Hari Minggu yang Ditunggu-tunggu

“Aku rasa, sekarang kau bisa memahaminya, bahwa walau orang tua kita memiliki banyak kekurangan, tapi mereka tetaplah orang tua terbaik untuk kita, karena mereka melakukan segalanya, memberikan semua yang mereka punya, meskipun tak sesuai dengan maunya kita,” Lanjut Muhsin, tangannya sibuk menepuk pundak Rafly yang entah sudah berapa lama ia menangis.

Melihat Rafly yang tak kunjung diam, Muhsin memilih mengajaknya untuk pulang, Rafly pun pulang bersama Muhsin dengan dibonceng menggunakan motor tua milik kakek Muhsin.

“Kak Muhsin pernah gak? Minta sesuatu pada orang tua, tapi tak diberikan?” Tanya Rafly, saat mereka telah keluar dari hutan.

- Iklan -

“Orang tuaku memberikan apa pun yang ku inginkan walau tak sesuai keinginan, dulu waktu Kak Muhsin SMA, pengen punya motor sendiri, pengen motor baru pokoknya, biar bisa bonceng Sarah kalau pulang sekolah.”

“Mbak Sarah anaknya Pak RT?!”

“Yoi, tapi bukannya di beliin motor baru, malah dikasih motor butut kayak gini, tapi ada untungnya juga sih, Aku jadi tau kalau Sarah ternyata matre, dia lebih milih Aldo waktu itu yang bawa motor ninja!”

- Iklan -

Rafly tertawa di sepanjang jalan, ia tak sabar untuk sampai ke rumah, ia ingin segera melihat kedua orang tuanya, dan orang tuanya juga pasti sangat khawatir. Ia berjanji akan meminta maaf dan tak mengulangi kesalahannya.

Paginya Rafly berangkat ke sekolah bersama Ari dan juga Reno, teman-temannya sudah menantikan hari ini, mereka sangat ingin tahu bagaimana kiranya hari minggu yang Rafly habiskan selama ini, karena seperti yang kita tahu, Rafly tak pernah sekalipun bercerita tentang liburan atau hal sejenisnya untuk mendapatkan setitik pujian.

“Jadi, bisakah kamu bercerita sekarang Rafly?” Ari sudah siap mendengar jawaban Rafly, buktinya ia menyapa Rafly dengan rangkulan dipundak saat mereka baru saja bertemu di persimpangan jalan.

- Iklan -

Reno yang sedari tadi datang bersama Ari pun ikut mendengarkan.

“Baiklah teman-teman, liburanku ini sangat hebat! Aku pergi ke banyak tempat, selain bisa senang-senang, dimana lagi liburan bisa dapat cuan?” Ari maupun Reno melongo mendengar penuturan Rafly, tak sabar menantikan kelanjutan ceritanya.

“Di pagi hari, aku pergi ke lapangan hijau bersama Bapakku, memberi makan kambingnya Pak Slamet, dimana lagi ada orang spesial sepertiku, bisa nyentuh dan mengajak kambing Pak Slamet main ke lapangan, siapa sih yang gak kenal Pak Slamet? Pak RT paling ramah dan paling tersohor di kampung kita! Gak cuman sampai disitu, aku juga dikasih duit sama Pak Slamet, padahal aku Cuma ngajak kambingnya main, Pak Slamet memang baik deh, putrinya Pak Slamet yang bernama Mbak Sarah tuh cantik banget, aku melihatnya setiap hari minggu ketika ia menjemur pakaian, aku sangat beruntung kan?”

Merasa Puas dengan ekspresi teman-temannya, Rafly pun melanjutkan ceritanya.

“Dan, siang hingga sore hari juga gak kalah seru, aku diajak Bapakku mancing di sungai, taukan serunya sungai tuh gimana, bisa berenang, main perahu-perahu dari kulit kelapa, bisa tangkap ikan, ikannya masih segar kalau dimakan nikmat, apalagi kalau Ibuku bakar ikannya di malam hari, aku menari-menari mengelilingi ikan yang dibakar bersama adikku, ikannya juga bisa dijual dan bisa dapat uang lagi, kalian pasti kalau ke sungai cuma cuci kaki doang, atau menemani Ibu kalian cuci pakaian, ah itu pasti membosankan!”

“Liburanku bukan tentang senang-senang, liburanku mendapatkan banyak pengalaman, mendapatkan banyak kesenangan, dan yang paling kerennya, liburanku menghasilkan uang, gak seperti kalian yang hanya tahu minta.” Bagai petir disiang bolong, Ari maupun Reno merasa tersinggung dengan cerita Rafly, yaitu memang benar adanya, selama ini mereka hanya tahu meminta.

- Iklan -

Bagikan:

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

BERITA TERBARU