Berasian

Pada dasarnya dia tetaplah seorang manusia—hamba Tuhan—yang lemah dan mudah lelah. Namun diberanikannya menatap balik kedua mata perempuan itu yang hitam dan besar pupilnya lantas segera diungkapkannya perasaannya yang suci dan tulus dari hatinya.

Perempuan itu masih memandang teduh matanya entah karena memang sedang menunggunya bicara atau hanya sekadar ingin memandangnya. Dia tidak tahu. Dadanya sendiri masih gemetaran dan detak jantungnya juga tak beraturan.

Akhirnya dia benar-benar memberanikan diri mengucapkan perasaannya kepada perempuan itu. Aku cinta padamu, ujarnya lirih sekali.

- Iklan -

Perempuan itu hanya bergeming namun masih menatapnya dengan mimik muka serupa, sama sekali tidak berubah. Tak ada tanda-tanda ia akan berbicara atau sekadar mengucapkan beberapa patah kata. Perempuan itu memandangnya saja entah karena apa, atau barangkali ia tidak mendengar ucapannya karena terlalu lirih hingga tak sampai di telinganya.

Dimantapkannya kembali hatinya lalu kembali berkata Aku sungguh mencintaimu, tambahnya dengan nada lebih keras dari yang pertama tapi tidak sekeras itu juga. Namun perempuan itu tetap diam saja—kepalanya tidak mengangguk atau menggeleng—sehingga membuatnya makin gelagapan dan hilang akal.

Dia kemudian menarik napas panjang lalu menghembuskannya seperti setengah putus asa. Dadanya mendadak kecewa sebab timbul prasangka-prasangka buruk yang sebenarnya tidak berdasar. Diambilnya simpulan bahwa perempuan itu kiranya memberi kesan penolakan halus karena barangkali ia tak tega untuk secara eksplisit menjawab tidak.

- Iklan -

Namun dia menolak menyerah dan berniat menyatakan perasaannya untuk ketiga kalinya—ini yang terakhir. Jika perempuan itu masih bergeming, mungkin apa yang telah disangkanya memang benar adanya dan dia harus menerima dengan lapang dada Dikukuhkannya hatinya sambil memperbaiki kepercayaan dirinya yang sebetulnya makin terkikis tipis-tipis sedikit demi sedikit.

Oleh karenanya, kepalanya menunduk ke bawah sebagai gelagat bahwa dia sedang tidak baik-baik saja. Hei, aku adalah pencintamu, sungguh, tandasnya dengan laras yang kembali lirih, lebih lirih dari yang awal tadi. Ditengadahkan kepalanya agar mampu melihat jelas reaksi dari perempuan itu.

Mereka berdua hanya saling diam—hening—dan tak ada suara apa pun selain tarikan dan embusan nafas masing-masing. Sejenak kemudian, dilihatnya perempuan itu seperti memberikan tanggapan dengan mengangkat kedua alisnya yang hitam dan tebal lantas pergi dengan lekas tanpa sepatah kata pun, tak ada bunyi sama sekali yang keluar dari bibirnya yang merona dan berkilau.

- Iklan -

Akhirnya seperti yang awal, dia terbangun dengan kedua mata yang terbelalak sebab tersorot silaunya cahaya matahari yang menembus kamarnya dari sela-sela jendela. Dia kembali terjaga tanpa menerima sebuah jawaban gamblang dari pertanyaannya— atau lebih tepatnya pernyataannya—yang disimpannya sejak lama.

“Sekarang jam berapa?” Tiba-tiba tanya seorang perempuan setengah telanjang dari arah sebelah kanannya yang bagian dada sampai ke bawah tertutup selimut. Ia baru bangun dengan nafasnya yang bau alkohol dan bekas lengket di sekitar mulutnya sisa semalam.

Rembang, Oktober 2021.

Penulis : A.Zulfa Muntafa

- Iklan -

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU