Bangsa dalam Lingkaran Bencana

(Memahami Musibah dari sudut Agama dan Sains)
Oleh: Barsihannor (Dosen UIN Alauddin Makassar)

FAJARPENDIDIKAN.co.id – Indonesia meratap; Kalsel menangis, Sulbar berduka, korban jiwa berjatuhan, ribuan orang luka-lukan dan puluhan ribu lainnya mengungsi dan kehilangan harta benda. Seorang sahabat bertanya lirih: ”Ust… kenapa bangsa ini selalu mengalami bencana? Apa ada kaitannya dengan perilaku kita?”.

Pertanyaan ini cukup menggelitik. Apakah gempa, banjir, longsor atau musibah lainnya ini berkaitan dengan dosa? Jika ya.. kenapa Tuhan menimpakan bencana ini juga kepada orang-orang yang tidak berdosa seperti anak-anak yang terjepit meregang nyawa di bawah reruntuhan gedung?

- Iklan -

Sebagian ustadz menghibur dengan mengutip firman Allah dalam Q.S. Al-Baqarah (2): 282 yang artinya ”Allah tidak membebani kepada seseorang kecuali atas dasar kemampuannya”. Benarkan ayat ini ditujukan kepada orang yang terkena musibah seperti gempa, banjir, longsor? Bukankah mereka mengalami trauma bahkan stress serta tidak sanggup menghadapi kenyataan musibah yang terjadi.

M. Qurasih Shihab menyatakan ayat yang sering dipakai para muballigh itu sebenarnya lebih ditujukan untuk persoalan ibadah. Tuhan tidak membebankan kepada seseorang pelaksanaan ibadah kecuali atas dasar kemampuannya. Misalnya, jika tidak sanggup shalat berdiri, dia cukup duduk, jika tidak, dia dapat berbaring, dst. Jika tidak mampu puasa, dia dapat membayar fidyah atau mengganti di hari lainnya. Jika tidak sanggup berhaji, jangan dipaksakan, demikian pula pelaksanaan ibadah-ibadah lainnya.

Memahami musibah dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu; Pertama, teologis dan, kedua, sains-modern.

- Iklan -

Pertama, Teologis

Semua bencana yang terjadi di atas permukaan bumi ini merupakan hamparan teks firman Tuhan untuk dibaca bagi mereka yang memiliki akal-budi. Kalimat Tuhan tidak hanya tertulis di dalam kitab-kitab suci, tetapi terbentang melalui segenap kejadian yang ada di hadapan mata manusia.

Musibah ini memberikan pendidikan kepada masyarakat agar senantiasa tetap waspada terhadap segala bencana. Sejumlah daerah termasuk Sulawesi Selatan yang boleh jadi diangap ”aman” bagi warganya bukanlah jaminan mutlak daerah itu steril dari kerusakan dan kehancuran. Renungkanlah firman Allah berikut: Maka apakah kamu merasa aman bahwa Dia tidak akan membenamkan sebagian daratan bersama kamu, atau Dia meniup angin keras sedangkan kamu tidak mendapat perlindungan (Q.S. al-Isra: 68)

- Iklan -
Baca Juga:  Pilpres Curang, Pemilu Buruk, Quo Vadis Indonesia?

Sudah menjadi hukum alam dan hukum sejarah yang ditetapkan Tuhan bahwa pribadi yang mau tumbuh dan berkembang kuat mesti dihadapkan lebih dahulu dengan sejumlah problem dan hambatan agar seseorang atau bangsa dipaksa untuk menggali potensi yang masih tersembunyi.

Tragedi atau musibah merupakan proses metamorfosis untuk meraih kualitas yang lebih baik, seperti kepompong yang berproses hendak menjadi kupu-kupu yang kemudian dapat menikmati indahnya udara, dan taman bunga. Orang yang tidak mampu melihat secara jernih terhadap hukum pertumbuhan dan tidak berpegang kepada hukum sebab-akibat, akan sangat mudah kehilangam visi dan energi hidup.

Deretan tragedi kemanusiaan yang terjadi di negara kita merupakan pembelajaran Tuhan melalui sabda-sabda alamnya. Ibarat sebuah sawah, negeri ini sebenarnya sedang ”dibajak” oleh penggarap sawah, agar tanahnya subur sehingga dapat menghasilkan sejumlah tanaman. Gempa, banjir, dan longsor mengajak kita untuk kembali saling mengingatkan, introspeksi diri dan berusaha agar Tuhan senantiasa tersenyum. Jangan sampai pikiran, perilaku dan tindakan kita sebagai anak bangsa keluar dari garis orbit dan nilai fitrah yang Tuhan tetapkan.

Kedua, Sains-Modern

Pada tahun 1912, seorang pakar geologi Alfred Wagener mengemukakan sebuah teori yang dikenal dengan Continental Drift (arus-aliran benua). Menurutnya, dahulu bumi ini hanya terdiri atas sebuah benua, tetapi diakibatkan oleh pergerakan dan pergeseran bumi, maka daratan ini kemudian bergerak dan membentuk gugusan-gugusan pulau yang ia sebut dengan istilah pangaea. Atas dasar inilah terjadi kesamaan sejumlah kelompok atau jenis binatang di berbagai tempat. Menurut Alfred, akibat pergeseran ini, maka Gunung Himalaya semakin tinggi dan beberapa lautan mengalami perluasan, dan sebagian lain menyempit. Gerakan dan pergeseran lempengan bumi ini pada saatnya juga dapat mengakibatkan gempa tektonik.

Baca Juga:  Mahasiswa KKN UIN Alauddin Latih Siswa SMP Al-Islam Wellulang Menggunakan Microsoft

Bagi sains modern, gempa bumi atau sunami tidak ada kaitannya dengan dosa-dosa manusia, tapi dia merupakan siklus alamiah yang terjadi dalam aktivitas bumi sebagai efek dari proses penyeimbangan.

Bumi dengan hukum alamnya tidak sedang melakukan sebuah drama, tetapi memang bumi harus melakukan penyeimbangan-penyeimbangan jika ia ingin survive, tidak ingin hancur.

Seandainya gunung tidak meletus, lempeng tektonik tidak patah dalam suatu waktu, maka kondisi bumi akan mengalami sebuah gangguan sistemik dalam proses pergerakannya.

Jauh sebelum Alfred Wagener mengemukakan teorinya. Rasulullah saw sudah menyampaikan hal ini kepada umatnya 14 abad yang lalu melalui firman Allah dalam Q.S. Al-Naml (27): 88 yang artinya: ”Dan engkau melihat gunung-gunung yang engkau kira gunung-gunung itu diam (tidak bergerak), padahal dia bergerak seperti jalannya awan.”

Dengan demikian, amat keliru jika kita memvonis bahwa mereka yang terkena musibah adalah orang-orang yang dipandang berdosa kepada Tuhan. Tetapi lebih arif jika dikatakan, manusia mungkin menyalahi sunnatullah yang telah ditetapkan Tuhan.

Dalam kaitan ini, A. Munir Mulkhan mengatakan, penyadaran bahwa gempa dengan korban jiwa dan kerusakan harta benda adalah musibah dan laknat Tuhan akibat ulah (dosa) manusia diberi arti lebih saintifik yaitu akibat manusia melanggar hukum alam menempati daerah yang rawan gempa, longsor, banjir, dengan membangun infrastruktur yang tidak berbasis kaidah mitigasi (ketahanan) gempa. Tindakan demikian merupakan bukti pengabaian firman Tuhan dengan lebih mendahulukan hawa nafsu.

Dengan demikian, taqarrub ilallah (takwa) tidak bermakna sebatas zikir lisan, seperti yang sering dilakukan masyarakat untuk menghindari bencana, tetapi kemampuan membaca lebih jernih firman Tuhan berupa teks suci Al-Quran sembari menjalankan nilai-nilai fitrah dan mematuhi hukum alam (sunnatullah) dengan segala fenomenanya sebagai rujukan tata kehidupan.(*)

- Iklan -

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU