Sebuah Dongeng Perpisahan

“Berapa bulan ni udah?”

“Nggak yakin, tapi kayanya tiga bulan.” Brisia menatap resah ke mata kakak laki- lakinya itu.” Dan sekarang dia mau ke sini,”

Ian membulatkan matanya. “Serius lo? Bokap nyokap gada lagi,” ucapnya lebih panik dari adiknya. Ian yang baru kembali dari dapur kini harus pergi lagi ke sana guna meminum segelas air. Entah kenapa ia lebih gugup.

- Iklan -

Ternyata rasa panik Ian –yang tak jelas sebabnya– ikut merambat pada Brisia. Gugupnya bertambah mengingat selama tiga bulan ini sepasang kekasih itu seperti orang asing. Komunikasi terputus, Brisia juga sudah jarang ke rumah bunda Nathaniel, dan semua itu bermula sejak Brisia membicarakan syarat yang diajukan papanya pada Nathaniel.

“Kamu ragu sama aku?”

Brisia menggigit bibir bawahnya, mengalihkan pandangannya dari Nathaniel. Ia tak sanggup menatap mata lelaki itu. “Please, Nath. Cuman periksa. Kalo hasilnya baik itu nggak masa—“

- Iklan -

“Kalo nggak? Kalo hasilnya sebaliknya?” Suara itu terdengar putus asa. Nathaniel meraih kedua bahu Brisia, memaksanya untuk melihat ke dalam matanya. “ Jawab Brisia.” tanyanya penuh tekanan. “Setelah enam tahun kita bareng, terus harus pisah karena syarat ga jelas dari papa kamu?!”

“Nathaniel!!!” Air mata yang susah payah ditahan perempuan itu sedari tadi, luruh begitu saja. “Tolong pahami, aku sakit, Niel, dan kamu tahu. Kamu tahu konsekuensinya kalo ternyata kamu juga pengidap.”

Nathaniel melepaskan cengkraman tangannya di bahu Brisia. Memandang ke depan.

- Iklan -

Kosong. “Kenapa baru sekarang?”

Brisia menghapus sisa-sisa air matanya. Ragu, ia meraih tangan besar Nathaniel. Mengusapnya lembut dan meninggalkan satu kecupan di sana. “Papah bilang, setelah menikah dan punya anak, segala hal tentang anak adalah prioritas. Nggak ada seorang anak pun yang mau dilahirkan dalam keadaan sakit.”

Lelaki itu, dengan setengah kesadaran yang hilang entah kemana, meninggalkan satu kecupan panjang pada telapak tangan Brisia. “Kalau memang udah takdirnya?”

“Bukan tentang takdir. Ini sama aja kita egois sebagai calon orang tua, tega ngebiarin seorang anak lahir dalam keadaan kurang menyenangkan buat dia.” Brisia mengusap pucuk kepala Nathaniel. “Bahkan ada yang nggak bertahan hidup lama ” ucapnya pelan.

Nathaniel memejamkan matanya erat, setetes air mengalir dari sana. “… kasih aku waktu.”

Suara bel yang menggema ke dalam rumah, berhasil menarik Brisia dari lamunannya. Dengan langkah tergesa-gesa dan dada yang berdebar ia membuka pintu itu. Kedatangan Nathaniel selalu menjadi hal yang istimewa. Wangi, rapi, dan selalu tersenyum manis saat Brisia yang membuka pintu.

Baca Juga:  Kisah Nabi Ibrahim Bersama Sarah

Tapi yang dilihat Brisia kini bahkan tak pernah ada di ingatannya. Rambut panjang yang belum dipotong, kumis tipis yang memenuhi area sekitar wajahnya, serta torehan hitam yang memenuhi bawah matanya. Tanpa sadar tangan Brisia terulur menyentuh titik di antara kedua alis lelaki itu, membuat gerakan memijat kecil di sana menggunakan ujung jarinya. Nathaniel terpejam, selalu menikmati hal-hal kecil yang diberikan oleh perempuan itu.

“Ayo masuk,” ucap Brisia. Nathaniel membuntuti langkah Brisia seperti anak ayam. “Tunggu, ya, aku buatin teh hangat dulu.”

Baca Juga:  Kisah Nabi Ibrahim Bersama Sarah

Namun, teh hangat bukanlah yang lelaki itu inginkan sekarang. Nathaniel menggeleng, ia menepuk-nepuk sisi sofa panjang yang kosong, meminta supaya Brisia duduk di sana. “Boleh aku peluk?”

Sebelum Brisia menjawab, Nathaniel sudah terlebih dahulu memeluknya. Erat, sangat erat. Sampai sakit rasanya. Setelah itu Brisia merasakan cairan hangat membasahi area lehernya. Ada apa dengan Nathaniel malam ini?

Brisia mengusap kepala Nathaniel mencoba menenangkan dirinya. “Apa kabar, Niel?” tanyanya.

Tak ada suara terdengar, hanya gelengan kepala sebagai responnya. Lama mereka berada dalam posisi itu. Nathaniel tak mau menghentikan tangisnya meski Brisia meminta. Yang tak diketahuinya adalah Nathaniel sudah bertekad jika sedih dan rasa sakitnya harus habis malam itu juga dalam pelukan wanitanya.

“Kamu sayang aku?” tanya Nathaniel serak. “Kamu tahu jelas jawabanya,”

“Aku ada thalasemia minor.”

Brisia memejamkan matanya erat. Tangis yang ia tahan sedari tadi kini pecah jua tanpa bisa dicegah. Ia sudah menduga dari perilaku tak biasa Nathaniel malam ini. Namun entah kenapa tetap sakit rasanya. Mimpi-mimpinya bersama Nathaniel yang sudah ia susun sejak kekasihnya itu melamar, kini semua runtuh tak berbentuk.

Di sela-sela tangisnya Brisia berkata. “It’s okay. Nggak papa ya, harus ikhlas.”

Dua insan yang saling mencinta harus merelakan hati. Karena generasi yang sehat merupakan visi mereka berdua. Jika sudah begitu perpisahan adalah jalan terbaik yang bisa mereka ambil walau harus mengikhlaskan perasaannya sendiri.


Penulis : Nabila Farkhatus Salehah


- Iklan -

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU