yang baru mengucapkan kata “Hai” langsung diam seribu kata. Hanya ada satu kata yang pas dengan kondisi Farhan pada saat itu, “malu”.

Keesokan harinya Farhan mencoba lagi, tak sekadar menyapa namun juga berkenalan. Kimy yang penasaran juga dengan remaja itu, akhirnya berkenalan juga dengan Farhan.

Setelah mengetahui nama satu sama lain, mereka mengobrol ringan. Lebih tepatnya Farhan yang lebih banyak bertanya kepada Kimy. Farhan rasa Kimy tidak semenakutkan yang ia pikirkan. Farhan lebih suka menyebut Kimy unik. Gadis pendiam yang ternyata memiliki seribu cerita darinya.

Farhan, sosok yang membuat Kimy perlahan tidak menyendiri lagi. Sosoknya yang periang, serba ingin tahu, dan juga selalu bersemangat dalam segala hal.

Bisa dibilang Farhan menjadi orang pertama bagi Kimy yang dapat merobohkan sifat kaku dan penyendirinya. Sejak pertama kali bertemu dengan Farhan, ada rasa penasaran juga dalam diri Kimy, namun ia tidak berani.

Ia hanya dapat menuliskannya dalam buku harian. Beruntungnya Farhan dapat memulai pembicaraan dan mencairkan suasana. Terkadang Kimy juga terhibur dengan lelucon atau tingkah laku dari Farhan.

Seperti saat ini, Kimy dan Farhan sedang asik bermain di pinggiran sungai dekat rumah nenek. Kimy yang awalnya tidak mau, tapi yaa bagaiamana, ia dipaksa Farhan untuk ikut dengannya.

Katanya kapan lagi bisa menangkap ikan secara langsung sambil bermain-main air di pinggir sungai. Apalagi Kimy berasal dari perkotaan, sangat sayang jika kesempatan ini dilewatkan katanya.

Selain itu, Farhan mengajak Kimy untuk merasakan bagaimana meminum air kelapa yang baru diambil dari pohonnya. kelapa langsung dari pohonnya. Ya walaupun Kimy tidak ikut memanjatnya. Itu terlalu menakutkan bagi Kimy. Ia hanya menunggu di dekat pohon kelapa.

Selama berkenalan dengan Farhan, Kimy mendapatkan banyak hal yang begitu berarti. Farhan mengajarkannya rasa bersyukur dengan apapun yang kita miliki. Lalu dari Farhan juga Kimy belajar untuk memaafkan.

Memaafkan orang lain dan diri sendiri. Kemudian hal yang paling utama adalah jangan jadikan masa lalu menjadi belenggu bagi dirimu sendiri. Masa lalu memang lah menjadi bagian dari hidupmu, namun jangan jadikan itu menjadi penghalang untuk maju.

Kimy akui, ia sangat beruntung bisa berteman dengan Farhan. Selain Kimy, kedua orang tua Kimy dan nenek ikut senang juga dengan perubahan yang Kimy alami.

Ia menjadi sedikit lebih terbuka daripada sebelumnya, tidak memendam masalah sendiri. Tak terasa, hari ini menjadi hari terakhir Kimy berada di desa. Sebenarnya Kimy ingin mengucapkan perpisahan kepada Farhan, namun pada hari Farhan tidak terlihat melewat depan rumahnya.

Kata orang rumah, Farhan sedang ke kota ikut mengantarkan hasil perkebunan. Sedih memang tidak bisa mengucapkan salam perpisahan. Akan tetapi Kimy berharap ia dapat bertemu lagi dengan Farhan dikemudian hari. Dengan cerita-cerita yang lebih menarik tentunya.

Penulis : Dinan Haryadi

Kesetaraan

Aku tinggal di sebuah desa di mana anak lelaki lebih hina dari anak perempuan. Anak perempuan bisa melakukan apa pun, sedangkan anak laki-laki harus bekerja untuk menghidupi perempuan.

Semenjak kepala desa mencetuskan perempuan harus dimuliakan, surga di bawah telapak kaki ibu-perempuan, semua orang menghormati perempuan.

Mereka tidak sadar, ada perbedaan mencolok antargender. Bukan dari tonjolan di leher atau gunung di dada, tapi di derajat.

Di desa ini, hanya perempuan yang boleh mengeyam pendidikan. Mereka bisa menjadi apa pun, sementara laki-laki harus menjadi petani atau peternak.

Jika nekat melewati batas, anak laki-laki akan dikucilkan, tak jarang menjadi target ritual menyakitkan yang bisa membuat jera ingin sekolah.

Jika ingin berhasil, maka harus diam-diam ke kota. Setelah mendapatkan apa yang ingin didapatkan, jangan kembali dari sana.

Aku adalah salah satu anak yang menyadari betapa tidak adilnya hidup para laki- laki di desa itu. Untunglah nasibku mujur hingga aku bisa bersekolah, menyandang status Sarjana Pertama pada bidang Keagamaan.

Anak-anak lain tak seberuntung diriku, mereka hanya berhasil pergi dari desa beberapa kilometer.

Aku bersembunyi dengan kotoran ayam memenuhi wajah, agar orang-orang yang merazia perbatasan segera melewatkan mobil pick-upberisi jerami dan kandang-kandang ayam impor tempatku bersembunyi.

Sekarang aku kembali, dan bekerja sebagai guru mengaji.

Tuhan, Bolehkah Aku Memeluk-Mu Sekarang?

0

Zea Shezan Mahasin adalah seorang gadis berusia 17 tahun yang memiliki mimpi dan cita-cita yang besar. Namun karena lingkungannya yang sangat tidak mendukung membuatnya susah untuk mewujudkan mimpi dan cita-citanya itu.

Zea, sapaan akrabnya, dengan mimpi besarnya yang sangat ingin menjadi penulis. Ia ingin menjadi penulis yang bisa memberikan hal positif pada banyak orang. Ia ingin tulisannya itu bukan hanya dibaca oleh orang-orang tapi Zea ingin tulisannya itu bermanfaat untuk orang banyak.

Namun saat ini, Zea merasa tertekan, sangat susah rasanya untuk Zea berkembang. Ditambah penyakit yang dideritanya juga tak kunjung sembuh. Membuat Zea semakin down.

Dikarenakan penyakitnya, Zea terpaksa tidak melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah. Ia harus fokus pada kesembuhannya dulu.

“ Untuk sekarang, Zea harus fokus pada kesembuhan Zea, soal kuliah nanti kalau Zea sudah sembuh,” Ucap Lina Ibu Zea.

Zea hanya menghembuskan nafasnya kasar. Mau tidak mau ia harus menuruti kata Ibunya. Meskipun Zea sangat ingin melanjutkan pendidikannya tahun ini bersama sahabat- sahabatnya di Universitas yang selama ini ia dambakan.

Setiap hari Zea hanya menghabiskan waktu di dalam kamarnya. Duduk di depan komputer menulis banyak cerita dalam komputer miliknya. Sesekali pergi berobat dan mengecek kesehatannya.

Dalam kesehariannya, Zea kadang merasa bosan dengan kegiatannya yang itu-itu saja. Ia ingin melakukan banyak hal, ingin melakukan banyak akivitas. Tapi selalu mendapat larangan dari sang Ibu, dengan alasan belum pulih.

“ Tunggu sampai Zea benar-benar sembuh. Ini untuk kebaikan Zea juga,” ucap Ibunya lembut.

Sebenarnya Zea bosan mendengar kalimat itu. Setiap kali ingin melakukan kegiatan diluar rumah Zea selalu mendapatkan larangan dari sang Ibu.

Sampai pada akhirnya Zea bertemu dengan sosok perempuan yang kisah hidupnya sama dengannya. Namanya Zahira. Awal perkenalan Zea dengan Zahira berawal dari Facebook sampai pada akhirnya lanjut ke WhatsApp.

Seiring berjalannya waktu, Zea dan Zahira semakin akrab, keduanya tak sungkan untuk bertukar kisah. Sampai pada akhirnya Zahira mengajak Zea untuk bertemu pada sebuah kajian yang tak jauh dari kediaman Zahira. Tanpa menolak Zea menerima tawaran Zahira.

Merekapun bertemu. Tampak diraut wajah Zea begitu senang saat bertemu Zahira, sosok yang selalu menyemangatinya, mendengar curhatan-curhatannya, bahkan sudah seperti saudara Zea sendiri.

“ Ze, senang rasanya bisa bertemu kamu, semoga kita bisa jadi sahabat sampai ke Jannah-nya,” Ucap Zahira.

“Iya Ra, beruntung rasanya punya sahabat kek kamu, bisa nerima dan ngertiin aku.

Aku berharap semoga gak ada konflik antara kita.” Ucap Zea diiringi kekehan kecil.

2 TAHUN KEMUDIAN

Zea sudah sembuh dari penyakitnya, dan mendapat tawaran dari sang Ibu untuk melanjutkan pendidikannya di bangku kuliah. Awalnya Zea merasa ragu, karena sudah terlalu lama berdiam diri dirumah, namun karena untuk mewujudkan mimpi dan cita-citanya, Zea menerima tawaran sang Ibu. Meskipun bukan pada Universitas yang selama ini Zea dambakan.

Sedangkan Zahirah, sudah mendaftar tahun lalu. Rencana awal, Zea dan Zahirah sepakat untuk daftar kuliah sama-sama. Namun karena Zea belum mendapat izin dari kedua orang tua, akhirnya Zea membiarkan Zahirah untuk daftar kuliah lebih dulu.

Flashback

“Gak papa Ra, daftar duluan aja, In Syaa Allah nanti Zea nyusul,” Ucap Zea terlihat

tegar.

“ Tapi Zea harus janji, daftar kuliahnya di kampus yang sama dengan Irah,” Jawab

Zahirah yang dibalas anggukan kuat oleh Zea.

Flashlight

Setelah melewati beberapa tahapan dan seleksi, Zea dinyatakan lulus. Berkat dukungan dari kedua orang tua dan kekasih Zea, Zea pun diterima di salah satu Universitas yang lokasinya tak jauh dari kediamannya.

Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Zea pun semakin sibuk dengan kuliah ditambah organisasi yang kini digelutinya.

Setahun berlalu Zea menduduki bangku kuliah, tak jarang ujian dan cobaan datang silih berganti. Ditambah hubungannya dengan Zahirah sekarang tidak terlalu baik dikarenakan kesalahpahaman antara Zahirah dengan kekasih Zea, Aslan.

“ Aku gak suka kamu berteman lagi dengan Zahirah, dia sudah mencuci otak kamu sampai-sampai kamu berubah, gak kayak dulu lagi,” Bentak Aslan kekasih Zea.

Zea dan Aslan sudah menjalani hubungan hampir 5 tahun, sejak mereka masih duduk dibangku SMA. Namun, sekarang hubungan mereka tidak baik-baik saja, dikarenakan Aslan terlalu possesive pada Zea.

Sebenarnya Zea tidak berubah, bahkan perasaannya pada Aslan pun tidak pernah berubah, hanya saja Aslan terlalu cemburuan dan terlalu possesive pada Zea.

Itulah yang membuat Zea merasa tertekan, ia tidak bisa melakukan apa yang ingin ia lakukan karena selalu mendapat larangan dan tekanan dari Aslan.

Bahkan, sekarang Zea kembali down karena tekanan dari Aslan. Mentalnyapun sudah tak sekuat dulu. Dan penyakitnya yang telah sembuh, kini kambuh lagi. Zea terlalu terbebani dengan fikirannya. Rambut Zea pun semakin hari makin menipis.

Zea merasa capek, ia lelah dengan semuanya. Banyak hal yang ingin ia lakukan, ada mimpi yang ingin ia wujudkan, tapi tekanan dari Aslan membuatnya menyerah dan patah semangat, ditambah lagi berbagai ujian lainnya yang semakin membuatnya terpuruk.

Sampai pada akhirnya Zea berfikiran untuk mengakhiri hidupnya, karena tak ingin mengorbankan dan merugikan banyak orang.

“ Cukup sekali Zea kehilangan sahabat Zea, sahabat yang sangat Zea sayangi,” Ucap Zea pilu.

Zea mulai melangkahkan kakinya menaiki pembatas jembatan, dan…..

“ Tuhan, bolehkah aku memeluk-Mu sekarang?.” Batin Zea…..

Penulis : Akilla Fadia Haya