Getaran Suara Adzan

Aku ragu dalam dekapan jemari kelabu. Abu – abuku penuh peluh. Dia yang ku ceritakan dalam kisah ini menaruh ragu dan menyusup dalam hati. Apalah aku jika dibandingkan dengan wanita – wanitanya itu?

Aku hanya wanita biasa dengan tinggi yang tak semampai dan tak begitu cantik pula. Bermimpi mencintai seorang pangeran jawa, ia bernama Aldeon. Aku menyebutnya pangeran jawa karena ia tampan dengan kulit sawo matangnya itu. Ia manis dengan perawakannya yang lebih diatasku. Dan ia menarik dengan suara adzannya yang terkenal dengan kemerduannya itu.

Ia istimewa dengan rindang pepohonan yang meneduhkanku. Bohong kalau aku tak merasa terpana. Walau hanya sebatas telfon saja aku sudah merasa mencintanya.

- Iklan -

Ah, pangeran jawa adalah julukanku untuknya. Tentu saja itu adalah julukan diam – diam tanpa diketahuinya. Bisa habis rasa maluku kalau dia sampai tau jika aku mencintainya. Mungkin aku bisa menceritakan kisah singkat ini, tanpa sepengetahuan pangeran jawa tentunya.

Tanggal 6 September 2019,

Aku scroll WA grup kampus, katanya hari ini adalah hari pertama fakultas mengadakan malam keakraban. Aku deg – degan, aku takut kalo dikira anak udik. Walaupun nyatanya aku berasal dari udik.

Aku masuk kedalam Gedung Hotel bersama temanku yang bernama Prasetyo, dia biasa aku panggil Pras. Biar lebih singkat saja, hehe. Aku dan Pras memasuki Gedung Hotel itu yang di kanan kiri pintu masuknya terdapat patung ayam jago dengan ukuran remaja berumur lima belas tahun. Pras dan Aku berpakaian batik dan bawahan berwarna hitam. Bisa dibilang, pakaian kita cocok, seperti halnya sepasang kekasih.

- Iklan -

Aku melangkahkan kaki kedalam lift untuk bisa ke lantai yang dituju. Kating mengatakan bahwa aku harus ke lantai lima. Lantai yang cukup tinggi untuk ditempuh dengan menaiki tangga manual.

“Pras, nanti kamu duduk sama siapa? Duduknya sama aku aja yah? Biar aku gak sendirian.”

“Iya, aku duduk sama kamu. Emangnya mau duduk sama siapa lagi?” “Ya mana tau kalo kamu mau duduk sama yang lain.”

- Iklan -

“Ngga, aku mau duduk sama kamu. Tapi kalo kamu duduk sama yang lain yo mending aku sama yang lain juga.” Sahut Pras. Aku termangu mendengar ucapannya itu. Ia mengucapkan itu tanpa beban sedangkan aku  menanyakan pertanyaan itu dengan penuh kekhawatiran.

Setelah sampai di lantai lima, aku menuju loket pendaftaran untuk mendapatkan absensi dan sebuah kaos almet. Kaos itu berwarna navy dengan ukuran L yang tentunya masih kebesaran dibadanku.

“Cha, kamu pilih tempat duduk dulu yah. Nanti aku nyusul. Kayaknya aku masih lama ini antri pendaftarannya.” Ucap pras sembri menengok antrian yang begitu Panjang.

Aku yang berdiri disampingnya sembari menunggu Pras untuk bisa mengambil kaos almet itu.

“Ya udah. Tapi beneran nyusul yah? Biar aku ga sendirian nanti.”

Pras menganggukkan kepala dengan yakin, setelah itu aku melesat menuju pintu megah yang tingginya hampir menyamai Gerbang Rumah Nenekku. Karena pintu terbuka, kulihat sejenak isi didalamnya. Sudah banyak orang ternyata. Dengan segera aku memilih tempat duduk ditengah yang letaknya berada dibelakang nomor tiga.

Aku duduk menghela nafas pelan, dengan harapan semoga Pras menepati ucapannya.

Ting!

Ponselku berbunyi, notifikasi WA dari Pras muncul di layar handphoneku.

“Ada dimana Cha? “tanya Pras
“Aku ada di bangku nomor 3 dari belakang”, balasku
“Oke, Cha. Tunggu yaa” balas Pras padaku

Setelah itu tak ada balasan chat lagi darinya. Aku celingukan melihat sekitar, ingin mencari perawakan Pras. Aha! Aku menemukannya. Dia mendekat ke arahku.

“Hai cha. Aku sama kamu lagi kan?” Sahut Pras dengan tawa kecilnya itu. Entah ia menertawakan apa.
“Pras lama banget sih ngambil kaos almetnya. Kan Chacha nungguin. Lama banget loh.
Hampir lima belas menit.”
“Sabar Cha, kan tadi ke toilet dulu. Trus kudu antri dari belakang lagi deh.” “Harusnya ke toiletnya ditunda, Pras. Biar Chacha gak nunggu lama.”
“Iya – iya. Maaf yah Chacha.” Aku diam tak menanggapi ucapan Pras karena tiba – tiba Kating berkata bahwa aku harus duduk didepan. Kursi depan tak ada yang mengisi dan kursi belakang sudah penuh. Jadi mau tak mau aku harus pindah ke belakang. Acara makrab hampir dimulai. Satu persatu kursi telah terisi penuh.

“Hai, boleh ga aku duduk disini?”

Aku menoleh ke samping, ada seorang wanita berkulit sawo matang, dengan wajah manis berdiri sembari tersenyum. Aku membalas senyumannya. “Boleh”

“Hai nama aku geta. Nama kamu siapa?”
“Ah, Geta. Nama aku Chacha. Dan ini temen aku namanya Pras.”

Sahutku sembari mengenalkan Pras padanya. Aku berbincang dengannya sebentar dan fokus lagi ke depan karena acara sudah dimulai.

assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh. Perkenankanlah saya Shepia Wahyuni sebagai MC dalam Acara Makrab Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Tangerang. Sebelumnya, saya ucapkan selamat memasuki dunia baru dan hari baru. Karena mulai besok kalian adalah mahasiswa…”

Sambutan MC terdengar menggema diseluruh Aula Hotel ini. Ia terlihat professional dan terlatih ditambah lagi dengan pathner MC – nya yang terlihat sepadan dengannya.

Acara makrab berhenti sewaktu adzan magrib berkumandang. Aku dan Pras menyegerakan sholat magrib. Aku berdiri dari kursi dan mengajak Pras untuk keluar dari Aula Hotel itu menuju lift yang berada tak jauh dari aula.

“Mas, tempat sholatnya ada dimana ya?” Tanyaku Ketika ada seorang berpakaian layaknya pegawai hotel itu.

“Aa dilantai dasar mbak.” “Oke mas, terima kasih ya.”

Aku dan Pras menuju lantai dasar. Setelah sampai disana, aku wudhu dan memandang ruangan musholla ini yang sudah dipenuhi dengan jamaah laki – laki serta perempuan. Ada beragam manusia disini. Mulai dari orang yang berparas manis, hingga orang yang berparas biasa – biasa saja. Mereka ada disini, bergantian memakai mukena untuk sholat. Jamaah yang ada didepan didominasi dengan jamaah laki – laki, eh ralat bukan didominasi tapi memanglah disitu adalah jamaah laki – laki semua.

Searah jarum jam 10, ada seorang laki – laki berperawakan tinggi dengan badan kekar dan berkulit sawo matang. Menutup telinga sebelahnya sembari menyenandungkan panggilan tuhan. Suara merdunya itu, mengingatkanku akan seseorang yang aku cintai dahulu. Aku mengira yang menyenandungkan panggilan tuhan adalah dia. Ternyata salah.

Itu adalah orang lain yang tak ku ketahui Namanya, saat itu. Aku terpana dalam lambaian asmara. Kata mereka, aku jatuh cinta pada pandang pertama. Apakah benar?

Ah, tidak mungkin. Mungkin saja aku terlalu berkhayal. Aku terlalu banyak mengelak hari ini. Lambaian asmara memanggilku kemari. Seolah memberitahuku bahwa dia adalah Aldeon. Seorang lelaki yang aku juluki Pangeran Jawa.

Ya, dia adalah Aldeon. Seorang lelaki yang kukira takkan bisa menggantikan lelaki yang aku cintai dahulu. Namun, aku salah. Dia, Aldeon adalah lelaki yang berhasil menjatuhkan hatiku sejatuh – jatuhnya. Dari pertemuan pertama yang tak dapat disangka itu, kami bertemu dan dipertemukan kembali dua tahun kemudoan di sebuah ruko yang sedang tutup karena hujan badai dengan disertai angin kencang. Suaranya sayup – sayup terdengar di telingaku.

“Mbak, maaf. Anak FHUMT ya?”

Aku menoleh ke arahnya sembari mengernyitkan dahi. Aku sungguh tak tahu dia siapa. Dia terlihat seperti orang yang sudah berumur. “iya. Tau dari mana?”

“Aku Aldeon.”

sebuah karya cerpen berjudul ‘Getaran Suara Adzan’ oleh Lindarica Novyanty yang diperlombakan dalam lomba menulis cerpen fajar pendidikan

- Iklan -

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU