Hukum Puasa Rajab Menurut Ulama Madzhab

𝘐𝘻𝘪𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘵𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘬𝘪𝘺𝘢𝘪 𝘵𝘦𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘩𝘶𝘬𝘶𝘮 𝘱𝘶𝘢𝘴𝘢 𝘙𝘢𝘫𝘢𝘣 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘳𝘶𝘵 𝘱𝘢𝘳𝘢 𝘶𝘭𝘢𝘮𝘢 𝘮𝘢𝘥𝘻𝘩𝘢𝘣. 𝘔𝘰𝘩𝘰𝘯 𝘱𝘦𝘯𝘤𝘦𝘳𝘢𝘩𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢 𝘣𝘢𝘨𝘢𝘪𝘮𝘢𝘯𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘦𝘣𝘦𝘯𝘢𝘳𝘯𝘺𝘢.

𝗝𝗮𝘄𝗮𝗯𝗮𝗻 :

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

- Iklan -

Tentang hukum mengkhususkan berpuasa di hari tertentu dari bulan Rajab para ulama berbeda pendapat. Sebagian menyatakan bahwa itu tidak disunnahkan sedangkan sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa hal tersebut ada kesunnahannya. Berikut penjelasan masing-masing dari dua kubu yang berbeda :

𝟭. 𝗞𝗮𝗹𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗯𝗲𝗿𝗽𝗲𝗻𝗱𝗮𝗽𝗮𝘁 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗱𝗶𝘀𝘂𝗻𝗻𝗮𝗵𝗸𝗮𝗻.

Para ulama dari madzhab Hanabilah, sebagian Hanafiyyah dan juga sebagian Syafi’iyyah berpendapat bahwa puasa bulan Rajab tidak disunnahkan.

- Iklan -

Hal ini karena mereka berpendapat bahwa hadits- hadits yang berbicara tentang puasa di bulan Rajab adalah sangat lemah dan sebagiannya bahkan palsu sehingga tidak bisa dijadikan hujjah.

Dan bahkan kalangan Hanabilah membawakan riwayat yang menyebutkan adanya larangan untuk berpuasa di bulan Rajab, yakni riwayat dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah ﷺ melarang berpuasa di bulan Rajab.[1]

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ‌نَهَى ‌عَنْ ‌صِيَامِ ‌رَجَبٍ

- Iklan -

“Nabi ﷺ melarang dari berpuasa Rajab.” (HR. Ibnu Majah)

Dalil selanjutnya adalah adanya riwayat bahwa dua khalifah Rasulillah melarang orang-orang yang memperbanyak puasa di bulan Rajab.

Disebutkan bahwa sayidina Abu Bakar shidiq radhiyallahu’anhu menemui keluarganya dan melihat mereka membeli cangkir-cangkir minum, dan bersiap-siap untuk puasa, beliau berkata, “Apa ini ?”

Mereka menjawab, “Rajab.”

Abu Bakr Radhiyallahu ‘Anhu berkata, “Apa kalian hendak menyerupakannya dengan Ramadhan ? Lalu ia memecahkan cangkir-cangkir tersebut.”[2]

Demikian juga adanya riwayat sayidina Umar yang memukul tangan orang-orang yang mengkhususkan bulan Rajab dengan berpuasa.[3]

Dan berikut beberapa fatwa ulama dari kelompok yang mendukung pendapat pertama ini :

– Ibnu Muflih berkata : “Dimakruhkan mengkhususkan bulan Rajab dengan berpuasa.”[4]

– Imam Ibn Hajar al Asqalani berkata, “Tidak ada hadits shahih yang layak dijadikan hujjah puasa bulan Rajab, keutamaan puasanya dan amalan tertentu di dalamnya seperti shalat malam.”[5]

– Ibnu Qudamah berkata : “Dibenci mengkhususkan bulan Rajab untuk berpuasa. Imam Ahmad berkata bahwa kalau mau seseorang berpuasa sehari dan tidak puasa sehari tetapi jangan puasa sebulan.”[6]

– Imam al Mardawi berkata: “Mengkhususkan puasa Rajab hukumnya adalah makruh. Inilah pendapat mazhab (Hanabilah) dan para pendukungnya.”[7]

𝟮. 𝗞𝗮𝗹𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗯𝗲𝗿𝗽𝗲𝗻𝗱𝗮𝗽𝗮𝘁 𝗱𝗶𝘀𝘂𝗻𝗻𝗮𝗵𝗸𝗮𝗻.

Sedangkan sebagian ulama dari madzhab Syafi’iyyah, Malikiyyah dan sebagian dari madzhab Hanafiyyah berpendapat bahwa puasa Rajab hukumnya adalah sunnah.[8]

Kalangan ini berdalil bahwa meskipun hadits-hadits yang berbicara tentang fadhilah puasa Rajab lemah semuanya, namun ada dalil umum yang menyebutkan bahwa Nabi ﷺ memerintahkan memperbanyak puasa di bulan Haram, sedangkan Rajab adalah termasuk salah satu dari bulan haram.

Sehingga, hadits lemah yang berbicara tentang Rajab berfungsi sebagai fadhilah a’mal.

Demikian juga dalil shahih lainnya adalah riwayat dari Utsman bin Hakim al Anshari radhiyallahu anhu, ia berkata, Aku pernah bertanya kepada Said bin Jubair tentang puasa Rajab, saat itu kami sedang berada di bulan Rajab.

Lalu beliau menjawab, “Aku pernah mendengar Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata :

كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لَا يُفْطِرُ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لَا يَصُومُ

“Rasulullah ﷺ biasa berpuasa hingga kami menyangka beliau tidak berbuka; dan beliau berbuka hingga kami menyangka beliau tidak berpuasa.”[9]

Berikut fatwa dari beberapa ulama yang mendukung pendapat kedua ini :

– Al imam al Kharsyi berkata: “Disunnahkan berpuasa pada bulan Muharram dan Rajab. Kesunnahannya berpuasa pada semua bulan haram yang empat, yang paling utama bulan Muharram, lalu Rajab, lalu Dzul Qa’dah, lalu Dzul Hijjah.”[10]

– Imam Ash Shawi dari kalangan ulama mazhab Maliki berkata : “Puasa Rajab yakni dikuatkan puasa Rajab juga walaupun hadits-haditsnya dhaif, karena hadits dhaif boleh diamalkan dalam hal fadhail a’mal.”[11]

– Al Imam ‘Izz ibnu Abdissalam berkata : “Orang yang melarang puasa Rajab itu jahil dari sumber-sumber hukum syariah.”[12]

– Imam Nawawi berkata, “Shahabat-shahabat kami berkata: “Di antara puasa yang disunnahkan adalah puasa bulan-bulan haram, yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram dan Rajab, dan yang paling utama adalah Muharram.”[13]

– Ibnu Shalah berkata : “Memang benar banyak ahli hadits yang mengatakan hadits-hadits Rajab memang tidak shahih. Dan ini tidak menjadikan puasa Rajab itu terlarang, karena adanya dalil-dalilnya anjuran puasa secara mutlak, dan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud juga ulama lain dalam anjuran puasa pada bulan Rajab, dan itu cukup untuk memotivasi umat ini untuk puasa Rajab.”[14]

– Imam Ibnu Hajar al Haitami berkata : “Adapun tindakan sebagian ahli fiqih yang terus menerus melarang orang-orang untuk puasa Rajab, itu adalah sebuah kebodohan dan bentuk pengacak-acakan terhadap syariah yang suci ini.”[15]

𝗣𝗲𝗻𝘂𝘁𝘂𝗽

Demikian bahasan tentang permasalahan ini. Bagi yang mau mengikuti pendapat yang mensunnahkan puasa Rajab silahkan saja, tanpa perlu menshare hadits-hadits palsu seputar keutamaan puasa Rajab yang dikhawatirkan akan menjatuhkan kita dalam berbuat dusta atas nama Nabi ﷺ.

Demikian pula yang berpendapat tidak ada kesunnahannya untuk tidak mencela mereka yang mengamalkan puasa Rajab dengan sebutan bid’ah, sesat dan semisalnya. Karena masalah ini bukanlah perkara pokok agama yang bisa menyebabkan pelakunya menjadi sesat atau jatuh menjadi ahli bid’ah.

📜Wallahu a’lam.

[1] Hadits ini ada dalam sunan Ibnu majah (1/554), dan Ibnu Bushiri mengatakan bahwa hadits ini lemah karena dalam rawinya ada Dawud bin Atha’. Beliau berkata dalam kitabnya Misbahul Zujajah (1/307) : “Dia disepakati kelemahannnya.”

[2] Majmu’ Fatawa (25/290)

[3] Ada’u ma Wajab hal. 57

[4] Al Furu’ (3/118).

[5] Tabayyun al Ujb fi Fadhail Rajab hal. 23.

[6] Al Mughni (3/53)

[7] Al Inshaf (3/346).

[8] Asna al Mathalib (1/433), Fatawa al Kubra al Fiqhiyyah (2/53), Mughni al Muhtaj (2/187), Nihayah al-Muhtaj (3/211) Al Qawaninul Fiqhiyyah hal 114, al Hadramiyyah hal.118.

[9] Al Mushannaf li Ibni Abi Syaibah (6/120)

[10] Syarh al-Kharsyi ‘ala Mukhtashar Khalil (2/241)

[11] Bulghatussalik (1/692).

[12] Al Fatawa al Fiqhiyyah al Kubra (2/ 54).

[13] Al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab (6/439).

[14] Fatawa Ibnu Shalah, hal. 180.

[15] Al Fatawa al Fiqhiyyah al Kubra (2/53)

- Iklan -

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU