Ajari Aku Mencintaimu

Terdengar ketukan di pintu kamar. Pasti Mas Bima membangunkanku untuk salat Subuh berjamaah. Sudah satu minggu ini kami tidur terpisah, setelah kejadian yang tidak sengaja terjadi malam itu.

Saat aku tengah berganti pakaian, tanpa sengaja Mas Bima masuk ke kamar tanpa permisi. Sebenarnya itu juga kesalahanku, karena lalai tidak mengunci pintu. Hal itu menyebabkan kemarahanku memuncak, dan aku memutuskan untuk tidur terpisah.

Namun, Mas Bima tetap membangunkanku setiap hari untuk salat berjamaah. Tanpa sadar, mataku berkaca-kaca. Betapa sabar dan tabahnya hatimu, Mas.

- Iklan -

“Dek, apakah sudah bangun? Ini sudah siang, lho, nanti ketinggalan salat Subuh,” suaranya terdengar dari arah pintu.

Kepala yang terasa berat, membuatku tak sanggup bangun. Hanya lenguhan sedikit keras yang sanggup aku keluarkan. Tubuhku sakit dan terasa sangat panas, dengan keringat yang terus mengucur dari badanku. Bahkan, kini kening dan leherku terasa basah oleh keringat.

Terdengar pintu dibuka setelah dia meminta izin padaku. Derap langkahnya cepat sekali, saat melihat aku masih meringkuk berselimut tebal.

- Iklan -

“Kamu kenapa, Dek. Kok, jam segini masih tidur?” tanyanya dengan sangat hati-hati. Bahkan jarak dia berdiri dengan ranjangku, dia jaga benar-benar. Aku hanya terdiam, tanganku sibuk membetulkan letak selimut yang melorot. Tubuhku semakin menggigil. Rasanya sudah tidak tahan lagi dengan rasa dingin ini.

Aku merasa ada tangan besar yang menyentuh keningku. Terasa dingin dan lembut. Mungkin karena habis terkena air wudu. Aku memejamkan mata rapat-rapat. Setelah sebulan menikah, baru kali ini aku bersentuhan selain setelah akad nikah. Ada getar aneh yang aku rasakan.

Hatiku terasa sejuk, meskipun badan terasa remuk.

- Iklan -

“Badanmu panas sekali, Dek. Kamu demam,” ucapnya dengan rasa panik. Tanpa menunggu lama, Mas Bima keluar kamar dan kembali dengan baskom dan waslap di tangan. Dengan cekatan tangan besar itu memeras waslap dan meletakkannya di keningku. Tidak cukup sekali, bahkan berulang kali.

“Kita ke dokter, ya, Dek. Aku takut kamu kenapa-kenapa,” ucapnya seraya mengganti kompres yang sudah agak kering.

Aku terdiam, air mataku luruh tanpa bisa aku tahan lagi. Lelaki pilihan Bapak dan Ibu ini ternyata pria paling baik. Bahkan tidak ada sedikit pun dendam, meskipun kemarin aku telah memakinya.

Sungguh, seluruh tubuhku ini bukankah sudah menjadi haknya. Namun, mengapa hanya dilihat tanpa sengaja, membuatku menjadi sangat marah dan memilih pisah ranjang. Betapa besar dosaku padanya. Apakah masih ada maaf, untuk seorang isteri seperti aku ini?

Aku terisak. Tanpa bisa kucegah, air mataku menderas seolah hujan di bulan September. Mulutku kelu tanpa bisa berucap sepatah kata pun. Hanya tatapan mataku yang tidak bisa lepas dari wajah teduh milik suamiku.

“Maafkan aku yang sudah berani menyentuh keningmu, Dek. Aku tidak bermaksud tak sopan, tapi demammu ini sangat tinggi. Jadi, harus di kompres untuk sedikit menurunkannya.” Suamiku berkata dengan tertunduk dalam. Ada rasa penyesalan terlihat dari tutur katanya. Dan itu mampu meruntuhkan tembok keangkuhanku.

Aku menangis kencang, berusaha bangkit untuk menggapai tubuh tegap itu. Aku ingin memeluknya sebagai tanda baktiku. Aku ingin dia mengajariku, bagaimana cara agar aku bisa mencintainya.

Aku mendekap tubuh tinggi tegap itu dengan erat. Menangis tersedu di dada yang bidang itu. Kurasakan tubuh Mas Bima membeku.

“Aku antar ke dokter, ya, Dek. Biar panas tubuhmu di obati,” ucapnya, setelah kami agak lama berdiam diri.

Aku terdiam, pelukanku semakin erat. Aku merasa tubuhku baik-baik saja. Kupejamkan mata untuk menikmati hangat tubuh suamiku. Kurasakan tangan besar itu mengelus puncak kepalaku, mengelus punggung, dan berakhir saling memeluk. Ada setetes air mata jatuh di pipiku. Aku terpaku, Mas Bima menangis.

“Maafkan atas semua kesalahanku, Mas. Aku isteri yang tak pantas untuk mendapatkan kasih sayangmu,” ucapku seraya memandang matanya.

Ada senyum terukir di sela-sela bibir tipisnya. Air mata meleleh membasahi pipi putih nan bersih itu.

“Aku yang salah sudah meminangmu tanpa meminta izin terlebih dulu. Aku yang pengecut, karena berani mencintaimu secara diam-diam. Maafkan bila aku bukan lelaki idaman buatmu,” katanya dengan mengelus lembut pipiku.

Kembali aku memeluknya, kali ini lebih erat lagi. Aku tidak mau berpisah, apalagi menjauh darinya. Aku akan berusaha untuk menumbuhkan rasa cintaku mulai saat ini.

“Ajari aku mencintaimu, Mas. Seperti engkau yang mau belajar mencintaiku, meskipun aku tak pernah tahu.”

****

Banjarnegara

Penulis : 

Mujiani Ara
- Iklan -

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU