Doktor Hukum Buat Seorang Dokter RSPAD

Catatan: Marah Sakti Siregar (Jakarta, 2 Agustus 2023)

Seorang dokter TNI yang pernah bertugas lebih 15 tahun di RSPAD, Gatot Subroto, Jakarta, Selasa siang (1/8/2023) meraih gelar Doktor Hukum. Sang dokter, Mayjen TNI Sutan Finekeri Arifin Abidin, 58, berhasil mempertahankan disertasinya “dengan sangat memuaskan” di depan para profesor penguji Sidang Terbuka Promosi Doktor,
yang dipimpin Profesor Ir H Bambang Bernanthos Msc, Rektor Universitas Borubudur, Jakarta.

Disertasi Dokter Finekri menarik perhatian. Setidaknya bagi komunitas kedokteran.

- Iklan -

Bisa jadi, karena topik disertasi itu: ” Perlindungan Hukum Terhadap Pasien dari Pelaku Pengobatan yang Belum Berbasis Bukti (Evidence-Based Medicine),”
bisa membangunkan lagi ingatan mereka pada terapi pengobatan seorang dokter TNI yang juga kolega sekaligus atasan Dokter Finekri di RSPAD. Dialah Letjen (Pur) Prof DR dr Terawan Agus Putranto, mantan Menteri Kesehatan dan juga mantan Kepala RSPAD (2015-2019).

Ketika bertugas di RSPAD, Dokter Terawan sempat menjadi sosok kontroversial. Itu karena sejak tahun 2010, dia menerapkan terapi pengobatan “cuci otak” untuk pasien stroke. Terapi pengobatan itu gencar disorot kalangan kedokteran dari IDI, karena sudah dipraktikkan kepada pasien, padahal belum pernah melalui proses uji klinik.

Dokter Terawan menyebut, terapi pengobatannya yang menghebohkan masyarakat Indonesia itu dengan nama generik: Digital Subtraction Angiography (DSA). Ini semacam tindakan medis yang dulu dikenal sebagai teknik menggambar pembuluh darah dengan menyemprotkan zat kontras (iodine) agar bisa dideteksi alat X-Ray guna keperluan diagnostik.

- Iklan -

Tapi, oleh Dokter Terawan, DSA itu kemudian dimodifikasi menjadi terapi pengobatan, terutama untuk pasien yang terkena stroke. Banyak pasien setelah menjalani terapi itu menyatakan mereka sembuh. Para pasien itu bersyukur dan memberikan testimoni yang memuji-muji terapi pengobatan stroke Dokter Terawan.

Tetapi, para sejawat Terawan di komunitas kedokteran yang bernaung di bawah IDI (Ikatan Dokter Indonesia) banyak yang penasaran dan mempertanyakan basis ilmiah terapi pengobatan tersebut.

Apakah terapi “cuci otak” itu sudah melalui prosedur penelitian medis/uji klinis dengan memperlihatkan bukti yang berbasis medis yang terintegrasi
(EBM). Itulah di antara pertanyaan kritis dari komunitas kedokteran.

- Iklan -

Pengurus Pusat IDI dan MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) pernah beberapa kali mengundang Dokter Terawan untuk menjelaskan basis ilmiah terapi yang diterapkannya itu. Namun, komunitas kedokteran dan masyarakat, kecewa. Pertemuan atau diskusi untuk berbagi informasi medis ilmiah itu, urung terlaksana. Malah, yang terjadi kemudian adalah “dispute” berkepanjangan.

Sampai akhirnya, tahun 2018, MKEK menginformasikan keputusan mereka kepada PB IDI bahwa Dokter Terawan telah sah melakukan pelanggaran etika kedokteran kategori berat. Antara lain, karena tidak menghadiri undangan pertemuan dan terus melakukan terapi pengobatan stroke yang dinilai belum atau tidak berbasis bukti medis (EBM).

MKEK kemudian merekomendasikan kepada PB IDI untuk memberhentikan Dr Terawan sebagai anggota IDI. Tetapi, eksekusi ini tertahan. Pengurus IDI waktu itu masih menimbang-nimbang posisi Dr Terawan sebagai salah satu dokter kepresidenan. Tak diduga, setahun kemudian Dokter Terawan malah diangkat Presiden Jokowi menjadi menteri kesehatan.

Akhirnya, baru pada 2022, setelah Dr Terawan diganti dan tidak lagi jadi menteri kesehatan, eksekusi pemecatan dirinya secara permanen dilakukan PB IDI. Dan eksekusinya dilakukan dengan tegas. Maklum, sudah tertahan lama dan PB IDI sampai mendapat tekanan melalui rekomendasi dari para peserta Muktamar ke-31 IDI di Banda Aceh, 25 Maret 2022, untuk segera memecat Dokter Terawan.

Baca Juga:  Islam dan Hak Asasi Manusia

Harus diakui, kasus Teraean itu agaknya cukup membekas bagi para dokter.
Apa lagi, sangat terasa, Dokter Terawan menjadi dokter yang tak tersentuh oleh sanksi pelanggaran aturan etik kedokteran.

Terbukti, meski pun sudah ditegur dan kena sanksi dari IDI, terapi “cuci otak” Dr Terawan terus berjalan. Malah, sampai sekarang terapi tersebut masih terus menerima pasien di RSPAD.

Terapi “cuci otak” dengan demikian menjadi salah satu dari banyak terapi pengobatan di Indonesia yang eksis, meski pun belum berbasis bukti ilmiah (EBM) sebagaimana dipatokkan oleh dunia kedokteran.

Realitas ini agaknya menjadi tantangan tersendiri bagi komunitas dokter. Masih validkah saat ini urgensi metode EBM di dunia kedokteran?

Pertanyaan itu jelas menantang topik disertasi Dokter Finekeri, yang masih berkukuh bahwa semua pengobatan wajib berbasis bukti (EBM). Maka, bisa dimaklumi jika ada perhatian cukup besar terhadap Sidang Promosi Dokter Finekri. Sejumlah tokoh pendidikan dan guru besar kedokteran hadir.

Menurut Panitia, ada 11 profesor yang datang. Delapan guru besar berasal dari FKUI,  dan 1 dari  FK UKI. Di antara profesor yang hadir, terlihat Prof AM Hendropriyono, guru besar Filsafat Intelijen; pengacara senior Prof Dr Otto Cornelis Kaligis SH MHum LLM.

Delapan guru besar FKUI: Prof Dr dr Ari Fahrial Syam Sp PD KGEH, Dekan FKUI, Prof Dr dr Sukman T Putra SpA (K) FACC, FESC – Guru Besar Ilmu Kesehatan Anak, Prof Dr dr Nur Rasyid SpU (K) – Guru Besar dan Ketua Tim Transplantasi Ginjal, Prof Dr dr. Wachyu Hadisaputra SpOG-KFER, spesialis Kebidanan Kandungan,

Prof Rino Alvani Gani SpOD KGEH, Sekretaris Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PADDI), Prof Dr Dr Mulyadi M Djer SpA (K), Prof DR dr Hanifah Oeswari, guru besar Ilmu Kesehatan Anak, dan Prof DR dr Budi Iman Santoso SpOG, Dokter Obstetri dan Ginekologi FKUI.

Selain itu, tampak hadir juga Ketua Umum PB IDI, DR M Adib Khumaidi dan sejawatnya dari MKEK IDI. Juga, Kepala RSAD, Letjen Prof Dr Dr dr Buri Sulistya SpTH.

Perlunya Perlindungan Terhadap Pasien

Di Sidang Terbuka, Promovendus, yang mantan Direktur Pengembangan dan Riset RSPAD dan kini menjabat Dekan Fakultas Kedokteran Unhan RI (Universitas Pertahanan RI) itu, menjelaskan poin-poin penting berkaitan dengan tujuan dan manfaat yang disasar oleh penelitian disertasinya.

Promovendus menyatakan, tujuan penelitiannya adalah untuk menganalisis perlindungan hukum dan konstruksi perlindungan hukum terhadap pasien dari pelaku pengobatan yang belum berbasis bukti (EBM). Selain itu, juga untuk mengkaji dan menelaah upaya pemerintah dalam melakukan pencegahan terhadap pasien dari pelaku pengobatan yang belum berbasis bukti (EBM).

Promovendus kemudian menguraikan tiga bagian hasil penelitiannya. Yakni, pertama: “Perlindungan hukum terhadap pasien dari pelaku pengobatan yang belum berbasis bukti (EBM).”

Kedua: “Konstruksi perlindungan hukum terhadap pasien dari pelaku pengobatan yang belum berbasis bukti (EBM).”

Baca Juga:  Meraih Berkah Ramadan

Ketiga: “Upaya pemerintah dalam melakukah pencegahan terhadap pasien dari pelaku pengobatan yang belum berbasis bukti (EBM).

Dari ketiga unsur yang terkait dengan pengobatan berbasis bukti, yaitu, dokter, pasien dan pemerintah, maka Promovendus menilai posisi paling lemah adalah pasien.

Hubungan antara dokter dan pasien, misalnya. Keduanya adalah subyek hukum yang terkait dengan hukum kedokteran. Keduanya membentuk hubungan medik dan hukum. Dalam pelaksanaan hubungan diatur oleh peraturan-peraturan tertentu. Dokter memiliki keahlian di bidang kedokteran. Sedangkan, pasien adalah orang sakit yang membutuhkan bantuan dokter. Karena itu mereka mempercayakan diri sepenuhnya kepada dokter untuk disembuhkan.

Hubungan keduanya berlangsung sebagai hubungan biomedis aktif-pasif. Dalam hal medik, jelas hubungan ini tidak seimbang. Terlihat adanya superioritas dokter terhadap pasien. Secara biomedis ada kegiatan dokter (aktif) sedangkan pasien hanya menerima (pasif).

Jadi, dasar dari hubungan dokter dan pasien adalah atas dasar kepercayaan. Pasien percaya atas kemampuan dokter untuk berusaha semaksimal mungkin menyembuhkan penyakitnya.

Tanggung Jawab Dokter dan Pemerintah

Menilik posisi hubungan yang tidak seimbang antara dokter dan pasien itu, maka para dokter diharapkan lebih bertanggung jawab atas pengobatan yang dilakukannya kepada pasien. Promovendus menegaskan bahwa setiap tindakan dokter yang merugikan pasien dalam pelayanan kesehatan karena kelalaian atau kurang kehati-hatian dokter dalam melakukan tindakan yang merugikan pasien, dapat diminta pertanggung jawaban. Baik secara pidana mau pun perdata.

Pemerintah mempunyai peran yang sangat penting terhadap perlindungan pasien sebagai konsumen dari pelaku pengobatan yang belum mempunyai EBM. Dan menjadi tugas pemerintah (pusat dan daerah) bersama Konsil Kedokteran Indonedia dan organisasi profesi untuk membina serta mengawasi praktik kedokteran oleh pelaku pengobatan yang belum berbasis bukti (EBM).

Jika menemukan terjadi pelanggaran dalam pengobatan yang tidak berbasis bukti, pemerintah wajib melaporkannya kepada penyidik Polri sesuai ketentuan perundangan. Dan merujuk pasal 1 ayat 188 ayat 1, UU NO 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, Kementerian pun dapat melakukan tindakan administratif terhadap pelaku pengobatan yang belum berbasis bukti (EBM).

Dokter Finekri menyusun disertasinya dibimbing oleh promotor Prof Dr Faisal Santiago SH MM, Direktur Program Pasca Sarjana Unkversitas Borobudur selaku ketua dan Dr Suparno SH, anggota.

Tampil sebagai penguji, selain rektor Universitas Borobudur, adalah dua penguji eksternal/ luar institusi. Yakni, Ketua MPR Dr Bambang Soesatyo dan Prof Dr Ade Saptomo SH MSi. Sedangkan penguji dari dalam institusi adalah Dr Ahmad Redi SH MH.

Setelah berlangsung sekitar dua jam, Sidang Terbuka itu diskors. Ini untuk memberi kesempatan Tim Penguji memberikan penilaian. Tak lama, Rektor Prof Ir Bambang Bernanthos mengumumkan Promovendus dinyatakan lulus dengan predikat: Sangat Memuaskan. Nilai yudisiumnya: 3,91. Dokter Sutan Finekri Arifin Abidin menjadi Doktor ke-195 yang diluluskan Universitas Borobudur, Jakarta.

Usai Sidang Terbuka, Doktor Sutan Finekri menyatakan kelegaan dan kepuasannya. Sebab, disertasinya terkait perlu perlindungan hukum bagi pasien telah diaksep dan dihargai para penguji.

“Memang perlindungan pasien sudah menjadi obsesi dan aspirasi saya untuk terus diperjuangkan. Sebab, semua kita ini suatu saat akan menjadi pasien,” ujarnya.

End.

- Iklan -

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU